Tari Telek
Posted Under: Tak Berkategori
Tidak banyak warga yang tahu kisah apa yang sebenarnya yang melatarbelakangi penciptaan tari Telek yang sampai wajib dipentaskan sejumlah banjar/desa adat di Klungkung. Mereka hanya tahu bahwa tarian ini merupakan tari sakral yang pantang untuk tidak dipentaskan. Namun, menurut Kasubdin Bina Objek Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Klungkung I Nengah Becik, S.H., perihal tari Telek itu sebenarnya tertuang dalam lontar Barong Suari. Dikisahkan, begitu Becik mengutip lontar tersebut, cerita bermula dari kerinduan Batara Siwa kepada Batari Giri Putri (Dewa Uma) yang menghilang dan menjelma ke dunia menjadi Dewi Durga. Akhirnya, Batara Siwa mengutus para dewata untuk mencari serta membujuk sang dewi agar mau kembali ke Siwa Loka/sorga. “Penjelmaan para dewata inilah yang jadi pokok cerita dalam pementasan Telek dan tarian-tarian lain yang menyertainya,” kata Becik. Salah satu dewa yang diutus turun ke dunia adalah Dewa Iswara. Dalam pengembaraannya di dunia mencari Dewi Durga, Dewa Iswara pergi ke empat penjuru dunia. Lakon ini ditarikan dalam empat penari bertopeng putih yang lebih dikenal dengan Telek. Karena Dewa Iswara tidak kunjung kembali membawa Dewi Durga ke Siwa Loka, maka Batara Siwa mengutus juga Dewa Brahma melakukan pencarian yang ditarikan oleh penari topeng bang (Jauk) dan topeng Penamprat. Dalam pengembaraannya, Brahma dan Iswara bertemu dan keduanya sama-sama tidak berhasil menemukan sang dewi yang mereka cari. Selanjutnya, Dewa Wisnu juga turut melakukan pengembaraan ke dunia dengan bentuk topeng ireng yang lebih dikenal dengan sebutan Banaspati Raja (berwujud barong). Dalam perwujudannya sebagai barong, Dewa Wisnu melakukan pencarian hingga ke hutan belantara. Suatu saat, sampailah Wisnu di sebuah kuburan bernama Setra Gandamayu. Di sini, Barong melihat Rarung (pengikut Dewi Durga-red) yang sedang menggelar ilmu hitam untuk menciptakan wabah penyakit di dunia. Barong sempat bertanya kepada Rarung, tetapi tidak mendapat jawaban karena dia sedang melaksanakan monabrata (puasa bicara-red) untuk mewujudkan ilmu hitamnya. Mendapat perlakuan tidak simpatik seperti itu, Barong marah dan terjadilah perang tanding di antara mereka. Rarung kalah serta meminta bantuan kepada gurunya, Dewi Durga. Dewi Durga tampil dalam wujudnya sebagai Rangda dan terlibat pertarungan sengit dengan Barong. Meskipun kalah, Barong akhirnya mengetahui bahwa Rangda itu sebenarnya Batari Giri Putri/Dewi Uma yang tengah dicarinya. Barong lantas melaporkan “pertemuannya” itu kepada Batara Siwa ke Siwa Loka. Siwa pun turun ke dunia sebagai Dewa Ludra yang merasuki badan Barong agar bisa bertemu dengan istrinya yang telah menjelma jadi Durga. Pertemuan antara Siwa dan Durga pun terjadi dan mereka melepaskan kerinduannya yang membuncah. Pertemuan ini melahirkan kala (pengaruh-pengaruh negatif-red) yang ribuan jumlahnya. Beruntung, Siwa dan Durga cepat tersadar dan mereka pun kembali ke Siwa Loka. Tinggallah kala di dunia. “Kala yang memenuhi dunia akan mengalahkan atau memakan segala yang ada, termasuk dunia itu sendiri,” papar Becik seraya menegaskan, bahwa pementasan Telek itu merupakan satu-kesatuan dengan tampilnya tokoh jauk, penamprat, barong, rarung dan rangda dalam pementasan. Semua itu membangun satu cerita yang utuh sehingga pementasan tersebut sering disebut Barong Telek. Lantas, apakah kaitan atraksi narat/ngunying (menusuk dada dengan keris-red) di pengujung pementasan? Menurut Becik, kehidupan di dunia ini diibaratkan sebagai orang ngunying. Artinya, hidup sama dengan samsara karena tidak mungkin menghindar dari sang kala atau waktu. “Lengkap dengan segala kebahagiaan dan penderitaan yang menyertainya,” tegasnya.