BALAGANJUR DALAM KONTEK TRI HITA KARANA
Posted Under: Tak Berkategori
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bunyi gamelan merupakan salah satu media informasi adanya suatu prosesi ritual. Dengan mendengarkan bunyi gamelan kita dapat mengetahui adanya prosesi ritual di suatu tempat, bahkan banyak orang dapat mengetahui dari jauh tentang proses atau urutan dan tahapan-tahapan pelaksanaan ritual itu melalui bunyi gamelan. Salah satu contohnya yaitu saat seseorang dari kejauhan mendengar bunyi gamelan Baleganjur, maka ia dapat mengetahuai bahwa telah dilaksanakanya sebuah prosesi ritual, melis, mecaru atau upacara Bhuta yadnya.
Mendengar bunyi gamelan Baleganjur, kadang kala memotifasi kita untuk melihat atau menyaksikan prosesi ritual yang berlangsung yang diiringi dengan gamelan Baleganjur. Gamelan Baleganjur merupakan salah satu jenis barungan gamelan Bali yang mempunyai karakter yang keras, mendebarkan sehingga mampu membangkitkan suasana hati yang pada umumnya dipakai untuk mengiringi prosesi ritual.
Bila dikaitkan dengan konteks upacara Panca Yadnya yaitu lima macam yadnya atau korban suci yang dilakukan dengan penuh iklas, diantaranya :
1. Dewa yadnya adalah korban suci yang dipersembahkan dengan tulus iklas kehadapan Hyang Widhi dengan jalan cinta bakti, sujud memuja, mengikuti segala ajaran suci-Nya, serta melakukan tirta yatra (kunjungan ketempat-tempat suci).
2. Pitra yadnya adalah korban suci yang dipersembahkan dengan tulus iklas kepada para leluhur dengan memuja keselamatan beliau di akhirat, memelihara keturunan mereka dan mengikuti segala tuntunannya.
3. Manusa yadnya adalah korban suci yang dipersembahkan dengan tulus ilkas demi keselamatan keturunan kita dan kesejahteraan manusia lain dengan dana punia serta usaha kesejahteraan lainnya.
4. Rsi yadnya adalah adalah korban suci yang dipersembahkan dengan tulus iklas untuk kesejahteraan para Rsi, antara lain dengan mengamalkan segala ajarannya.
5. Bhuta yadnya adalah korban suci yang dipersembahkan dengan tulus iklas kepada segala mahluk bawahan, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, untuk memelihara kesejahteraan alam semesta.
Gamelan Baleganjur mempunyai andil yang sangat besar sebagai musik pengiring prosesi ritual di atas, karena bila dilihat dari jenis-jenis pelaksanaan yadnya tersebut, sebagian besar menggunakan gamelan Baleganjur sebagai musik iringan prosesi ritual tersebut. Dalam konteks upacara dewa yadnya pada kenyataanya menggunakan gamelan Baleganjur sebagai musik iringan prosesi misalnya upacara Melasti. Dalam konteks upacara manusa yadnya, gamelan Baleganjur digunakan untuk mengiringi upacara Ngaben. Dan yang paling penting ialah gamelan Baleganjur yang digunakan saat pelaksanaan upacara Bhuta yadnya karena gamelan Baleganjur diyakini berfungsi sebagai sarana pengundang para bhuta , dengan karakter tabuh yang keras yang berbeda dengan upacara dewa yadnya. Semua yang telah diuraikan di atas tidak terlepas dari konsep Tri Hita Karana.
Konsepsi Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab kesejahteraan materi dan rohani manusia, maka kesejahteraan adalah hasil integrasi dari hubungan harmoni dari tiga variabel yakni : pertama, hubungan harmoni antara insan manusia dengan Tuhan (Parhyangan). Kedua, hubungan harmoni antara insan manusia yang satu dengan insan manusia yang lainnya tanpa memandang ras, agama dan kebangsaan (Pawongan). Ketiga, hubungan harmoni antara insan manusia dengan alam dengan jaminan bahwa pemanfaatan alam oleh manusia untuk kesejahteraan bersama, tetap menjaga keseimbangan di alam itu sendiri (Palemahan) .
