gedeyudana

Blog

NGELAWANG

Filed under: Tak Berkategori — gedeyudana at 6:22 pm on Selasa, Maret 27, 2018

DEFINISI

Ngelawang Berasal dari kata “lawang” yang artinya pintu, mereka akan berkeliling banjar / desa, menarikan barong bangkung tersebut dari rumah ke rumah dengan tujuan penolak bala, mengusir roh-roh jahat agar kembali ke tempatnya, mengusir wabah penyakit dan hal-hal lainnya berbau negatif , serta agar warga desa diberikan keselamatan dan kerahayuan.

Pada setiap desa pakraman di Bali, tradisi Ngelawang mungkin tata cara pelaksanannya berbeda, namun memiliki tujuan sama. Semuanya sebagai simbol menghadirkan kekuatan suci Hyang Iswara untuk menghilangkan penyakit yang menyengsarakan umat. Barong itu sendiri merupakan lambang perwujudan Sang Banas Pati Raja, yang memotivasi manusia untuk melindungi hutan, karena hutan sebagai penyangga air, jika hutan rusak, banjir terjadi dan ini akan menimbulkan musibah dan wabah. Begitu mulai konsep-konsep dan makna setiap tradisi tersebut, sehigga jika ini kita bisa terapkan dalam berkehidupan sehari-hari, kita akan merasa damai dan sejahtera.

2.      LATAR BELAKANG PELAKSANAAN

Bagi masyarakat awam keberadaan Barong dan Rangda kerap kali dilatarbelakangi mitologi (mitos-mitos) atau kejadian atau sejarahnya yang bersifat supranatural yang terjadi di masa lampau dan diyakini masih memiliki daya magis kekuatan hingga kini. Bila dalam masyarakat Cina dikenal mitos Yin dan Yang sebagai perlambang Kebaikan dan Kejahatan, dua kubu yang senantiasa bertentangan namun tak terpisahkan di dalam dunia. Demikian halnya Barong dan Rangda. Barong diyakini perlambang kebaikan (dharma) sedangkan Rangda sebaliknya (kejahatan). Namun bila keduanya disatukan, diyakini mampu menjadi penangkal hal-hal negatif.

Sementara bagi masyarakat Bali dengan agama Hindu yang masih kuat, Barong dan Rangda diyakini sebagian besar orang sebagai aplikasi perwujudan Tuhan yang dibuat oleh tangan manusia sebagai salah satu bakti. Mereka meyakini Tuhan yang turun ke dunia bersama dengan kekuatannya berkenan menganugerahkan kesejahteraan dan menarik segala kekuatan negatif yang ada dengan membasmi mara penyakit, wabah, termasuk hal-hal negatif dalam diri manusia seperti amarah, iri, dengki, stress, dll. 

3.      WAKTU PELAKSANAAN

Upacara Ngelawang biasanya dilaksanakan pada sasih kanem oleh Krama Desa Surabrata. Kenapa pada sasih kanem? Secara faktual, Sasih Kanem merupakan musim pancaroba, peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Hujan yang turun pada Sasih Kanem lebih lebat dari pada hujan saat Sasih Kalima. Musim pancaroba tentu saja berdampak pada kondisi alam dan merebaknya aneka penyakit atau pun hama. Sehingga dengan adanya Upacara Ngelawang inilah diharapkan dapat memberikan keselamatan lahir dan batin.

Semua itu ada dalam sastra Lontar Purwaka Bumi. Di samping itu tujuan ritual tersebut juga untuk memohon berkah kesuburan. Terlebih lagi, dalam pergantian sasih ini harus dimaknai dengan baik, dilaksanakan dengan lascarya, ngaturan bakti dan banten, memohon keselamatan agar terjadi penetralan kesimbangan sesuai dengan ajaran dan Lontar Cuda Mani.

4.      TATANAN PELAKSANAAN

Pada Sasih Kaenem biasanya diawali terlebih dahulu matuk pakeling di Kahyangan Tiga dan di Gedong Tapakan Desa Adat Surabrata. Seluruh krama desa mengikuti persembahyangan terlebih dahulu dan nunas tirta penyapsap, karena akan ikut ngiring Ida Bhatara macecingak keliling Desa. Setelah itu gedong dibuka dan seluruh atribut Beliau dikeluarkan. Para Juru Pundut juga telah mempersiapkan diri dengan berpakaian sesuai amongannya masing-masing. Setelah semuanya siap, maka seluruh petapakan Barong, Rangda beserta Peranakan-Peranakan kemudian berjalan mengitari desa.

