SENIMAN/ TOKOH
NAMA: I NENGAH KUNDRA . LAHIR, DI KEROBOKAN, TAHUN 1942.
Dalam kesempatan ini, sehubungan dengan beberapa tokoh seni atau seorang tokoh seni, saya akan mengangkat sosok seorang seniman lokal dari desa Kerobokan. Adalah bapak I Nengah Kundra, lahir di Kerobokan tahun 1942, pada masa penjajahan Jepang. Kecintaanya terhadap seni merupakan warisan bakat yang turun- temurun dari kakeknya yang ketika itu sebagai penabuh tari barong di Pura Batur Desa Adat Kerobokan, kira-kira tahun 1920-an pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Sekitar tahun 1954, ketika masih duduk dikelas II Sekolah Rakyat / SR Bapak I Nengah Kundra sudah aktif sebagai penabuh batel suling, yang waktu itu digunakan dalam acara piodalan di Pura-pura di lingkungan desa setempat. Setelah itu berkembang menjadi sekehe batel wayang yang terdapat di Banjar Gadon Kerobokan dan sampai sekarang masih dipergunakan untuk mengiringi perunjukan wayang kulit, oleh beberapa Dalang di kabupaten Badung dan Kota Denpasar.
Setelah tamat SR tahun 1958, mulai menjadi penabuh barong di Pura Batur Kerobokan, yang dilatih oleh Bapak I Nyoman Rideg dari Legian. Ketika itu pelatih masih dijemput memakai sepeda dayung. Sempat belajar gender wayang, namun tidak berlangsung lama karena, uang teman-temanya dicuri oleh pelatihnya, akhirnya terjadi kesalah fahaman. Latihan tidak bisa dilanjutkan lagi. Bapak I Nengah Kundra juga berguru kendang kekrumpungan di beberapa tempat di Denpasar, antara lain: di Bantang Pejuh, Sesetan pada Bapak I Wayan Garus, di Muding Kerobokan Pada Bapak I Wayan Redug, di Legian Pada Bapak I Nyoman Rideg, di Pemedilan Denpasar pada Bapak I Nyoman Dendi ( alm ) pada tahun 1960, sebagai seniman janger yang pada waktu itu disebut janger Marhaen karena di bentuk oleh Partai Nasional Indonesia Marhaenisme yang merupakan suatu organisasi politik, pada waktu itu dilatih oleh Bapak Pikul dari banjar Gaji Dalung.
Pada tahun 1960-an ini juga ikut aktif dalam organisasi pencak silat Bakti Negara. Latihanya ketika itu di pantai Sanur, pelatihnya waktu itu adalah bapak Wirsana dari banjar Kaliungu,Denpasar. Pada waktu itu juga menjadi anggota GOP ( Gabungan Organisasi Pencak silat ) dengan pelatih Bapak Glebus dari Gerenceng Denpasar. Pada tahun 1960-an ini, juga ikut membentuk Legong gabungan Kerobokan, di rumah Bapak Deger yang sering dipanggil Bapak Sangket dari Banjar Petingan Kerobokan, bersama bapak I Wayan Badoh yang ketika itu bekerja di URIL, yang sekarang menjadi AJENDAM. Di tahun yang sama juga ikut dalam membentuk LKN, Kuta Utara. LKN adalah Lembaga Kesenian Nasional Kuta Utara yang dibentuk oleh Partai Nasional Indonesia, yang latihanya di Dalung bertempat di rumah Anak Agung Ngurah Oka.
Pada tahun 1963, juga aktif di Sekehe Gong Br. Kulibul, bersama Bapak I Nyoman Kurdana ( mantan Lurah Canggu , Alm ) dan Bapak I Nyoman Kawantara juga dari Canggu. Pada saat itu Juga turut dalam Sekehe Gong Br. Batuculung Kerobokan, mencari gending- gending untuk mengiringi Legong dan tari lepas.
Bapak I Nengah Kundra juga merintis berdirinya legong angklung Purnama Budaya yang resmi berdiri pada bulan Oktober 1963 dan dibekukan pada tahun 1965, karena adanya peristiwa pemberontakan G-30-S, PKI.
ª Setelah itu pada tahun 1967, membuat tabuh drama dari angklung kebyar, di Banjar Tegeh Sari, Desa adat Kerobokan, Kodya Denpasar.
ª Pada tahun 1969, ikut merintis berdirinya Sekehe Gong Candra Metu Br. Gadon, Kerobokan.
