BAYU WIRAWAN (KING JAZZ) MASTERPIECES

FOREVER "KING JAZZ" MASTEPIECING

LAW OF CARTOON (HUKUM FILM KARTUN)

Filed under: KNOWLEDGEMENT,UNIVERSE SCIENCE — Tag: — KING JAZZ (Bayu Wirawan) @ 07.58

Any body suspended in space will remain in space until made aware of its situation.
Daffy Duck steps off a cliff, expecting further pastureland. He loiters in midair, soliloquizing flippantly, until he chances to look down. At this point, the familiar principle of 32 feet per second per second takes over.

Cartoon Law II

Any body in motion will tend to remain in motion until solid matter intervenes suddenly.
Whether shot from a cannon or in hot pursuit on foot, cartoon characters are so absolute in their momentum that only a telephone pole or an outsize boulder retards their forward motion absolutely. Sir Isaac Newton called this sudden termination of motion the stooge’s surcease.

Cartoon Law III

Any body passing through solid matter will leave a perforation conforming to its perimeter.
Also called the silhouette of passage, this phenomenon is the speciality of victims of directed-pressure explosions and of reckless cowards who are so eager to escape that they exit directly through the wall of a house, leaving a cookie-cutout-perfect hole. The threat of skunks or matrimony often catalyzes this reaction.

Cartoon Law IV

The time required for an object to fall twenty stories is greater than or equal to the time it takes for whoever knocked it off the ledge to spiral down twenty flights to attempt to capture it unbroken.
Such an object is inevitably priceless, the attempt to capture it inevitably unsuccessful.

Cartoon Law V

All principles of gravity are negated by fear.
Psychic forces are sufficient in most bodies for a shock to propel them directly away from the earth’s surface. A spooky noise or an adversary’s signature sound will induce motion upward, usually to the cradle of a chandelier, a treetop, or the crest of a flagpole. The feet of a character who is running or the wheels of a speeding auto need never touch the ground, especially when in flight.

Cartoon Law VI

As speed increases, objects can be in several places at once.
This is particularly true of tooth-and-claw fights, in which a character’s head may be glimpsed emerging from the cloud of altercation at several places simultaneously. This effect is common as well among bodies that are spinning or being throttled.

A wacky character has the option of self-replication only at manic high speeds and may ricochet off walls to achieve the velocity required.

Cartoon Law VII

Certain bodies can pass through solid walls painted to resemble tunnel entrances; others cannot.
This trompe l’oeil inconsistency has baffled generations, but at least it is known that whoever paints an entrance on a wall’s surface to trick an opponent will be unable to pursue him into this theoretical space.

The painter is flattened against the wall when he attempts to follow into the painting. This is ultimately a problem of art, not of science.

Cartoon Law VIII

Any violent rearrangement of feline matter is impermanent.
Cartoon cats possess even more deaths than the traditional nine lives might comfortably afford. They can be decimated, spliced, splayed, accordion-pleated, spindled, or disassembled, but they cannot be destroyed. After a few moments of blinking self pity, they reinflate, elongate, snap back, or solidify.

Corollary:

A cat will assume the shape of its container.
Cartoon Law IX

Everything falls faster than an anvil.
Cartoon Law X

For every vengeance there is an equal and opposite revengeance.
This is the one law of animated cartoon motion that also applies to the physical world at large. For that reason, we need the relief of watching it happen to a duck instead.

Cartoon Law Amendment A

A sharp object will always propel a character upward.
When poked (usually in the buttocks) with a sharp object (usually a pin), a character will defy gravity by shooting straight up, with great velocity.

Cartoon Law Amendment B

The laws of object permanence are nullified for “cool” characters.
Characters who are intended to be “cool” can make previously nonexistent objects appear from behind their backs at will. For instance, the Road Runner can materialize signs to express himself without speaking.

Cartoon Law Amendment C

Explosive weapons cannot cause fatal injuries.
They merely turn characters temporarily black and smokey.

Cartoon Law Amendment D

Gravity is transmitted by slow-moving waves of large wavelengths.
Their operation can be wittnessed by observing the behavior of a canine suspended over a large vertical drop. Its feet will begin to fall first, causing its legs to stretch. As the wave reaches its torso, that part will begin to fall, causing the neck to strech. As the head begins to fall, tension is released and the canine will resume its regular proportions until such time as it strikes the ground.

Cartoon Law Amendment Eimagine C-spaces where all matter and energy result from primal masses of dynamite exploding. A big bang indeed.

Comments (108)


Minds | The True Science of Parallel Universes

Filed under: KNOWLEDGEMENT,PENEMUAN,UNIVERSE SCIENCE — Tag: — KING JAZZ (Bayu Wirawan) @ 01.01

The best parallel universe explanation ever.

melaluiMinds | The True Science of Parallel Universes.

Comments (52)


Minds | Parallel Universes: Many Worlds

Filed under: KNOWLEDGEMENT,PENEMUAN — KING JAZZ (Bayu Wirawan) @ 00.54

It is possible that every possibility is existing in a universe of its own, and that these universes are existing at every possible change.

Non-Equilibrium Pilot Wave model: http://arxiv.org/pdf/0811.0810.pdf AND http://arxiv.org/pdf/1001.2758.pdf

Real Ensemble Interpretation: http://arxiv.org/pdf/1104.2822.pdf

melaluiMinds | Parallel Universes: Many Worlds.

Comments (17)


“BUDAYA KEKERASAN” DI DALAM MASYARAKAT

Filed under: KNOWLEDGEMENT,TUGAS-TUGAS KULIAH (ASSIGNMENTS) — Tag: — KING JAZZ (Bayu Wirawan) @ 18.53

Dalam Rangka Memenuhi Tugas Semester 1 Mata Kuliah Antropologi Budaya

Nama: BAYU WIRAWAN

NIM: 2012 02 058

Jurusan: Fakultas Seni Pertunjukan – Seni Karawitan ISI Denpasar – Bali Angkatan 2012

Thema:

 

“BUDAYA KEKERASAN” DI DALAM MASYARAKAT

 

 

PENDAHULUAN

Di era sekarang, dimana-mana terjadi kekerasan. Seolah sudah menjadi kewajaran umum kekerasan digunakan menyelesaikan masalah gesekan-gesekan sosial. Kekerasan secara umum dipahami sebagai tindakan, perilaku, atau keadaan sosial yang mengakibatkan orang atau kelompok lain menderita, sengsara, terluka, bahkan meninggal dunia, selalu dipandang sebagai tindakan atau perbuatan tidak bermoral, tidak tidak manusiawi, dan merusak basis kehidupan manusia. Sedangkan budaya merupakan sebuah proses dan hasil karya rohani manusia menjadi lebih baik (manusiawi). Keduanya sama-sama telah menjadi bagian dari sejarah manusia sampai saat ini. Lantas pertanyaanya, bagaimana bisa kedua kata yang bertolak belakang maknanya tersebut kerap dijadikan satu menjadi “budaya kekerasan”?

 

Menurut Prof. Dawam Raharjo, istilah “budaya kekerasan” adalah sebuah contradiction in terminis. Agaknya istilah itu semula berasal dari ucapan menyindir bahwa “kekerasan telah membudaya”. Maksudnya adalah bahwa kekerasan telah menjadi perilaku umum. Frekuensi pemberitaannya di media massa mempertegas bahwa gejolaknya sangat nampak dalam masyarakat. Tindak kekerasan yang umum terjadi bisa dilakukan secara individual maupun secara kolektif atau bersama-sama. Kekerasan yang dilakukan secara kolektif lebih berbahaya dibandingkan kekerasan yang dilakukan secara individual. Karena selain jumlah pelakunya lebih banyak, juga karena efek yang ditimbulkan lebih destruktif. Tren tindak kekerasan yang dilakukan secara kolektif yang paling menonjol saat adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

 

PERMASALAHAN “BUDAYA KEKERASAN” – “KEKERASAN YANG MEMBUDAYA”

Masih jelas diingatan kita tentang pertikaian berdarah antara Satpol PP dengan warga di daerah Jakarta Utara. Kekerasan yang memakan korban aparat dan warga kembali jadi pilihan saat sekitar 2.000 polisi pamong praja mencoba menggusur kompleks makam Mbah Priok, di Jakarta Utara. Permasalahan ini seharusnya bisa diselesaikan dengan “kepala dingin”. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya  Tindakan represif ditunjukan oleh kedua belah pihak ini mengakibatkan jatuhnya tiga orang korban jiwa di pihak Satpol PP. Sehari sebelumnya kerusuhan juga pecah saat Satpol PP Kota Tangerang menggusur pemukiman warga Cina Benteng, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari (TEMPO Interaktif,15/4/2010).

 

Tindak kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP merupakan sebuah tragedi yang patut kita sayangkan. Bagaimana tidak, tragedi tersebut dilakukan oleh pihak yang paling berkuasa, yaitu negara. Inilah yang menghasilkan apa yang disebut sebagai kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang digunakan oleh struktur kekuasaan yang dapat berupa aparat, tentara, pemerintah, dan atau birokrasi. Peradaban moderen memang secara de jure dan de facto memberi wewenang kepada negara sebagai satu-satunya institusi yang memiliki legitimasi melakukan kekerasan. Padahal kekerasan adalah tetap kekerasan yang memiliki unsur pemaksaan, destruksi, dan pengingkaran sebagian atau seluruh kebebasan, dan tidak menjadi soal siapa pelakunya. Bentuk-bentuk kekerasan ini antara lain, beating, (arbritrarily) killing, illegal detention, robbing, (systematic) raping, assaults on civilian, forced relocation, torturing, indiscriminate use of weapon, isolation, stigmatization, blocking acces, dan election fraud. Apa yang dilakukan oleh Satpol PP di dua contoh kasus diatas bisa dikategorikan penggunaan kekerasan kepada masyarakat sipil (assaults on civilian), dan relokasi secara paksa (forced relocation).

