Skip to content


Pidato Dedi Mulyadi Bagian Kahiji

Pidato 1Bismillahirohmanirohim,

Sampurasun

Saudara-saudara yang saya hormati para akademisi di fakultas ilmu budaya universitas pajajaran sebuah kebanggaan bagi masyarakat sunda masih memiliki sebuah lembaga yang di dalamnya membangun entitas dan identitas bagi pembentukan masyarakat pajajaran. masyarakat yang terbuka egaliter dan demokratis yang sejarahnya menghamparkan sebuah pola hidup yang mengembangkan nilai-nilai universalitas agama, dalam sistem sosial yang sangat kuat dengan prinsip silih asah silih asih silih asuh sebuah etitas yang sesungguhnya harus menjadi kebanggaan bagi masyarakat sunda. tanpa nabi orang sunda sudah bisa mengidentifikasi ketuhanan secara sempurna.orang arab dengan nabi tidak bisa mengidentifikasi itu sampai hari ini.

Kebanggaan itulah yang harus ada dalam diri kita bukan tumbuh menjadi imperior bagi sebuah agama dan kebudayaan dunia tapi justru kita harus jadi superior dari sisi spirit untuk membangun keadilan rasa nyaman kedamaian dan kesetaraan manusia tanpa kasta dan tanpa batas. yang saya hormati yang mewakili rektor universitas padjadjaran penggemar novelis sejarah yang barangkali ini tantangan dari fakultas sastra unpad untuk membuat novel cerita tentang prabu siliwangi dengan berbagai entitas nama tentang bubat tentang berbagai hal yang membuat romantisme kita terhadap masa lalu karena bangsa yang memiliki masa depan adalah bangsa yang mengetahui masa lalu nya.

Yang saya hormati dekan fakultas ilmu budaya, yang saya hormati segenap guru dan guru besar yang hadir, tokoh tokoh sunda dari galuh sebenarnya kebingungan bagi diri saya kalau dijuluki sebagai budayawan karena saya orang yang tidak memiliki latar belakang sama sekali tentang seluruh pendidikan ini saya tidak penah baca buku sejarah sebenarnya, saya tidak pernah baca buku sastra saya tidak pernah baca berbagai literatur yang berkembang hari ini.

Saya lebih memilih hidup ini untuk melihat hujan ketika jatuh, melihat gunung, melihat ular ketika lewat, itu yang saya pilih, mudah-mudahan itu menjadi buku saya dalam setiap saat. Ada sebuah kegalauan cara berpikir kita ketika memandang silang budaya, budaya dipahami menjadi sistem materi, budaya terpisah dari agama, padahal ketika alam raya ini tercipta, siapapun yang menciptakannya, apakah itu orang menyebut Allah, apakah orang menyebut Gusti Nu Maha Suci, apakah orang menyebut Sang Hyang Widi Wasa, apakah orang menyebut Tuhan yang Maha Esa, ataupun menyebut Dzat sekalipun, ayau silahkan menyebut apapun bagi diri saya, yang jelas ketika alami ini tercipta, dua dimensi yang tersimpan disitu, yang pertama dimensi kebenaran, yaitu dimensi universal, yang kebenarnya bersifat esensial, karena esensial tidak bisa terpisah dari material, sehingga kerangka berpikir agamapun tidak akan bisa menyentuh nilai-nilai ketuhanan.

Bohong besar itu orang belajar teologi akan mengetuk ketuhanan. Tidak bisa teologi apapun dimuka bumi ini tidak akan bisa menyentuh ketuhanan, karena ketuhanan bukan nilai-nilai teologi, tapi ketuhanan adalah nilai-nilai asasi. Karena nilai-nilai asasi maka ketuhanan menyentuh spirit, maka ketika belajar ini, orang sunda meletakan Allah, meletakan Sang Hyang Widi Wasa, bukan lewat sembah, karena sembah dipahami hanya ruku dan sujud, itu hanya simbolisasi, siapapun bisa melakukan itu, ketika orang Sunda meletakan itu dengan kalimat teuleuman karena kalimat teuleuman maka tenggelamlah anda, tenggelamlah pada samudra ketuhanan yang tanpa batas, siapa yang bisa tenggelam anu wening ka atina, anu rancingas rasana, nu rancage hatena, caang bulan opat belas, jalan gede sasapuan, maka ketika ini masuk kepada entitas ketuhanan, maka persyaratan yang harus dibangun adalah kebeningan, bukan perdebatan. Karena hanya kebeninganlah yang menyentuh ketuhanan, sedangkan logika hanya melahirkan perdebatan, perdebatan hanya melahirkan paham, paham hanya melahirkan sekte, sekte hanya melahirkan semakin jauh dari ketuhanan, semakin banyak sekte maka tuhan semakin tidak ada sebenarnya.

Posted in Kasundaan, Lainnya.

Tagged with .