ª Pada tahun yang sama juga ikut Nanginin Petapakan Barong Bangkal ( Dewa Ayu Batan Pempatan ), di Pura Tegeh Sari, yang berada di depan balai Br. Batubidak.
ª Antara tahun 1969 sampai tahun 1970, juga memberi pelajaran menabuh anklung di Br. Uma Klungkung, Desa Padang Sambian Kaja.
Memasuki tahun 1970, ikut begabung di yayasan Eka Satya Budaya Kerobokan.
Yayasan Eka Satya Budaya adalah, sebuah yayasan yang ber-anggotakan seniman-seniman inti dari seluruh banjar yang ada di Desa Kerobokan, ynang dipusatkan di Jero Kelodan Kerobokan ( moncol Lanang Wayahan Celuk ) merupakan salah satu dari 33 ke- Moncolan yang ada di “Puri Agung Pemecutan Denpasar”. Anggota yayasan yang I aktif kurang lebih 18 tahun selanjutnya dibubarkan, tahun 1988 dan digantikan oleh generrasi sekarang. Selama waktu tersebut, beberapa kali telah mengikuti festival gong kebyar, dan bebrapa kali membuat garapan sendratari. Pertama menggarap sendratari Ramayana dengan pelatih A A Ngurah Yadnya dari Taman Punggul, dalang oleh Bapak Made Persib. Sendratari Durma, Nara Kesuma dan terakhir Watu Gangga. Festival I tahun 1975 di Pemedilan Denpasar dengan Desa Sanur, ke II di Art Centre dengan desa Sesetan dan yang terakhir festval Legong antara Kerobokan dengan desa Bualu Br. Peken di banjar Buni Kuta, dimenangkan oleh Kerobokan. Pelatih yang biasa melatih di Kerobokan waktu itu adalah, Bapak I Ketut Gede Asnawa, Bapak Komang Astita, Bapak Nyoman Suarsa dan Bapak I Nyoman Catra.
Pada waktu itu sekehe gong Eka Satya Budaya, cukup dikenal karena paling pertama memiliki PATREM untuk bisa pentas di Hotel-hotel Sanur, Kuta dan Legian. Waktu itu tidak ada istilah Gong mini , barunganya harus lengkap tidak seperti sekarang ini.
Kembali lagi ke TOKOH, pada tahun 1980-an juga memberi pendidikan menabuh di Banjar- banjar dilingkungan desa maupun di luar desa antara lain;
ª Di Banjar Tiying Tutul, Tumbakbayuh, barungan angklung bilah 5, di tutup latihanya dengan pementasan prembon Bapak Kadek Moleh, masih menggunakan penerangan lampu petromak.
ª Di Jero banjar Tiying Tutul, Pererenan, barungan Gong Kebyar.
ª Di banjar Pengembungan desa Buduk, barungan Gong, dengan tabuh Lelambatan.
ª Di banjar Dukuh Pandean, desa Munggu, barungan Angklung, tabuh Keklentangan.
ª Di banjar Aseman Kangin, desa Canggu, kegiatan Pemuda-pemudi, Tari lepas dan Drama gong.
ª Di banjar Kangkang, desa Buduk, batel wayang.
ª Di banjar Uma Candi, Buduk , barungan Angklung.
ª Di banjar Kung desa Dalung , angklung Keklentangan.
ª Di banjar Kelakahan Kaja, desa Buwit Tabanan, gong kebyar bilah 9.
ª Di banjar Delod Uma, desa Kaba-kaba, Tabanan, barungan angklung.
ª Di banjar Merta Sari, Buwit, Tabanan, barungan Angklung.
ª Di banjar Celuk ,Desa Padang Luah, Dalung, angklung dan gong kebyar PKK.
ª Di banjar Kuwum , kerobokan, barungan gong.
ª Di banjar Babakan ,kerobokan , barungan angklung.
ª Di banjar Umalas Kauh , kerobokan barungan angklung.
ª Di banjar Pengubengan Kauh kerobokan , Angklung, Baleganjur dan Gong kebyar.
ª Di banjar Pengipian kerobokan, Baleganjur dan angklung.
ª Di banjar Petingan kerobokan, barungan Gong Kebyar.
ª Di banjar Muding Kaja kerobokan, barungan Gong Kebyar.
ª Di banjar Muding Kelod kerobokan, barungan Gong Kebyar.