 

Sebenarnya tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparatur negara ini (Satpol PP) merupakan sedikit contoh dari “dosa-dosa” yang telah pemerintah lakukan sebelumnya. Dengan kilah penggunaan kekerasan sebagai alat pemeliharaan tertib sosial (order), pemerintah melakukan tindakan represif kepada pihak-pihak yang dianggap mengganggu ketertiban atau membahayakan stabilitas negara. Sejarah mengungkapkan bahwa pemerintahan ini dibesarkan dalam “budaya kekerasan”.  Tercatat peristiwa Madiun (1948), DI/TII (1960), PRRI/Permesta (1960), Peristiwa Aksi Sepihak (1964), Peristiwa G-30-S (1965), Pembunuhan Massal pasca G-30-S (1965-1966), Pemenjaraan, Penyiksaan, pembuangan massal pasca G-30-S (1966-1980), Pemenjaraan, Penyiksaan Kyai (1971), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Peristiwa Talangsari (1989), Peristiwa Kudatuli (1996), Peristiwa Mei, Trisakti, Semanggi, Dukun Santet (1998), DOM Aceh (1980-2000), dan Tragedi Monas (2008) ditorehkan dalam lembar sejarah kelam bangsa ini. Jadi apa yang dilakukan oleh aparat pemerintah saat ini merupakan “warisan budaya kekerasan” dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Sungguh ironis melihat sebuah pemerintahan yang terbiasa menggunakan pendekatan kekerasan dengan warga negaranya sendiri. Terlebih apabila pendekatan tersebut tidak berani ditunjukan ketika berbicara mengenai kedaulatannya dihadapan bangsa lain yang jelas-jelas melecehkan harkat dan martabat bangsa ini.

 

Karena berlangsung secara terus menerus dan setiap saat maka manusia menjadi tidak peka bahkan menjadi mati rasa terhadap gejala kekerasan. Tindakan-tindakan kekerasan kemudian akan dianggap suatu kewajaran. Ketidakpercayaan yang timbul akibat tindakan oknum aparatur Negara, juga menciptakan rasa tidak aman di sebagian kalangan masyarakat. Rasa aman yang semestinya dijamin oleh pemerintah ternyata tidak didapatkan. Ini menjadi salah satu faktor mengapa masyarakat kemudian merasa perlu untuk menjaga diri, Bentuk perlindungan yang dapat dilakukan bisa berupa bergabung dalam suatu wadah komunitas, seperti organisasi kemasyarakatan (ormas).

 

Hakikat kehadiran organisasi kemasyarakatan (ormas) merupakan perwujudan kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 UUD 1945. Peran dan fungsinya lebih gamblang lagi dinyatakan dalam UU Nomor 8 Tahun 1985. Di dalam UU itu disebutkan salah satu fungsi ormas, yakni wadah penyalur kegiatan sesuai kepentingan anggotanya. Kepentingan disini salah satunya adalah jaminan keamanan. Tetapi pada kenyataannya, stigma kekerasan dan anarkis yang justru  dominan muncul. Pemberitaan media massa mengenai tindak anarkis yang dilakukan ormas umum didengar. Menurut Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri mengakui, kekerasan yang dilakukan ormas meningkat. Sepuluh kasus terjadi tahun 2007 dan turun menjadi delapan kasus pada tahun 2008. Pada tahun 2009, jumlah itu melonjak menjadi 40 kasus. Tahun 2010,tindak kekerasan yang dilakukan ormas sudah mencapai 49 kasus. Contoh kasus kekerasan yang dilakukan oleh ormas yang santer terdengar  antara lain adalah pertikaian  perebutan wilayah kekuasaan oleh FBR dan Forkabi, pengerusakan properti dan intimidasi yang dilakukan oleh FPI, dan masih banyak lagi. Intimidasi, penyerangan, dan kekerasan yang acap dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain seolah telah menjadi trademark ormas-ormas tertentu. Citra keras yang kerap dipertontonkan sebenarnya justru berefek buruk terhadap ormas itu. Simpati masyarakat yang diharapkan, tidak  terebut. Yang timbul justru rasa resah. Keresahan tersebut dipicu oleh kekhawatiran tindakan kekerasan yang kerap ditunjukkan.

 

Memang, citra yang terbentuk akibat dari tindakan dan kegiatan ormas yang mengusung agama, etnis, ideologi, hingga partai politik tertentu lekat dengan kekerasan, Hal ini membuat ormas  tersebut lama-kelamaan kurang mendapat simpati khalayak. Namun, beragam jenis ormas lain justru dinilai penting keberadaannya. Keberadaan berbagai ormas keagamaan, baik yang merangkul umat Islam, Kristen, Katolik, Buddha, maupun Hindu, masih dinilai sangat positif oleh masyarakat. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga ditunjukkan terhadap keberadaan ormas yang berkecimpung dalam bidang-bidang kepemudaan, dinilai bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. Di antara berbagai bidang ormas, penilaian terbesar kalangan masyarakat ditujukan terhadap peran ormas berbasis profesi, seperti profesi kedokteran, wartawan, dan profesi lain (Litbang Kompas, 2010).

 

FEEDBACKING DARI MASYARAKAT

Disadari atau tidak, kekerasan yang dilakukan oleh kedua elemen (yang semestinya) pendukung bangsa ini saling berkaitan. Pemerintah dalam hal ini Satpol PP yang “terbiasa” melakukan pendekatan kekerasan dengan dalih dalam melakukan usaha penertiban, telah memberikan legalitas untuk suatu bentuk kekerasan kepada masyarakat. Dan respon yang sama ditunjukan oleh masyarakat dengan berafiliasi kedalam ormas, yang tidak jarang juga menerapkan kultur kekerasan dalam prakteknya. Padahal hakikat keduanya dibentuk adalah untuk sama-sama berperan aktif dalam memajukan, membangun dan menjaga keamanan serta ketertiban bangsa. Apabila merujuk kepada apa yang dikatakan Lorenz (1966) yang menyebutkan bahwa manusia itu sebenarnya memiliki naluri (instinct) yang bersifat pembawaan (innate) yang senantiasa mencari kesempatan untuk tercetus/terlaksa dengan manifestasinya berupa tindak kekerasan. Maka kekerasan tersebut mungkin bisa dianggap wajar. Tetapi perlu kita sadari bahwa naluri tersebut bisa kita kendalikan. Inilah yang membedakan kita dengan hewan.

 

Akhirnya sebuah kata-kata bijak yang diungkapkan oleh Amstutz, “Ingatan bagi korban kekerasan masa lalu bukan hanya sekedar rekaman sebuah peristiwa, melainkan juga bentuk penagihan atas masa lalu yang pernah dideritanya sangat diperlukan untuk mendudukkan persoalan pada tempatnya untuk memulai hidup baru yang terbebas dari dendam sejarah”. Ingatan akan hal ini perlu disampaikan kepada generasi selanjutnya agar mereka dapat belajar untuk memahami derita akibat kekerasan yang menimpa orang lain. Berlapang dada memaafkan masa lalu, dan berupaya memutus kekerasan dengan menciptakan peradaban yang anti kekerasan adalah salah satu cara yang dapat kita tempuh.

 

 

MEMAHAMI INDIVIDU MANUSIA YANG MELAKUKAN “BUDAYA KEKERASAN” – TINJAUAN SECARA PSIKOLOGIS

Akhir-akhir ini kita sering melihat fenomena perilaku masyarakat kita yang anarkis dalam pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Budaya kekerasan tampaknya tidak pernah berhenti dari masyarakat kita akhir-akhir ini. Penyelesaian masalah dengan mengedepankan kekerasan ketimbang musyawarah sebagai ciri bangsa beradab semakin marak. Adakah perubahan karakter jati diri bangsa ini yang terkenal dengan keramahan dan kesantunannya? Layak untuk dipikirkan kemungkinan bergesernya karakter bangsa ini. Ada dua faktor utama yang merupakan dua faktor faktor penyebab terjadinya anarkisme.

 

1.    Faktor Internal

Salah satu faktor yang amat mempengaruhi peubahan karakter masyarakat yang cenderung anarkis yakni faktor dari dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini anarkisme sebenarnya tidak murni hasil sumbangan budaya barat yang tidak mengenal sopan santun, namun juga sebenarnya telah berkembang dimasyarakat kita sejak zaman kerajaan atau pra-kolonial. Kita dapat mengambil contoh perang suku di Papua yang disinyalir menjadi ritual wajib dalam kebudayaan masyarakat sana. Adapun secara kultural, kita dapat mengkaji bahwa, anarkisme awalnya terbentuk dari sebuah gesekan antar suku, namun seiring dengan pola kultural yang berlaku di masyarakat papua tersebut, hal itu telah menjadi sebuah kebiasaan yang terus menerus dilakukan yang akhirnya menciptakan sebuah budaya baru. Yakni budaya kekerasan yang terjadi di kalangan masyarakat papua. Dari contoh tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa budaya kekerasan sendiri sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat kita sebagai sisi lain dari budaya ramah tamah yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia pada umunya.

 

2.    Faktor Eksternal

Globalisiasi. Sebuah kata kunci untuk mengambarkan bagaimana sebenarnya pergerseran budaya menjadi faktor eksternal dari perilaku anarkis yang selama ini terjadi. Faktor internal telah menjadi fondasi dasar atas perilaku anarkis yang berkembang di masyarakat. Disamping itu, globalisasi telah menyusupkan sebuah virus negatif sebagai sisi lain dari kemajuan zaman yang ia gaungkan. Dalam hal ini, budaya barat sebenarnya tidak murni mengharapkan terjadinya pergeseran budaya dimasyarakat kita. Namun proses filterisasi atau pemaknaan yang salah atas budaya barat yang masuk ke budaya kita menyebabkan terjadinya akulturasi yang tidak sempurna, bahkan menjurus negatif. Sebagai contoh ketika Budaya Sosialisme yang disalah artikan oleh Lenin menjadi sebuah Komunisme-Leninisme. Dalam hal tersebut, sebenarnya Sosialisme yang digambarkan oleh Marx adalah sebuah Kesetaraan Sosial. Namun oleh Lenin diubah sebagai cara untuk menyetarakan masyarakat dengan jalan apapun, termasuk anarkisme. Dalam kaitannya dengan masyarakat kita, hal tersebut juga terjadi dalam proses akulurasi budaya barat dengan budaya kita. Kebanyakan masyarakat hanya mengambil kesimpulan dangkal atas suatu paham dari budaya barat, tanpa menyaring budaya tersebut agar dapat sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat kita.

