TARI TRADISI TEKOK JAGO

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

     BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Sekaa atau grup tari Baris Tekok Jago ini berdiri tahun 1927, bertempat di pura Dalem Gegelang atas prakarsa “sekaa majukut” kelompok tani pimpinan I Ngilis (almarhum).Pada mulanya, ada upacara Pitrayadnya (pelebon/ngaben) di jeroan gede banjar Gulinga, Tegal Darmasaba. Pada waktu pelaksanaan upacara tersebut, dipentaskan tari baris yang bernama “Ketekok Jago” dan Tembau, Kesiman. Kesenian tersebut ternyata mampu menarik perhatian masyarakat desa Tegal, Darmasaba, terutama masyarakat tani banjar Tengah. Hal itu disebabkan karena selain masyarakat tersebut dalam kegiatannya sehari-hari sebagai petani, juga mereka senang dengan kesenian tari dan tabuh. Maka setelah peristiwa pelebon di jeroan gede itu selesai, masyarakat banjar Tengah giat sekali mempelajari tari Baris Tekok Jago tersebut. Tentu saja dengan Karapan nantinya akan dapat dipergunakan untuk sarana dalam upacara “dewa yadnya” maupun dalam upacara pitrayadnya, terutama di desa mereka sendiri. Kemudian, pementasan mereka yang pertama yang disebut dengan istilah “nyisiang” (perdana) dilakukan di jaba (halaman) pura dalem Gegelang, bertepatan dengan upacara dewayadnya “ngenteg linggih”. Demikianlah asal mulanya, dan sampai sekarang kesenian tersebut tetap dilestarikan dan bahkan dikeramatkan.

1.2 Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah awal mulanya dibentuk sekaa tari baris ketekok jago di desa tegal darmasaba?
  2. Apa fungsi baris ketekok jago di desa tegal darmasaba?
  3. Bagaimanakah kondisi baris ketekok jago di desa tegal darmasaba?

 

1.3 Tujuan

  1. Untuk mengetahui sejarah tari baris ketekok jago yang ada di desa tegal darmasaba.
  2. Untuk mengetahui keunikan yang dimiliki tari baris ketekok jago yang membedakan dengan seni tari lainnya.

1.4 Manfaat

  1. Memberikan wawasan seni tari tradisional yang ada di Bali sebagai upaya melestarikan budaya Bali
  2. Mengetahui asal usul dan sejarah tari Baris Ketekok Jago

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

Pembahasan

2.1 Fungsi Tari Baris Tekok Jago di Tegal Darmasaba.

Sebagaimana halnya dengan tari Baris Tekok Jago di Tangguntiti maupun di banjar Begawan, maka fungsi tari Baris Tekok Jago di banjar Tengah, Tegal Darmasaba ini pun untuk kepentingan upacara Pitrayadnya dan bahkan juga untuk upacara Dewayadnya.

2.2 Kondisi Baris Tekok Jago di Tegal Darmasaba

Jumlah penari seluruhnya 20 (dua puluh) orang, semuanya laki-laki. Seperti halnya, di tempat lain, maka dari sejumlah penari tersebut dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yakni : sebagian menjadi angsa dan sebagiar besar lainnya menjadi burung gagak.

Gerakan gerakan yang dipergunakan berjumlah 12 (dua belas) macam, sebagai berikut :

  1. Gandang-gandang, yakni gerakan berjalan ke depan lambat-lambat, kaki kiri dan kanan maju bergantian. Tangan kanan memegang tombak, dipanggul di puncak kanan dan tangan kiri di pinggang.
  2. Kipekan, yakni gerakan kepala menoleh dengan sigap ke sudut kanan dan ke sudut kiri.
  3. Tanjek, yakni gerakan tanda berakhir dari suatu gerakan. Caranya dengan berhenti dengan salah satu kaki di depan. Tanjek ada dua macam, yaitu : tanjek kanan dan tanjek kiri.
  4. Agem, yakni sikap awal dalam keadaan siap. Agem dapat dibagi dua, masing-masing:
  • Agem dengan membawa tombak; sikap kaki sirang pada, tangan kanan memegang tombak, dipanggul di pundak kanan, dan tangan kiri di pinggang.
  • Agem dengan memegang selendang; kaki sirang pada, tangan memegang selendang.
  1. Gelatik nuut papah, yakni gerakan yang didahuli dengan angsel, sikap tangan memegang tombak yang dipanggul di pundak kanan, dengan gerakan tombak menghadap ke atas dan ke bawah saling bergantian, sedangkan tangan kiri di pinggang. Sikap ini disertai dengan gerakan kaki ke kanan maupun ke kiri dengan cara menyilangkan. Kemudian diikuti gerakan badan dimiringkan sesuai dengan arah kaki.
  2. Tanjek dua, yakni gerakan berjalan ke depan, sambil menghentakkan kaki sebanyak dua kali.
  3. Ulap-ulap, yakni gerakan lengan sambil memegang selendang. Semantara itu kepala menoleh ke kiri atau ke kanan, seakan-akan memperhatikan sesuatu.
  4. Nengkleng, yakni gerakan dengan satu kaki diangkat tinggi-tinggi setinggi lutut. Kaki kanan dan kiri digerakkan bergantian.
  5. Ngerajeg, yakni gerakan yang menunjukkan atau menandakan tarian akan selesai. Gerakan ini terdiri dari : kaki kiri diangkat setinggi lutut, badan agak merendah, tangan kiri di depan dada, tangan kanan tetap memegang tombak yang dipanggul di pun­dak kanan.
  6. Ngegol, yakni gerakan menggoyangkan pinggul ke diri dan kanan, disertai sikap badan agak merendah. Tombak dipegang dengan kedua tangan, diayun ke kiri dan ke kanan.
  7. Ngitir, yakni gerakan seperti ngegol namun diikuti dengan ge­rakan kaki yang digeser agak lambat ke kiri maupun ke kanan.
  8. Ngindang, yakni gerakan berjalan ke kiri dan ke kanan dengan posisi badan dimiringkan sesuai dengan arah kaki dan kedua tangan memegang selendang (jung selendang).
  9. Maaras-aras, yakni gerakan leher ke kiri dan ke kanan mulai dari lamban kemudian cepat. Gerakan ini dilakukan berpasangan (berhadap hadapan), tangan saling berpegangan.
  10. Angsel, yakni gerakan yang menandakan suatu perubahan dari gerakan satu kepada gerakan lain.

2.3 Tema

Tema tari Baris Tekok Jago di banjar Tengah, Tegal Darmasaba ini pun tidak berbeda dengan tema tema yang dibawakan oleh Baris Tekok Jago di daerah lainnya, yakni terjadinya perang antara “kebaikan melawan kejahatan”.

Tema semacam ini tentulan dimaksudkan agar kejahatan yang senantiasa menghadang dapat dikalahkan. Atau secara khusus agar para bhutakala yang ingin mengganggu perjaianan roh menuju kuburan dapat dikalahkan, atau setidak-tidaknya dapat “dibujuk” agar tidak mengganggu. Hai ini tampak jelas manakala para penari tersebut menghaturkan sesajen di perempatan atau pertigaan jalan yang dilalui pada waktu membawa mayat ke kuburan.

2.4 Tata Busana

Bhusana atau kostum yang dipergunakan pada waktu menari terdiri dari :

  1. Gelungan
  2. Celana panjang warna putih tetapi pada bagian bawahnya ada strip strip hitam putih (poleng).
  3. Baju lengan panjang : pada badan warna hitam putih kotak-kotak, lengan berwarna lurik (putih, kuning, hijau, dan hitam).
  4. Kain putih
  5. Saput, warna hitam putih (poleng)
  6. Saput, warna hitam putih (poleng)
  7. Badong; hiasan leher
  8. Awir; terdiri dari bermacam macam warna, berbentuk segi empat. Tepinya, dihiasi dengan rambu rambu merah dan kuning.

Selain kostum di atas, para penari membawa juga perlengkapan lainnya seperti : keris, dipasang atau diselipkan di punggung dan sebuah tombak. Tombak diberi warna strip strip hitam putih. Pada bagian atas diberi hiasan bulu merak.

 

2.5 Upacara / Upakara pementasan

Sebagaimana halnya dengan tradisi pada kegiatan tari Baris Tekok Jago lainnya, maka begitu pula halnya dengan tradisi Baris Tekok Jago di banjar Tengah, Tegal Darmasaba yang selalu membuatkan upacara dengan sarana sesajen pada waktu akan melakukan pementasan. Tujuannya sudah tento mohon keselamatan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Pada umumnya upacara tersebut dilakukan pada waktu menjelang pentas, kemudian pada waktu pentas dan terakhir ketika sudah selesai pentas. