Ensambel Barungan Gambang dan Sejarah Gambang Posted on selasa, April 29,2014 in Karya SEJARAH GAMBANG
Posted Under: Tak Berkategori
1.1 Ethimologi
Kata Gambang terdiri atas suku kata gam yang artinya ‘bergerak’ (berjalan) dan bang yang artinya ‘merah’ (menyiratkan warna darah). Secara umum, pupuh gambangyang ada teksnya mengisahkan ceritera kepahlawanan Raden Panji yang berhasil mendapatkan kembali kekasihnya yang hilang dengan memerangi musuhnya. Dengan kata lain, peperangan yang sampai mengeluarkan ceceran darah. Apakah kata gambang terkait dengan apa yang tersurat diatas? Untuk memastikannya sudah tentu memerlukan penelitian yang lebih mendalam.
Kata gambang kalau dilihat dari daerah artikulasinya g, k, ng, berarti kambang, ngambang. Memang, bila diamati hubungan antara bilah dan pelawahnya, bilahnya terkesan mengambang. Hal lain, kata gambang kemungkinan juga berasal dari kata kembang, yakni bunga/sekar. Terkait dengan hal tersebut, tidak sedikit gending bali mempergunakan nama bunga/sekar, sekar sandat, sekar jepun, sekar gendot, sekar sungsang, sekar gadung, kembang kuning, sekar eled, kembang jenar, dan kembang langkuas. Dengan mempergunakan nama bunga, sipenciptanya berharap agar lagu ciptaannya indah dan disenangi oleh para pendengarnya.
Menurut catatan dalam penyajiannya, ada pupuh gambang yang disajikan terkait dengan teksnya (vokal kidung). Namun sayang, jenis kesenian tersebut sudah cukup lama terlupakan. Almarhum Colin Mc. Phee dalam bukunya Music in Bali (1964:281) menyatakan: “The discontinuation of kidung accompanined by gambang is regrettable loss. Any survival would have thrown much-needed light on an earlier relationship existing between vocal and instrumental melody”. Seperti dimaklumi bahwa beliau mengadakan penelitian di Bali sejak tahun 1930-an kurang lebih sekitar 8tahun. Sesuai dengan pernyataannya pada waktu itu sudah sangat sulit untuk mendapatkan orang yang bisa menyanyi terkait dengan gambelan gambang. Kalaupun ada, irama kidungnya dinyanyikan parallel dengan pukulan gangsa gambang.
Sejak pertama kali membaca buku tersebut pada tahun1974, sewaktu penulis mendapakan kepercayaan untuk mengajarkan gambelan gambang, gambuh, semarpagulingan pada The Center For World Music di Berkeley, USA merasa terpanggil untuk menghidupkannya kembali walaupun tantangannya cukup berat karena minimnya informasi perihal gambang.
Kesenian gambang tersebar luas diseluruh kabupaten di Bali, kecuali dikabupaten daerah Tk. II jembrana, tetapi keberadaannya sungguh sangat memprihatinkan. Yang penulis maksudkan bahwa gambelannya masih cukup banyak, tetapi sekaa-nya kebanyakkan tidak aktif alias tidur. Kalaupun maih ada yang aktif, penabuhnya kebanyakan orang-orang tua. Lagi pula hanya mampu menabuhkan beberap buah gending saja. Secara umum, seniman Bali khususnya pengrawit-nya terkesan kurang berminat untuk mempelajarinya, padahal kesenian gambang memiliki keunikan tersendiri yang tidak di miliki oleh barung gambelan Bali lainnya.
Gambang adalah salah satu barung gambelan yang tertua di Bali. Hal tersebut dapat dilihat dari pupuh (gendingnya) cukup banyak yang ditransfer ke dalam gambelan slonding, gong luang, charuk/saron, legongan, gong kebiar, dan sebagiannya. Namun tidak ada satupun gending dari barungan lain yang ditransfer ke dalam gembelan gambang. Hal lain, irama dasar seni suara vocal kidung dan macapat juga mendapat inspirasi dari irama gangsa gambang. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa “gambang adalah cikal bakal karawitan Bali”. Untuk menghidupkannya kembali di perlukan kesungguhan serta tekat yang kuat dengan dukungan moral maupun material dari semua pihak, khususnya pencinta seni budaya Bali.
Sebelum langgsung menggali keterkaitan gambang dan vocal (kidung) berturut –turut pada tahun 1978 dan 1982 pada festival gong kebiar se-Bali, penulis bersama para Pembina lainnya menciptakan satu komposisi baru dengan istilah gegitaan, yaitu mengaitkan vokal kidung dengan gambelan gong kebiar. Pada tahun 1981 penulis juga menciptakan gegitan silihasih yang mengaitkannya dengan gambelam semarpagulingan. Kemudian, pada tahun 1994/1995 penulis mengaitkan kidung malat dan gambelan gong luang, yaitu pada festival music tradisi seluruh Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dan berasil meraih juara pertama. Kemudian, pada bulan maret tahun 2002 barulah penulis berhasil mengaitkan pupuh gambang (malat) dan gambelan gambang yang sudah di rekam oleh Maharani record dengan judul Gambang Manikasanti yang memuat beberapa pupuh, yaitu pupu bangkung arig, manukaba, panji marga, labda, dan malat.