 

Dari kedua faktor tersebut dapat kita simpulkan bahwa anarkisme yang terjadi dimasyarakat kita saat ini didasari oleh budaya kekerasan yang ada didalam masyarakat kita dan kemudian diperlengkap oleh pergeseran budaya oleh karena proses akuluturasi yang tidak sempurna atau dapat dikatakan sebagai efek negatif dari globalisasi. Dengan menanamkan kembali nilai-nilai ketimuran dari budaya kita semenjak usia dini (masa sekolah), sekiranya dapat mengurangi sedikit demi sedikit budaya kekerasan yang terjadi dimasyarakat kita saat ini. Selain itu pentingnya pengawasan dalam proses akulurasi budaya barat, misal dalam dunia penyiaran, KPI berhak menseleksi tayangan dari luar yang tepat bagi masyarakat kita sebagai langkah filterisasi budaya barat agar tercipta akuluturasi yang positif. Jika kedua hal tersebut dapat direalisasikan, maka secara bertahap anarkisme akan berkurang dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

 

Pengetahuan Sejarah “Budaya Kekerasan” – “Warisan” Kekerasan Yang Membudaya

Berbicara mengenai kekerasan berarti juga berbicara mengenai salah satu tingkah laku primitif manusia yang masih langgeng sampai sekarang. Perilaku kekerasan sudah setua usia peradaban manusia. Kitab suci jelas menunjukkan kekerasan yang dilakukan oleh Kain terhadap Habil. Hanya karena iri, sang kakak rela melakukan tindakan pembunuhan terhadap adiknya.

 

 

Kekerasan juga terjadi di mana-mana. Selain melintasi dimensi waktu seperti tersebut di atas, kekerasan juga melintasi batas-batas wilayah, bahkan suku dan agama sekalipun. Kekerasan terjadi pada lingkup yang paling kecil sampai dengan wilayah yang sangat luas. Kekerasan dalam keluarga merupakan contoh lingkup kekerasan yang paling kecil. Suami melakukan kekerasan terhadap istri dan atau anak-anaknya. Istri melakukan kekerasan terhadap anak-anak dan seterusnya. Pada kontinum yang paling luas tindak kekerasan berujud peperangan antar negara bahkan antar beberapa negara (perang dunia) sampai pada Genocide, pembantaian suatu suku/ras oleh suku/ras lainnya seperti yang dilakukan oleh Nazi Jerman terhadap Yahudi atau pada penduduk Bosnia oleh tentara Serbia.

 

Sejarah mencatat, kekerasan yang paling kejam dan brutal serta tidak berperikemanusiaan sering kali dilakukan atas nama agama. Sejarah gereja membuktikan hal tersebut. Bagaimana gereja (Roma Katolik) waktu itu mengejar-kejar pengikut Martin Luther untuk disiksa dan dibunuh (lidah dipotong, menggunakan alat-alat penyiksaan yang sangat kejam seperti alat untuk menarik tulang, dibakar, diterjunkan ke sungai dengan diberi pemberat dan lain sebagainya). Namun nampaknya kekerasan yang dilakukan oleh gereja Roma Katolik tidak memberikan pelajaran bagi pengikut Protestan kemudian. Mereka pun melakukan hal yang sama terhadap kelompok yang kemudian dinamai dengan gerakan Anabaptis (Pembaptisan Ulang) yang sekarang dikenal sebagai kelompok Mennonite. Kita masih bisa menyaksikan kekerasan yang dilakukan gereja di saat ini di negeri ini pada kelompok yang dikenal sebagai Sekte Hari Kiamat.

 

Terakhir, kekerasan juga bisa dilihat dalam bentuk aksi-aksi teror yang sekarang ini menghantui seluruh dunia. Terorisme yang paling jahat dan brutal justru bila dilakukan atas nama agama/keyakinan tertentu. Kalau kita menyaksikan di media, pelakunya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan terhadap aksi yang telah dilakukannya. Bahkan mereka nampak puas dan bahagia. Bagi mereka, itu adalah cara mereka untuk berbakti kepada Tuhan, yaitu menumpas kebatilan dan penyesatan yang terjadi. Ini mirip bukan dengan slogan-slogan yang dilakukan oleh setiap kelompok agama untuk memusuhi kelompok lain? (Ingat apa yang dilakukan oleh kaum Farisi dan Ahli Taurat terhadap Yesus dan ajarannya yang dianggap “menyimpang”).

Fenomena kekerasan seperti yang diuraikan di atas, kiranya menjadi contoh yang jelas mengenai kekerasan yang mewarnai kehidupan manusia. Pertanyaannya adalah mengapa kekerasan begitu lekat dalam kehidupan manusia?

 

Akar Kekerasan

Kalau kita menganalogkan penyebab kekerasan dengan istilah “akar”, itu berarti merujuk pada sesuatu yang ada di bawah permukaan, dengan tingkah laku kekerasan sebagai sesuatu yang dimunculkan/dinampakkan. Akar berarti bahwa penyebab kekerasan itu sebenarnya tidak nampak, sedangkan kekerasan itu merupakan pohon atau bahkan buah dari yang tidak nampak tersebut.

 

Dulu banyak yang mengira bahwa kekerasan terjadi disebabkan oleh masalah tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi seseorang yang rendah. Namun sekarang ini semakin disadari bahwa tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi seringkali hanyalah sebagai faktor pencetus/pemicu saja. Ini terbukti dengan semakin ditemukannya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi serta status sosial ekonomi yang mapan.

 

Ada beberapa akar penyebab terjadinya perilaku kekerasan. Pertama adalah adanya frustrasi yang dialami oleh pelaku tindak kekerasan. Frustrasi dialami bila tujuan yang ingin dicapai dihalang-halangi sehingga yang bersangkutan gagal mencapai tujuannya. Faktor frustrasilah yang menjadi salah satu sumber mengapa mereka yang berpendidikan dan status sosial ekonomi rendah lebih rentan melakukan tindak kekerasan. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme di satu sisi sedangkan mereka hanya memiliki sumber daya yang sangat terbatas pada sisi yang lain akan mudah sekali menimbulkan frustrasi.

 

Reaksi terhadap frustrasi umumnya ada tiga macam. Pertama adalah menghindari situasi yang menyebabkan frustrasi tersebut. Kedua dengan tingkah laku apati dan ketiga adalah dengan melakukan tingkah laku agresi. Biasanya keputusan untuk menggunakan salah satu dari ketiga reaksi tersebut didasarkan pada pertimbangan apakah pelaku merasa dirinya lemah/minoritas ataukah kuat/berkuasa/mayoritas. Bila dia merasa lemah, dia akan mengambil keputusan untuk melakukan tingkah laku menghindar terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi. Bila situasi tersebut ternyata tidak bisa lagi dihindari, maka reaksi apati menjadi pilihan yang terakhir. Sebaliknya bila pelaku merasa dirinya lebih kuat, dia akan melakukan tindakan agresi terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi.

 

Akar kekerasan kedua adalah adanya pengalaman abuse yang dialami pada masa kecil. Ini terutama karena budaya pengasuhan kita umumnya mengijinkan tindakan kekerasan dilakukan terhadap anak. Anak yang mengalami pengasuhan dengan pola kekerasan, pada saat besar nanti juga akan mudah sekali melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, meskipun sebenarnya dia tidak menyukainya. Ini terjadi begitu saja, baik pelakunya suka ataupun tidak suka. Dengan kata lain, korban abuse pada waktu kecil sangat berpotensi untuk menjadi abuser juga ketika dia dewasa.

 

Akar kekerasan ketiga adalah karena faktor kepribadian. Pada gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan kepribadian. Salah satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola agresif. Orang yang mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini dicirikan dengan tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif bila keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang menyebabkannya menjadi frustrasi. Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga terjadi karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah kepribadian yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya. Kepribadian status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda dengan kepribadian asli dari orang yang bersangkutan. Peristiwa kekerasan yang menimpa para mahasiswa STPDN oleh seniornya adalah contoh dari kepribadian status tersebut. Pada kehidupan sehari-hari mungkin para mahasiswa yang melakukan tindak kekerasan tidak pernah ditemui melakukan hal yang sama kepada orang lain. Status sebagai senior menyebabkannya berperilaku keras terhadap yuniornya.

 

Pandangan Psikoanalisa Terhadap Kekerasan

Bicara mengenai kekerasan dari sudut pandang psikologi, rasanya tak lengkap bila tidak meninjaunya dari teori psikoanalisa yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Sigmund Freud merupakan salah satu Bapak Psikologi yang sumbangan pemikirannya pada Bidang Psikologi (dan bahkan pada bidang lain) sangatlah besar, terlepas dari segala kontroversi yang dinyatakannya dalam bidang agama.

Menurut Teori Psikoanalisa, struktur jiwa manusia dibagi menjadi tiga, yaitu Super Ego, Ego dan Id. Super Ego bekerja berdasarkan prinsip ideal (yang seharusnya). Isi Super Ego adalah segala perintah dan larangan yang dibatinkan (internalisasi) dari orang tua dan tokoh-tokoh yang berkuasa (juga ajaran agama) bagi si anak. Ego bekerja berdasarkan prinsip realita. Egolah yang terutama menggerakkan perilaku sadar individu. Sedangkan id bekerja berdasarkan prinsip kenikmatan/kesenangan. Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki ego yang kuat sehingga mampu mengontrol dorongan yang berasal dari id maupun Super Egonya.

 

Pandangan Dorongan Dasar Manusia – Instingtif.

Pada dasarnya perilaku manusia digerakkan oleh dua dorongan dasar, yaitu dorongan untuk hidup (eros) dan dorongan untuk mati (thanatos). Dorongan untuk hidup kemudian oleh Freud dispesifikkan pada dorongan seks (libido) sebagai intinya. Ini disebabkan karena Freud melihat berdasarkan pengalaman prakteknya, banyak pasien yang mengalami gangguan mental disebabkan mereka tidak mampu mengekspresikan dorongan seks mereka secara wajar. Libido ini yang mengisi energi pada id.

