Latar Belakang Pembuatan Prototipe Gamelan Nawa Swara
Gamelan Jawa yang pertama adalah gamelan Slendro yang diambil dari kata Sura dan Indra. Konon, menurut kepercayaan mitos tradisi Jawa, gamelan lahir sewaktu para Sura atau Dewa-Dewa secara tidak sengaja memukul-mukul peralatan perangnya seusai memenangkan peperangan mengusir raksasa. Kegembiraan tersebut mereka lampiaskan dengan menari-nari dengan iringan tetabuhan yang terdiri dari pemukulan perisai sebagai alat tetabuhan dan menggesekkan anak panah dan busurnya sebagai alat dawai dan lain sebagainya. Benar tidaknya kepercayaan ini tidak dapat dipastikan secara pasti, namun sebagian masyarakat tradisional cukup yakin dengan hal tersebut.
Berdasarkan ilmu pengetahuan, fakta dan data tentang gamelan tertua dapat dilihat dari penemuan-penemuan benda-benda kuno dan pada relief-relief candi atau benda-benda kesenian lainnya. Juga dari tulisan-tulisan yang terdapat pada kesusasteraan. Alat musik tertua di Jawa yang terkenal terdiri atas beberapa kendang periuk, yang menurut beberapa sumber diimpor dari bagian Utara India dan Tiongkok Selatan. Dalam masa prasejarah, kendang ini (biasa disebut nekara) digunakan untuk kebutuhan ritual mendatangkan hujan. Kendang periuk ini dikemudian hari dibuat dari perunggu (indart, Gamelan: dari Alat Perang Jadi Alat Musik dalam http://www.indomedia.com/bpost/122000/19/ opini/ragam1.htm)
Gamelan Bali kaya akan berjenis-jenis gamelan yang sampai sekarang masih lestari. Berbagai jenis gamelan ini sudah tentu dengan berbagai macam nada dan interval nada yang masing-masing mempunyai ciri kekhasannya. Nada-nada pada gamelan Bali masih tetap digolongkan pada nada pelog dan slendro. Nada pelog seperti yang kita ketahui bersama, dalam satu oktafnya ada yang mempunyai 4 nada, 5 nada, dan tujuh nada. Gamelan-gamelan tersebut misalnya saja gamelan Angklung berlaras Slendro 4 nada, gamelan Gender Wayang berlaras slendro 5 nada, Gamelan Gong Kebyar, Gong Gede berlaras pelog 5 nada, gamelan Smar Pagulingan berlaras pelog 7 nada, gamelan Jegog berlaras pelog 4 nada. Sampai saat ini belum ada gamelan yang berlaras/tangga nada sembilan nada dalam satu oktafnya, sehingga sistem tangga nada sembilan menarik untuk diteliti dan direalisasikan dalam bentuk gamelan.
Banyak seniman seni karawitan di Bali merasa galau dalam mengaktulisasikan kreativitasnya dengan cara menggabungkan dua buah gamelan/karakter laras untuk membentuk rangkaian nada-nada sedemikian rupa menjadi sembilan nada. Penggabungan ini jarang mendapat perhatian pada nilai-nilai estetis seperti nada tumbuk, teknik menabuh, karakter gamelan dan lain sebagainya. Dalam festival Gong Kebyar (lima nada), ada karya yang memaksakan kreativitas menjadi tujuh dan sembilan nada dengan melodi suling tetapi rangka lagunya menggunakan gong Kebyar. Kreativitas ini sebenarnya cukup baik tetapi tanpa menghiraukan nada tumbuk dan karakter nada-nada yang ada.
Salah satu kreativitas tersebut adalah sebuah garapan komposisi musik “Pendro” yang menggabungkan gamelan Gong Kebyar dengan sistem 5 nada satu oktafnya dan gamelan Angklung dengan sistem 4 nada dalam satu oktafnya. Alasan utama dari terciptanya komposisi musik “Pendro”, disamping untuk mengungkapkan sebuah konsep sistem nada dalam lontar Prakempa juga karena alasan nada yang ada pada gamelan Bali hanya baru mencapai 7 nada yaitu pada gamelan Smar Pagulingan. Karya musik “pendro” yang cukup penuh perhitungan dari berbagai sudut pandang dalam menggabungkan nada pelog pada gamelan gong kebyar dan nada slendro pada gamelan Angklung. Menjawab kesulitan dan perkembangan kreativitas seniman karawitan, maka diperlukan sebuah penelitian untuk dapat menjawab kegalauan dan keinginan seniman karawitan dalam berkreasi.