Dalam buku ini berbagai jenis gamelan digolongkan menjadi tiga golongan :
A. GAMELAN GOLONGAN TUA
Golongan gamelan tua di Bali mempunyai persamaan dengan relief candi Penataran di Jawa Timur. Gamelan golongan tua tidak banyak mempergunakan kendang, bahkan sama sekali tidak mempergunakan kendang.
1. Slonding
Gamelan sakral yang terdapat di daerah Karangasem, di Tenganan Pegringsingan dan di desa Bongaya. Nama lengkap dari gamelan slonding di Tenganan Pegringsingan ialah Bhatara Bagus Slonding yang berarti leluhur yang maha kuasa. Sejarah gamelanya juga belum diketahui orang.
2. Gender wayang
Musik yang dipakai untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit di Bali. Masing –masing instrumen berlaras slendro dan memakai sepuluh keys. Gending –gending yang dipakai ialah : petegak, pemungkah, petangkilan, pengalang ratu, angkat-angkatan, rebong, tetangisan, tunjang , batel dan penyudamalan.
3. Gamelan Caruk
Gamelan ini adalah sejenis gambang terdiri dari dua buah caruk atau gambang yang ukuranya lebih kecil dan sebuah saron, kini sudah jarang ditemui, disajikan khusus untuk upacara ngaben.
4. Gamelan Luwang
Sebuah gamelan sakral yang dipakai untuk mengiringi upacara kematian, yang kini di Bali masih dijumpai di daerah Apuan, Seseh ( Singapadu – Gianyar ), Tangkas ( Klungkung ), Kerobokan ( Badung ), Kesiut ( Tabanan ) dan Gelulung ( Sukawati – Gianyar ).
5. Gamelan Angklung
Gamelan angklung adalah sebuah gamelan yang tergolong dalam periode tua dan dipergunakan untuk mengiringi upacara Pitra yadnya atau pembakaran mayat. Di beberapa daerah, gamelan angklung menggantikan fungsi dari gamelan gong Gede yaitu untuk mengiringi upacara Dewa yadnya atau upacara di pura-pura. Gamelan Angklung merupakan salah satu jenis barungan gamelan yang menggunakan berbagai jenis instrumen, yang pada umumnya dapat dikelompokan kedalam dua jenis yaitu instrumen berbilah dan instrumen berpencon. Adapun instrumen – instrmen tersebut terdiri dari gangsa, calung, curing, jegogan, reong, kendang kecil, kecek, klenang, suling dan sebuah kempur kecil.
B. GAMELAN GOLONGAN MADYA
Ciri- ciri gamelan golongan madya adalah dengan masuknya instrumen kendang, yang berperan penting sebagai pemurba irama. Gamelan yang tergolong madya adalah :
1. Gamelan Gambuh
Gamelan gambuh juga sebagai sumber dari musik Bali. Gending – gending gambuh lebih bersifat gending – gending yang ditarikan dari pada bersifat instrumental. Gending – gending gambuh dimainkan tak putus – putus, tiap – tiap tari mempunyai gending, melodi dan mode tersendiri sesuai perwatakanya.
2. Gamelan Semar Pegulingan
Semar Pegulingan adalah sebuah gamelan yang erat hubunganya dengan gamelan pegambuhan, dimana hal tersebut juga merupakan perpaduan gamelan pegambuhan dan pelegongan. Semar pegulingan merupakan gambelan rekreasi untuk istana raja-raja pada zaman dahulu. Biasanya dimainkan pada waktu raja-raja akan beranjak ke peraduan. Gamelan ini juga dipergunakan untuk mengiringi tari leko dan gandrung, yang biasanya dilakukan oleh para abdi eratin. Semar Pegulingan memakai laras pelog tujuh nada, yang terdiri dari lima nada pokok dan dua nada pemero. Repertoire dari gamelan ini hampir keseluruhanya diambil dari pegambuhan kecuali gending leko dan semua melodi-melodi yang mempergunakan tujuh nada dapat segera ditransper ke dalam gamelan Semar Pegulingan. Bentuk dari gamelan semar pegulingan mencerminkan juga gamelan gong, tetapi lebih kecil dan lebih manis disebabkan karena hilangnya reong maupun gangsa-gangsa yang besar. Demikian juga dengan tidak memakai jenis ceng-ceng besar sedangkan instrumen yang memegang peranan dan penting dalam gamelan semar pegulingan adalah instrumen terompong. Terompong lebih menitik beratkan pada penggantian suling dalam gambuh, yang dituangkan ke dalam nada yang lebih fix. Gending-gending yang dimainkan dengan memakai terompong, biasanya tidak dipergunakan untuk mengiringi tari. Dalam hal ini semar pegulingan sudah berubah namanya menjadi gamelan pelegongan. Instrumen yang lain seperti gangsa, jublag dan calung masing-masing mempunyai fungsi sebagai cecandetan ataupun untuk memangku lagu. Semar pegulingan juga memakai dua buah kendang, satu buah kempur, kajar, kelenang dan suling. Kendang merupakan sebuah instrumen yang amat penting untuk menentukan dinamika dari pada lagu.