 

Pada bagian lain, energi Super Ego berasal dari thanatos. Itulah sebabnya mengapa orang yang Super Egonya kuat dan mendominasi kepribadiannya, mudah diliputi kecemasan dan rasa bersalah yang pada akhirnya membuat individu diliputi perasaan putus asa dan depresi (bahkan keinginan untuk bunuh diri). Ini terjadi karena energi thanatos diarahkan kepada diri sendiri. Sedangkan bila energi thanatos diarahkan ke luar, ini akan muncul dalam bentuk perilaku agresi yang bersifat destruktif termasuk di dalamnya rupa-rupa tindak kekerasan.

 

Berdasarkan pandangan psikoanalisa tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya dorongan untuk melakukan tindak kekerasan memang sudah menjadi sifat dasar manusia (bawaan). Semua manusia berpotensi (tanpa kecuali) untuk melakukan tindak kekerasan (entah terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain).

 

Pandangan Behaviorisme Terhadap Kekerasan.

Berbeda dengan psikoanalisa, behaviorisme berpendapat bahwa kekerasan disebabkan dari hasil belajar. Manusia akan cenderung mengulangi tingkah laku yang menguntungkan dirinya sehingga tingkah laku tersebut akhirnya menjadi sifat dirinya. Orang yang berbadan kekar cenderung akan melakukan tindakan agresif karena tindakan tersebut lebih banyak menguntungkan dirinya (orang lain yang badannya kecil akan kalah dengannya). Di sini berlaku prinsip penguatan (reinforcement).

 

Tingkah laku juga terjadi karena adanya modelling (belajar meniru). Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, tetangga, media) menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan meniru tindakan kekerasan tersebut.Jadi, Behaviorisme melihat bahwa perilaku kekerasan terjadi karena memang perlilaku tersebut membawa konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi individu pelakunya serta karena memang lingkungan menyediakan model-model untuk melakukannya.

 

KESIMPULAN

Kurangnya seorang individu mengalami. ”Satisfication, Fulfillment, And Meaning”.

Satisfaction; kepuasan atas pencapaian suatu tujuan, prestasi. Berhubungan dengan miskinnya tantangan, miskin life skill (ketrampilan hidu). Berhubungan dengan pelatihan ketrampilan sebagai pemenuhan kebutuhan berekspresi, mengaktualisasikan hidupnya bagi sesuatu yang dimilikinya berupa bakat / talenta. Menjadikannya merasa memiliki eksistensi diri yang diakui. Kegiatan yang mengkondisikan dirinya mengalami pengakuan dalam menemukan jati diri.

Fulfillment: kondisi kurangnya pengisian diri. Wawasan, dan ilmu pengetahuan. Kegiatan yang menuntun dirinya memperoleh pemahaman dan pencerahan.

Meaning; kurangnya pengalaman rasa berarti bagi yang lain. Membuat seseorang terstimulasi melakukan perbuatan yang bersifat melayani yang menimbulkan dan membangkitkan perasaan bahwa dirinya betapa berarti bagi yang lain.

 

Pentingnya seorang individu mengalami pengalaman ”Satisfication, Fulfillment, And Meaning”sejak usia dini, sehingga pikiran dan kejiwaannya terprogram dengan bijaksana, berada pada kewajaran moralitas dan nilai-nilai hidup yang benar secara moral social budaya setempat. Salah satunya adalah penanaman norma nilai dan moral dalam system pendidikan usia dini.

 

Solusi (Pemecahan Masalah Dari Akar Sang Pelaku Budaya (Catatan Kecil Pengamatan Ringan))

Dengan adanya pembahasan dari berbagai bidang keahlian untuk menjawab fenomena “Budaya Kekerasan” yang sudah membudaya dalam masyarakat Indonesia, maka secara definitive, bisa diterapkan teknik-teknik penanaman pola-pola rumusan sebagai antisipasi pada generasi-generasi muda Indonesia sejak dini.

 

Anak merupakan investasi yang sangat penting bagi penyiapan sumber daya manusia (SDM) di masa depan. Dalam rangka mempersiapakan SDM yang berkualitas untuk masa depan, pendidikan merupakan salah satu hal yang penting untuk diberikan sejak usia dini. Pendidikan merupakan investasi masa depan yang diyakini dapat memperbaiki kehidupan suatu bangsa. Memberikan perhatian yang lebih kepada anak usia dini untuk mendapatkan pendidikan, merupakan salah satu

langkah yang tepat untuk menyiapkan generasi unggul yang akan meneruskan perjuangan bangsa.

Usia dini merupakan masa keemasan (golden age) yang hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia. Masa ini sekaligus merupakan masa yang kritis dalam perkembangan anak. Jika pada masa ini anak kurang mendapat perhatian dalam hal pendidikan, perawatan, pengasuhan dan layanan kesehatan serta kebutuhan gizinya dikhawatirkan anak tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Salah  satu bagian penting yang harus mendapatkan perhatian terkait

dengan pendidikan yang diberikan sejak usia dini adalah penanaman nilai moral melalui pendidikan di Taman Kanak-kanak. Pendidikan nilai dan moral yang dilakukan sejak usia dini, diharapkan pada tahap perkembangan selanjutnya anak

akan mampu membedakan baik buruk, benar salah, sehingga ia dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu akan berpengaruh pada mudah tidaknya anak diterima oleh masyarakat sekitarnya dalam hal bersosialisasi.

Pendidikan nilai dan moral sejak usia dini merupakan tanggungjawab bersama semua pihak. Salah satu lembaga pendidikan yang dapat melakukan hal itu adalah Taman Kanak-kanak (TK) yang merupakan salah satu lembaga. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang bersifat formal. Di samping masih banyak lembaga PAUD lain yang dapat digunakan sebagai tempat penanaman nilai moral seperti: Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitiapan Anak (TPA),

pendidikan keluarga, dan pendidikan lingkungan. 3 Anak TK adalah anak yang sedang dalam tahap perkembangan pra

operasional kongkrit, sedangkan nilai-nilai moral merupakan konsep-konsep yang abstrak, sehingga dalam hal ini anak belum dapat dengan serta merta menerima apa yang diajarkan guru atau orang tua yang sifatnya abstrak secara cepat. Untuk

itulah guru atau pendidik di TK harus pandai dalam memilih dan menentukan metode yang akan digunakan untuk menanamkan nilai moral kepada anak agar pesan moral yang ingin disampaikan guru dapat benar-benar sampai dan dipahami

oleh anak untuk bekal kehidupannya di masa depan. Pemahaman yang dimiliki guru atau pendidik akan mempengaruhi keberhasilan penanaman nilai moral secara optimal.

Nilai dan moral merupakan dua kata yang seringkali digunakan secara bersamaan.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta (2007: 801) dinyatakan bahwa nilai adalah harga, hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Menurut I Wayan Koyan (2000 :12), nilai adalah segala sesuatu yang berharga. Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang,

sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan seharihari. Menurut Richard Merill dalam I Wayan Koyan (2000 : 13) nilai adalah patokan atau standar yang dapat membimbing seseorang atau kelompok ke arah

”satisfication, fulfillment, and meaning”.

Pendidikan nilai dapat disampaikan dengan metode langsung atau tidak langsung. Metode langsung mulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik sebagai upaya indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya dengan memusatkan perhatian secara langsung pada ajaran tersebut melalui mendiskusikan, mengilustrasikan, menghafalkan, dan mengucapkannya. Metode tidak langsung

tidak dimulai dengan menentukan perilaku yang diinginkan tetapi dengan menciptakan situasi yang memungkinkan perilaku yang baik dapat dipraktikkan.

Keseluruhan pengalaman di sekolah dimanfaatkan untuk mengembangkan perilaku yang baik bagi anak didik (Darmiyati Zuchdi, 2003: 4).Kirschenbaum (1995: 7) mengemukakan bahwa pendidikan nilai yang dilakukan tidak hanya menggunakan strategi tunggal saja, seperti melalui 4 indoktrinasi, melainkan harus dilakukan secara komprehensif. Strategi tunggal

dalam pendidikan nilai sudah tidak cocok lagi apalagi yang bernuansa indoktrinasi. Pemberian teladan atau contoh juga kurang efektif diterapkan, karena sulitnya menentukan siapa yang paling tepat untuk dijadikan teladan. Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan nilai mencakup berbagai aspek. Komprehensif meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan nilai, metode yang digunakan juga harus komprehensif, pendidikan nilai hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan, dan pendidikan nilai hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam masyarakat.

Adapun pengertian moral menurut K. Prent (Soenarjati, 1989: 25) berasal dari bahasa latin mores, dari suku kata mos  yang artinya adat istiadat, kelakuan, watak, tabiat, akhlak. Dalam perkembangannya moral diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, yang susila. Dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa moral adalah berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dapat dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah

moral yang ada. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidahkaidah yang ada, maka ia akan dikatakan jelek secara moral.

Marthin L. Hoffman (William M. Kurtines, 1992: 470) mengemukakan bahwa kepekaan seseorang mengenai kesejahteraan dan hak orang lain merupakan pokok persoalan ranah moral. Kepekaan tersebut mungkin tercermin dalam kepedulian seseorang akan konsekuensi tindakannya bagi orang lain, dan dalam orientasinya terhadap pemilikan bersama serta pengalokasian sumber pada umumnya. Ketika anak-anak berhadapan pada pertentangan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka diharapkan teori developmental dapat mengatasinya. Dengan kata lain, teori ini memusatkan perhatian secara khusus pada bagaimana cara anak-anak menghadapi pertentangan tersebut. Selain itu, proses yang mereka lakukan dalam menyelesaikan permasalahan moral dapat untuk memotivasi agar memperhatikan kepentingan orang lain dan kecenderungan untuk merasa tidak senang manakala mereka tidak memperhatikan kepentingan orang lain.5 Pendidikan untuk anak usia dini (0-8 tahun) merupakan pendidikan yang memiliki karakteristik berbeda dengan anak usia lain, sehingga pendidikannya

pun perlu dipandang sebagai sesuatu yang dikhususkan. Pendidikan anak usia dini di negara-negara maju mendapat perhatian yang luar biasa. Karena pada dasarnya pengembangan manusia akan lebih mudah dilakukan pada usia dini. Bahkan ada

yang berpendapat bahwa usia dini merupakan usia emas (golden age) yang hanya terjadi sekali selama kehidupan seorang manusia. Apabila usia dini tidak dimanfaatkan dengan menerapkan pendidikan dan penanaman nilai serta sikap yang baik tentunya kelak ketika ia dewasa nilai-nilai moral yang berkembang juga nilai-nilai moral yang kurang baik. Oleh karena itu pendidikan anak usia dini adalah investasi yang sangat mahal harganya bagi keluarga dan juga bangsa.

