SEORANG BHAGAWAN YANG MENGHARUMKAN NAMA BINOH SEBAGAI DESA ”LEGONG KERATON”
Posted Under: Tulisan
I WAYAN DJIWA
Kehidupan I Wayan Djiwa tidak bisa dipisahkan dari khasanah gambelan palegongan di Bali. Masyarakat khususnya, kalangan pecinta karawitan Bali menyebut suami Ni Made Rampigi ini sebagai begawan gamelan Palegongan dari Binoh. Laki-laki kelahiran Banjar Binoh Kaja, Denpasar tahun 1906 ini juga salah seorang seniman karawitan terbaik yang dimiliki Bali.
Predikat ‘ Begawan ‘ karawitan Bali diperolehnya tentu karena Djiwa telah membentengi dirinya dengan perjalanan berkesenian yang amat panjang. Sejak usia delapan tahun Djiwa, yang akrab dipanggil Pan Berata, sudah mulai belajar menabuh gender. Djiwa memang lahir dari keluarga pengabdi seni. Terbukti, dengan kepiawaian ayahnya, I Wayan Aken, seorang tokoh tari Gambuh ternama pada zamannnya. Hingga mengakhiri masa anak-anak, Djiwa banyak memperoleh ilmu pagenderan gambuh dari ayahnya. Diantaranya Tabuh Pategak (instrumentalia) dan pengiring Legong Keraton di Binoh.
Djiwa pun menjadi seorang penabuh gender muda di banjarnya. Tidak mengherankan ia berani mengiringi berbagai pementasan wayang baik di banjarnya maupun tempat lain. Dalang terkenal I Nyoman Geranyam, asal Sukawati Gianyar selalu menjadi langganan Djiwa, terutama ketika pentas di Binoh. Hebatnya di balik kesibukannya, Djiwa juga terkenal sebagai undagi ( Arsitek tradisional Bali ) yang mumpuni. Profesi terpaksa ditekuni karena ia harus menghidupi diri sendiri sekaligus membantu beban orangtuanya. Maklum penghasilan ayahnya sebagai petani kecil di desa sering tidak mencukupi hidup keluarga. Karenanya, ia sering rajin bekerja sebagai undagi sekaligus memetik ilmu undagi ayahnya, I Nyoman Aken, yang juga seniman ukir terkenal di Binoh.
Dengan dasar penguasaan Tetabuhan Gender, memasuki Tahun 1915 Djiwa mulai menekuni gambelan Legong Keraton yang kebetulan dirintis sejumlah tokoh Banjar Binoh. Kala itu Legong Keraton sangat disukai masyarakat, karena selain berfungsi sebagai hiburan juga kepentingan upacara agama di Pura atau di pamerajan warga banjar. Untuk mematangkan penguasaan legong Keratonnya, sejumlah prajuru (fungsionaris) banjar sepakat melakukan pembinaan tari Legong Keraton dengan mendatangkan Guru tari dari Padangsambian, I Lantur dibantu i Cedet dari Binoh. Pembinaan Legong Keraton ini menjadi kesempatam emas bagi Djiwa untuk menguasai gambelan palegongan.
Dalam tempo relatif singkat, ia bisa menguasai gending Legong kraton klasik, seperti Lasem, Playon, Kuntir, kuntul, Jobog, Goak macok, Ngalap, Base, Kupu Tarum, Telek hingga Semarandana. Selanjutnya ia menguasai gending palegongan jenis sekar Gendot, Liar Samas, jagul, Tambur, Angklung, Gambang, Kebyang, kebyot, Sadagora, Kembang Jenar hingga Candra Kanta serta tabuh bebarongan. Berkat Djiwa juga, maka pada tahun 1928 di Binoh secara resmi berdiri sekaa Legong Keraton serius sebelumnya hanya berupa sekaa ‘darurat’.
Maka jadilah Djiwa, seorang pahlawan gambelan yang disegani di banjarnya. Maklum, berkat jasa seniaman Djiwa inilah nama Binoh makin berkibar dan dikenal dengan Legong Keratonnya, terutama di wilayah Badung. Nama Djiwa pun makin berkibar, bersamaan dengan muncul penari-penari berbakat binaan banjar, antara lain Ni Sempok dan Ni Mibara. Mereka saling bahu-membahu mengharumkan nama Banjar Binoh sebagai ‘ Desa Legong Keraton ‘.