3. Gamelan Legong
Gamelan legong dikembangkan dari gamelan Gambuh dan gamelan Semar Pegulingan. Gamelan ini dipergunakan untuk mengiringi tari Legong Keraton, sebuah tarian yang diduga berasal dari tari Sanghyang dan Gambuh.
4. Gamelan Gong Gede
Gong Gede juga disebut gangsa jongkok, karena memakai gangsa jongkok atau Saron. barungan Gong Gede memakai kurang lebih 40 instrumen yang pada umumnya terdiri dari instrumen percussive. Pada saat ini hanya ada beberapa group Gong Gede yang masih aktif, diantaranya Batur, Sulahan ( Bangli ), Puri Pemecutan ( Denpasar ), Tampaksiring dan dua Gong Gede yang baru dibuat KOKAR dan ISI Denpasar.
5. Gamelan Joged Pingitan
Joged pingitan adalah sebuah tarian pergaulan Bali yang dipertunjukan oleh seorang penari wanita. Tari ini sangat demonstratif dan lincah. Joged pada mulanya dikembangkan di Puri – puri, namun kini hidup di masyarakat dan dipertunjukan waktu musim panen serta kesempatan sosial lainya.
C. GAMELAN GOLONGAN BARU
Gamelan golongan baru mempunyai ciri khas yang terletak pada penggunaan kendang , perbendaharaan kendang lebih elaborate dalam gamelan golongan baru dan sering dalam komposisi, terdapat demonstrsi kendang tunggal.
1. Gong Kebyar
Gamelan Gong Kebyar adalah salah satu gamelan yang banyak mempergunakan jenis instrumen, yang secara umum dapat dikelompokan menjadi dua jenis yaitu instrumen berbilah dan yang berpencon. Perangkat gamelanya juga mempunyai bentuk yang berbeda dengan perangkat gamelan lainya terutama dalam bentuk tungguhan, jumlah, jenis tungguhan dan pelarasanya. Tungguhan yang dipergunakan dalam perangkat gamelan Gong Kebyar adalah tungguhan jenis gangsa yang terdiri dari tungguhan jenis giying, pemade, kantil, penyacah, jublag, jegogan, kajar, cengceng, kecek, gong, kempul, kenong, kempli, bebende, cengceng kopyak, kendang lanang, kendang wadon, riyong, terompong, rebab dan suling.
2. Gamelan Arja
Sesuai dengan bentuk Arja yang lebih mengutamakan tembang dan melodrama maka, musik yang mengiringi Arja juga sangat lirih sehingga tembang itu sangat jelas dapat didengar oleh penikmatnya. Gamelan Arja juga disebut gamelan Geguntangan.
3. Gamelan Joged Bumbung
Gamelan Joged Bumbung adalah gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi tari Joged Bumbung, sebuah tarian sosial di Bali dimana seorang penari wanita berhiaskan sejenis legong menjawat seorang penonton untuk diajak menari. Gamelan Joged Bumbung disebut juga gamelan Gegerantangan, karena terbuat dari bambu memakai laras slendro lima nada.
4. Gamelan Janger
Janger yang merupakan satu tarian sosial Bali, yang ditarikan oleh wanita dan pria sebanyak dua puluh sampai dua puluh empat orang , diiringi dengan gamelan Janger yang memakai instrumen sebagai berikut : gender empat tungguh berlaras slendro, sepasang kendang kekrumpungan, tawa-tawa, kajar, rebana, suling dua sampai empat buah, kelenang dan kecek. Gamelan Janger berlaras sledro dan standar tone-nya diambil dari Gender Wayang.
PRASASTI BALI
1 Prasasti Sukawana A.I. Tahun Caka 804 terdapat tulisan:
Parsangkha : ialah kesatuan peniup sangka – kala = selompret, terompet, dari
pada bahan kerang
parpadaha : ialah kesatuan pemukul kendang = gendrang.
balian : ialah perkumpulan tontonan / pertunjukan.
pamukul : ialah penabuh gamelan.