 

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa metode yang dipakai dalam menanamkan nilai moral kepada siswanya adalah sebagai berikut: bercerita, bernyanyi, karyawisata, syair, bermain,  outbond,  bermain peran, diskusi, pembiasaan perilaku, dan teladan. Dari berbagai macam metode penanaman nilai moral tersebut yang paling sering digunakan adalah metode bercerita dan pembiasaan perilaku. Metode penananaman nilai moral di atas banyak membawa pengaruh yang positif terhadap perkembangan moral anak. Adapun metode yang digunakan oleh masing-masing sekolah tidak sama, artinya ada penonjolan atau pengutamaan penggunaan metode-metode tertentu di sekolah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan guru dalam melaksanakan metode tersebut. Selain itu penggunaan metode dalam penanaman nilai moral tersebut disesuaikan juga dengan karakteristik masing-masing anak di sekolah tersebut.

Misalnya nilai moral yang ditanamkan melalui cerita. Jika dibawakan dengan baik oleh sang guru maka nilai moral yang terkandung di dalam cerita tersebut dapat dipahami oleh anak dengan baik. Sebaliknya, apabila guru atau pendidik kurang menguasai teknik bercerita maka nilai moral yang hendak disampaikan kurang berhasil dengan baik, bahkan anak cenderung bermain sendiri tidak memperhatikan cerita yang disampaikan oleh guru. Oleh karena itu dalam penyampaian nilai moral melalui cerita seorang guru disamping harus paham dengan nilai moral yang hendak disampaikan, ia juga harus menguasai dengan 12 baik teknik dalam bercerita. Dengan demikian lambat laun dengan berjalannya waktu anak akan merubah perilakunya yang semula tidak sesuai dengan nilai yang ada menjadi lebih baik sesuai dengan tokoh yang diperankan dalam cerita.

Dengan pembiasaan-pembiasaan berperilaku juga lambat laun anak akan merubah perilaku kurang baik yang kadang-kadang dibawa dari lingkungan rumahnya menjadi perilaku yang baik sesuai dengan yang diharapkan. Demikian dengan metode-metode yang lainnya. Akan tetapi dari metode-metode penanaman nilai moral yang dilakukan tersebut menurut guru dari kelima TK yang menjadi subjek penelitian menyatakan bahwa menurutnya metode bercerita adalah yang

paling efektif.

Metode cerita dianggap paling efektif karena anak-anak lebih tertarik dengan metode tersebut dibandingkan dengan metode penanaman nilai moral yang lain. Meskipun dengan menggunakan metode ini seorang guru harus lebih memahami dahulu nilai moral yang hendak ditanamkan dan penguasaan teknik becerita. Teknik bercerita ini misalnya dapat dilihat ketika seorang guru mengisahkan tokoh yang sedang bersedih, maka ia harus mampu membawa siswa untuk menghayati dan hanyut dalam perasaan sedih seperti yang dirasakan oleh tokoh yang sedang diceritakan. Sebaliknya, ketika seorang guru menceritakan tokoh yang sedang memiliki rasa gembira, maka guru harus dapat membawa siswa untuk turut serta merasakan kegembiraan yang dirasakan oleh seorang tokoh.

Metode yang telah dilakukan guru dalam menanamkan nilai moral kepada siswanya tentunya tidaklah berjalan secara mulus. Dalam suatu proses tidak akan terlepas dari suatu kendala. Adapun kendala yang dihadapi oleh guru-guru TK di lapangan ketika akan menerapkan metode penanaman nilai moral sangat beragam. Ada kendala yang datang atau berasal dari guru itu sendiri (faktor internal) dan ada juga kendala yang datang dari luar (faktor eksternal). Termasuk dalam faktor eksternal ini misalnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah, keterputusan hubungan atau komunikasi dengan orang tua tentang nilai-nilai moral yang hendak dikembangkan, dan termasuk pula di dalamnya faktor lingkungan sekitar.13

Dalam penggunaaan metode bercerita guru harus senantiasa mencari cerita-cerita yang baru guna menghindari kebosanan pada siswanya. Guru harus mampu membawakan cerita yang menarik bagi siswanya. Sementara tidak semua guru mampu membawakan cerita dengan baik. Kendala ini termasuk dalam kendala atau faktor internal. Hal inilah yang kemudian menjadikan cerita kadang hanya dimonopoli oleh kelas yang gurunya pandai bercerita.

Selain kendala yang datang dari guru itu sendiri (internal) ada juga faktor lain yaitu kurangnya sarana atau media untuk bercerita. Misalnya, dengan menggunakan boneka kecil yang dimasukkan ke dalam tangan atau benda-benda lain sebagai media untuk memudahkan dan menarik perhatian siswa. Melalui penggunaan media dalam bercerita sebenarnya nilai moral yang hendak ditanamkan kepada siswa akan mudah untuk dijelaskan dan dipahami oleh siswa.

Karena tidak tersedianya media bercerita yang ada terkadang cerita yang disampaikan oleh guru kurang dimengerti oleh siswa.

Untuk mengatasi berbagai kendala dalam menerapkan metode bercertia dalam menanamkan nilai moral kepada anak TK, para guru telah melakukan berbagai upaya. Misalnya guru yang kurang mampu atau belum menguasai teknik

bercerita mereka tidak segan-segan untuk senantiasa belajar, baik kepada guru yang dianggap lebih mampu atau ke lembaga di luar sekolah. Melalui saling keterbukaan di antara para guru ini mereka saling mengoreksi kekurangan guru

lain, dan menjadikan kekurangan atau kelemahan yang dimiliki dapat diminimalisir. Selain itu untuk mengatasi kendala kurangnya penguasaan terhadap teknik bercerita, para guru juga belajar melalui berbagai sumber buku tentang

cerita.Kendala lain yang dihadapi adalah ketika guru atau pendidik menerapkan metode pembiasaan dalam berperilaku. Kendala yang dihadapi misalnya kurangnya konsistensi sikap orang tua dengan apa yang diajarkan di sekolah.

Demikian pula dengan perilaku yang terjadi di lingkungan rumah si anak. Di sekolah sudah diajarkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, namun hal itu menjadi terputus ketika anak di rumah. Terkadang di rumah orang tua kurang mendukung apa yang telah dilakukan oleh guru di sekolah. Padahal antara waktu anak di 14 rumah dan di sekolah jauh lebih banyak anak di rumah. Demikian pula ketika di sekolah dan di rumah sudah ada konsistensi dalam kebiasaan berperilaku, tetapi lingkungan sekitar dimana anak tinggal kurang mendukung atau tidak memiliki konsistensi dalam berperilaku. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal itu adalah dengan mengadakan pertemuan rutin dengan orang tua wali dalam kurun waktu tertentu secara kontinyu.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA:

 

Budaya Kekerasan Bangsa Indonesia Dalam Bentuk Kekerasan Ormas, dalam akuindonesiana.com, 6 September 2010

Diamond, Larry & Marc F Plattner, Nasionalisme, Konflik Etnik, dan Demokrasi, Bandung: Penerbit ITB, 1998.

Nasionalisme Refleksi Kritis Kaum Ilmuwan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Nurcahyono, Arinto, Kekerasan Sebagai Fenomena Budaya: Suatu Pelacakan Terhadap Akar Kekerasan di Indonesia, dalam jurnalnya.

Raharjo, M Dawam, Tantangan Indonesia Sebagai Bangsa; esai-esai kritis ekonomi,sosial, dan politik, Yogyakarta: UII Press, 1999.

Raharjanto, Sapto, Revitalisasi Ingatan Atas Budaya Kekerasan di Indonesia untuk Rekonsiliasi Anak Bangsa, dalam www.prakarsa-rakyat.org, 2009

Cheppy Haricahyono. 1995. Dimensi-dimensi pendidikan moral. Semarang: IKIP  Press.

Darmiyati Zuchdi. 2003. Humanisasi pendidikan (kumpulan makalah dan artikel

tentang pendidikan nilai). Yogyakarta: Program Pascasarjana UNY.

Depdiknas. 2003. Standar  kompetensi  pendidikan  anak  usia  dini  taman  kanakkanak dan raudhatul athfal. Jakarta:Depdiknas.

I Wayan Koyan.  2000.  Pendidikan  moral  pendekatan  lintas  budaya.  Jakarta:

Depdiknas.

Kirschenbaum, H. (1995).  100 ways to  enhance  values and morality in schools

and youth settings. Massachusetts: Allyn & Bacon.

Kurtines, William M. dan Gerwitz Jacob L. 1992. Moralitas, perilaku moral, dan

perkembangan moral. Penerjemah: M.I. Soelaeman. Jakarta: UI-Press.

Moeslichatoen R..1999.  Metode  pengajaran  di  taman  kanak-Kanak.  Jakarta:

Rineka Ciipta

Otib Satibi Hidayat. 2000. Metode pengembangan moral dan nilai-nilai agama.

Jakarta: Universitas Terbuka.

Slamet Suyanto. 2005.  Dasar-dasar  pendidikan  anak  usia  dini.  Yogyakarta:

Hikayat.

Soenarjati dan Cholisin. 1994.  Dasar dan  konsep  pendidikan  pancasila.

Yogyakarta: Laboratorium PMP dan KN.

W.J.S. Poerwadarminta. 2007.  Kamus  umum  bahasa  indonesia  edisi  ketiga.

Jakarta: Balai Pustaka

Murdiono, Mukhamad. Universitas Negeri Yogyakarta. METODE PENANAMAN NILAI MORAL UNTUK ANAK USIA DINI. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132304487/B1-JURNAL%20KEPENDIDIKAN-LEMLIT%20UNY.pdf

 

Catatan Kaki

[1] Kejadian 4:1 – 16

[2] Warga, R.G., 1983. Personal Awareness: A Psychology of Adjustment. Third edition. Houghton Mifflin Company.

