Fisafat Seni Sakral dalam Kebudayaan

 Dalam dekade tahum melenium atau tahun tahun 2000 ke atas dunia kebudayaan khususnya kesenian mengalami suatu perubahan-perubahan yang sangat menjolok utamanya dalam masalah aktivitas cipta, ide, dan penggarapan kesenian. Hal ini tentu saja membawa suatu dampak yang sangat besar terhadap perkembangan/kehidupan kesenian khususnya pada masyarakat di Bali dan pada umumnya di Indonesia. Perkembangan ini tidak saja membawa pengaruh yang positif, tetapi juga membawa pengaruh yang negatif. Penyebabnya bukan mutlak bersumber dari dunia kesenian, akan tetapi bersumber pada pengaruh global yang terjadi pada dunia modern ini. Karena pengaruh perubahan ini sangat berdampak pada semua sudut kehidupan, bahkan tak tertutup kemungkinan bagi dunia kesenian. Begitu gencarnya perkembangan ilmu pengetahuan (IPTEK) menyebabkan semua sendi kehidupan mengalami perubahan yang pesat pula. Sehingga tidak mustahil lagi disana-sini tampak terjadi perombakan atau kolaborasi yang bertujuan untuk mencari suatu kepuasan hati bagi si seniman, karena disatu sisi mereka dituntut untuk memenuhi kepentingan penikmat seni yang telah terkontaminasi oleh pola kehidupan yang libral atau individualisme dan di sisi lain mereka dituntut pola kehidupan yang glamour. Sehingga mau tak mau mereka harus berpacu dengan perkembangan jaman yang sangat rentan untuk berubah setiap saat. Pada periode perkembangan tersebut seolah-olah semua orang telah tergerus oleh gaya hidup yang serba aneh dan unik, karena itulah yang dikenhendaki oleh zaman ini. Tanpa mengikuti pola tersebut mereka akan merasa tertinggal oleh perkembangan zaman. Perubahan tersebut di atas sudah menjadi “motto” bagi setiap insan, terbukti masyarakat, serta tidak ketinggalan pula lembaga pemerintah dan lembaga swasta turut menghembuskan issu perubahan dengan santernya. Karena mereka takut disoroti sebagai lembaga yang tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Perubahan yang berkepanjangan ini tentu saja akan berdampak sangat luas, sebagai bukti banyak tercetak kader-kader atau seniman-seniman yang rentan berubah atau bersifat pragmatis yang merupakan produk zaman perubahan. Sehingga dalam situasi yang tidak menentu secara tidak langsung mereka akan tercetak sebagai tokoh seni modern dalam arti yang penuh dengan dinamika inovasi dalam berkesenian. Namun jikalau kita berpikir sewajarnya atau secara rasional perubahan adalah suatu yang mutlak karena dari perubahan kita akan mendapatkan bentuk-bentuk baru tentunya diharapkan akan membawa suatu kemajuan yang berguna bagi kehidupan ini. Bertitik dari fenomena yang terjadi saat ini, utamanya pada kehidupan berkesenian, dari permasalahan ini kita akan banyak tahu apa yang terjadi pada dunia seni di Bali yang telah tertata dengan apik dan sesuai dengan kultur ke-timur-an serta dibingkai oleh norma-norma agama dan budaya ke-hindu-an yang sangat kental. Dalam masyarakat Bali tak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya kesenian kita sangat kuat mengakarnya karena keterkaitannya sangat lekat dengan kehidupan ke-agama-an, terbukti semakin menjamurnya pementasan kesenian sacral dalam seiap pelaksaan upacara agama seiring pula dengan perkembangan kehidupan `perekonomian masyarakat Bali yang semakin membaik. Perkembangan ini justru membawa perubahan yang positif, karena dengan serinnya diadakan pementasan seni sakral pada setiap upacara keagamanaan maka banyak pula generasi muda mengandrungi untuk mempelajari kesenian sakral dengan berbagai alas an seperti alas an ekonomi, ngayah, dan berseni murni. Walaupun terjadi perubahan hanya sebatas perilaku si seniman saja, sebagai contoh ada yang menjadi seniman klasikda ada yang menjadi seniman modern (bebas/kontemporer) atau seniman akademis. Namun perlu di waspadai bahwa perkembangan seni yang bebas suatu saat dapat saja merubah cara pandang umat khususnya pengurus adat pada masyarakat, Hindu di Bali. Karena pada suatu saat tertentu tidak tertutup kemungkinan Seni Sakral akan tidak atau jarang dipentaskan dalam upacara ke agamaan karena dengan alas an dana, jenuh, dan lain sebagainya. Hal tersebut diatas sangatlah mengancam kehidupan atau keajegan Seni Sakral di Bali. Oleh karenanya upaya-upaya menyadarkan harus dilakukan melalui berbagai wacana terutama dari pihak pemerintah, lembaga adat, dan agama dengan memperankan para pakar-pakar agama yang yang sangatlah membidangi masalah seni sakral. Sehingga dampak pengaruh negatif dari perkembangan zaman modern dapat dihindari karena akan dapat mengancam kehidupan seni sakral pada kegiatan ritual keagamaan kita di Bali. Sebagai contoh, agar Lembaga umat mengintruksikan melalui rapat umat, dengan suatu keputusan mengharuskan bagi umat Hindu, bila menyelengarakan upacara agam tertentu di Pura-pura Kahayangan Tiga, Dang Kahyangan, Pura Padharman di wilayah Bali untuk mementaskan Kesenian sakral. Di sesuai dengan tingkatan upacara yang dilakukan, serta kemampuan pendanaan. Dengan demikian, pentas seni sakral dapat dipakai media/ajang pelestarian kesenian sakral dan untuk meningkatkan minat masyarakat untuk mengapresiasi seni tersebut. Mengingat kandungan seni sakral di pandang dri beberapa dimensi sangat kaya akan nilai-nilai seperti, estetika, filsafat/tatwa agama, dan sebagai media penerangan/pendidikan pada masyarakat. Dengan pelaksanaan pentas yang berkelanjutan akan membuka kesadaran masyarakat bahwa mereka sangat membutuhkan peran kesenian sakral dalam kehidupan kemasyarakatan/keagamaan. Sebaliknya jika kesenian tersebut tidak sering di pentaskan, maka akan mengurangi kekusukan pelaksanaan ritual ke-agama-an tersebut. Kebiasaan inilah yang sangat perlu diterpkan dalam usaha untuk menjaga seni sakral dari amukan zaman modern ini, sehingga terhindar dari kepunahan. Dalam benak kita timbul suatu pertanyaan, bagaimana jikalau kesenian sakral jika tidak bersumber pada tatwa agama, jawabannya tentu saja kesenian sakral akan tergerus oelh kesenian global(seni modern/kontemporer). Hal tersebut sangat beralasan, karena kesenian yang menuruti perkembangan zaman akan selalu diminati oleh penonton dan mendapt keuntungan materi yang tak terbatas. Atas terjadinya perubahan atau pengaruh zaman modern yang sedemikian pesat itu, maka mata kulian pengetahuan “seni sakral” sangat diperlukan bagi umat Hindu, terlebih-lebih mahasiswa atau (pecinta seni sakral, budayawan, dan rohaniawan) yang sedang menekuni/menempuh studi di bidang ke-agama-an. Khususnya yang mempunyai tujuan untuk menambah pengetahuan serta pendalaman makna dan fungsi kesenian sakral di Bali. Karena seni sakral merupakan bagian dari kegiatan ke-agama-an yang bersumber pada lontar-lontar/buku-buku ke-agama-an. Dengan tersebarnya pengetahuan tersebut diharapkan masyarakat/umat Hindu menaruh perhatian pada kesenian yang langka ini. Setidaknya mereka tahu pada aat kapan, dimana, dan untuk apa kesenian tersebut dipentaskan. sebelum berbicara masalah budaya dan seni maka kita perlu mengadakan pemilahan pembahaan ke dua hal tersebut. Sehingga dengan mudah di dapat pengertian kedua definisi tersebut. Maka untuk lebih jelasnya dibawah akan diuraikan perbedaan budaya dengan seni yang pengertiannya masih dianggap sma oleh masyarakat kebanyakan. Apabila bicara masalah budaya maka kita akan ingat tentang pendapat seorang sarjana antropologi yang bernama Bapak Koentjaraningrat beliau secara panjang dan lebar menguraikan tentang definisi kata budaya dalam bukunya yang berjudul”Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan”. Dimana ikatakan bahwa kata budaya berasal dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budu atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Jadi menurut uraian tersebut di atas dapat ditelorkan sebuah konsep yaitu bahwa Kebudayaan adalah Keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan proses belajar, besertak seluruhan dari hasil budi dan karyanya ( Koentjaraningrat,hal 19:1974 ).