2 Prasasti Bebetin. A. I. Tahun Caka 818 terdapat tulisan:
pamukul : ialah penabuh gamelan.
pagending : ialah juru kidung / nyanyian.
pabunjing : ialah perkumpulan penabuh angklung.
papadaha : ialah kesatuan pemukul kendang.
parbhangsi : ialah perkumpulan peniup suling ( besar ).
partapukan : ialah perkumpulan topeng.
parbwayang : ialah dalang ( wayang ).
3 Prasasti Trunya. A. I. tahun caka 833 terdapat tulisan:
pamukul : ialah penabuh gamelan.
pagending : ialah juru kidung / nyanyian.
Suling : pekumpulan peniup suling ( menengah ).
Bhangsi : peniup suling ( ukuran besar ).
4 Prasasti Sembiran .A. I. tahun caka 844 bertuliskan:
Parmasin pamukul ma 1, pi 2, artinya pajak untuk perkumpulan gamela1 masaka dan
2 piling turut sarungganna me sareb.
sarungan : adalah sejenis reong.
sareb : rebab.
5 Prasasti Pengotan . A.I. tahun caka 846, bertuliskan :
nayakan pamadahi artinya ketua perkumpulan kendang atau gendrang.
6 Prasasti Batunja . A.I. tahun caka 855 yang bertuliskan:nayakan pamadahi, artinya
ketua perkumpulan kendang / gendrang.
7 Prasasti Dausa .A.I. tahun caka 857, bertuliskan tikasan macadar, mangikat . . . . . . . . . . . . .
kaicaka, juligara mamukul prakara. Artinya kira-kira : pajak – pajak perusahaan
mencelup, menenun,……….perkumpulan kaicaka, pembuatan rumah, perkumpulan
gamelan dan lain sebagainya. tua kabakatnyanna wilang mas pi 2. Artinya pajak per
kumpulan itu 2 piling mas.
8 Prasasti Buwahan. A. tahun caka 916. tikasan parsangkha, prasuling, parpadaha,
apukul pagending. Arti tikasan : pajak.
9 Prasasti Sading. A. tahun caka 923.
Yan ada pagending sang ratu marenemok dibanwana, bryanna yama, yan patapukan
pamukul monmon, banwal, pirus sang ratu bryanna ku 2 patulak yan ambaranku 1
bryanna, yang artinya : jika ada perkumpulan juru kidung milik sang ratu yang main
di desanya harus mereka diberi ongkos 1 masaka, jika perkumpulan topeng, juru ga
melan, para pemain banyol, lelucon milik sang ratu, yang main harus diberi, ongkos
2 kupang, apabila mereka main mengembara desa maka mereka harus diberi ongkos
1 kupang.
10 Prasasti Abang .A. tahun caka 933
mwang agending, amukul, mamha ngkana, supa reyan, sangunin, hingitungnya, man
ngahana pumasari nayaka.. . . . . .
artinya kira-kira : dan juru gending, juru pukul, juru seruling yang berumah di sana se
tiap bangun itu harus membayar pajak setenngahnya, yang harus diterima kepalanya.
11 Prasasti Batuan, tahun caka .944, tersebut seperti prasasti Abang.
12 Prasasti Dawan, tahun caka 975
tersebut dalam prasasti ini:
yan hana agending ihaji maranemek ngkana ku 2 pawehanya, agending amba-
ran ku 1amukul sa 3 pawehanya ing santuhan aringgit atali tali banjuran weha
nya ku 1 risantukan . . . . . .
artinya kira-kira : jika ada juru gending yang main di istana harus diberi ongkos 2 ku-
pang jika juru pukul gamelan diberi ongkos 3, jika juru suling yang main di istana ha-
rus diberi ongkos 3 saja, setiap perkumpulan ongkos pedalangan wayang, atali-tali ha-
rus juga diberi satu kupang setiap perkumpulan.
Ada tersebut lagi :
Pangupahanya agending 1 sanghyang dharma, ya niwenya ma 6 ring amukul
ma 2 ring tlung wengi, yan tan angga inupah samangkana wenang mangupa-
ha ring ku . . . . . . .
artinya kira-kira: ongkos juru kidung untuk di dalam pura atau bihara besarnya 6 ma-
saka, untuk pamukul gamelan-gamelan 2 masaka selama tiga malam jika mereka tidak
mau ditanggap, maka patutlah diberi biayaku . . . . . . . . . . . .