[3] Hedonisme adalah pandangan/gaya hidup yang mengutamakan kenikmatan/kesenangan di atas segalanya. Pandangan ini masuk dalam gereja berupa teologia berkat untuk menarik jemaat sehingga sekarang ini banyak gereja yang lebih mengutamakan ajaran tentang berkat daripada salib dan penyangkalan diri (asketisme).

[4] Siswanto. 2003. Keluarga Disfungsi dalam materi kuliah Child Abuse yang disampaikan di STT Pesat Salatiga.

[5] Lazarus, R.S., 1976. Patterns of Adjusment. 3th edition. Tokyo: McGraw-Hill Kogaskusha, LTD

[6] Freud, S., 1983. Sekelumit Sejarah Psikoanalisa. Terjemahan oleh Karl Berten. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

[7] Bertens, K., 1987. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Penerbit PT Gramedia

[8] Corey, G., 1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Penerjemah: E. Koeswara. Bandung: PT Eresco.

 

 

 

Dalam Rangka Memenuhi Tugas Semester 1 Mata Kuliah Antropologi Budaya

Nama: BAYU WIRAWAN

NIM: 2012 02 058

Jurusan: Fakultas Seni Pertunjukan – Seni Karawitan ISI Denpasar – Bali Angkatan 2012

Comments (50)


“EVOLUSI TARI BALI”

Filed under: KNOWLEDGEMENT,TUGAS-TUGAS KULIAH (ASSIGNMENTS) — Tag: — KING JAZZ (Bayu Wirawan) @ 18.51

 “EVOLUSI TARI BALI”

Nama: Bayu Wirawan

NIM: 2012 02 058

Jurusan: FSP – SKRW

Tarian Drama Bali “Gambuh”

Di Indonesia Banyak Sekali Kebudayaan Yang Berupa Tarian, Bahasa, Kesenian, Life Style Dan Lain-Lain. Salah Satunya Pulau Bali, Pulau Dimana Banyak Wisatawan Luar Negeri Yang Datang Ke Bali. Sementara Di Bali Itu Sendiri Terdapat Sebuah Tarian Drama Yang Dnamakan Gambuh Namun Kesenian Yang Bersifat Tradisional Sudah Mulai Tergeser Dengan Kesenian Yang Sifatnya Lebih Modern Seperti Cheerleaders Taupun Modern Dance.

Gambuh Adalah Tarian Drama Bali Yang Dianggap Paling Tinggi Mutunya Dan Merupakan Dramatari Klasik Bali Yang Paling Kaya Akan Gerak-Gerak Tari Sehingga Dianggap Sebagai Sumber Segala Jenis Tari Klasik Bali.

Diperkirakan Gambuh Ini Muncul Sekitar Abad Ke Xv Yang Lakonnya Bersumber Pada Cerita Panji. Gambuh Berbentuk Total Theater Karena Di Dalamnya Terdapat Jalinan Unsur Seni Suara , Seni Drama Dan Tari , Seni Rupa, Seni Sastra, Dan Lainnya.

Pementasannya Dalam Upacara-Upacara Dewa Yadnya Seperti Odalan, Upacara Manusa Yadnya Seperti Perkawinan Keluarga Bangsawan, Upacara Pitra Yadnya (Ngaben), Dan Lain – Lain.

Sementara Itu Panca Yadnya Adalah Lima Jenis Karya Suci Yang Diselenggarakan Oleh Umat Hindu Di Dalam Usaha Mencapai Kesempurnaan Hidup. Adapun Panca Yadnya Atau Panca Maha Yadnya Tersebut Terdiri Dari:

Dewa Yadnya.

Ialah Persembahan Suci Kepada Sang Hyang Widhi Wasa Dan Seluruh Manifestasi- Nya Yang Terdiri Dari Dewa Brahma Selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu Selaku Maha Pemelihara Dan Dewa Siwa Selaku Maha Pralina (Pengembali Kepada Asalnya) Dengan Mengadakan Serta Melaksanakan Persembahyangan Tri Sandhya (Bersembahyang Tiga Kali Dalam Sehari) Serta Muspa (Kebaktian Dan Pemujaan Di Tempat- Tempat Suci). Korban Suci Tersebut Dilaksanakan Pada Hari- Hari Suci, Hari Peringatan (Rerahinan), Hari Ulang Tahun (Pawedalan) Ataupun Hari- Hari Raya Lainnya Seperti: Hari Raya Galungan Dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi Dan Lain- Lain.

Pitra Yadnya.

Lalah Suatu Korban Suci/ Persembahan Suci Yang Ditujukan Kepada Roh- Roh Suci Dan Leluhur (Pitra) Dengan Menghormati Dan Mengenang Jasanya Dengan Menyelenggarakan Upacara Jenasah (Sawa Wedana) Sejak Tahap Permulaan Sampai Tahap Terakhir Yang

Disebut Atma Wedana.

Adapun Tujuan Dari Pelaksanaan Pitra Yadnya Ini Adalah Demi Pengabdian Dan Bakti Yang Tulus Ikhlas, Mengangkat Serta Menyempurnakan Kedudukan Arwah Leluhur Di Alam Surga. Memperhatikan Kepentingan Orang Tua Dengan Jalan Mewujudkan Rasa Bakti, Memberikan Sesuatu Yang Baik Dan Layak, Menghormati Serta Merawat Hidup Di Harituanya Juga Termasuk Pelaksanaan Yadnya. Hal Tersebut Dilaksanakan Atas Kesadaran Bahwa Sebagai Keturunannya Ia Telah Berhutang Kepada Orangtuanya (Leluhur) Seperti:

Kita Berhutang Badan Yang Disebut Dengan Istilah Sarirakrit.

Kita Berhutang Budi Yang Disebut Dengan Istilah Anadatha.

Kita Berhutang Jiwa Yang Disebut Dengan Istilah Pranadatha.

Selain Itu Pitra Yadnya Ynag Lebih Dikenal Sekarang Yaitu Upacara Ngaben Dimana Orang Yang Meninggal Di Letakan Diatas Tumpukan Kayu Yang Dimana Kayu Tersebut Dibakar Beserta Jasadnya

Manusa Yadnya.

Adalah Suatu Korban Suci/ Pengorbanan Suci Demi Kesempurnaan Hidup Manusia.

Di Dalam Pelaksanaannya Dapat Berupa Upacara Yadnya Ataupun Selamatan, Di Antaranya Ialah:

Upacara Selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) Guna Menyambut Bayi Yang Baru Lahir.

Upacara Selamatan (Nelubulanin) Untuk Bayi (Anak) Yang Baru Berumur 3 Bulan (105 Hari).

Upacara Selamatan Setelah Anak Berumur 6 Bulan (Oton/ Weton).

Upacara Perkawinan (Wiwaha) Yang Disebut Dengan Istilah Abyakala/ Citra Wiwaha/ Widhi-Widhana.

Di Dalam Menyelenggarakan Segala Usaha Serta Kegiatan- Kegiatan Spiritual Tersebut Masih Ada Lagi Kegiatan Dalam Bentuk Yang Lebih Nyata Demi Kemajuan Dan Kebahagiaan Hidup Si Anak Di Dalam Bidang Pendidikan, Kesehatan, Dan Lain- Lain Guna Persiapan Menempuh Kehidupan Bermasyarakat. Juga Usaha Di Dalam Memberikan Pertolongan Dan Menghormati Sesama Manusia Mulai Dari Tata Cara Menerima Tamu (Athiti Krama), Memberikan Pertolongan Kepada Sesama Yang Sedang Menderita (Maitri) Yang Diselenggarakan Dengan Tulus Ikhlas Adalah Termasuk Manusa Yadnya.

Resi Yadnya.

Adalah Suatu Upacara Yadnya Berupa Karya Suci Keagamaan Yang Ditujukan Kepada Para Maha Resi, Orang- Orang Suci, Resi, Pinandita, Guru Yang Di Dalam Pelaksanaannya Dapat Diwujudkan Dalam Bentuk:

Penobatan Calon Sulinggih Menjadi Sulinggih Yang Disebut Upacara Diksa.

Membangun Tempat- Tempat Pemujaan Untuk Sulinggih.

Menghaturkan/ Memberikan Punia Pada Saat- Saat Tertentu Kepada Sulinggih.

Mentaati, Menghayati, Dan Mengamalkan Ajaran- Ajaran Para Sulinggih.

Membantu Pendidikan Agama Di Dalam Menggiatkan Pendidikan Budi Pekerti Luhur, Membina, Dan Mengembangkan Ajaran Agama.

Bhuta Yadnya.

Adalah Suatu Korban Suci/ Pengorbanan Suci Kepada Sarwa Bhuta Yaitu Makhluk- Makhluk Rendahan, Baik Yang Terlihat (Sekala) Ataupun Yang Tak Terlihat (Niskala), Hewan (Binatang), Tumbuh- Tumbuhan, Dan Berbagai Jenis Makhluk Lain Yang Merupakan Ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.

Adapun Pelaksanaan Upacara Bhuta Yadnya Ini Dapat Berupa: Upacara Yadnya (Korban Suci) Yang Ditujukan Kepada Makhluk Yang Kelihatan/ Alam Semesta, Yang Disebut Dengan Istilah Mecaru Atau Tawur Agung, Dengan Tujuan Untuk Menjaga Keseimbangan, Kelestarian Antara Jagat Raya Ini Dengan Diri Kita Yaitu Keseimbangan Antara Makrokosmos Dengan Mikrokosmos.

Di Dalam Pelaksanaan Yadnya Biasanya Seluruh Unsur- Unsur Panca Yadnya Telah Tercakup Di Dalamnya, Sedangkan Penonjolannya Tergantung Yadnya Mana Yang Diutamakan.

Untuk Memainkan Tarian Gambuh, Gambuh Diiringi Dengan Gamelan Penggambuhan  Yang Berlaras Pelog Saih Pitu (Tujuh Nada). Tokoh-Tokoh Yang Biasa Ditampilkan Adalah Condong, Kakan-Kakan, Putri, Arya / Kadean-Kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar Dan Prabu. Dalam Memainkan Tokoh-Tokoh Tersebut Semua Penari Berdialog, Umumnya Bahasa Kawi, Kecuali Tokoh Turas, Panasar Dan Condong Yang Berbahasa Bali, Baik Halus, Madya Dan Kasar.