Dengan uraian tersebut diatas jadi jelaslah apa pengertian kebudayaan sebenarnya yang sebelumnya menjadi pertanyaan dalam setiap pembicaraan umum maupun dalam setiap seminar, symposium, penataran, dan rapat-rapat. Salah satu pendapat yang mengidentikan kebudayaan dengan seni bahwa budaya diartikan sebatas pengertian seni yang berarti pencetusan cipta, rasa, dan karsa adalah sangat semoit karena jangkauan budaya meliputi : (1) ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. (2) kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat (susila). (3) dan benda-benda hasil karya manusia. Jadi kebudayaan tersebut bersifat universal sehingga sangat sulit untuk dibahas jikalau tidak dengan mengadakan pengklasifikasian terlebih dahulu untuk lebih mudahnya menelaah pengertian secara benar. Pengklasifikasian tersebut bernama unsure-unsur kebudayaan yang terdiri atas 7 unsur yaiyu :

  1. Sistem religi dan upacara keagamaan,
  2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan,
  3. Sistem pengetahuan,
  4. Bahasa,
  5. Kesenian,
  6. Sistem mata pencaharian hidup,
  7. Sistem teknologi dan peralatan (Kontjaraningrat,1974:12).

Susunan unsure-unsur kebudayaan sebagai tersebut diatas sengaja disusun untuk mempermudah parapenelitian atau pembahas kebudayaan di dalam mengklafikasikan unsure-unsur kebudayaan, sehingga dapat diketahui mana unsur yang paling sukar berubah dan mudah berubah dalam beradaptasi dalam lingkungan sosial sebagai contoh, sistem religi dan upacara keagamaan sangat sukar untuk berubah dibandingkan dengan sistem teknologi dan peralatan. Demikian pula sistem organisasi kemasyarakatan seperti organisasi banjar (BALI) sangat sulit untuk berubah dibandingkan dengan sistem pecaharian hidup. Oleh karena itu dalm tulian ini mailah kita bahas dengan lebih jelas lagi apa sebenarnya pengertian kesenian dipandang dri sudut ilmu pengetahuan. Sehingga pengetahuan tentang kesenian dapat dipahami dan diketahui perbedaanya dengan kebudayaan serta dimana kedudukan kesenian dalam unsur kebudayaan.

SUMBER : ( I Made Yudabakti & I Wayan Mantra, 2

Teknik Pembuatan Gambelan Bali

 Perapen atau per-api-an ialah suatu bangunan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pekerjaan membuat gambelan dari kerawang dan juga gambelan besi. Tiap-tiap pande gambelan kerawang /besi, memiliki satu atau sampai dua buah bangungan yang berfungsi perapen. Letak bangunan perapen biasanya pada konpleks bagian selatan dari bangunan-bangunan rumah keluarga pande. Pada masa lalu bangunan perapen bertiang dari kayu dan beratap genteng. Tetapi pda maa sekarang memakai pilar-pilar dri beton dengan atap genteng. Tinggi pilar tiga setengah meter dan luas bangunannya empat kali delapan meter. Bentuk bangunan yang demikian tinggi dengan atap genteng dimaksud menghindari kemungkinan terjadi kebakaran, karena semburan api dan abu dari dapur perapen cukup tinggi yang kadang-kadang satu meter menjilat ke atas. Udara segar sangat diperlukan bagi para pekerja, oleh karena itu perapen tidak perlu dikelilingi dengan tembok yang tinggi. Tembok setengah badan pada sisi bagian Timur dan Selatan, dan yang arah ke Utara dan Barat terbuka. Hanya disediakan beberapa dinding dari bambudipasang saat-saat di perlukan. Di tengah bangunan terdapat dua tungku dapur, yang satu untuk keperluan membuat kerawang dan yang satu lagi untuk mengerjakan alat-alat gambelan. Besar kecil ukuran dapur itu tergantung dari pada tingkat kegiatan yang dilakukan. Apabila kegiatanya terbatas pada membuat gambelan yang kecil-kecil seperti terompong gender dll. Ukuran mulut dapur tidak besar /luas; disesuaikan dengan jenis alat yang dibuat (diproduksi). Tetapi kalau kegiatanya sampai membuat gong yang besar, dapurnyapun harus besar pula bahkan perapennya tersendiri/khusus dan disebut perapen pengegongan. Di tengah-tengah bangunan ini hanya diadakan satu tungku dapur yang mulut (permukaan)nya bergaris tengah satu meter lebih; maksudnya dapat menjangkau gong besaryang bergaris besar tengah 80cm. di sini dikerjakan selain gong, juga kempul, bebende dan gambelan yang besar lainnya. Maka diatas tadi disebutkan, bahwa ada satu sampai dua bangunan perapen dirumah satu keluarga pande. Menurut keterangan beberapa orang pengrajin pande gambelan diTiyingan, bahwa desa tiyingan hanya terdapat lima buah perapen pengegongan. Sedangkan perapen biasa, maksudnya untuk kegiatan gambelan kecil-kecil terdapat kurang lebih tujuh belas bangunan perapen. Kelengkapan-kelengkapan yang diadakan dalam lingkungan denah perapen antara lain :

  1. Dapur berbentuk kubangan terletak di tengah-tengah.
  2. Bak air bergaris tengah satu meter dalam setengah meter, disebelah barat.
  3. Lubang yang lebar satu kali setengah meter dan dalam setengah meter di sebelah utara, gunanya tempat berdiri para tunkang tempa pada waktu bertugas.
  4. Peti besar untuk menyimpan alat-alat, terletak di pojok timur laut. Dan diatasnya di adakan “pelangkiran” untuk sesajen dalam hubungannya terhadap kepercayaan agama.
  5. Pemuputan disebut juga pengububan (pompa angin)terletak disebuah timur.
  6. Bahan bakar arang diletakan disebelah selatan.

Ini adalah salah satu situasi perapen yang ada didesa tiyingan. Dan bukan berarti semua perapen situasinya sama .

Catatan :

Perapen pengegongan (tempat membuat gong besar) yang masih ada hingga sekarang di desa Tiyingan terdapat di rumah Pan Rumben, Pan Sukasih, Pan Kunri, Made Wenten, dan W. Kanra. Perapen yang dipergunakan memproduksi alat-alat gambelan yang kecil-kecil, perlengkapannya terdiri dari :

  1. Empat buah landasan dari besi yaitu landasan penguwadan, landasan paron, landasan pengenjuh dan landasan jujuk.
  2. Dua buah landasan dari batu kali yang berlubang, gunanya untuk membuat moncol terompong.
  3. Enam buah palu besi yang bentuknya berbeda-beda sesuai dengan kegunaanya dan sebuah palu dari kerawang.
  4. Tiga buah palu dari kayu dan sebuah palu dari seseh (pohon kelapa).
  5. Empat buat sepit api dan empat buah penggulik api besar dan kecil.
  6. Dua macam bor dan andar , enam buah kikir besar dan kecil
  7. Enam buah panggur dan satu pasang (dua buah) pemuputan (pompa angin tradisional dari kayu)
  8. Beberapa buah gegulak yaitu bambu yang gunanya untuk mengukur-lebarnya maupun tinggi rendahnya gambelan yang di buat.
  9. Beberapa buah petuding yang juga terbuat dari potongan-potongan bambu gunanya untuk menentukan tinggi nada-nada gambelan yang dikerjakan itu.
  10. Beberapa potong kayu untuk laras untuk melaras dengan panggur maupun kikir.
  11. Dua buah bangku tempat duduk tukang pompa dan beberapa buah yang pendek untuk tempat duduk juru sumpit dan tukang panggur.
  12. Beberapa botol banyak minyak kelapa
  13. Beberapa buah musa (yang terbuat dari tanah lia dicampur abu kulit padi), gunanya untuk mencairkan kerawang.
  14. Dua belas buah penyangkan untuk mencetak gambelan berbilah dan dua buah penyangkan untuk mencetak jenis terompong dan cenceng.
  15. Beberapa lilin dan tanah lihat untuk keperluan nyingen kalau ada terompong yang pecah.
  16. Bahan bakar arang menurut kebutuhan, dan api dan air.

Mengenai dapur dan bak air telah dibicarakan pada bagian perapen diatas. Perapen yang dipergunakan memproduksi a;at-alat gong, kempul, dan bebende. Beberapa perlengkapannya ditambah antara lain : (1) sepit panjang empat buah, (2) pengulik api panjang/ besar empat buah, (3) landasan batu kali (disebut batu kiul ), (4) pelepah kelapa sebagai landasan bantuan, (5) batu pengepelukan untuk membenahi lambe/kaki gong, (6) tiga buah landasan batu kali berlubang untuk membuat moncol gong dan kempul, (7) dua potong kayu balok ukuran 80cm. dua potong ukuran 60cm dan satu potong seseh berukuran dua meter, gunanya untuk melaraskan gong dan kempul, (8) tiga buah penyangkan gong dan kempul, (9) dua pasang pemuputan (empat semua). Mengenai pilihan bahan bakar yaitu : pande gambelan Blahbatuh I Made Gabeleran memilih arang dari batok kelapa. Alasannya abu dan bunga api tidak banyak mengganggu. Pande Tiyingan-Klungkung pada umunya memilih arang dari kayu antara lain : kayu badung, kayu cemara, kayu jepun, kayu poh, alasanya, arang kayu tidak mudah pesek ditekan oleh barang (gambelan yang berat). Sedangkan arang batok kelapa mudah pesek atau kurang berongga.

Penyangkan

Penyangkan adalah alat pecetak laklakan bakal gambelan dari kerawang. Bentuknya ada dua macam. Penyangkan yang dipergunakan mencetak bakal laklakan terompong, bentuknya bundaran pipih dan ditengah-tengah memakai lubang berbentuk setengah bola, dan yang dipergunakan mencetak bakal laklakn gender wayang, bentuknya segi empat berbentuk bilah gender. Penyangkan ini dibuat dari batu padas halus dan kualitasnya baik, tidak mengandung batu-batu krikil atau benda-benda kasar lainnya. Disekeliling sisi penyangkan dipasang besi pelat supaya tidak mudah pecah. Untuk mencetak satu brung gambelan gong kebyar, diperlukan penyangkan sebanyak enam belas buah : lima buah untuk gambelan-gambelan yang bermoncol, dan sebelas buah untuk gambelan-gambelan yang berbilah. Kegunaan lima buah penyangkan laklakan alat yang bermoncol ialah : (a) sebuah penyangkan untuk laklakan bakal gong.(b) sebuah lagi untuk laklakan kempul dan bebende.(c) tiga buah lainnya untuk terompong, reyong, ceng-ceng. Kemudian penyangkan untuk laklakan alat-alat yang berbilah diperlukan sebelas buah dengan pembagian sebagai berikut :

(a)    Empat buah penyangkan untuk mencetak laklakan jegogan dan jublag.

(b)   Tujuh buah untuk mencetak laklakan giying, pemade dan kantil.

Tiap-tiap satu penyangkan dapat dipakai mencetak tiga lembar bilah yang ukuran panjangnya berbeda satu dengan yang lain, apabila bilah sudah dibangun.

SUMBER : ( Wy. Regog, 1984: 11s/d15 )

 

 

Sejarah Gambelan Bali

 Bali yang ditandai dengan kebudayaan hidu, mempunyai jenis-jenis gambelan (musik) dari yang paling tua (sederhana) sampai dengan yang paling baru (modern). Kehidupan gambelan bali tidak dapat dipisahkan dari agama, tidak ada upacara keagamaan yang selesai tanpa ikut sertanya gambelan dan tari. Gambelan bali dapat berfungsi sebagai pengiring upacara keagamaan, hiburan danpresentasi yang artistic, hal mana menyebabkan banyak ahli-ahli music dari luar negeri yang tertarik untuk mempelajari gambelan bali baik dari segi praktis maupun ilmiah. Dan tidak jarang juga iantara mereka telah membicarakan gambelan bali dari pendekan sejarah. Gama, sosiology, filsafat, tari, purbakala dan lain-lainnya.

Adapun musical yang pernah menulis tentang gambelan bali di antaranya :

  1. Dr. jaap Kunst, ahli ethnomusicology dari Negara belanda menulis sebuah buku yang berjudul “De Toonkunst van Bali” (music dari bali) pada tahun 1924. Buku yang setebal 240 halaman itu membicarakan tentang sejarah, instrumentasi,larasdan dan aspek-aspek lainny.
  2. Colin McPhee, seorang composer dan guru besar pada University of California Los Angeles menerbitkan buku yang berjudul “Music in bali : A study in form dan Instumental Organization in Balinese music”, pada tahun 1966. Study ini disamping menguraikan masalah gambelan secara deskriptifia menitik beratkan pula uraiannya dari segi komposisi lagu (gending).
  3. Dr. Mantle Hood, seorang pendiri Ethnomusicology dari USA dengan lebar menguraikan perbedaan antara musik Bali dengan music Amerika, didalam bukunya yang berjudul “the Ethnomusicologist”, tahun 1971.