ª Di banjar Kelan desa Adat Kelan barungan angklung Kebyar, milik perorangan.
ª Pada tahun 1982, membuat tabuh drama gong untuk kegiatan muda-mudi di Br. Jambe, Kerobokan sebanyak dua kali , Jaya prana dan Gede Basur.
ª Di tahun 1989, ikut mendukung ujian tugas akhir, Bapak I Made Marajaya, S.SP., M,Si,.wayang kulit diiringi angklung kebyar.
ª Tahun 1991 dan 1992, mengkoordinir, angklung Purnama Budaya Br. Batubidak, dalam rangka lomba angklung keklentangan tingkat Kabupaten dan Propinsi.
ª Pada tahun 1992,juga turut membantu menyukseskan Drama Gong sekehe Truna-truni Br. Ayar Kaja Kerobokan, karena ada alasan politis waktu itu menjelang PEMILU 1992, gamelan yang ada di banjar tidak dikasi memakai terpaksa meminjam gamelanya di Jero Tiying Tutul, waktu akan pentas di desa Gablogan Tabanan.
ª Tahun 1997-1998, turut serta dalam pembentukan sanggar Candra Metu,Br. Gadon Kerobokan dan ikut membantu ujian tugas akhir Kadek Sunatra, yang sekaligus menjadi pimpinan sanggar saat ini.
ª Pada tahun 1999, berkesempatan mengikuti Pekan Wayang Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah, bersama Dalang Ida Bagus Sudiksa di Jakarta dari tanggal 7 –14, agustus 1999 yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Bali
ª Pada tahun 2002, mengisi acara PKB yaitu Parwa Kabupaten Badung bersama sanggar dari desa Kapal, pimpinan A A. Rai Sudarma dan A A Ngurah Windia dari Carang Sari.
ª Di usianya yang mau menginjak 70 tahun, masih aktif sebagai penabuh batel untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit dan menabuh geguntangan.
Karena lahir dilingkungan keluarga yang miskin secara finansial ,sehingga tidak bisa menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun demikian bapak I Nengah Kundra juga bekerja ,karena sebagai seniman ketika itu tidak banyak yang bisa diharapkan tidak seperti sekarang ini, semata-mata hanya untuk pengabdian serta gotong royong. Bapak I Nengah Kundra dan istri bekerja sebagai tukang bangunan dari tahun 1967 seiring dengan bangkitnya jaman ORBA, banyak terdapat proyek-proyek yang waktu itu disebut INPRES yang waktu itu berlokasi di SD Penatahan Tabanan, selanjutnya ikut pryek PP yang waktu itu mengerjakan Gedung Keuangan Negara di Renon Denpasar, setelah itu sekitar tahun 1970-an bekerja di proyek pembangunan Taman Budaya ( Art Centre ) waktu itu diangkat sebagai mandor sambil bekerja , mengerjakan Gedung Perpustakaan, mengerjakan kalangan –kalangan Cak sebutanya ketika itu oleh, seorang arsitek Ida Bagus Soba dari Griya Sangeh yang waktu itu beliau tinggal di Jalan Suli Denpasar, yang sekarang beliau sudah menjadi seorang Sulinggih ( Peranda ) dan kembali ke Griya Sangeh. Akhir –akhir pembangunan Taman Budaya pernah ditawari menjadi pegawai Art Centre waktu itu memasang sepanduk pengepakan Gamelan yang akan di bawa ke luar negeri, tapi Bapak I Nengah Kundra tetap memilih profesinya yang sekarang. Pada tahun 1980-an mulai bekerja di proyek proyek PT Tunas Jaya Sanur, waktu itu sedang gencar-gencarnya pembangunan kawasan Legian dan Kuta ,membangun beberapa hotel antara lain : Rama Garden, Ramayana, Rama Beach, Rama Palace, Bali Rani, Puri Bali, Keraton, Bali Regent, Bali Niksoma, Bali Imperial, Sanur Beach, Palm Beach, Pasar Ketapian, Bank Pasar Umum, Bank Dagang Bali,dan banyak lagi yang tidak bisa disebutkan secara rinci, dan berkabung di C.V. Sadhu Karya terakhir mengerjakan SMP DarmaPraja Lumintang Denpasar, juga bekeja di C.V. Cakra Bhuana, C.V. Karmalan Jaya, terakhir mengerjakan Restaurant Laluciola Petitenget Badung, C.V. Singasana, dan mencoba mandiri mengerjakan bangunan – bangunan pribadi sampai tahun 2003, pada tahun 2004 bergabung di PT. Nuansa Puri Bali, tahun 2006 sampai sekarang masih bekerja mengerjakan bangunan-bangunan milik pribadi, namun tidak bisa bekerja langsung namun hanya membantu mengawasi pekerjaan sambil mengisi hari tua disamping juga masih aktif sebagai seniman khususnya pesantian dan Batel wayang, sebagaimana diketahui orang tua kuno tidak mungkin bisa diam semasih mereka mampu untuk berbuat.