Adapun arah dari pelaksanaan ngelawang ini adalah berlawanan arah jarum jam. Berawal dari Pura Dalem dengan rute ke Balai Banjar Surabrata, Balai Banjar Desa Anyar, Balai Banjar Daren, Balai Banjar Kutuh, Balai Banjar Pengasahan, kemudian berakhir lagi di Pura Dalem. Pada setiap Banjar, seluruh krama Banjar wajib menghaturkan beras dan Raka saka sidan serta Prani.

 

 

 

SUMBER-SUMBER

http://inputbali.com

http://mediaindi.blogspot.co.id

http://www.google.co.id

Ulasan Buku Etnomusikologi BAB I Karya Rahayu Supanggah

Filed under: Tak Berkategori — gedeyudana at 11:10 am on Sabtu, Maret 24, 2018

Pada bab pertama buku ini terbagi menjadi 3 (tiga) sub bab. Tetapi yang saya bahas disini adalah hanya 2 (dua) sub bab pertama yang terdiri atas Terminologi dan Definisi, serta Sejarahnya hingga Perang Dunia II. Pada sub bab pertama, disini dijelaskan definisi menurut beberapa ahli yang telah mengemukakan pendapat mereka dalam tulisan-tulisan yang dimuat dalam buku. Selanjutnya ada pula istilah-istilah lain dari etnomusikologi yang terdapat di beberapa negara dengan bahasa dari masing-masing negara itu sendiri. Disamping itu pula pada sub bab ini terdapat sasaran dan kategori dari mempelajari etnomusikologi itu sendiri. Para penelitinya juga terdiri dari mereka yang ahli pada bidang keilmuan tertentu. Seperti misalnya mereka yang ahli pada ilmu musik, antropologi, bahkan yang ahli pada kedua bidang ilmu tersebut. Kemudian pada sub bab yang kedua dapat diamati sejarah dari etnomusikologi itu sendiri. Dimana yang dimaksud disini mulai ditulis buku-buku musik seperti di Jerman, Inggris dan lain-lain pada tahun 1700-an hingga tahun 1800-an. Seperti misalnya dibuatnya outline tentang studi musik ilmiah, serta analisis notasi yang dibuat pada tahun 1885. Meskipun demikian, ada juga hasil karya orang-orang pada awal abad ke-19 yang dianggap tidak lebih baik dari karya sebelumnya, dan terkesan mengada-ada. Ada pula beberapa diantaranya hasilnya sangat jelek. Selain itu, pada sub bab ini dijelaskan pula adanya penemuan baru seperti penemuan gramofon dan sistem penemuan interval nada. Beberapa ilmuwan dari cabang ilmu lain seperti ahli filsuf, ahli kimia, antropolog, fisika dan geografi, ikut pula ambil andil dalam problema analisis musikal. Selanjutnya pada awal abad ke-19 mulai diadakan rekaman-rekaman menggunakan fonograf hasil temuan Edison yang dipergunakan di beberapa Negara di Dunia yang kemudian dikoleksi di beberapa arkaif rekaman.

Hal menarik yang terdapat dalam bahasan ini adalah adanya pemahaman baru tentang etnomusikologi. Seperti definisi etnomusikologi yang menitikberatkan pada musik yang masih hidup, berkaitan dengan tradisi lisan, serta bersifat kedaerahan yang didominasi kebudayaan yang tinggi. Kemudian sejarah etnomusikologi sebelum adanya Perang Dunia II, penemuan-penemuan baru, serta inovasi dalam memunculkan teknik-teknik baru yang diciptakan dan diwarisi hingga saat ini, dapat lebih membuka wawasan saya terhadap etnomusikologi ini. Selanjutnya buku ini memuat sejarah tentang etnomusikologi yang kemudian dapat membantu saya dalam mengetahui asal usul, perjalanan, penemuan, penotasian, dan rekaman-rekaman yang kemudian dikoleksi dan dipublikasikan di berbagai Negara di Dunia. Hal ini membuat saya lebih tertarik untuk mempelajari lebih banyak lagi tentang adanya etnomusikologi ini. Akan tetapi kekurangan dari buku ini yaitu harus membacanya secara keseluruhan secara berulang-ulang dan berkelanjutan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya istilah-istilah dan pengertian-pengertian yang perlu untuk dibaca dengan berulang-ulang. Selain itu kurangnya terdapat gambar pendukung yang menunjang isi bacaan, yang dapat mengarahkan saya untuk lebih mengenal secara visual bentuk-bentuk alat, koleksi, dan lain sebagainya.