Gamelan Baleganjur mempunyai peranan yang sangat besar dalam pelaksanaan ritual yang terkait dengan konsep Tri Hita Karana di atas. Bagaimana peranan gamelan Baleganjur dalam konteks Tri Hita Karana? itulah yang kiranya akan diuraiakan dalam tulisan ini.
.2 Rumusan Masalah
Didalam karya tulis ini ada beberapa permasalahan yang hendak dibicarakan, di antaranya :
1. Bagaimana asal mula gamelan Baleganjur dan bagaimana sesungguhnya gamelan Baleganjur?
2. Landasan-landasan apa saja yang ada didalam konsep Tri Hita Karana?
3. Apa hubungan Gamelan Baleganjur dengan konsep Tri Hita Karana?
1.3 Tujuan Penelitian
Pada dasarnya, dalam membuat ataupun menciptakaan sesuatu, sudah barang tentu mempunyai tujuan dan manfaat. Tujuan merupakan landasan utama yang perlu diperhatikan dalam berbuat sesuatu yang memberikan motivasi terwujudnya suatu karya tulis. Adapun tujuan dari karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara gamelan Baleganjur terkait dengan konteks Tri Hita Karana di Bali.
2. Untuk mengetahui bagaimana peranan gamelan Baleganjur terhadap pelaksanaan prosesi ritual Hindu Di Bali.
3. Untuk mengetahui sejauh mana peranan gamelan Baleganjur terhadap seni pertunjukan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan dan menambah wawasan serta pengalaman dalam menyusun suatu karya tulis ilmiah.
2. Memberikan masukan mengenai peranan gamelan Baleganjur dalam konteks Tri Hita Karana yang terwujud dalam suatu bentuk karya tulis ilmiah, yang kiranya bermanfaat sebagai acuan, serta sebagai bahan perbandingan dalam meningkatkan kreativitas di kalangan seniman akademis.
1. 5 Ruang Lingkup Penelitian
Didalam setiap pelaksanaan prosesi ritual hindu di Bali selalu disertai oleh suara gamelan. Suara gamelan merupakan salah satu dari konsep Panca Gita diantaranya : Kidung/lagu-lagu pujaan, Suara Genta, Mantra, Kulkul dan Suara gamelan. Terkait dengan konsepsi Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab kesejahteraan materi dan rohani manusia, maka kesejahteraan adalah hasil integrasi dari hubungan harmoni dari tiga variabel yakni : pertama, hubungan harmoni antara insan manusia dengan Tuhan (Parhyangan). Kedua, hubungan harmoni antara insan manusia yang satu dengan insan manusia yang lainnya tanpa memandang ras, agama dan kebangsaan (Pawongan). Ketiga, hubungna harmoni antara insan manusia dengan alam dengan jaminan bahwa pemamfaatan alam oleh manusia untuk kesejahteraan bersama, tetap menjaga keseimbangan di alam itu sendiri (Palemahan). Dalam setiap aspek tersebut selalu diikuti suara gamelan, dan tak dapat dipungkiri gamelan Bleganjur juga kadang kala digunakan untuk mengiringi setiap jenis kegiatan baik yang sifatnya ritual maupun presentasi estetis.
Gamelan Bleganjur, pada kenyataannya sampai saat ini masih difungsikan sebagai gamelan pengiring prosesi. Gamelan ini, bila dikaitkan dalam konsep Tri Hita Karana dapat dilihat dari sudut fungsi yang didalamnya berhubungan dengan konteks upacara (Parhyangan), konteks sosial (Pawongan) dan konteks lingkungan, budaya dan pariwisata (Palemahan).