SEJARAH ANGKLUNG “ PURNAMA BUDAYA”BANJAR BATUBIDAK , KEROBOKAN ,KUTA UTARA , BADUNG
“OM SWASTIASTU”
PROFIL DESA KEROBOKAN
Kerobokan dulunya pemerintahanya menggunakan istilah “ Perbekel” dan kebanyakan mata pencaharian masyarakatnya sebagai petani. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, maka pemerintahanyapun tidak lagi menggunakan istilah Perbekel, dengan sebutan “Kepala desa” dan dengan diberlakukanya Undang- undang Otonomi Daerah, desa kerobokan dibagi menjadi tiga pemerintahan yaitu: “Kerobokan Kaja, Kerobokan dan Kerobokan Kelod”, dengan status Pemerintahanya memakai status “ Kelurahan”, namun tetap menjadi satu Desa Adat yakni “ Desa adat Kerobokan”.
Desa adat Kerobokan, terdiri dari : dua puluh lima Banjar Dinas dan empat puluh delapan Banjar Adat. Mengempon “ satu Pura Desa Puseh, satu Dang Kahyangan ( Pura Petitenget ) dan lima pura Kahyangan”, termasuk salah satu di dalamnya Pura Dalem Kerobokan, yang letaknya paling Utara dan termasuk ke dalam wilayah “ Banjar Adat Batubidak”.
HUBUNGAN PURA DALEM KEROBOKAN dan SEKEHE ANGKLUNG “ PURNAMA BUDAYA” BANJAR BATUBIDAK KEROBOKAN
Pada awal- awal kemerdekaan , Pura Kahyangan Tiga dan Sad Kahyangan yang berada dilingkungan wilayah Desa Adat Kerobokan, diempon oleh warga banjar yang terdekat dengan Pura tersebut, dibantu oleh warga yang dapat mengerjakan tanah “ Pelaba Pura”atau dengan kata lain mendapat Catu /Pecatu, sehingga mereka memiliki kewajiban untuk menghaturkan Piodalan di Pura tersebut. Karena lokasi Pura Dalem Kerobokan berdampingan dengan “ Pura Bujangga Waisnawa” dan “Pura Hyang Ratu Gede Pengubengan” maka penyungsungnya menjadi pengempon utama dari pada Pura Dalem Kerobokan, yang mayoritas merupakan cikal bakal pendiri Sekehe Angklung Purnama Budaya Banjar Batubidak Kerobokan.
TERBENTUKNYA SEKEHE ANGKLUNG “ PURNAMA BUDAYA” Br BATUBIDAK
PERIODE, TAHUN 1940 -1962
Mayoritas kehidupan masyarakat pada saat itu sebagai petani, sehingga mereka bebas menentukan waktu mereka bekerja tanpa adanya ikatan jam kerja. Pada umumnya mereka pagi-pagi buta sudah berangkat ke lahan mereka masing-masing dan ketika hari sudah mulai agak panas biasanya mereka akan segera beranjak pulang. Sisa waktu biasanya dimanfaatkan berkumpul diluar rumah sambil membawa ayam aduan mereka masing-masing. Hiburan pada saat itu agak jarang ,tidak seperti sekarang.
Berawal dari kecintaan mereka terhadap seni, akhirnya mereka sepakat membuat seperangkat gamelan angklung, melalui kelompok pemetik padi, yang dalam istilah balinya disebut “ sekehe manyi ,mereka membeli seperangkat gamelan sedikit demi sedikit sehingga menjadi seperangkat angklung “ keklentangan”. Setelah seperangkat gamelan terbentuk , karena di Bali tidak bisa terlepas dari yang namanya upakara untuk kesucian barungan gamelan tersebut.