Dari bacaan ini dapat saya simpulkan bahwa istilah etnomusikologi berarti musik yang masih hidup pada masyarakat non literasi, berkaitan dengan tradisi lisan serta selalu mengalami perubahan, yang didominasi oleh kebudayaan yang tinggi. Etnomusikologi memiliki spesialisasi di bidang musikologi. Etnomusikologi dapat diteliti oleh orang yang ahli di bidang musik dan antropologi. Etnomusikologi erat kaitannya dengan etnologi. Kemudian sejarah etnomusikologi tercatat mulai abad ke-18 yang dimulai adanya penotasian musik, penulisan beberapa karya buku. Selain itu ditemukan pula alat-alat seperti gramofon dan pengukur interval nada-nada yang masih berguna hingga saat ini. Adanya rekaman-rekaman yang dihasilkan oleh perekam silinder dan fonograf Edison, lalu kemudian ditemukan tape recorder mulai digunakan untuk merekam serta mengoleksi di beberapa arkaif-arkaif dan museum rekaman. Selain itu dibuka pula perguruan tinggi dan organisasi yang bergerak di bidang musik. Dan pada masa Perang Dunia II pusat rekaman di Polandia kemudian dihancurkan secara sengaja.

Persoalan Seni di Indonesia

Filed under: Tak Berkategori — gedeyudana at 10:08 am on Sabtu, Maret 24, 2018

A.    Permasalahan Estetika Indonesia

a.       Budaya Indonesia

                                                              i.      Mitis

Cara berpikir manusia Indonesia, terutama yang kurang terpelajar, masih mengikuti cara berpikir nenek moyang bangsanya. Apalagi bidang seni, masih amat banyak produk seni yang kita warisi dari nenek moyang yang hidup di zaman pra-modern. Pada Budaya Mitis , manusia justru bersikap menyatu dengan alam luar dirinya. Manusia harus menyelaraskan diri dengan kosmos kalau mau selamat di dunia fana ini. Manusia manyatukan dirinya dengan objek di luar dirinya, dan dari sana menemukan jati dirinya.

                                                            ii.      Ontologis

Manusia mencoba untuk memahami alam di luar dirinya berdasarkan penalarannya dan pembuktian nyata yang tak terbantahkan. Sikap ontologis inilah yang kemudian berkembang dalam masyarakat modern Indonesia sampai sekarang. Alam pikiran Barat dengan deras memasuki Indonesia. Nilai-nilai hidup modern ini hasil dari sikap manusia yang selalu menjaga jarak dan mencoba melihat secara objektif semua yang ada di luar kesadaran atau dirinya. Inilah oleh van Peursen dinamai Budaya Ontologis

b.      Logika Budaya

                                                              i.      Mitis

Dalam logika Mitis, adalah wajar apabila keringat Dewa yang menetes dari tubuhnya dapat menjelma menjadi seorang manusia. Itu karena para dewa , di dunia sana, segalanya omnipoten, serba mungkin, sedang di dunia manusia bersifat fana. Itu sama sekali tidak menyalahi logika budaya mitis, karena ada kesatuan antara seluruh ciptaan, seluruh kosmos, termasuk antara dunia abadi nun di sana dengan dunia manusia.

Cara berpikir demikian itulah yang melahirkan karya seni yang kita warisi hingga sekarang ini. Dan, karya seni itu tak dapat dipahami dengan pendekatan ontologis.

                                                            ii.      Ontologis

Berbagai karya seni itu, terutama seni pertunjukannya, telah mengalami berbagai perubahan bentuk dan malah kadang-kadang berubah fungsinya, dari mitis menjadi ontologis, yakni sekadar kesenian belaka, sekadar estetika belaka tanpa kaitan religius sama sekali.

c.       Permasalahan

Bagaimana kita bisa memahami (secara ontologis) dunia pemikiran purba itu dalam sekian banyak warisan seni tradisional kita?

