Skip to content


Pidato Kang Dedi bagian Katilu

Bagaimana sintesa peradaban, maka sintesa peradabannya adalah membangun kesetaraan. Bagaimana membangun kesetaraan? Maka kita kembali kepada identitas kita sebagai pemilik otoritas wilayah. Dan saya sebagai bentuk mengingatkan, saya tadi nulis yang pertama itu judulnya “dina pangumbaraan”. Itu kita berceritera tentang kegagalan kita merumuskan identitas-identitas kebudayaan. Kesalahan Orang Sunda Itu dari dulu nulisnya kurang. Karena nulisnya kurang maka, seluruh identitas-udentitasnya tidak bisa terkodifikasi kalau dalam bahasa hukumnya itu dengan baik sehingga tidak menjadi terwariskan. Tetapi lebih pada cerita mitos. Ketika menjadi ceritera mitos, maka terjadilah mistifikasi, ketika terjadi mistifikasi maka hanya dipahami oleh kaum mistik saja. Tidak dipahami oleh kaum rasio, maka menurut saya, sudah sebaiknya sekarang mistikfikasi dirubah menjadi akademisisasi, sehingga literatur perguruan tinggi tidak hanya mesti harus belajar pada literatur luar negeri terus. Maka belajarlah pada literatur pengalaman sejarah kita, maka kalau orang sunda menjadi pemimpin ditanah ini maka belajarlah pada sejarah peradabannya. Apa yang dituliskan oleh raja-raja dulu, apa pesan-pesan orang-orang tua kita dulu yang pertama menghuni tempat ini sehingga seluruh pesannya menjadi pesan pesan berikutnya, inilah yang harus dilakukan sehingga kita tidak kehilangan masa lalunya, antara bihari, kiwari jeung poe isuk.
Prilaku budaya, diletakan pada empat hal. Yang pertama adalah entitas tanah, yang kedua entitas air, yang ketiga entitas udara, yang keempat adalah entitas matahari. Keempat hal inilah melahirkan sistem nilai. Yang orang sunda menyebutnya papat kalima pancer atau papat kalima tunggal dimana manusia kalau sudah bisa mensenyawakan dirinya dengan cikal bakal penciptaannya, maka dia akan bersenyawa dengan Tuhan yang menciptakannya. Kalau manusia sudah mensenyawakan dengan tanahnya, mensenyawakan diri dengan airnya, mensenyawakan diri dengan mahatarinya, mensenyawakan diri dengan udaranya, dimana dia secara material berdasarkan keempat material tersebut, maka dia tidak akan kehilangan seluruh nilai-nilai kemanusiaannya. Karena dia tidak kehilangan nilai kemanusiaannya maka dia tidak akan jauh dari nilai ketuhanannya dimana dia berangkat dan dia kembali. Berangkat dari situ maka lahir sebuah pemahaman ideologi yang bersifat lokalitas. Ideologi lokalitas itu semestinya berkembang pada wilayah lokal-lokalnya. Karena hanya dengan ideologi lokalnya manusia bisa membantu peradaban lokalitasnya. Dan peradaban yang dimaksud adalah peradaban yang tidak meletakan eksploitasi sebagai standardisasi untuk mencapai kemakmuran. Karena eksploitasi sebagai standarisasi untuk mencapai kemakmuran maka hanya kemakmuran materialah yang bisa didapat tetapi kemakmuran spiritualitas akan semakin jauh dari identitas-identitas itu. Sedangkan orang yang berhasil, mensenyawakan dirinya dengan alam dan lingkungannya, bisa jadi yang ada dalam dirinya hanya kecukupan material tetapi juga memiliki kecukuan spiritualitas.
Nah ketika berbicara spiritualitas menurut saya itu tidak hanya pada aspek-aspek yang bersifat doktrin teknis spiritual agama tetapi spiritualitas itu tata nilai yang memberikan energi pada matanya, energi pada hidungnya, energi pada lidahnya, sehingga orang sunda menyebutnya panon ku awasna, ceuli ku danguna, irung ku angseuna, letah ku ucapna, hate ku kaweningan galihna, sehingga orang yang memiliki nilai-nilai spiritualitas itu adalah orang yang weruh ka semuna, apal ka basana, rancingas rasana, rancage hatena, maka dia terbangun dua identitas yang satu identitas ketuhanan yang bersenyawa dengan identitas kemanusiaan yang dalam undang-undang dasar kita meletakan yang disebut manusia Indonesia seutuhnya. Ketika manusia Indonesia seutuhnya berarti ciamis seutuhnya, banjar seutuhnya, ponorogo seutuhnya, jombang seutuhnya, maka hamparan inilah manusia-manusia yang utuh yang seluruh identitas kebudayannya. Karena ini yang dimaksud tidak mungkin kita masuk pada penyakit yang seperti hari ini.