13 Prasasti Blantih, tahun caka 980.
tersebut dalam prasati ini:
mangkana yan hana abauwal, atapukan, aringgit, pirus, monmon ihaji marane-
mek ku 2 paweha i riya anuhing ku 1, amukul ku 2 paweha 1 ruya.
artinya kira-kira:
demikian pula kalau ada permainan banyol, permainan topeng, wayang lelucon, yang
main untuk raja, maka mereka harus diberi ongkos 2 kupang, untuk perkumpulan ser-
ruling 3 kupang, untuk juru kidung yang mengembara ongkosnya 2 kupang, untuk per
kumpulan seruling mengembara ongkosnya 1 kupang, untuk juru pukul gong yang me
ngembara ongkosnya 2 kupang . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Keberadaan Gamelan
Sejarah telah mencatat bahwa gamelan merupakan salah satu warisan dari produk budaya Hindhu di masa lalu. Gamelan adalah sebuah orkes besar yang terdapat di Jawa dan Bali, terutama terdiri dari alat-alat pukul yang terbuat dari perunggu ( Pringgodigdo dkk., 1973: 427 ). Gamelan sebagai salah satu dari puncak-puncak kebudayaan daerah yang memang menonjol pernah diusulkan oleh Ki Hajar Dewantara dan tokoh lainya sebagai salah satu bentuk kebudayaan Nasional. Ki Hajar Dewantara dan beberapa tokoh lainya memandang bahwa gamelan adalah kesenian yang sebanding dengan art music “ seni musik klasik Eropa” ( Sumarsam, 2003: 14 ).
Gamelan Jawa maupun gamelan Bali, merupakan karya monumental dari nenek moyang bangsa Indonesia yang memiliki nilai setara dengan bangunan-bangunan candi. Gamelan bisa tumbuh dan berkembang dimasa lalu karena pada masa kerajaan Hindhu, raja memberikan perhatian yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan nilai-nilai seni dan budaya. Catatan sejarah membuktikan bahwa ketika kerajaan Hindhu menjadi pusat kekuasaan di tanah Jawa, raja mendorong perkembangan sosial, politik, agama, kesusastraan dan seni. Gamelan adalah salah satu sarana seni atau kesenian yang dikembangkan oleh kerajaan Hindhu di masa lalu.
Gamelan sebagai produk kebudayaan Hindu ratusan tahun silam tidak punah ketika pengaruh kekuasaan kerajaan Hindhu di Jawa pudar. Sampai saat ini gamelan masih tetap eksis, bahkan masyarakat Jawa yang beragama Islam atau beragama lainya saat ini tetap melestarikan seni gamelan, sebagai satu kebudayaan.
Fungsi Gamelan Dalam Masyarakat Hindu
Kegiatan ritual umat Hindu di Bali tidak terlepas dari penggunaan gamelan, sebagai bentuk implementasi dari filsafat dan etika. Penggunaan banyaknya perangkat gamelan tergantung dari besar kecilnya pelaksanaan sebuah upacara.
Bunyi Gamelan dan Prosesi Ritual Hindu di Bali
Umat Hindu dalam pelaksanaan berbagai ritual selalu diiringi bunyi gamelan baik di Bali maupun diluar Bali. Secara filosofis gamelan merupakan replika dari musik yang ada di alam para Dewa, yang diturunkan melalui Dewi Saraswati yaitu manifestasi dari Hyang Widhi dalam wujud seorang wanita cantik yang memegang alat musik, suara itu diturunkan melalui wujud suara Genta.Bunyi gamelan dalam berbagai macam yadnya mampu membetuk suasana yang sakral, suci dan religius.
Esensi Bunyi Gamelan dalam Upacara Dewa Yajna
Hakekat bunyi gamelan pada upacara dewa yajna adalah sebagai persembahan untuk menyenangkan hati para dewa atau Ista Dewata. Bunyi gamelan juga sebagai sarana magis untuk mengundang kekuatan spiritual, menetralisir pengaruh negatip dan mampu mengurangi ketegangan atau gejolak emosi.
Esensi Bunyi Gamelan dalam Upacara Manusa Yajna
Bunyi gamelan dalam upacara Manusa Yajna adalah, untuk menanamkan nilai-nilai seni dari sejak dalam kandungan hingga dewasa. Menanamkan nilai seni sangat penting karena akan membuat perasaan lebih lembut sehingga mampu membuat orang lebih sabar, tenang, damai, memiliki toleransi yang tinggi dan juga sebagai sarana untuk memohon keselamatan, anugrah bagi orang yang diupacarai.