4.1 Konteks Upacara (Parhyangan)
Bila dimasukan dalam konteks Tri Hita Karana iringan gamelan Bleganjur tidak boleh terlepas dari kontek parhyangan yang digunakan untuk mengiringi upacara ritual keagamaan. Misalnya : dalam konteks upacara dewa yadnya menggunakan gamelan bleganjur sebagai musik iringan prosesi seperti upacara melasti, mendak ida betara dan sejenisnya. Dalam konteks upacara manusa yadnya, gamelan baleganjur digunakan untuk mengiringi upacara ngaben. Gamelan bleganjur yang digunakan saat pelaksanaan upacara bhuta yadnya diyakini berfungsi sebagai sarana pengundang para bhuta , dengan karakter tabuh yang keras yang berbeda dengan upacara dewa yadnya. Semua yang telah diuraikan di atas tidak terlepas dari konsep Tri Hita Karana yang melandasi segala pelaksanaan ritual, misalnya pada upacara bhuta yadnya, yang pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan Bhuta Kala menjadi Bhuta Hita, Bhuta Hita artinya menyejahterakan dan melestarikan alam lingkungan beserta isinya . Semua kegiatan ritual diatas sebagian besar diiringi dengan tetabuhan gamelan Bleganjur. Dalam memainkan tetabuhan gamelan Bleganjur diatas harus disesuaikan dengan etika. Etika dimaksud disini ialah bagaimana Bleganjur yang digunakan dalam dewa yadnya dengan bhuta yadnya harus dibedakan baik dari unsur garap musikalnya maupun tata penyajiannya. Semua itu tidak terlepas dari apa yang disebutkan dalam lontar Prakempa yang salah satu berhubungan dengan aspek filsafat, etika, estetika, dan teknik menabuh gamelan Bali . Beberapa hal tersebut, harus diperhatikan dalam memainkan gamelan Bleganjur yang difungsikan sebagai musik prosesi ritual.
4.2 Konteks Sosial (Pawongan )
Gamelan Bleganjur kendatipun masih eksis digunakan dalam konteks prosesi ritual, juga tak luput dari hukum perubahan baik bentuk garap, nuansa musikal yang tentunya disebabkan orientasi fungsi dan penggunaannya. Bentuk dan tata penyajiannya juga akhirnya berkembang, yaitu tidak hanya sebagai musik pengiring prosesi ritual, melainkan juga sebagai musik instrumental dan iringan seni pertunjukan. Perkembangan tata garap ini bahkan lebih menekankan pada penciptaan musik yang lebih artistik, baik dari segi suara musikal maupun penampilan pemainnya yang mengutamakan penampilan estetis.
Terkait dengan konsep Tri Hita karana, konsep ngayah juga memberi peluang pada gamelan Bleganjur dalam konteks sosial disamping ada juga hubungannya dengan konteks parhyangan.Dalam konteks pawongan disini, juga dapat dilihat dari hubungan gamelan Bleganjur yang difungsikan sebagai presentasi estetis disejajarkan dengan konsep pawongan yang terdapat dalam Tri Hita Karana.
Hubungan Pawongan disini menyangkut tentang sosial masyarakat, yang didalamnya memuat tentang gamelan Bleganjur yang dilihat dari segi fungsi yaitu gamelan Bleganjur digunakan dalam perlombaan (festival Bleganjur), pengiring lomba layang-layang maupun pengiring ogoh-ogoh, baik yang dilombakankan maupun yang sifatnya pawai.
Dalam hubungan gamelan Bleganjur dengan pawongan, yang paling menarik disini ialah gamelan Bleganjur telah mampu memikat hati generasi muda khususnya dalam mempelajari, memainkan dan melombakan Bleganjur. Lomba Bleganjur dewasa ini merupakan salah satu pertunjukan yang populer, sebab dengan tata garap musikal yang baru, penampilan yang lihai dengan aktingnya atau dengan kata lain Bleganjur yang ditarikan, dilengkapi dengan berbagai atribut keindahan telah mampu menampilkan tontonan yang indah baik secara audio maupun visual.