Keinginan untuk mendapatkan taksu, atas kesepakatan akhirnya mereka mohon taksu atau mendak Pregina di Pura Dalem Kerobokan. Sebagai rasa sujud bakti sekehe angklung akan selalu siap ngayah setiap ada keperluan gamelan, mulai dari Pujawali, Melasti, Caru atau Tawur Agung termasuk juga acara pengabenan masal yang diselenggarakan oleh Pura Dalem Kerobokan dan ini masih tetap berlaku sampai pada saat ini.
Mengingat luasnya wilayah Desa Adat Kerobokan, banyaknya Pura-pura Paibon, dan minimnya jumlah Gamelan pada saat itu maka keberadaan Sekehe Angklung sangat membantu kegiatan adat di Desa kerobokan , mulai dari ; upacara Pitra Yajna, Dewa Yajna, Manusa Yajna dan lain-lainya. Adapun gending –gending yang disajikan pada saat itu , hanyalah tabuh-tabuh keklentangan. Dengan kondisi seperti ini sangat mendukung perkembangan angklung Purnama Budaya, karena dengan seringnya mereka diupah, tentunya sekehe yang bersangkutan bisa memiliki khas, yang akan digunakan untuk melengkapi dari pada barungan gamelan tersebut, diantaranya, satu buah Gong yang terbuat dari Drum, sepasang kendang besar dan mengganti Pelawah Gamelan yang pertama, yang konon bentuknya sangat sederhana sekali.
PERIODE , TAHUN 1962 – 1965
Pada periode ini, terjadi regenerasi yang merupakan generasi ke -2 di sekehe Angklung Purnama Budaya. Setelah memiliki instrument Gong dan Kendang besar mulailah mereka mencari Tabuh-tabuh petegak, Pelegongan dan tari Lepas. Inilah yang merupakan awal mula berdirinya Legong Angklung “ PURNAMA BUDAYA” Br. Batubidak Kerobokan, dengan pelatih tabuh waktu itu adalah Bapak I Nyoman Dendi ( almarhum ), dari Banjar Pemedilan Denpasar. Para penarinya pada saat itu diambil dari beberapa banjar yang merupakan PENGEMPON DALEM antara lain : Banjar Batubidak, Banjar Babakan dan Banjar Batuculung. Tarian yang dicari antara lain seperti :
- Tari Pendet , dengan 4 orang Penari.
- Tari Marga Pati.
- Tari Tenun.
- Tari Wiranata.
- Tari Panji Semirang.
- Tari Oleg Tamulilingan.
- Palawakia.
- Legong Keraton.
Semenjak resmi berdiri legong angklung Purnama banyak mendapat undangan pentas di desa-desa lain. Menurut penuturan Bapak IKetut Sunia (85 tahun) selaku nara sumber, ketika mereka pentas di tempat lain, rombongan sering dihadang di tengah perjalanan biasanya, jalan-jalan dipenuhi dengan bambu, batu, kayu dan material-material lainya. Hal ini merupakan konsekwensi dari situasi politik yang bergejolak ketika itu. Menurut Bapak Ketut Sunia misalnya ketika rombongan pentas di Desa Sembung dan di Bukit, bahkan kuda penarik kereta juga dilempari orang tak dikenal. Jadi bisa dibayangkan bagaimana rawanya situasi ketika itu, transportasi satu-satunya saat itu adalah dokar, juga tidak ada penerangan listrik. Setelah terjadinya peristiwa G-30 S PKI, menyebabkan legong Angklung Purnama dibubarkan (mesimpen ), dengan suatu upacara yang disebut dengan Metebasan dengan sarana utama yaitu memakai seekor burung Cinglar.
Walaupun legong telah dibubarkan, kegiatan sekehe angklung masih tetap berjalan sebagaimana mestinya, karena Gamelan saat itu masih langka. Tapi untuk upacara Dewa yajnya mereka sudah memakai Gong dan kendang besar ( cedugan / gupekan ), dan untuk Pitra Yajnya mereka memakai tabuh-tabuh kekelentangan, jadi sudah mulai ada perbedaan dalam pemakaian instrument. Ini berlangsung sampai tahun 1980-an.
PERIODE, TAHUN 1980 -2008
Pada periode ini merupakan, generasi ke-3 dan ini merupakan awal mula penambahan kata Budaya , yang dulunya hanya “Legong Angklung Purnama” dan sekarang menjadi “Angklung Purnama Budaya”. Perkembangan yang terjadi pada periode ini adalah mentransfer tabuh-tabuh seperti: tari Panyembrahma, Baris tunggal, Jauk, Baris Tekok Jago , Petopengan, Prembon, Manuk rawa, Kidang Kencana, Jaran Teji, Yuda Pati, Rejang Dewa dan beberapa tabuh-tabuh lelambatan.