Gambuh Yang Masih Aktif Hingga Kini Terdapat Di Desa

Batuan (Gianyar),

Padang Aji Dan Budakeling (Karangasem),

Tumbak Bayuh (Badung),

Pedungan (Denpasar),

Apit Yeh (Tabanan),

Anturan Dan Naga Sepeha (Buleleng).

Tari Sang Hyang

Sinergi Nilai Luhuragama Hindu Dan Adat Budaya Bali Dapat Mewujudkan Kebudayaan Bali Yang Religius. Kebudayaan Bali Yang Reliius Mengandung Makna Bahwa, Nilai-Nilai Luhur Budaya Bali Berintikan (Dijiwai) Oleh Nilai Luhur Agama Hindu Yang Masih Diyakini Oleh Masyarakat Pendukungnya Di Bali: Sinergi Agama Dan Kebudayaan Bali Amat Menentukan Pelestarian Unsur-Unsur Budaya Bali Yang Masih Berkembang Pada Masyarakat Bali. Unsur-Unsur Budaya Bali Dapat Dipilih Menjadi Dua Kategori Yakni: Unsur Budaya Tak Benda (Intangible) Dan Unsur Budaya Berwujud Benda (Tangible). Kebudayaan Bali Sangat Kaya Dengan Unsur Budaya Tersebut, Bahkan Banyak Negara Yang Mengincarnya Untuk Dapat Dimiliki Sebagai Produk Budayanya Sendiri. Setiap Hari Di Mess Media Ada Berita Terkait Dengan Pengklaiman Unsur Budaya Tak Benda Yang Dimiliki Oleh Masyarakat Hindu Bali Seperti, Tarian Pendet Dll. Ini Menandakan Bahwa Kita Sekalian Baik Pemerintah Maupun Masyarakat Lainnya, Perlu “Ngeh” Dan “Eling” Dengan Milik Sendiri, Sebelum “Akuine” Oleh Negara Lain. Mengacu Pada Sekelumit Pemikiran Di Atas, Unsur Budaya Intangible Masyarakat Hindu Bali Perlu Dikenali Dulu, Bagaimana Bentuk, Manfaat Unsur Budaya Tersebut Melalui Inventori Unsur Budaya Tak Benda Tersebut, Dan Lanjut Dibuatkan Haki Agar Leginitas Atau Pemulihan Cukup Kuat Dari Sisi Ramah Hukum. Lanjut Akan Penulis Mencoba Menampilkan Sekilas Tentang Tari Sang Hyang Teropong Agama Dan Budaya Bali.

Seperti Telah Dijelaskan Di Atas Kekayaan Budaya Bali Yang Dijiwai Oleh Agama Hindu Perlu Dilestarikan; Serta Disosialisasikan Kepemilikannya, Manfaat, Maknanya Dan Lanjut Di Enkulturasikan Untuk Penguat Jati Diri Generasi Penerus Hindu Serta Sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia Pada Umumnya.

Tari Sang Hyang: Aspek Agama

Tari Sang Hyang Dari Aspek Agama Merupakan Salah Satu Tari Wali Atau Tari Yang Diperuntukkan Untuk Upacara Keagamaan. Kapan Muncul Penari Belum Diketahui Secara Jelas, Namun Ada Yang Menyebutkan Tari Sang Hyang Ini Muncul Pada Pra Hindu Ada Pula Setelah Masuk Agama Hindu Di Bali.

Dalam Lontar Cacar Yang Merupakan Lontar Anugerah Dan Bhatara Di Gunung Agung Kepada Mpu Kuturan Menyebutkan Bahwa Tari Sang Hyang Merupakan Tarian Yang Berfungsi Untuk Penolak Bala, Terutama Untuk Penyakit Cacar, Sampar Atau Gerubug Lainnya. Jenis Tari Sang Hyang Itu Terdiri Dari: Sang Hyang Bidadari; Sang Hyang Jaran; Sang Hyang Dedeling Dan Lain-Lain.

Disamping Itu Keyakinan Masyarakat Pada Tari Sang Hyang Untuk Penolak Bala Cukup Tinggi, Bahkan Masih Berkembang Sampai Kini. Seperti Ditentukan Oleh Masyarakat Di Bona, Gianyar, Muncul Tari Itu Dan Ada Gerubug Yang Menyerang Warga Di Bona, Sakitnya Tiba-Tiba Langsung Meninggal, Warga Masyarakat Sangat Khawatir, Akhirnya Mencari Dukun Sakti, Saat Itu (Dulu) Belum Ada Dokter. Keadaan Masyarakat Sangat Was-Was Ngeb, Mewisia Atau Mengerikan, Bahkan Masyarakat Tak Berani Keluar, Masing-Masing Rumah Diisi Sawen Pandan Medui Yang Diolesi Pamor Berbentuk Tapak Dara; Masyarakat Keluar, Memukul Papah Ke Tanah; Atau Benda Apa Saja Sehingga Suasana Gaduh, Yang Tujuan Agar Roh Jahat Itu Meninggalkan Masyarakat Bona, Juga Tidak Berhasil. Akhirnya Pemuda Desa Menyarankan Untuk Bersembahyang Di Pura Puseh, Tempat Bersthananya Hyang Widhi (Dewa Wisnu) Dengan Permohonan Agar Dilindungi Dan Kekuatan Roh Jahat, Mengusir Rasa Takut. Tiba-Tiba Pada Saat Itu Ada Dua Gadis Kerasukan. Pawisik Yang Diterima Agar Masyarakat; Membuat Musik Ringan, Karena Beliau Ingin Menari. Pada Saat Itu Belum Ada Gamelan, Maka Alat Tabuh Memakai Suara Vokal Yang Berisikan Doa Dan Pujian Kepada Ida Sang Hyang Widhi Untuk Memohon Keselamatan. Tembang Itu Dilantunkan Oleh Gadis-Gadis. Roh-Roh Suci Yang Masuk Di Tubuh Gadis Itu Berubah-Ubah; Kadang-Kadang Berperilaku Halus Kadang-Kadang Kasar Persis Seperti Memegang Benda. Maka Diberikan Nama Otomatis, Nama Tarian Tersebut; Tarian Sang Hyang Bidadari Dan Sang Hyang Jaran. Pada Saat Masih Kesurupan Gadis-Gadis Itu Minta Mesiram, Aneh, Dengan Api Suci. Dibuatkan Api Unggun Dengan Serabut Kelapa/Sambuk. Kedua Gadis Itu Menginjak-Injak Api Itu, Namun Sangat Aneh Gadis Kesurupan Itu, Tak Kebus (Tak Terbakar) Melihat Kenyataan Itu Masyarakat Sangat Yakin Bahwa Gadis Itu Dimasuki Oleh Roh Para Dewa Untuk Menarikan Sang Hyang Dedari Maupun Sang Hyang Jaran. Tarian Ini Diyakini Untuk Menolak Gerubug (Penolak Bala) (Dituturkan Oleh Bapak Made Sija Dari Bona Nusa : 1977). Tari Sanghyang Berkembang Di Berbagai Desa Di Bali Dan Merupakan Tarian Wali (Sakral) Pada Masyarakat Hindu Bali.

Tari Sanghyang : Aspek Budaya Bali

Tari Sanghyang Merupakan Salah Satu Unsur Budaya Universal, Yaitu Bagian Dari Kesenian Bali. Kesenian Bali Dibagi Kedalam Tiga Kategori Besar, Yaitu Tari Wali, Tari Bebali, Dan Tari Balih-Balihan. Tari Wali Adalah Tarian Untuk Upacara Keagamaan Yang Cukup Sakral. Tari Wali Ini Mengandung Nilai Luhur Seperti : (1) Nilai Religius; (2) Nilai Estetika; (3) Nilai Solidaritas; (4) Nilai Rasa Bhakti Pada Kekuatan Para Dewa-Dewa Yang Suci Dan Sebagai Pelindung Masyarakat. Bahkan Tarian Ini Juga Memiliki Nilai Ekonomis Sebagai Daya Tarik Wisatawan. Nilai Luhur Tersebut Sebagai Penganut Jati Diri Masyarakat Bali Khususnya. Tari Wali Sanghyang Ini Perlu Diteliti Lebih Mendalam Sebagai Produk Asli Masyarakat Bali Yang Perlu Dilestarikan Dan Bahkan Di Ha-Ki-Kan Untuk Keselamatannya. Analisis Simbolik, Tari Sanghyang Merupakan Suatu Simbol Pula, Bahwa Masyarakat Sangat Yakin Akan Adanya Kesurupan (Trance) Itu Sebagai Mediator Para Dewa Sebagai Manifestasi Sanghyang Widhi Menganugrahkan Berkah Keselamatan Pada Ciptaan Beliau Umat Manusia Agar Selamat Dan Rukun.

Secara Konvergensi, Tarian Sanghyang Ini Merupakan Suatu Titik Temu Antara Keyakinan Terhadap Kekuatan Sinar Suci Para Dewa, Dengan Nilai Luhur Kearifan Lokal Bahwa Ada Keyakinan Dan Kekuatan Supranatural Di Lingkungan Kehidupan Manusia Serta Dikuatkan Lagi Keyakinan Oleh Ajaran Agama Hindu Yang Punya Keyakinan Bahwa Rasa Syukur, Rasa Bhakti Pada Ida Sanghyang Widhi Akan Mendapat Berkah Keselamatan, Kedamaian Dan Beliau Sebagai Pencipta Jagad Raya Iru. Pada Saat Pelaksanaan Upacara Tari Sanghyang Ini Pula Muncul Rasa Kebersamaan Atas Warga, Muncul Rasa Satu, Satu Karya, Satu Nasib, Satu Keyakinan Yang Harus Dipelihara Secara Berkesinambungan.

Demikianlah Sekelumit Tentang Tarian Sanghyang Sebagai Tari Wali (Sakral) Yang Berwujud Unsur Budaya Intangible Dan Yang Berfungsi Untuk Penolak Gerubug Yang Masih Diyakini Di Bali Dan Perlu Dilestarikan, Diselamatkan Dengan Legitimasi Hukum Yang Pasti.