4.3 Konteks lingkungan, Budaya dan Pariwisata (Palemahan)
Hubungan Bleganjur terkait dengan konteks lingkungan dan budaya termasuk dalam konsep palemahan dalam Tri Hita karana, mempunyai peranan yang sangat penting. Bila dilihat dari hubungannya dengan lingkungan, gamelan Bleganjur digunakan sebagai musik prosesi pada upacara mecaru dan tawur agung, yang ada hubungannya dengan keseimbangan alam semesta dan lingkungan sekitar. Disamping itu konsep lingkungan dalam hubungannya dengan palemahan juga dilihat dari lingkungan budaya dan pariwisata. Gamelan Bleganjur bila dilihat dari segi budaya, juga berperan dalam uapaya pelestarian budaya karena gamelan Bleganjur merupakan salah satu warisan budaya yang patut kita jaga kelestariannya.
BAB II
KAJIAN SUMBER
Terwujudnya suatu karya tulis tidak terlepas dari sumber dan informasi. Untuk menghasilkan karya tulis yang didalamnya mengandung nilai filsafat, Etika dan sistimatis, maka tulisan ini didukung dengan beberapa kajian sumber. Sumber-sumber tersebut diantaranya :
2.1 Sumber Pustaka
a. Esensi Gamelan dalam Prosesi Ritual Hindu. 2005. Donder, I Ketut. Surabaya : “PARAMITA”. Buku ini memberikan gambaran bagi penulis tentang esensi bunyi yang ditimbulkan oleh suara gamelan terkait dengan Tri Hita Karana.
b. “Vidya Werta, Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia”. Indiani, Ni Made, dkk. Denpasar : UNHI. Dalam Buku Ini menjelaskan tentang konsepsi Tri Hita Karana.
c. Prakempa, Sebuah Lontar Gamelan Bali. 1988. Bandem,I Made. Denpasar. Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Buku ini memuat tentang empat unsur pokok dalam gamelan Bali yaitu Filsafat, etika, estetika dan teknik menabuh. Disamping itu di dalam buku ini juga dicantumkan mengenai konsep catur muni-muni.
d. Bheri, Jurnal Ilmiah Musik Nusantara. 2002. Denpasar. Jurusan Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Di dalam buku ini ada salah satu judul sub bab yang memang relevan dengan karya tulis penulis. Judul sub bab tersebut ialah Gamelan Baleganjur dari Ekspresi Lokal ke Global oleh I Gede Arya Sugiartha.
e. Gamelan Balaganjur Sebagai Musik Iringan Tari. Yudarta, I Gede. 1994. Denpasar. Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Buku ini memberikan imformasi secara tertulis mengenai perkembangan gamelan Baleganjur.
f. Mencermati seni pertunjukan II, Perspektif Pariwisata, Lingkungan dan Kajian seni pertunjukan. Santosa. 2004. Surakarta. The Ford Foundation & Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Didalam buku ini salah satunya memuat bagaimana hubungan antara kesenian dengan lingkungan dan kepariwisataan sebagai salah satu seni pertunjukan
f. Dana, “Barong Keket Sebagai Pertunjukan Seni Wisata” dalam Kembang Setaman Persembahan Untuk Sang Mahaguru. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2003. Buku ini merupakan salah satu sumber referensi penulis yang didalamnya memuat tentang teori evolusi.
2. 2 Observasi
Untuk mewujudkan sebuah karya tulis yang berbobot, ilmiah dan sistimatis, tentu harus didukung oleh data maupun informasi yang relevan dengan karya tulis. Di dalam karya tulis ini, secara observasi penulis melihat dari dua sudut pandang yakni :
• Pengamatan
Dalam tahap ini, penulis melihat apa yang terjadi dan ada di lapangan sesuai dengan judul tulisan penulis yakni Gamelan Baleganjur Dalam Konteks Tri Hita Karana. Pada kenyataannya didalam melaksanakan prosesi upacara penulis melihat gamelan Baleganjur sangat akrab dengan konteks pelaksanaan upacara ritual, yang ada hubungannya dengan konsep Tri Hita Karana.