Bahwa manusia berasal dari air, banyak orang kena cacar air ini kan aneh? Manusia berasal kemudian dari angin sebagai sumber inspirasi penciptaannya di Indonesia ada jamu tolak angin. Dan jamu tolak angin ini satu-satunya yang saya lihat di dunia ini cuman ada di Indonesia yang suka mengusir anginnya. Orang kampus mengusir anginnya, sedangkan di kampung saya kalau panen kemudian dia ssssssss cuit cuit suruh datang anginnya. Yang satu mengusir yang satu suruh datang seningga angin menjadi bingung. Akhirnya kita membeli angin dari Jepang dan bukan hanya buatan Jepang saja AC namanya. Nah kenapa itu terjadi? Artinya ada penelitian yang harus mengatakan ada problem di situ. Ada problem ritual, ada problem spiritual, problemnya apa? Manusia tidak mengenal angin sehingga dia harus masuk angin. Nah kalau itu problom berarti masuk angin itu penyakit. Dan saya lihat masuk angin itu menerpa orang-orang yang mengalami depresi, orang mengalami stres, yang berawal dari perutnya yang mengalami gangguan, dan gangguan perut itu disebabkan oleh gangguan pikiran sebenarnya. Jadi yang masuk angin itu adalah orang yang rata-rata depresi, tapi bagi saya orang yang depresi itu baik, karena manusia yang baik itu adalah manusia yang sering mengalami depresi. Mau pemilihan rektor depresi, berarti baik. Mau pemilihan dekan depresi, bararti baik. Mau kenaikan tingkat depresi, berarti baik. Mau ujian depresi, berarti baik. Ibu Nina mau penelitian depresi, berarti itu baik. Kalau kampus teriaknya selalu uangnya nggak ada. Kalau pemerintah daerah rata-rata uangnya banyak tapi uangnya dibelanjakan apa nggak kepikiran. Sehingga sudah selayaknya orang kampus itu masuk kepemerintahan, sehingga biar dibantu mikir pegawai pemdanya. Tetapi ada yang diingatkan juga kita orang kampus masuk kepemerintahan, identitas dan ideologi kampusnya harus tetap ada. Kalau hilang poho ka kampusna, nu aya ukur batina itu bahaya. Nah kenapa? karena menurut saya itu baik, karena bagi saya orang yang tidak depresi itu adalah orang gila. Jadi di kita itu ada kebiasaan bahwa jelema gelo teh jelema setres padahal tidak, bahwa orang gila itu adalah orang yang sudah terbebas dari stres. Silahkan pikirkanlah.
Menurut saya, sayakan punya teori sendiri. Saya tidak pernah menutip dari orang lain. Karena cirikhas orang pinter Indonesia itu mudah, gampang nyirikeun urang pinter Indonesia mah, ngomongnya loba menurut. Ari menurut teh ceuk urang Sundamah euceuk. Jadi orang pinter itu gampang, lamun ngomongna menurut aristoteles, ceuk Socrates, ceuk Plato, ceuk Kuntowijoyo, ceuk bu Nina Lubis, ku aing ditanya, ari ceuk sia naon? Mangkanya perguruan tinggi jangan banyak melahirkan orang, desertasi, tesis yang euceuk, sabab ceuk urang Sunda lamun melakna euceuk, tangkalna sugan, engke buahna duka teuing. Jadi pantesan ngalahirkeun sarjana nukadituna dukateuing jadi naon. Da sihoreng perguruan tinggi euceuk jeung ceunah. Coba membangun itu, kalau saya selalu mempunyai pemikiran mahasiswa itu tidak usah membikin tesis 500 halaman, desertasi 1200 halaman, kitu misalnya, skripsi 500 halaman, karena yang ada adalah penghamburan-penghamburan identitas, kalimat-kalimat yang tidak bermakna, kalimat tidak bermakna ceuk urang Sunda mah teu saciduh metu sa ucap nyata artina teu sakti sarjana teh. Kenapa teu sakti sarjananya? Karena ketika membuat karya tulis yang dia pikirkan bukan esensi dari karya tulisnya, yang dia pikirkan adalah halamannya yang harus diatur dengan tepat. Kunaon nu keprokna loba ieu teh? Oo berarti aya masalah yeuh. Oo betul? Yah buat apa itukan setan temannya. Mohon maaf, kalimat kosong itu kalimat tanpa Tuhan. Hayo ngahuleng siah. Kalimat kosong itu kalimat tanpa Tuhan. Kalimat tanpa makna, kalau ada kalimat tanpa tuhan tanpa makna, anda menjadi atheis dalam menulis skripsi. Seluruh kalimat harus berisi ada maknanya, ada aspek filologinya, weuleuh gaya, ada terminologinya, ada efistemologinya, alah pokokna anu hi hi terus weh, ada aspek itunya, ceuk urang Sunda sa ciduh metu sa ucap nyata sa eutik mahi loba nyesa, itu yang harus dilakukan. Nah kalau sudah seperti itu maka perguruan tinggi harus merombak tata berpikirnya. Tidak boleh banyak tumpukan kalimat, tidak boleh ada tumpukan kertas, hanya menguntungkan percetakan dan pabrik kertas, yang ada adalah untaian kata yang bermakna, itu yang harus dilakukan. Begitu menguji mahasiswa cukup satu kalimat we cing caringcing pageuh kancing, sing saringset pageuh iket, buktikeun siah kasaktian eta kalimat ku diri maneh, eta. Harus berguru pada guru-guru kita dulu. Guru kita dulu ketika membuat peradaban yang disebut dengan paguron, kemudian gurunya disebut wiku, ketika kemudian muridnya ketika harus turun dari pertapaan, kan muridnya dicoba dulu, di tes dulu, dia bisa nggak melewati tes-tes itu? Sehingga bisa masuk ke alam bebas. Pertanyaannya adalah kumaha tah ieu ngetesna jurusan sejarah? Jurusan bahasa, naha sastrana teh sastra? Apakah sastranya bisa menyembuhkan orang sakit atau tidak? Ingat loh kalimat sastra itu kalimat kesaktian, orang yang rajin ilmu hikmah disebutna kudu aya khodhamna. Ari jurusan sastra kalimat kudu aya khodamna.

Posted in Kasundaan.