Dari semua karya-karya tersebut diatas satu sama lain ada kekurangan dan kelebihannya, karena ahli-ahli itu mempunyai keahlian dan pengetahuan budaya yang berbeda-beda. Maka itu lah untuk menyusun sejarah gambelan Bali secara singkat atas dasar pengetahuan budaya sendiri dan harus dilihat peninggalan-peninggalan kebudayaan yang berupa lontar, relief, prasasti dan lain-lainnya. Di Bali diketemukan sebuah prasasti yang menyebut adanya istilah music atau gambelan yaitu prasasti bebetin yang antar lain bunyinya demikian:

. . . .pande mas, pande besi,pande tembaga,pemukul(juru tabuh bunyi-bunyian), pagending (biduan),pabunjing(penari,papadaha(juru gupek),pabangsi(juru rebab),partapuka(tapel-topeng),parbwayang(wayang) . . . . turun dipanglapuan Singhamandawa (dibuat oleh pegawai di Singhamandawa ), di bulan beksha ( bulan ke X ), hari pasaran wijaya manggala, tahun Q818 = 896 masehi. Yaitu pada pemerintahan raja Ugrasena di Bali. Lebih lanjut kitab Epigraphia Balica door Dr. P.V. van Stein Callenfels, Bali Museum no. 80/v, tersebut turunan prasasti Pandak Badung, yang antara lain berbunyi demikian :

“. . . . . . .yan amukul (juru tabuh ), snuling(seruling), stapukan (tapel-topeng), abanwol (bebanyolan), pirus (badut), menmen (tontonan), aringgit (wayang), prasasti dibuat pada pemerintahan anak wungsu, tahun caka 993 atau tahun 1045 masehi. Disamping prasasti tersebut diatas yang menyebutkan adanya gambelan yang disebut dengan pemukul dan beberapa instrument lainnya seperti rebab, suling, kendang, dll, maka masih ada sebuah lontar Aji Gurnita yang mengungkap adanya gambelan di Bali. Lontar ini tidak berangka tahun, namun mengungkap hampir semua gambelan Bali. Dibawah ini dikutip bagian lontar yang menyebabkan adanya gambelan gambuh yang di sebut dengan nama Gambelan Meladprana. Adapun bunyi lontar itu sebagai berikut : “ . . . . . .kunang purwakaning gegambelan, deniya meladprana tiniladan saking semaralaya doniya rum amanis karungu, yogya huniyan ira sang nata ratu amangun resta ing karaton ira. Kalan ia pinalu sthananiya radaganing para hasyanira sang prabu ring yawa. . . . . . kunang gegambelan si Meladprana ika, gendingnya Pegambuhan, patutniya hana sepuluh suara : dang, ding, deng, dung, dong, ngaran pelok ; ndang, nding,ndeng,ndung,ndong, ngaran slendro iki. Dadiniya pelok tinabeh mwang salendro, maemaniya dinding lemes kang tetabuhan. Ikang gegambelan si Meladprana ika patut – pelok – keselendroan.

Kunang bebarunganiya :

  1. Kempul asiki, pasawur pakatutan ding pelok sinarengan dening pasawur salendro.
  2. Rebab sawiji.
  3. Suling pagabah, wanguniya lewih ageng dening suling pengageng sawiji, pasawurniya angubang.
  4. Suling pengageng sepasang, pasawurniya ngumbang isep.
  5. Suling bebarangan sepasang, pesawurniya ngumbang isep.
  6. Mwah suling panitir wanguniya Iwih alit dening suling bebarangan sawiji, pasawurniya ngisep alit.
  7. Kenyor satungguh, pawanguniya sakdi ngangsa, dawun iya kartini, same pateh swara ndeng, pasawur pelok kaselendroan.
  8. Kemong sawiji sawurniya ndong pelok keselendroan.
  9. Kajar sawiji sawurniya ndung pelok.
  10. Gupek apasang, lanang – wadon.
  11. Gumanak tigang wiji alit.
  12. Kangsi kalih tungguh alit-alit.
  13. Ricik petang tungguh alit-alit.

Jangkep kayeki, lian saking pinalu kadi ring ajeng, ingangge tatkala sang natha asususuguh ring wadwan ira mwah ring para wiku, ring tanda mantra, sumantri, adimantri, mwang tanda rakryan, sewatek sahubing waringin. Makadi rikala amangan nginum sang natha sedeng angelila-lila dinuluran sarwa kinidungan, hingangge gegambelan ileb-ilen sang prabu ikang hingaranan gambelan. Cerita nira sawusing tatwa uttara, mwang parwa sangkatha, ika pinaka lalakon. Kunang ikang ngigel, pinilih rupaniya kang anom apekik, anom ahayu, pada wus tamong tatning papajaran tan lan uga anking sehibing waringin kang pinuji-puji ika wan gang ngigel. Kunang iwiring gegambelan hameladprana ika iningati take witaniya aneng Semaralaya, tabang-tabang ira sang hyang Semara Ratih, tinabuh desang Widyadara Widyadari sewateking samara loka. Kunang gegambelan si Meladprana hadungniya demung pelok kaselendroan. Ika wekasanta tinuru ring sekala loka, mwang sang para prabu sakti saha wak bajra Marwaniya hana katekang mengke ring sekala “.