Tentu mudah apabila masyarakat penghasil karya seni tersebut masih homogen.

Tetapi akan sulit bagi masyarakat yang homogen, seperti di Pulau Jawa misalnya.

B.     Dasar Religius Estetika Mitis

Budaya mitis adalah kesatuan mikrokosmos dan makrokosmos, kesatuan yang imanen dengan yang transenden, kesatuan dunia manusia dengan dunia roh dan dewa. Konsep kesatuan kosmos ini hanya dapat diperoleh lewat sistem kepercayaan dalam hal ini dapat dikatakan ‘agama asli’ indonesia. Maka, sumber pengetahuan manusia sekarang untuk memahami estetika seni budaya mitis adalah kepercayaan ‘asli’ yang kini masih tersisa, ditambah dengan metode perbandingan dan data tertulis di masa lampau.

Dalam system religi terdapat pokok-pokok yang dipercayai :

a.       Sistem upacara atau ibadah yang dilakukan.

b.      Dasar mitologi yang dipercayai sebagai kisah asal usul semesta

c.       Etika agama yang lazim disebut hukum adat.

d.      Sistem mistik untuk memasuki pengalaman kesatuan dengan kosmos.

e.       ‘primbon’ dalam keselarasan dan tidak selaras dengan kosmos.

Pengalaman estetik sekaligus merupakan pengalaman religius. Pengalaman estetik adalah suatu ekstase dengan kosmos. Peleburan diri dalam seni adalah peleburan diri dalam pengalaman mistik.

Estetika budaya mitis, dengan demikian berbeda dengan estetika budaya ontologis. Dalam budaya ontologis, pengalaman estetik bukanlah pengalaman religius. Namun, pengalaman religius dapat dicapai setelah pengalaman estetik selesai.

C.     Seni Sebagai Upacara Keagamaan

a.       Upacara itu merupakan dunia ambang, dunia antara, dunia pertemuan antara yang transenden dengan yang imanen.

b.      Keagamaan adalah dunia liminalitas

Dalam upacara agama asli Indonesia, kesenian sering dipakai untuk mencapai pertemuan transendental tersebut. Melalui kesenian, tercapai pengalaman khusus yakni pengalaman estetik.

Seperti dikatakan Saini km dalam bukunya, peristiwa teater (1996), seni teater adalah dunia ambang, yakni ambang untuk menoleh kepada yang inderawi dari pengalaman sehari-hari dan juga menoleh pada dunia nilai

Dari situ muncul kreativitas seniman, bagaimana menghadirkan tokoh atau roh dunia sana yang abadi, tertib kosmos, omnipoten itu ke dalam wujud duniawi yang serba terbatas. Maka, lahir karya seni tradisional yang berkwalitas tinggi dan menarik umat manusia sampai kini

D.    Memahami Estetika Mitis

Dalam praktik hidup kontekstual sekarang ini, campur aduk antara nilai budaya mitis, ontologis, dan fungsional. Belum sepenuhnya di segala sektor budaya kita modern secara ontologis. yang jelas, di sektor budaya seni, dalam hidup sehari-hari, kita masih terus memelihara dan mempergunakan fungsi seni secara mitis daripada secara ontologis ataupun fungsional.

Kalau kita percaya bahwa ‘bentuk’ mengikuti ‘fungsi’ dalam kebudayaan, maka bentuk kesenian tradisional yang sekarang masih hidup dalam konteks masyarakat sekarang ini, sebagian masih berfungsi asal (mitis) dan sebagian telah berubah fungsi, namun bentuknya tetap berstruktur mitis. Maka, untuk memahami karya seni yang demikian kita tidak dapat melihat benda seninya belaka dengan dengan tafsiran kontekstual kita sendiri, tetapi harus berusaha menempatkan benda seni tersebut dalam bentuk dan fungsinya sesuai dengan konteks sosio-budayanya.

E.     Konteks Estetika Seni Tradisi

Seni tradisi masih hidup segar dalam konteks ideologi masyarakat pedesaan. Dalam jenis Seni Statis (rupa, arsitektur, sastra tulis) tidak mengalami perubahan, sama seperti dahulu kala. Tari Seblang, Ronggeng, Tayub yang masih hidup di lingkungan rakyat pedesaan sekarang ini tentu saja mengalami perubahan bentuknya dan juga fungsinya. Objek tarian atau teater atau karya musik yang sekarang ada merupakan hasil penafsiran dan pembentukan (penciptaan) kembali oleh konteks berbagai zaman.