Esensi Bunyi Gamelan dalam Upacara Rsi Yajna
Pada saat ritual Rsi Yajna misalnya pada upacara pediksaan, bunyi gamelan berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan suasana yang sedemikian rupa, sehingga dalam diri calon diksata tercipta suasana pikiran yang suci untuk dikenang seumur hidupnya. Suasana pikiran yang suci tersebut diharapkan selalu terpatri dalam hati sanubari diksita sehingga dalam kehidupanya terpancar getaran kesucian. Getaran kesucian yang dipancarkan oleh para diksita akan sangat menentukan keberhasilan suatu yajna.
Esensi Bunyi Gamelan dalam Upacara Bhuta Yajna
Bunyi gamelan pada upacara bhuta yajna adalah, sebagai sarana penunjang untuk nyomya para Bhuta sebagai kekuatan yang dipercaya sebagai roh atau mahluk halus. Bhuta tersebut ada yang bersifat positif disebut dewa dan yang bersifat negatif disebut raksasa. Dewa dan raksasa pada hakekatnya sama karena inilah yang memutar dunia alam semesta ini. Jika kekuatan bhuta lebih menonjol maka kehidupan akan berantakan untuk itu kekuatan dewa harus selalu menguasai sifat para raksasa atau bhuta. Manusia memiliki andil yang besar sebab manusia mempunyai tugas nyomya dan inilah tugas yang paling mulia dari manusia, untuk itu digunakanlah bunyi atau suara gamelan.
Esensi Bunyi Gamelan dalam Upacara Pitra Yajna
Uacara pitra yajna adalah upacara yang terkait dengan kematian yang di dalamnya terkandung beberapa makna, ditujukan kepada atma atau roh yang telah meninggalkan badan agar sampai di alam yang damai, agar yang ditinggalkan tidak dibelenggu dengan kesedihan. Untuk maksud tersebut dalam ritual pitra yajna menggunakan beberapa sarana yang salah satunya adalah gamelan untuk mengiringi atma dalam perjalananya.
Efek Bunyi Gamelan Terhadap Hubungan Sosial
Melalui gamelan dapat mempengaruhi kecerdasan spiritual, emosi sosial, kesadaran sosial, keperdulian sosial, persekutuan sosial, sehingga melalui gamelan dipandang mampu mempersatukan umat manusia dengan ikut bergabung dalam latihan gamelan misalnya, sebab dengan latihan megamel bahwa seseorang mau tidak mau harus belajar menendalikan dirinya. Dalam skup yang kecil gamelan dapat menciptakan solidaritas sosial, tanggung jawab sosial, keperdulian sosial seperti perasaan senasib dan sepenanggungan. Dalam skup yang lebih besar gamelan menjadi sarana untuk melakukan gerakan kemanusiaan dalam mencari dana kemanusiaan, dana pembangunan fasilitas sosial kemasyarakatan dan yang lainya.
Bunyi Gamelan Sebagai Media Informasi
Melalui mendengarkan bunyi gamelan kita dapat mengetahui sedang berlangsungnya proses ritual di sebuah tempat. Banyak orang dari jauh dapat mengetahui ada sebuah ritual mengenai proses dan urutan dari tahapan-tahapan pelaksanaan upacara melalui bunyi gamelan tersebut.
Gamelan Meningkatkan Rasa Kebersamaan, Persatuan dan Kesatuan
Walaupun bukan sebagai satu-satunya sarana namun dengan adanya bunyi gamelan yang ditabuh dalam lingkungan umat Hindu minimal seluruh umat mendengar dengan caranya sendiri-sendiri, dan ini merupakan suatu wujud kebersamaan dan ini berarti, bunyi gamelan memberi andil dalam proses mewujudkan kebersamaan, perdamaian dan persatuan. Dalam banyak tulisan tentang musik termasuk gamelan dinyatakan bahwa gamelan memiliki nilai universal yang dapat mempersatukan umat manusia. Melalui gamelan orang tetap dapat bersatu dalam segala perbedaan dan perbedaan itu dapat dipertahankan asal tahu menempatkan perbedaan tersebut. Sungguh indah pelajaran yang dapat dipetik dari organisasi gamelan dan bunyi gamelan, karena mampu menjadi sarana iteraksi untuk merukunkan umat.
“WIRANJAYA”
Pulau Bali yang telah terkenal keseluruh Dunia, selain karena keindahan alamnya, juga disebabkan oleh berbagai jenis dan berbagai ragam kesenian yang unik sesuai adat dan budaya pada masing-masing daerah di pulau Dewata ini.
Keberadaan kesenian sampai saat ini adalah merupakan salah satu warisan dari produk budaya Hindu dimasa lalu. Mengenal berbagai bentuk dan jenis-jenis kesenian yang merupakan warisan kepribadian sendiri sebagai sifat-sifat naluri kita yang hakiki dalam rangka untuk memelihara dan melestarikan kesenian-kesenian yang merupakan kekayaan budaya yang tidak ternilai, seperti halnya beberapa tarian yang lahir di daerah Bali utara.
Tari memang sudah ada dari sejak jaman dahulu, namun masih bersifat sangat sederhana, gerakan-gerakanya bebas dan mengandung unsur-unsur religius serta sakral, yang keberadaanya sampai sekarang masih dapat dijumpai di beberapa daerah di Pulau Bali.memasuki awal abad ke-xx, sekitar tahun,1915 di Bali Utara, tepatnya di Desa Jagaraga,munculah sebuah barungan gong kebyar,dengan nama-nama tabuh atau gending yang sangat sederhana yaitu: kebyar dong, kebyar dung,kebyar deng, kebyar ding dan kebyar dang. oleh seorang seniman dari Tabanan yang bernama I Mario, ( almarhum ) tabuh ke-kebyaran ini dijadikan inspirasi untuk menciptakan sebuah tari yaitu: tari kebyar.yang belakangan sering disebut dengan tari kebyar duduk,terinspirasi dari kelincahan para penabuh yang seolah-olah sambil menari, seperti digambarkan dalam tari kebyar terompong.
Dalam perjalananya, dikembangkan di daerah Bali Selatan dan Timur, sehingga terciptalah tari Oleg Tamulilingan, yang mengisahkan kehidupan dua ekor kumbang yang berkejar-kejaran di taman bunga yang indah, yang gerakan-gerakanya terinspirasi dari gerakan- gerakan tari balet. dalam masa penjajahan Jepang,sempat mengalami kemandegan yang cukup lama dan munculah tarian-tarian yang menggambarkan perlawanan terhadap penjajah, seperti tari: Mergepati, wiranata, Demangmiring, Pandji Semirang, Tani, Nelayan dan Tenun yang akhirnya berkembang keseluruh pelosok.
Dengan berdirinya LISTIBIYA, mengantarkan Bali kembali ke-kebudayaan aslinya yang luhur dan berkepribadian, dengan diadakanya Merdangga Utsawa pada tahun 1968 di seluruh Bali.dengan demikian tari kebyar yang tadinya agak mandeg mulai bangkit lagi secara serentak.perkembanganya sampai saat ini sangat mengembirakan,seperti halnya tari Wiranjaya, yang direkontruksi oleh ISI Denpasar.
“KOMENTAR DARI HASIL REKAMAN SEBUAH PEMENTASAN”
Dalam kesempatan ini sehubungan dengan tugas perkuliahan , saya ingin menaggapi
hasil rekaman sebuah pertunjukan, yang merupakan bagian dari TA Jurusan Seni Karawitan
Program I-MHERE ISI Denpasar Tahun 2010, Rekontruksi Gending-gending Gong Kebyar Bali Utara, yaitu tari wiranjaya.
Tari wiranjaya adalah maskot seni kebyar masyarakat Dauh Enjung ( Buleleng Barat ) yang tercipta kira-kira tahun 1950-an. Pada kemunculanya dulu sempat bersanding dengan tari Taruna jaya yang juga lahir di Buleleng merupakan kebanggaan masyarakat Dangin Enjung atau tepatnya di Buleleng Timur.Tarian ini sama-sama terlahir dari tari kebyar legong. Disebut kebyar legong karena tari yang menggabungkan elemen-elemen musik Bali.Tari Wiranjaya ini bertutur tentang para kesatria Pandawa yang sedang latihan memanah, terlihat dari tata busananya yang bernuansa pewayangan.
Adapun materi yang akan saya tanggapi, adalah merupakan hasil dari program tersebut di atas yaitu, Tari Wiranjaya. Secara umum bisa saya sampaikan bahwa pementasan tersebut sudah sangat bagus, namun ada beberapa bagian pendukung dari pementasan tersebut yang kiranya perlu untuk dicermati kembali.