Selain gambelan melaprana yang paling ditonjolkan disitu, dipersoalkan pula gambelan-gambelan dibawah ini yang dikatakan semuanya menurut pada gambelan Melaprana tersebut.

  1. Gambelan bebonangan
  2. Gambelan gong.
  3. Gambelan samara hataru = semar pagulingan
  4. Gambelan samara petangyan = jogged pingitan.
  5. Gambelan samara palinggihan = bebarongan/barong ket.
  6. Gambelan samara pendirian = pelegongan.

Disamping gegambelan-gegambelan di atas itu disebut pula gambelan selonding yang dibuat dari kayu hipil ( bilahnya ) dengan resonator dari batok kelapa. Gambelan selonding ini dikatakan dimainkan oleh para per-tapa di hutan-hutan. Dari semua gambelan tersebut di atas bahwa gambelan Meladpranalah yang tercipta paling pertama di semaralaya oleh sang hyang Semara ratih, menurut Aji Gurnita. Disamping kutipan-kutipan yang di muat oleh prasasti maupun lontar tersebut di atas yang semuanya ditandai oleh kebudayaan hindu, besar pula kemungkinanya bahwa pada jaman Pra-Hindu orang-orang bali sudah memiliki alat-alat musinya sendiri. Adapun gambelan-gambelan itu bentuknya sangat sederhana, berupa alat tiup maupun pukul seperti kukul atau slit drum, lesung,genggong, teluktak, dan lain-lainnya. Instrument-instrumen tersebut diatas masih terpelihara di Bali sekarang bahkan sudah dikembangkan, menjadi barungan-barungan yang konplit yang dipakai untuk pertunjukan.

SUMBER : ( Dr. I Made Bandem,1974:46 )