Tiga masa perubahan besar :

a.       Masuknya pengaruh seni India

b.      Masuknya agama Islam

c.       Masuknya pengaruh Belanda

Dua konteks budaya sejak munculnya lembaga kerajaan di pusat-pusat pemerintahan

a.       Budaya pedesaan

b.      Budaya Istana

Kesimpulan

  1. Budaya Indonesia terdiri dari Budaya Mitis dan Ontologis
  2. Pengalaman estetik sekaligus merupakan pengalaman religius. Pengalaman estetik adalah suatu ekstase dengan kosmos. Peleburan diri dalam seni adalah peleburan diri dalam pengalaman mistik.
  3. Lahir karya seni tradisional yang berkwalitas tinggi dan menarik umat manusia sampai kini karena adanya Upacara Keagamaan
  4. Seni tradisi mengalami 3 perubahan besar : masuknya pengaruh seni India, masuknya Agama Islam, dan masuknya pengaruh Belanda.

Pelayon Dagang Uyah

Filed under: Tak Berkategori — gedeyudana at 9:44 am on Sabtu, Maret 24, 2018

A. Latar Belakang Analisa

Suatu hal yang mendasari keinginan saya untuk meneliti atau menganalisa gending Tabuh 6 Pelayon Dagang Uyah ini adalah yang pertama, gending ini begitu populer dan menjadi ciri khas dan merupakan suatu gending utama jika sekaa tabuh di Banjar Suraberata melakukan prosesi ngayah di Pura-Pura. Kedua, karena adanya narasumber dan bukti otentik yang bisa dijadikan bahan guna memperkuat analisa. Yang ketiga, tabuh ini memiliki keunikan yang menjadi ciri khas gending lelambatan Pejaten khususnya dan tabanan pada umumnya.

 

B.     Pencipta Tabuh

Sesuai dengan informasi yang saya dapat dari narasumber I Wayan Dani dan I Gusti Made Yasa selaku penerus lelambatan Pejaten, hingga saat ini penata dari Tabuh 6 Pelayon Dagang Uyah ini tidak diketahui siapa orangnya atau sering disebut anonim. Yang narasumber ketahui hanyalah orang yang membawa ataupun memperkenalkan tabuh-tabuh lelambatan termasuk Tabuh 6 Pelayon Dagang Uyah ini hingga di Banjar Pangkung Pejaten. Orang tersebut ialah sugra pakulun Bapak Gobyah.

 

C.    Asal Mula Tabuh

Menurut narasumber I Wayan Dani, asal tabuh 6 Pelayon Dagang Uyah ini berasal dari Pangkung Prabhu, Desa Delod Peken, Tabanan. Kemudian tabuh ini dicetuskan di banjar pangkung pejaten.

Diperkirakan asal mula terciptanya Tabuh 6 Pelayon Dagang Uyah ini  adalah tabuh pelayon gede. Karena tabuh ini bersifat umum akhirnya penata membuat suatu tambahan lainnya hingga terciptalah satu karya tabuh yang diberi judul pelayon dagang uyah.

Selain itu, ketika tabuh pelayon ini dituangkan di Banjar Pangkung Pejaten yang awalnya hanya berupa kawitan pengawak dan pengisep saja, ditambahlah Tabuh Telu sebelumnya guna mengawali gending pelayon ini oleh I Wayan Dani. Dan pada bagian akhir dibuatkan pula suatu tabuh pengecet dengan tempo agak cepat yang diberi nama pengecet Teteboan I Wayan Dani pula. Adapun fungsi dari Pengecet Teteboan ini adalah untuk megirang-girangan ketika usai menabuh dan itu tandanya bagi penabuh untuk katuran boga.

Dan pada tahun 1974, diadakanlah rekaman guna mempublikasikan gending-gending lelambatan termasuk Tabuh 6 Pelayon Dagang Uyah ini.

Oleh karena itu dengan berbekal ciri khas Tabuh Lelambatan Pejaten tersebut hingga kini tabuh ini begitu dikenal di Bali khususnya di Tabanan yang biasanya dijadikan sebagai tabuh pengiring upacara Dewa Yadnya seperti Piodalan.