Pada tahun 1989, untuk pertama kalinya menggarap tabuh untuk mengiringi pementasan Wayang Kulit bekerja sama dengan Dalang Bapak I Made Kembar dari Padang Sumbu Kelod. Pementasan tersebut terbilang sukses karena, mendapat sambutan yang bagus dari masyarakat, sehingga undangan untuk pentas sangat padat sekali hingga hampir menjangkau semua kabupaten di Bali, disebabkan untuk pertama kalinya pertunjukan wayang kulit dikemas dalam bentuk lain yang biasanya hanya diiringi oleh gender dan batel saja.
Di periode ini juga untuk pertama kalinya pak Made Kembar menggunakan iringan Gong Kebyar, yaitu gong Padang Sumbu, selanjutnya memakai pelegongan ( gender rambat ),oleh sanggar Candra metu Br. Gadon kerobokan dan terakhir berkembang memakai gamelan Semar Pegulingan yang dipopulerkan oleh wayang kulit Cenk Blong Belayu. Namun ketika itu hanya yang memakai instrumen angklung yang paling berkembang sampai saat ini.
Selanjutnya iringan wayang kulit dengan angklung juga dipakai oleh: Ida Bagus Sudiksa ,S.E., M.M, (Griya Telaga, Kerobokan ), Ida Bagus Baskara ( Griya Buduk, alm ), Ida Bagus Bawa ( Griya Sibang ), Ida Bagus Alit Arga Patra , S.Sn., ( Griya Buduk ), Dalang Putra (Kepaon Denpasar ), I ketut Nuada ( Wayang Joblar ABG, dari Tumbak Bayuh , mengwi Badung ) dan I ketut Gina, S.Sn dari Kerobokan. Kegiatan ini masih berlangsung sampai sekarang. Pada tahun 1990, gamelanya diperbaharui instrumentnya dilebur dan ditambah bobotnya dengan memakai unsur Tri Datu ( emas, perak,tembaga ) dan Pelawahnya juga diganti, sekarang diukir serta memakai Prada.namun pada waktu itu sempat terjadi ketidak sesuaian pada pelawah gamelan-nya, yang dipesan pelawah angklung empat bilah namun yang dibikin dan dikirim pelawah berbilah lima. Kesalahan tersebut murni kesalahan dari pihak bapak Gableran terbukti dari tulisan yang ditulis di kalender bapak Gableran, akhirnya dibuat ulang. Sedangkan instrumen-nya dikerjakan oleh Bapak Made Sukarta.disamping itu juga, membeli seperangkat gamelan Baleganjur, membeli sepasang curing dan membangun tempat Gamelanya, termasuk upacara Pemelaspas dan Pasupati oleh Ida Peranda Oka Telaga dari Griya Sanur, Denpasar .
Sumber pendanaanya pada waktu itu bersumber dari mengiringi pentas wayang, ketika itu sangat diminati sehingga Dalang Pak Made Kembar membentuk sekehe angklung bayangan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit lagi dua barung yaitu di Banjar Abasan dan Banjar Silayukti Kerobokan, karena hampir setiap malam ada pementasan. Sumber pendanaan yang lainya berasal dari warung amal ( bazar ) dan borong cor lantai rumah milik Dr.Komp. GD Agung di Jl. Pemuda Renon Denpasar, yang kebetulan bangunanya saya yang mengerjakan.
Memasuki akhir tahun 1990, mengikuti lomba Angklung kekelentangan tingkat Desa Kerobokan dengan pembina Bapak I Wayan Rundu dari B.r Geladag Denpasar dan berhasil mendapatkan Juara I, selanjutnya pada tahun 1991, gamelanya sempat dilaras kembali oleh Bapak I Wayan Berata sebelum mengikuti lomba Angklung kekelentangan se kabupaten Badung ( dulunya masih jadi satu dengan kota Denpasar ), dan keluar sebagai Juara I juga tingkat kabupaten Badung, rekamanya di produksi oleh Bali Record, kembali pada tahun 1992 mengikuti lomba Angkung kekelentangan tingkat provinsi Bali, dengan tema parade Bukur dan mendapatkan Juara I dan langsung diproduksi oleh Aneka Record. Pada periode ini disamping mengiringi pentas wayang juga punya acara pentas di beberapa hotel di kawasan Kuta dan Sanur.
