TRADISI NGEMBAK GENI NYAKAN DIWANG DI DESA BANYUATIS, MUNDUK, GOBLEG, GESING, DAN KAYUPUTIH KECAMATAN BANJAR KABUPATEN BULELENG

This post was written by gautama on April 12, 2018
Posted Under: Tak Berkategori

Nyepi adalah peringatan tahun baru saka yang jatuh pada penanggal apisan sasih kedasa, yakni sehari setelah Tilem Kesanga (pancadasi krsna paksa sasih kesanga). Hakekat Nyepi adalah penyucian bhuwana agung (makrokosmos) dan bhuwana alit (mikrokosmos) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan bathin, terbinanya kehidupan yang berlandaskan atas satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keharmonisan/keindahan). Ngembak Geni, adalah rangkaian terkahir dari hari Nyepi jatuh pada penanggal ping kalih sasih kedasa. Pada hari ini umat Hindu melakukan simakrama (silaturahmi) dengan sanak keluarga (keluarga besar) dan dengan para tetangga. Tujuannya adalah mengucapkan syukur dan saling maaf memaafkan satu sama lain, dengan harapan memulai lembaran tahun baru yang bersih. Simakrama ini mengandung filosofi bahwa manusia yang diciptakan oleh Tuhan hendaknya hidup rukun dan damai dengan saling menyayangi satu dengan yang lain, saling memaafkan atas segala kesalahan dan kekeliruan yang pernah diperbuat pada waktu-waktu yang lalu.

Saat hari Ngembak Geni, masyarakat desa di Wilayah Kecamatan Banjar, terutama Desa Banyuatis, Kayuputih, Gobleg, Munduk dan Gesing melaksanakan tradisi memasak di pinggir jalan raya yang disebut dengan nyakan diwang. Tradisi ini mencerminkan kebersamaan masyarakat desa masing-masing dalam merayakan tahun baru saka yang datangnya setiap setahun sekali dengan penuh antusias. Tradisi ini telah dijalankan warga sejak ratusan tahun silam, sebagai warisan dari nenek moyang (leluhurnya), dan dilaksanakan secara eksklusif oleh masyarakat desa setempat.  Warga membuat tungku yang sederhana hanya dengan tumpukan batu dan bata. Mereka memulai kegiatan memasak umumnya sejak pukul 00.00 WITA saat Ngembak Geni. Seluruh warga diwajibkan melaksanakan aktifitas memasaknya di luar rumah. Aktifitas ini terjadi selama satu hari saja, yakni selama Ngembak Geni. Warga meyakini bahwa tradisi ini sudah dijalankan secara turun-temurun sejak ratusan tahun yang lalu sebagai warisan nenek moyangnya yang memiliki nilai-nilai yang luhur. Aktifitas nyakan diwang (memasak di pinggir jalan)  ini biasanya berlangsung hingga pukul 07.00 WITA.  Derasnya arus informasi dan pengaruh era globalisasi yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dengan adanya desakan-desakan dari budaya global dan keyakinan lain, dikhawatirkan pelaksanaan tradisi nyakan diwang akan semakin luntur. Karena demikian, maka diperlukan adanya usaha-usaha yang harus ditempuh untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi nyakan diwang yang mengandung nilai-nilai luhur ini sebagai benteng bagi warga desa dalam menghadapi pengaruh-pengaruh luar.  Agar tradisi ini dapat terus lestari, maka pemahaman masyarakat desa terhadap makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu ditingkatkan. Melalui pemahaman yang semakin meningkat akan makna dan nilai-nilai agama dalam tradisi nyakan diwang tersebut, maka kepedulian masyarakat dalam mempertahankan dan melestarikannya akan meningkat pula. Dengan demikian, diharapkan tradisi nyakan diwang terus dapat bertahan di lingkungan masyarakat desa. Hal ini sangat menarik untuk dikaji, sejauh mana tradisi nyakan diwang ini memiliki makna dan nilai-nilai agama, sehingga eksistensinya perlu dipertahankan dan dilestarikan.

Comments are closed.