Beberapa hal yang bisa saya sampaikan sehubungan dengan hasil rekaman pementasan tersebut
diantaranya :
- Tata lampu, seharusnya luas panggung dibagi 9. Sorotan lampu dari depan menghadap ke atas akan menyilaukan serta mennimbulkan kesan menyeramkan.
- Sound sytem, untuk instrumen suling kurang kedengaran, begitu juga dengan gong.
- Penempatan janur dan lampu di depan panggung mengganggu pandangan penonton, begitu juga dengan tulisan pada sepanduk dengan tayangan judul pada rekaman.
- Kapasitas panggung , terkesan agak dipaksakan karena penari terlihat agak kurang leluasa untuk menari bahkan nyaris bersinggungan dengan pemain kendang. Penataan instrumen terlihat kurang seimbang satu sisi terlihat berjejal sedangkan sisi lainya sangat lengang.
Demikianlah beberapa hal yang bisa saya berikan komentar, menurut pandangan saya sendiri. Kiranya terdapat ucapan yang kurang berkenan melalui kesempatan ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Sekian dan terima kasih.
“GONG LUANG”
Gong Luang merupakan salah satu gamelan yang tergolong tua, yang mana satu-satunya yang terdapat di kabupaten Badung adalah di desa Kerobokan, adapun dengan repertoarnya yang masih ada seperti :
- Pengarit ( pengawit ) untuk pembukaan
- Kembang barig, untuk melasti
- Gendang puyung, untuk ngelinggihan Betara
- Belumbungan untuk iringan pemujaan Ida Betara
- Lilit, untuk muspa
- Ayat, untuk ngayat Ida Betara
- Tayog, untuk iringan pendet
Di Kerobokan sendiri gong Luang memiliki fungsi ganda yaitu untuk upacara Dewa Yajna dan Pitra Yajna. Di Kerobokan atau mungkin di kabupaten Badung Gong Luang selalu identik dengan upacara Atma Wedana ( Nyekah Bukur ) tapi di Kerobokan sendiri sesuai gending-gending yang ada dipergunakan juga untuk mengiringi prosesi Piodalan di Pura- pura setempat, bahkan belakangan dipergunakan untuk mengiringi tarian Rejang, Baris Punia dan Drama tari ( Petopengan ). Gong Luang merupakan gamelan yang langka keberadaanya, dari segi barunganya jarang sekali pertumbuhanya dibandingkan dengan barungan gamelan yang lainya, seperti gong kebyar ataupun semar pegulingan.
Di kalangan masyarakat Hindu di Bali, Gong Luang dipercaya dapat mengantarkan roh orang yang meninggal kembali kepada asalnya yaitu ke alam para Dewa. Hal ini menunjukan bagaimana kedudukan Gong Luang sebagai unsur seni yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas dalam upacara pitra yajna. Gamelan Gong luang di Kerobokan dianggap sebagai gamelan yang sakral. Untuk menjaga kesakralan gamelan Gong Luang tersebut dengan cara menghaturkan sesaji ketika akan pentas ( muputin wali ).
Fungsi estetis dari pada Gong Luang di Kerobokan akan nampak pada upacara atma wedana atau nyekah bukur dari yang nista, madya maupun yang utama ( nyatur bah ) yaitu, mulai dari prosesi mepurwa daksina, ngaturan pemendakan, wali, nulek ajengan prelina dan puncaknya pada prosesi mapralina dan waktunyapun pada jam-jam tertentu yang dianggap sebagai waktu yang begitu tenang biasanya sekitar jam 03,00 menjelang pagi, suasana begitu terasa sangat sakral dan magis dibalut dengan tetabuhan dari pada Gong Luang, jadi suasana terasa sangat begitu hening. Namun belakangan sangat disayangkan karena peran Gong Luang sering digantikan dengan Gong Kebyar, maka nilai sakralnyapun akan terasa kurang hal ini patut menjadi renungan kita bersama. Sama halnya ketika peranan Anklung keklentangan digantikan dengan Gong Kebyar pada prosesi memandikan jenasah disuatu upacara pengabenan nilai estetisnya akan menurun, mungkin Gamelan Gambang akan terasa lebih tepat dibandingkan dengan menggunakan gong Kebyar.
Dalam sajian ritual pitra yajna gamelan Gong Luang dapat membangkitkan rasa estetis yang bernuansa spiritual. Hal ini terkait dengan karakter gamelan Genta Pinara Pitu. Sebagaimana disebutkan dalam Prakempa ( Bandem, 1986 : 13 ), bahwa nada genta pinara pitu diciptakan oleh Bhagawan Wiswakarma. Ciptaan nada itu mengambil dari bunyi atau suara delapan penjuru Dunia yang bersumber pada dasar bumi. Suara itu dibentuk menjadi sepuluh suara atau nada yang selanjutnya bisa dibagi menjadi laras pelog dan laras slendro.