 

Tari Sang Hyang

 

Tari Ini Masih Hidup Sampai Sekarang,Kini Dapat Di Jumai Kurang Lebih Dua Puluh Macam Tari Sang Hyang.Tarian Tersebut Banyak Terdapat Di Desa-Desa Pegunungan.Sang Hyang Terdiri Atas Dua Atao Tiga Orang Penaridan Biasanya Mereka Kemasukan Roh Leluhur Atau Roh-Roh Lainya.Pertunjukan Tari Sang Hyang Sangat Beraneka Rgam Wujudnya,Masing-Masing Memiliki Unsure Inprofisasi Sesuai Dengan Pola Budaya Yang Berkembang Di Sekitarnya.

Jenis-Jenis Tari Sang Hyang Meliputi Sang Hyang Dedari,Sang Hyang Jarn,Sang Hyang Celeng,Sang Hyang Lelipi,Sang Hyang Bojog,Sang Hyang Penyu,Sang Hyang Memedi Dan Lain-Lainya.

Sang Hyang Dedri Merupakan Salah Satu Dari Sang Hyang Yg Sudah Terkenal Di Pulau Bali Dan Hampir Setip Orang Mengenalnya.Sang Hyang Dedari Merupakan Perwujudan Dari Masyarakat Komunal Dan Memiliki Unsure Budaya Yang Sangat Unik.Penri Sang Hyng Di Pilih Dari Suatu Kelpok Tertentu Dalam Masyarakat.Di Bebrapa Tempat Telah Trjadi Kebiasaan Bahwa Sang Hyang Memilih Penggantinya Sebelum Mreka Berhenti Dari Pengabdinya.

Sudah Menjadi Kebiasaan Bahwa Sang Hyang Dedari Memiliki Sebuah Pura Atau Tempat Persembahyangn Dan Penari-Penari Itu Sangat Taat Terhadapkewajiban Terhadap Kewajiban Mereka Sebagai Abdi Dari Pura Tersebut.Penari-Penari Sang Hyang Itu Bertugas Untuk Membersihkan Halaman Pura .Berbeda Dengan Tari Lainya Di Bali,Tari Sang Hyang Di Pentaskan Pada Saat Tertentu Dan Tidak Berhubungan Dengan Kalender Upacara Ke Agamaan.Jika Sedang Ada Wabah Menjalar Di Setiap Daerah Di Bali Biasanya Tari Sag Hyang Di Pagelarkan Selama Satu Bulan Hingga Wabah Itu Punah.

Bagian Pertama Pada Pertunjukan Ini Di Sebut Penusdusan.Selama Periode Pensdusan Para Leluhur Di Undang Untuk Turun Ke Bumi.Jika Para Leluhur Berkenan Turun,Setelah Setengah Jam Atau Lebih Enari Sang Hyang Akan Terjatuh Ki Tanah Dalam Keadaan Yg Di Sebut Kerauhan Dan Pemangku Atau Pemimpin Upacara Meminta Mereka Berbicara,Dengan Nada Yang Tinggi Mereka Menguraikan Preskripsi Obat-Obatan Untuk Mengusir Wabah Penyakit.Jika Sang Hyang Itu Mulai Keruhan Penyanyi Wanitaakan Berhenti Menyanyikan Gending-Gending Dan Mereka Dig Anti Oleh Penyanyi Peria Yang Di Sebut Kecak.

Beberapa Tarian Yang Bersifat Kerauhan Berbeda Bentuknya Dengan Tarian Yang Bersifat Sekuler.Yang Paling Menarik Daa Sang Hyang Adalah Pemberian Obat-Obatan Pleh Para Leluhur Kepada Anggota Masyarakat Yang Mereka Percayai Bisa Menghilngkan Wabah Penyakit.

 

Drama Tari Gambuh

 

Gambuh Sangat Di Kagumi Karena Keindahan Bentuk Dan Persembahanya Sebagai Inti Sari Kesenian Bali.Secara Keseluruhan Gambuh Telah Di Ayomi Murni Dari Tahun Ke Tahun.Untuk Mementaskan Gambuh Di Perlukan Sebua Panggung Semntera Yang Di Sebut Kalangan Sebuah Ruang Pementasan Utama Untuk Pementasan Tari Bali.Orkestra Yang Megikuti Pargrlaran Gambuh Adalah Sebuah Gambelan Warisan Budaya Kuno Seperti Yang Di Uraikan Di Dalam Ritelatur Jawa Kuno.

Gambuh Telah Menjadi Sebagian Kurikulum Asti,Akademi Seni Tari Indonesi,Denpasar.Gambuh Menyediakan Pola-Pola Gerak Yang Rumit,Ide Struktur,Dan Ceita Tari Bali.

 

Tari Legong

 

Sampai Sekarang Tari Legong Belum Pernah Di Uraikan Secara Teknis Dan Di Analisis Berdasarkan Ilmu Penetahuan Modern.Pada Mulanya Tari Legong Merupakan Kesenian Feudal Dari Kaum Triwangsa Di Bali.

Legong Dalam Inspirasi Dan Kreasinya Sama Dengan Gambuh,Yaitu Suatu Dari Istana.Proses Terjadiya Tari Legong Sudah Merupakan Konsem Yang Biasa Dalam Seni Pertunjukan.Tari Legong Masih Erat Hubunganya Dengan Agama,Baik Dari Segi Sejarah Maupun Pertunjukanya.Dengan Kata Lain,Tari Legong Di Pentaskan Untuk Menghibur Para Leluhur Yang Turun Dari Kayangan,Termasuk Para Raja Yang Hadir Pada Upacar Odalan Yang Datangnya Pada Setiap 210 Hari.Tari Legong Klasik Selama Ini Masih Terpelihara Di Desa Bonoh Dan Teges.Tari-Tarian Baru Yang Elemen Tarianya Di Ambil Dari Legong Tntu Dapat Di Jadikan Karangan Tersendiri Dan Sendratai Ramayana Yang Sangat Popular Itu Hanya Salah Satu Contoh Saja.

 

Tari Joged

 

Ngibing Adalah Bagian Dari Tari Jogged Yang Penuh Impropisasi.Kesenian Ini Terpelihara Baik Sebelum Zaman Penjajahan Bali.Pada Masa Lampao Para Pengibing Di Wajibkan Untuk Membayar Dengan Uang Atau Benda Enga Jumbkah Yang Cukup Besar.Tari Jogged Pada Saat Ini Lebih Menjadi Milik Masyarakat  Dari Pada Milik Perseoranagaan.

 

  1. Tari Joged Leko

Tari Joged Leko Berhuungan Erat Dengan Tari Legong.Tarian Ini Di Pertunjukan Oleh Dua Orang Perempuan Yang Berumur Sepuluh Sampai Empat Belas Tahun,Dan Biasanya Mereka Telah Mampu Mempertunjukan Beberapa Jenis Tarian Legong.

Tari Leko Do Iringi Oleh Seperangkat Gambelan Semarpegulingan.Suara Gambelan Ini Sangat Manis Dan Lagu-Lagunya Di Mainkan Sesuai Dengan Tarian Leko.

 

B. Joged Gudegan

 

Joged Gudegan Muncul Di Masyarakat Bali Dengan Sebutan Yang Berbeda-Beda.Joged Gudegan Di Iringi Oleh Seperangkat Bambu Berlaras Pelog Yang Di Sebut Gambelan Rindik.Gambelan Ini Terdiri Dari Instrument-Instrumen Gender Ambu,Trompingbambu,Kendang Dan Instrument Lainya.

Penari Joged Gudegan Menolak Untuk Menari Berdekatan Karea Ia Ingin Mempertahankan Kehormatanya Sebagai Penari Joged Agar Tidak Segera Terdesak Oleh Nafu Pengibing Yang Sering Meluap.

 

C. Joged Adar

 

Adar Merupakan Jenis Joged Gudegan Yang Pada Saat Ini Bisa Di Katakana Sebagai Kesenian Yang Hampir Punah.Pertunjukan Tari Adar Mengambil Tempat Pada Sebuah Jalan Di Muka Balai Banjar.Seorang Penari Adar Muncul Di Area Pentas Dengan Membawa Kipas.Sementera Itu Penari Adar Yang Masih Duduk Dan Secara Serentak Mendapat Aba-Aba Dari Pemimpin Pertunjukan Agar Merek Bernyanyi,Mengajak Para Penonton Utuk Melakukan Tari Adar.

Ada Pun Lagu-Agu Yang Di Mainkan Kebanyakan Lagu Petegak Yang Juga Bersumber Dari Lagu-Lagu Kebyar.Pertujukan Adar Biasanya Selesai Pada Jam Dua Atau Tiga Pagi,Dan Sampai Saat Itu Mugkin Sudah Banyak Pula Uang Yang Dapat Di Kumpulkan.

 

D. Gandrung

 

Pada Zaman Dahulu Tari Gandrung Biasa Di Pentas Kan Di Istan Atas Permintan Raja-Raja Karena Gandrung Dapat Menggugah Cinta Birahi Dan Istrinya,Agar Raja Dapat Membagi Cintanya Secara Adil.

Pertunjukan Yan Semula Di Iringi Semarpegulingan Kini Di Iringi Dengan Gambelan Gandrung Yang Ter Diri Tatas Berbagai Jenis-Jenis Instrument Banbu Seperti Tromping,Reong,Cengceng Dan Gong.

 

E. Joged Bumbung

 

Joged Bumbung Biasanya Di Pertunjukan Oleh Empat Atau Enam Penari Dan Tampil Di Pentas Satu Persatu.Adapun Busanan Yang Di Gunakan Oleh Joged Bumbung Sangatlah Sederhana,Meliputi Kain Batik,Kebay,Dan Selendang.Dengan Berkembangnya Kesenian-Kesenian Rakyat Yang Berupa Tari Pergaulan Dewasa Ini.Joged Bumbung Mendapat Tempat Yang Wajar Dalam Hati Masyarakat Bali.

 

—————————————————————————————————————————-

Comments (52)


« Newer PostsOlder Posts »
Valid XHTML 1.0 Transitional© 2008 | BAYU WIRAWAN (KING JAZZ) MASTERPIECES
'Twilight' Wordpress theme | Powered by Atillus