Sesuai dengan catatan yang ada pada penulis, gambelan gambang memiliki pupuh (gending) yang jumlahnya ratusan, tetapi banyak yang tidak disertai dengan teks. Selain itu, ada pula pupuh gambang yang malahan lebih popoler di kenal sebagai bagian dari sekar alit/macapat, yaitu pupuh demung, semarandana, sinom, pangkur, mijil, dan kinanti.
Terkait dengan pupu gambang, penulis telah melakukan penelitian di beberapa tempat,di antaranya di Pusat Dokumentasi Denpasar, Fakultas Sastra Unud, Gedung Krtiya singaraja, Tenganan Pegringsingan, Gria Taman Sari Sanur, tempat tingal Ida Pedanda Made Sidemen (almarhum), Desa Tangkas- Klungkung, Kerobokan- Badung, Banjar Tengah Sempidi-Badung, Kedamapal-Badung, Banjar Gunung Pande Tumbakbayuh-Badung, Padang Bulia-Buleleng. Untuk sementara waktu, hasilnya baru sebatas seperti tersebut di atas. Selanjutnya, penulis bertekat untuk menggali lebuh banyak lagi.
1.2 Sejarah Gambang
Gambelan gambang diperkirakan sudah ada pada abad ke-11 Masehi, pada masa pemerintahan Prabu Erlangga, raja yang memerintah Bali dan JawaTimur dari tahun 1019-1042. Menjelang akhir pemerintahannya, Prabu Erlangga membagi kerajaannya menjadi dua bagian, yaitu Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kediri. Ini menyiratkan bahwa sebelum kerajaan di bagi, Prabu Erlangga sudah dapat memerintah kedua kerajaan tersebut di atas.
Dalam perkembangan selanjutnya, Kerajaan Kediri lebih banyak mengisipanggung sejarah, sedangkan kerajaan jeggala kurang begitu dikenal. Salah seorang raja Kadiri yang terkenal adalah Prabu Jayabaya. Pada masa pemerintahannya seni budaya, seperti seni sastra, seni bangunan, dan seni karawitan berkembang dengan pesat. Pada masa itu sudah di kenal nama alat bunyi-bunyian, seperti seruling, gendang dan gambang. Pengaruh Kerajaan Kadiri terhadap Bali begitu kuat, sampai-sampai nama Kadiri diabadikan menjadi nama kota ataupun pura.
Disamping pembangunan di bidang kesusastraan, pembangunan di bidang seni bangunan, seperti candi juga berlangsung dari masa ke masa, seperti yang dapat kita saksikan adanya banyak bangunan yang berupa candi di Jawa Timur. Candi tersebut belum tentu dibuat oleh seniman lokal. Begitu eratnya hubungan Bali dan Jawa Timur dari masa ke masa, khususnya pada masa pemerintahan Prabu Erlangga tidak tertutubp kemungkinan para seniman dari Bali di boyong ke Jawa Timur untuk membangun candi ataupun jenis kesenian lainnya. Hal tersebut dapat kita bandingkan dengan pembangunan Pura Semeru Agung di kaki Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang di Jawa Timur menjelang akhir abad ke-20 dan pembangunan Pura Gunung Salak di Bogor pada awal abad ke-21. Secara umum ke duanya di prakarsai/kerjakan oleh para seniman bali.
Terkait dengan pembangunan candi, salah satu candi, yaitu candi penataran, pada salah satu bagian reliefnya menggambarkan seorang pendeta yang sedang mengajarkan menabuh gambang kepada salah seorang muridnya, gambangnya mirip dengan gambang Bali. Hal tersebut menyiratkan bahwa seniman yang membuatnya adalah orang yang kemungkinan mendapat inspirasi dari bentuk gambang Bali. Sepintas, terkesan seolah-olah gambang yang ada di Bali brasal dari Jawa Timur. Namun, apabila disimak lebih dalam hal tersebut tidaklah benar. Gambang Bali yang simtem tuning-nya menggunakan sistem ngumbang-ngisep serta permainan instrumennya menggunakn sistem kotekan, menurut penulis, merupakan produk asli Bali karna hal itu tidak dijumpai di daerah dan Negara lain di dunia.
Untuk memperkuat keyakinan bahwa gambang/kidung sudah ada pada masa pemerintahan Prabu Erlangga, penulis mengungkap salah satu kidung, yaitu kidung jayendria yang menyinggung keberadaan kerajaan Janggala-Kadiri. Kidung Jayendria adalah kidung yang bertangga nada tujuh (saih pitu) secara total, kidung terpanjang, dan tersulit diantara kidung yang pernah penulis pelajari. Seluruhnya, kidung Jayendria terdiri atas 28 bait, yakni bait terakhir berbunyi, sebagai berikut : “lawan Sang Hyange Sang Wusman mwang dirgayusa Nira Sang Prabhu Nata ning nata wyakti nira ndewa sekala mangeketwaken Jenggala –Kadiri wastu tulusa cakrawarti jayeng satru wredya sekula sentana nira langgenge siwi nening bhumi”. Artinya : “ Akan halnya beliau yang sudah terbebas dari ikatan duniawi semoga beliau panjang umur, raja diraja yang bagaikan dewa menitis kedunia berhasil mempersatukan kerajaan Jenggala-Kadiri, berhasil menguasai dunia, serta mengalahkan musuh-musuhnya, semoga sejahtera keluarganya, dan berhasil memerintah sepanjang zaman”.
Sumber : ( Pak Sinti, 1983:32 )