• Wawancara
Wawancara dengan Bapak I Nyoman Winda, S.Skar., MA seorang komposer (komponis) yang sudah banyak menciptakan komposisi musik. Wawancara yang penulis lakukan pada hari kamis,15 Juni 2006, di kampus ISI Denpasar. Dari proses wawancara ini, penulis banyak menerima masukan mengenai judul dan hubungan gamelan Baleganjur dalam konteks Tri Hita Karana.
Wawancara dengan Bapak I Gede Yudarta, S.SKar salah seorang dosen pengajar di kampus ISI denpasar. Dalam wawancara ini penulis memperoleh informasi mengenai asal mula gamelan Baleganjur. Wawancara dilakukan pada hari kamis, 15 Juni 2006 di kampus Institut Seni Indonesia Denpasar.
BAB III
Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan
Gamelan Bleganjur merupakan salah satu bentuk gamelan Bali yang pada umumnya difungsikan sebagai musik prosesi ritual. Seiring dengan perkembangan jaman, gamelan Bleganjur telah mengalami perkembangan baik dari segi fungsi maupun tata garap musikalnya. Gamelan Bleganjur bila dikaitkan dengan konsep Tri Hita Karana, mempunyai peranan dalam setiap bagaiannya, Baik dalam konteks Parhyangan, Pawongan maupun Palemahan.
Konsep ngayah di Bali memberi celah pada kegunaan maupun fungsi gamelan Bleganjur dalam mengiringi kegiatan-kegiatan masyarakat Bali, baik yang sifatnya ritual, sosial (ngayah), dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya presentasi estetis (hiburan). Semua yang disebutkan di atas, disesuaikan dengan konsep desa, kala,patra yang berlaku di daerah setempat.
3.2 Saran
Dewasa ini, gamelan Bleganjur telah mengalami poerkembangan yang begitu pesat. Dengan perkembangannya tersebut diharapkan tidak melampaui dari etika dan tata cara baik itu menyangkut fungsi, tata penyajian maupun tata garap musikalnya. Bila dilihat dari sudut tetabuhan, jenis-jenis tetabuhan diharapakan dan harus disesuaikan dengan jenis pelaksanaan ritual maupun jenis kegiatan-kegiatan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Arya Sugiarta, I Gede. 2002. “Gamelan Balaganjur dari Ekspresi lokal ke Global” dalam Bheri Jurnal Ilmiah Musik Nusantara. Denpasar. Jurusan Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia.
Bandem, I Made. 1988. “Prakempa, Sebuah Lontar Gamelan Bal”i. Denpasar. Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Dana, I Wayan. 2003. “Barong Keket Sebagai Pertunjukan Seni Wisata” dalam Kembang Setaman Persembahan Untuk Sang Mahaguru. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta
Dharmika, Ida Bagus. “ Segehan, Caru dan Tawur-Sebuah Interprestasi Neofungsionalisme”, dalam Vidya Werta. Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia. UNHI.
Donder, I Ketut. 2005. “Esensi Bunyi Gamelan Dalam Prosesi Ritual Hindu”. Surabaya. Paramita.
Indiani Ni Made. 1997. “Konsepsi Tri Hita Karana”, dalam Vidya Wertta. Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia. Denpasar : UNHI
Putu Wijaya.2005. “ Seni, Tradisi dan Kepercayaan”. Cirendeu
Santosa. 2004. “Mencermati seni pertunjukan II, Perspektif Pariwisata, Lingkungan dan Kajian seni pertunjukan”. Surakarta. The Ford Foundation & Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Yudarta, I Gede. 1994. “Gamelan Balaganjur Sebagai Musik Iringan Tari”. Denpasar. Sekolah Tinggi Seni Indonesia