Pengertian Gambelan Bali

 Gambelan merupakan alat seni suara Daerah Indonesia. Yang dimaksud gambelan disini ialah suatu bebarungan alat-alat seni suara yang bentuk dan komposisinya diatur sedemikian rupa, dipergunakan sebagai sarana memanivestasi lagu-lagu yang diinginkan, khususnya lagu-lagu daerah Bali, Jawa, Madura, Sunda dan daerah-daerah lain di Indonesia. Dengan kata lain, bahwa gambelan adalah ensambel music daerah Indonesia. Gambelan atau gambelan tidak hanya terdapat di Bali atau di Jawa/ Madura saja, tetapi terdapat dibeberapa kepulauaan di Indonesia. Ir. Poerbodininggratdalam kertas kerjanya yang dibacakan waktu seminar tentang gambelan di Yogjakarta tahun 1958 mengatakan, bahwa diseluruh ke pulauaan di Indonesia terdapat gambelan. Ternyata dengan adanya alat-alat komunikasi yang serba maju seperti televise, radio, Koran, majalah dll. Kini dengan mudah dapat diketahui dengan adanya alat-alat gambelan di berbagai daerah Indonesia. Di Bali orang pada umumnya menyebut bebarungan alat-alat seni suara daerah itu dengan istilah gambelan. Di Jawa orang menyebut gambelan dan orang-orang asing menyebutnya Musical Instrument. Buku-buku yang ditulis oleh para ahli di luar negeri yang isinya mengenai permasalahan gambelan di Indonesia diberi judul Music antara lain Music In Bali oleh Colin Mc. Phae, Music In Jawa oleh Yaap Kunst. Music Of Lombok oleh tim survey T. Seebass, Drs. I G. B. N. Panji. I N. Rembang, Poedijono tahun 1976. Walaupun istilah yakni gambelan , gambelan dan music itu maknanya sama, namun hingga kini orang Bali maupun orang Jawa menanggapi pengertian antara music dengan gambelan tetap berbeda. Orang Bali kalau membaca atau mendengar perkataan music pikirannya sudah berkelana pada Instrumen yang berasal dari Eropa seperti Piano, Biola, Gitar dll. Mereka belum biasa menyebut alat-alat seni suara Eropa itu dengan istilah gambelan. Oleh karena itu hingga sekarang peristilahan untuk alat-alat seni suara di Indonesia masih dualis. Di beberapa tempat di Bali terjadi kebiasaan-kebiasaan orang menyebut jenis-jenis bebarungan gambelan tanpa melengkapi kata gambelan. Kalau mereka menyebut gambelan selonding, disebut saja selonding, gambelan gambang, disebut saja gambang, gambelan gong, disebut saja gong dan begitu seterusnya untuk gambelan-gambelan yang lain. Cara-cara ini dianggap biasa dan tidak menimbulkan suatu masalah.tetapi yang sering membingungkan ialah adanya kebiaaan beberapa masyarakat di Bali menyebut jenis-jenis bebarungan gambelan (ensambel) dengan istilah”gong”. Mereka mengatakan : gong selonding, gong gambang, gong angklung, gong kebyar dan seterusnya untuk gambelan-gambelan lainnya. Gambelan-gambelan tersebut diatas tidak menggunakan alat gong. Di samping itu ada bebarungan gambelan yang namanya gambelan gong. Oleh karena itu sering terjadi salah pengertian, bahwa kalimat gong selonding juga dinamakan gambelan gong dan gambelan selonding : gong gambang di duga gambelan gong dan gambelan gambang. Ternyata istilah gong disini berfungsi sebagai pengganti kata gambelan. Suatu missal, pada upacara potong gigi, ada orang bertanya, apakah gongnya sudah datang ? yang dimaksud atau diharapkan datang itu adalah satu set gender wayang, bukan gambelan gong. Sebab lagu-lagu gender wayang dikaitkan sebagai pendukung sebagai upacara potong gigi di Bali. Selain hal diatas ada pula kebiasaan-kebiasaan di masyarakat seperti mempersempit pengertian istilah gambelan. Mereka menganggap hanya alat-alat seni suara yang dibuat dari logam berstatus gambelan misalnya yang bahannya kerrawang(perunggu) dan besi. Alat-alat yang terbuat dari bahan bambu, kayu dll. Seakan akan bukan gambelan, melainkan sekedar alat-alat permainan. Sehubung dengan hal tersebut maka orang yang dianggap ahli dan berstatus sebagai pembuat gamblan hanya pane gambelan saja. Sedangkan orang yang ahli membuat gambelan gelunggang, gambang, saron, rindik gandrung, gerantang jogged, suling, kendang dll. Tidak mendapat status ebagai pembuat gambelan. Sebab gambelan itu bahanya hanya kayu dan bambu. Mungkin tanggapan semacam ini terjadi akibat hubungan gambelan sebagai pendukung upacara adat-agama di Bali di mana pelaksanaan upacara yadnya melibatkan sebagian besar gambelan-gambelan yang bahannya dari logam. Gambelan-gambelan yang bahannya kayu dan bambu sedikit sekali yang terkait yakni gambang dan saron saja. Kalau pada suatu tempat terdengar suara gambelan mengalun indah, orang akan berfikir ditempat itu ada pertunjukan atau setidak-tidaknya latihan untuk tujuan pertunjukan. Memang gambelan sebagai alat seni suara di Bali sebagian ditunjukan untuk kepentingan pertunjukan atau hiburan baik sebagai pendukung tari-tarian maupun permainan lagu-lagu tanpa iringan. Sebagaimana telah diketahui, bahwa pertunjukan keseniaan di Bali tidak selalu berfungsi sebagai hiburan melainkan juga sebagai pendukung upacara keagamaan. Kedudukan gambelan di Bali sudah dapat dikatakan memasyarakat yang tak terpisahkan dari kehidupan rakyat sehari-hari. Oleh karena itu di tiap desa bahkan hampir tiap balae banjar di Bali terdapat gambelan. Hampir setiap pelaksanaan upacara yadnya memerlukan dukungan gambelan. Upacara yadnya tanpa gambelan dirasakan ibarat masakan tanpa garam. Demikian erat kedudukan dalam hubungannya dengan upacara keagamaan, mendorong setiap masyarakat di Bali memiliki gambelan. Di beberapa desa ada gambelan yang kedudukannya amat penting yaitu gambelan selonding. Dalam hubungn ini, bukan gambelan sebagai pendukung upacara, tetapi upacara yang mendukung gambelan. Sebab gambelan ini dianggap lambing roh suci yang dianugrahkan oleh Tuhan kepada manusia. Jadi melalui gambelan itulah orang memuja pancaran Sinar Suci Hyang Maha Kuasa. Gambelan-gambelan selonding yang dikramatkan itu tidak boleh disentuh badan manusia sembarangan, kecuali penabuh yang telah diangkat melalui upacara-upacara yang berlaku didesa itu, gambelan selonding semacam itu terdapat didesa Tenganan Pageringsingan, Bungaya dan beberapa desa di Kabupaten Karangasem. Latihan-latihan menabuh pada masyarakat di Bali baik didesa-dea maupun dikota-kota sejak dulu hingga sekarang selalu berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Kejadian yang demikian merupakan tradisi sebagai rakyat di Bali pada umunya. Pasang surut kehidupan seni tabuh di masyarakat setempat dianggap hal yang biasa. Dan latihan-latihan menabuh dengan guru yang ahli. Dapat dinggap kegiatan pendidikan seni non-formal. Sebab mereka melaksanakan kewajibannya dengan tat tertib yang berlaku dimasyarakat. Hasil pendidikannya telah terbukti melestarikan kehidupan seni tabuh sebagai salah satu cabang seni yang penting artinya. Kemudian gambelan diperlukan disekolah sebagai alat pendidikan seni tabuh secara formal teristimewa S M K I dan A S T I. dengan timbulnya kesadaran yang lebih mendalam dari masyarakat dan pemerintah, telah dianjurkan setiap sekolah melaksanakan latihan-latihan seni tabuh (karawitan) yang menggunakan gambelan sebagai sarana pendidikan. Jual beli gambelan di Bali sudah biasaterjadi dan sudah dianggap biasa sejak dulu hingga sekarang. Tidak sedikit gambelan yang pindah tangan dari pemilik pertama kepemilik yang kedua dan kepemilik yang berikutnya dengan jual beli yang sah. Bukan hanya pande atau pembuat gambelan saja yang bertindak sebagai penjual, tetapi banyak pula orang yang berkedudukan sebagai pedagang memasarkan atau melaksanakan penjualan gambelan itu. Dalam hal jual beli gambelan tidak terbatas hanya di daerah Bali saja, melainkan dapat dijual kemanapun asal ada yang memerlukan. Gambelan Bali telah banyak terjual ke berbagai daerah di Indonesia bahkan ke beberapa di daerah Eropa, Asia, dan Amerika Serikat. Di dalam prasasti-prasasti yang berangkat tahun 882 Masehi sampai dengan tahun 1342 Masehi yang membuat nama alat-alat seni suara ternyata belum pernah ada yang memakai kata / istilah Gambelan ataupun gambelan . istilah yang termuat di prasati-prasasti yang jumlahnya kira-kira17 buah antara lain terdapat istilah-istilah sbb :