Pada pertengahan tahun 2008, dalam rangka program ngayah di Pura Dalem Kerobokan menggarap sebuah pementasan Sendratari Ramayana bekerja sama dengan Bapak Made Kembar. Pemetasanya secara umum berlangsung sukses namun sempat terjadi insiden kecil, pertunjukan tidak sampai selesai karena memasuki babak akhir semua penari dan sebagian penabuh kesurupan sehingga pertunjukan terpaksa terhenti. Sendratari ini juga sempat pentas di Pura Dalem Petitenget Kerobokan dan di Griya Cau Belayu Tabanan. Selain pementasan Sendratari Ramayana, juga dipentaskan tari Legong Keraton dan beberapa tarian lainya. Kegiatan ini menghabiskandana sekitarRp,12,000,000;yang semuanya bersumber dari mengiringi pertunjukan wayang kulit.
PERIODE, TAHUN 2009 – SEKARANG
Pada tahun ,2009 merupakan periode lahirnya generasi ke-4 sekehe Angklung anak-anak yang pertama di kecamatan Kuta Utara , dan sudah bisa menguasai beberapa tabuh petegak dan beberapa tabuh iringan tari antara lain: Puspa Wresti, Puspan Jali, Baris, Jauk keras, Panji Semirang, Kebyar Duduk, Petopengan dan Baleganjur.
Adapun program tahun ini, disamping acara latihan rutin satu minggu sekali, ada juga beberapa anggotanya memperkuat Gong Kebyar Anak-anak Kecamatan Kuta Utara, yang di wakili oleh Kelurahan Kerobokan Kaja, dari Banjar Batuculung, terutama untuk instrument kendang dan gangsa. Pada 26 Agustus 2011 lalu,juga mendapat undangan mebarung Angklung Kebyar dalam rangka parade budaya desa Blantih Kabupaten Bangli. Pada bulan November 2011 mendatang menurut rencana akan dipersiapkan untuk acara pembukaan Parade Budaya di PUSPEM Badung.
Adapun inventaris masa lalu yang masih ada sampai saat ini antara lain:
ª Sebuah Bendera ( Kober ) bergambar Maruti ( Hanoman )
ª Sebuah sepanduk warna merah bertuliskan “Legong Angklung Purnama”
ª Aksesoris Legong tahun 1963, ( Gelungan Legong Keraton )
ª 1 tungguh grantang Angklung yang berbilah bambu.
ª Gantungan Gong , berupa besi sepanjang 1,5 mtr yang bawahnya lancip.
ª 1 buah Gong yang terbuat dari drum.
ª Pelawah gamelan yang ke dua yang belum di ukir.
ª Tempat Reong , diikat di pinggang waktu nabuh sambil berjalan.
ª Tiga buah Piagam penghargaan.
ª Tiga buah Piala.
ª Koleksi pribadi berupa costum –costum dari tahun 1970-an sampai 2011.
Ada hal unik sehubungan dengan sekehe agklung purnama budaya yang dilestarikan sampai saat ini yaitu ada sekehe wanitanya yang bertugas membuat banten atau sesajen pada piodalan setiap 6 bulan sekali yang jatuh pada hari Saniscara kliwon,wuku krulut. sekehe wanitanya juga memiliki costum yang dananya diambil dari khas sekehe. Keunikan lainya bahwa piodalan itu dilangsungkan di Pura Dalem Kerobokan , karena terdapat satu pelinggih khusus untuk Pregina angklung. Hal lain bahwa setiap melasti kempur yang kecil selalu dibawa ke Pura Dalem bersama beberapa Pretima yang ada ikut di arak ke pantai untuk disucikan. Walaupun sekarang Pura Dalem sudah dikelola oleh Desa Adat tetpi khusus bagi sekehe angklung tetap mendapat prioritas dari pengempon sekarang,misalnya pemberian costum secara berkala dan tirta yatra di beberapa Pura di luar Bali.
Demikianlah yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini, andaikata ada ucapan , tindakan yang kurang berkenan saya atas nama pribadi mohon maaf yang sebesar – besarnya. Akhir kata saya ucapkan terima kasih melalui ucapan Parama Cantih.
“OM CANTIH-CANTIH- CANTIH OM”