Nada-nada genta pinara pitu disebutkan mempunyai kaitan dengan panca tirta dan panca geni, yang merupakan dua keseimbangan hidup manusia. Sejalan dengan ini laras pelog mempunyai hubungan dengan panca tirta yang merupakan manifestasi dari Bhatara Semara dan laras slendro mempunyai hubungan dengan panca geni yang merupakan manifestasi dari Dewi Ratih. Dari penggabungan nada-nada yang dijiwai oleh Semara dan Ratih akan menimbulkan kenikmatan yang berimbang antara kekuatan Purusha dan Pradana.
Dari semua hal tersebut bahwasanya makna estetis dari gamelan Gong Luang, dalam kaitanya dengan upacara pitra yajna tidak terbatas hanya sebagai pelengkap prosesi upacara saja. Gamelan Gong Luang memiliki makna yang lebih dalam terutama jika dikaitkan dengan nada-nada yang dimiliki dan tabuh-tabuh yang dimainkan menggunakan gamelan ini.
Dari semua hal tersebut diatas dapat kami simpulkan bahwa:
Gamelan Gong Luang adalah termasuk gamelan golongan tua yang keberadaanya sangat langka dan satu-satunya di kabupaten Badung hanya ada di desa Kerobokan.
Fungsi dari Gong Luang khususnya di Kerobokan adalah untuk ritual Dewa yajna dan Pitra yajna, namun ada pergeseran akibat pengaruh dari pada gamelan Gong Kebyar yang sekarang banyak menggantikan peranan Gong Luang bahkan peranan gamelan lainnya.
Dalam kaitanya dengan upacara pitra yajna Gong Luang dipercaya dapat mengantarkan roh orang meninggal untuk kembali ke alam para Dewa, hal ini menunjukan bahwa Gong Luang juga dipercaya dapat meningkatkan kualitas suatu upacara.
Gong Luang juga merupakan gamelan yang terkait dengan gamelan genta pinara pitu,sebagaimana disebutkan dalam Prakempa.
KOMENTAR DARI REKAMAN VIDEO, YANG MERUPAKAN BAGIAN DARI “REKONTRUKSI GENDING-GENDING GONG LUANG”
Dalam sebuah rekaman apapun jenis dan bentuknya sudah barang tentu kita akan selalu dihadapkan dengan beberapa permasalahan, yang mempunyai keterkaitan yang satu dengan yang lain sehingga diharapkan dapat membentuk satu kesatuan yang utuh dan mampu mencerminkan tingkat profesionalisme seseorang.
Beberapa hal yang terkait dengan persoalan di atas antara lain:
ª Setting dari instrument
ª Sound system
ª Tata lampu / lighting
ª Tehnik pengambilan gambar
ª Penempatan personel
- Setting instrument, tampaknya sudah bagus menurut apresiasi saya.
- Penempatan sound system, tampaknya perlu ada penambahan, terutama pada beberapa instrument: jublag, jegogan dan Gong yang tidak begitu jelas kedengaran.
- Tata lampu atau lighting, sudah bagus dan merata.
- Pengambilan gambar juga sudah bagus, menurut pendapat saya.
- Penempatan personel, disini tampak bahwa penembang menghalangi beberapa instrument dan pemukulnya dan penembang yang laki-laki lagi beberapa orang di belakangnya juga tidak nampak secara utuh. Jadi intinya perlu ada pembenahan.
Seperi itulah yang kiranya yang bisa saya sampaikan, sesuai dengan sebuah tugas perkuliahan Pengetahuan Multi Media II. Pendapat ini tidaklah mencerminkan bahwa saya seorang yang profesional dalam bidang tersebut, ini hanyalah sebuah pendapat saja.Kadang –kadang seorang penonton lebih pintar dari pemain, yang sesungguhnya sudah secara profesional bermain demi memenangkan sebuah pertandingan. Seperti itulah seorang penonton, mereka bisa tertawa ,menangis, marah dan bahkan beringas serta cendrung bertindak anarkis.
Jika ada ucapan ,tindakan yang tidak berkenan di hati baik yang sengaja maupun tidak sengaja saya atas nama pribadi mohon maaf yang sebesar-besarnya,dan melalui kesempatan ini kami ucapkan terima kasih.