Padaha                                     ganding                        salunding

Padahi                          gendang                       salunding wesi

Bangsi                          suling                           calung

Banjing                                    curing                          galunggang

Gending                       tembang

Istilah untuk alat seni suara yang terdapat pada naskah-naskah kekawin, parwa, babad dan kidung. Mulai tampak istilah gamelan dan gagambelan jadi bukan kata gambelan. Berikut ini beberapa nama alat seni suara yang termuat pada naskah tersebut :

Gamel                          tabang-tabang                          suling

Gamelan                      sekati                                      saron

Gagamelan                  sumangkirang                           unen-unen

Tabe-tabehan               curing                                      unian-unian

Tabeh-tabehan            gambang                                   rebab

Tabuh-tabuhan            semarpagulingan                       gangsa

Tatabuhan                   luwang

Pada lampiran 5.4 halaman 62 termuat kutipan HINDU JAVANESE MUSICAL Instruments karangan Yaap Kunt halaman 91-99 daftar prasasti yang memuat nama-nama alat seni suara.

SUMBER : ( I Nyoman Rembang, 1984:1s/d5)

Sejarah Singkat Banjar Muncan

 

Om Swastiastu

Banjar muncan terletak disebelah barat pura desa kapal. Banjar muncan paling banyak memiliki warga banjar.muncan juga memiliki klihan adat dan kelihan dinas.dilingkungan banjar muncan terdapat pura cemeng yang tepat berdampingan banjar muncan. Muncan juga memiliki sekeha taruna yang benama STARMADA {ARSA MANU ABDI DARMA} , sekeha kidung/santi , sekeha gong kebyar , sekeha beleganjur , dan persatuan sepak bola yang di beri nama GAM {GERAKAN RMADA MUNCAN } ,dan lainnya .

muncan juga memiliki bale-balean diantaranya

  • Bale gong
  • Bale kukul
  • Bale persantian
  • Bale mebat
  • Bale sangkep
  • Bale anyar
  • Bale peparuman
  • Bale sukerta pami tegep

Muncan juga banyak melakukan kegiatan diantaranya lomba sepak bola antar banjar ,lomba beleganjur antar banjar ,goes reli sepeda adat kapal , dan lainnya .kegiatan yng paling berkesan yang dilakukan oleh banjar muncan ialah kegiatan lomba beleganjur antar banjar . dimana kegiatan itu sangat menunjang keraktivitas antara banjar dan pemuda , di kegiatan itu kalah menang sudah biasa .terutama di kalangan pemuda sangat banyak mendapatkan pelajaran kekompakan antara banjar dan pemuda , kebersamaan dalam menjalakan suatu proses latihan atau membuat gending/tabuh . banjar muncan juga sering mengikuti perade beleganjur antaranya peradepesta pertanian di petang , ikut serta dalam perade di HUT Kabupaten Negara , dan tak kalah pentinya banjar muncan pernah mengikuti perade ngelawang di PKB mewakili kabupaten badung .

Banjar muncan juga dikelilingi oleh 17 banjar diantaranya

  • Banjar tegalsaat baleran
  • Banjar tegalsaat delodan
  • Banjar belulang
  • Banjar tambak sari
  • Banjar langon
  • Banjar gangga sari
  • Banjar pemebetan
  • Banjar celuk
  • Banjar uma
  • Banjar cepaka
  • Banjar pangglan delotan
  • Banjar pangglan baleran
  • Banjar peken baleran
  • Banjar peken delotan
  • Banjar titih
  • Banjar basing tamiang
  • Banjar gegadon

Banjar muncan juga dulu satu banjar bersama banjar tambak sari krna sering cecok atau perdapat banjar muncan dan tambak pisah , tetapi hubungan saling membantu tetap dilksanakan sampai sekarang ,

Warga agung banjar muncan tidak semuanya asli dari kapal , karna dulu warga asli kapal di serang oleh warga dalung , di jajah mati matian , dan warga muncan bersembunyi di pura muncan yang sekarang di sebut pura cemeng , dan puri muncan pun tidak tinggal diam atas ketidakadilan warga dalung , puri mucan bergegas menyuruh pasukannya mengusir warga dalung . karna pasukan puri muncan terlalu banyak dalung pun gak tinggal diam dan kembali menambah pasukan ,puri muncan pun tak berdaya dan bersenbunyi ke mengwi . jadilah puri mengwi di daerah kapal .

Kesan dan kesimpulan

Berkat tugas multimedia I saya bisa mengetahui sejarah singkat banjar muncan dan mengetahui asal usul banjar muncan dan asal saya dulu , kesimpulannya jangan lah acuh tak acuh dengan sejarah bajar anda krana anda akan menjadi warga banjar nanti nya , semoga sejrah singkat saya ini bermanfaat bagi pembacanya ,

IMG-20140327-00575

IMG-20140327-00578

 

IMG-20140327-00579

OM SHANTIH , SHANTIH , SHANTIH OM