 

D.    Sejarah Dituangkannya Tabuh 6 Pelayon Dagang Uyah Di Banjar Suraberata

Tabuh ini dituangkan di Banjar Suraberata, Lalang Linggah, Selemadeg Barat, Tabanan pada tahun 2007 oleh I Wayan Dani asal pejaten. Kisah dipilihnya tabuh ini sebagai tabuh klasik yang ada di banjar ini karena diharapkan oleh Pengurus tabuh supaya ada salah satu tabuh klasik yang ada di Tabanan. Maka dari itu pengurus mencari Pembina tabuh dari banjar pangkung pejaten yang bernama I Wayan Dani. Setelah itu diberilah tabuh yang disebut tabuh 6 pelayon dagang uyah. Proses latihan kira kira 3 minggu dengan seminggu 2 kali latihan. Selama 1 kali latihan dari jam 8 sampai jam 11 malam.

 

E.     Pemberian Judul Tabuh

Dasar dari pemberian judul tabuh ini adalan penciptaan pribadi dari penata karena terinspirasi dari orang-orang yang ada di daerah Tabanan selatan. Menurut narasumber I Wayan Dani dan I Gusti Made Yasa, pada jaman dahulu para tetua yang menciptakan gending ini sedang “ngalu” atau berangkat ke desa lain membawa barang dagangan untuk dijual. Pada suatu ketika, dilihatlah orang yang sedang membawa garam untuk dijual ke pasar. Sambil beristirahat dibuatlah suatu gending pelayon tersebut. Itulah ide dari penata tabuh, maka dibuat tabuh klasik yang disebut pelayon dagang uyah.

Menurut Ketut Kantara, tabuh ini diibaratkan seperti dagang uyah yang berjalan jauh yang mempengaruhi struktur tabuh yang panjang dan dengan dinamika keras lambat seperti dagang uyah yang kecapaian menjajakan garamnya.

 

F.     Bentuk Tabuh

Tabuh Pelayon dagang uyah ini adalah tabuh lelambatan yang berbentuk tabuh 6. Karena pada bagian pengawak terdapat pukulan jegong, lalu kempli, lalu jegog, dan kempur itu diulang sebanyak 6 kali. Lalu pada akhir bait diakhiri dengan pukulan gong.

 

G.    Instrumen Yang Digunakan

Jenis instrumen yang dipakai adalah gong kebyar.

Mengapa Gong Kebyar? Alasan yang pertama adalah, karena di Banjar Suraberata hanya terdapat Gong Kebyar dan Baleganjur. Maka yang memungkinkan untuk menuangkan tabuh ini adalah pada gambelan Gong Kebyar. Kedua, karena bentuk dari tabuh ini adalah tabuh 6 lelambatan, dan terdapat variasi kotekan, maka dipihlah Gong Kebyar sebagai media untuk menuangkan gending ini.

H.    Struktur Tabuh

1.      Diawali dengan tabuh 3

Pada bagian ini, sama halnya dengan tabuh 3 pada umumnya. Disini terdapat terompong sebagai pengawit, dengan tempo yang agak cepat.

2.      Pemungkah

Pada bagian Pemungkah, tabuh ini diawali dengan memainkan instrument terompong yang diikuti jegog, lalu dilanjutkan dengan pukulan kendang, gangsa dan cengceng serta diakhiri dengan gong.

3.      Pengawak

a.      Pengawak 1

Pada bagian pengawak Pertama diawali dengan pemukulan terompong dan kekendangan yang kebanyakan gegilak Pada pengawak yang pertama, saat sebelum jublag dipukul masuklah cengceng diakhiri dengan kempli, pada baris kedua tidak berisi cengceng dan diakhiri dengan kempur, dan begitu seterusnya sampe akhir tabuh pengawak itu dengan pemukulan kempur sebanyak 6 kali dan diakhiri dengan gong.

b.      Pengawak 2

Pada bagian pengawak Kedua diawali dengan pemukulan kendang dan disusul oleh terompong. Pada pengawak yang pertama, saat sebelum jublag dipukul masuklah cengceng diakhiri dengan kempli, pada baris kedua tidak berisi cengceng dan diakhiri dengan kempur, dan begitu seterusnya sampe akhir tabuh pengawak itu dengan pemukulan kempur sebanyak 6 kali dan diakhiri dengan gong. Pada bagian ini kekendangan yang digunakan adalah kebanyakan batu-batu.

4.      Pengisep

Bagian ini diawali dengan pemukulan tromping. Pada Pengisep yaitu sama stukturnya dengan Pengawak hanya saja tempo yang lebih lambat dan kekendangan yang kebanyakan batu batu.

5.      Pengecet Teteboan

Pada bagian Pengecet Teteboan ini diawali dengan terompong terlebih dahulu. Adapun bentuk dari pengecet ini adalah tabuh telu yang  memiliki tempo lambat, lalu cepat, lambat dan seterusnya hingga pada akhirnya kembali lambat. Pada bagian ini terdapat dua macam melodi dan motif.

 

I.       Jenis Pukulan Yang Digunakan

1.      Gangsa

Jenis kotekan, nyilihasih atau norot dan disertai variasi khas Pejaten

2.      Kendang

Kekendangan yang dipakai adalah gilak atau disebut juga kilit bun, batu batu

3.      Jublag

Jublag dipukul setiap 2 ketukan dalam setiap baris

4.      Jegog

Jegog dipukul setiap 4 kali pemukulan jublag

5.      Kempli

Kempli dipukul setiap 2 kali pemukulan jegog setelah pukulan kempur, kecuali baris terakhir

6.      Kempur

Kempur dipukul setiap 2 kali pemukulan jegog setelah pukulan kempli

7.      Gong

Pemukulan gong adalah baris terakhir setelah 6 kali pemukulan kempur

 

Narasumber :

1.      I Ketut Kantara

2.      I Wayan Dani

3.      I Gusti Made Yasa

Filsafat Seni dari Tari Legong Raja Cina

Filed under: Tak Berkategori — gedeyudana at 12:49 am on Jumat, Maret 23, 2018

Tari yang diperkirakan ada pada tahun 1930-an ini merupakan tarian yang terinspirasi dari cerita Dalem Balingkang. Menurut Semadi: 2018, cerita tersebut tiada lain merupakan kisah pernikahan Raja Jaya Pangus dengan Putri Cina yang bernama Kang Cing Wi. Disana diceritakan bahwa pernikahan mereka yang telah lama berjalan, tak kunjung dikaruniai seorang putra. Akhirnya Raja Jaya Pangus memutuskan untuk bertapa di Gunung Batur. Setelah sekian lama bertapa, Jaya Pangus belum juga kunjung pulang, yang membuat Kang Cing Wi menyusulnya ke tempat pertapaan. Pada akhirnya setelah ia sampai dipertapaan, diketahuilah oleh Kang Cing Wi, bahwa Jaya Pangus telah menikah dengan Dewi Danu.

Setelah mereka bertemu, dilihatlah oleh Dewi Danu yang akhirnya membuat amarah beliau memuncak sehingga dibakarlah Jaya Pangus dengan Kang Cing Wi. Setelah mereka tiada, datanglah rakyat mereka meminta Dewi Danu untuk menghidupkan mereka kembali. Tetapi Dewi Danu menolaknya, sehingga rakyat tersebut membuat sebuah personifikasi Raja Jaya Pangus dengan Kang Cing Wi dengan sebutan Barong Landung. Barong landung yang berwujud Jero Wayan dan Jero Luh tersebut tiada lain merupakan simbol perpaduan budaya Bali dengan Cina.

Hal tersebut digambarkan dalam gerak tari pada bagian pengecet dalam karya ini. Yaitu dengan adanya peniruan atas gerak-gerak dalam tarian Cina. Selain itu dipadukan pula gerakan tersebut dengan gerakan-gerakan tari legong seperti yang terdapat pada tari legong pada umumnya beserta peniruan gerak-gerak dari barong landung. Sehingga dalam hal ini tergambar adanya perpaduan atau akulturasi budaya Bali dan Cina.

Jadi, makna yang terkandung dalam Tari Legong Raja Cina adalah terkait dengan adanya akulturasi budaya Bali dengan Cina. Jadi untuk mengingat hubungan Bali dengan Cina, maka dibuatlah kesenian pertunjukan Legong yang diberi nama Legong Raja Cina. (Semadi: 2018)

Laman Berikutnya »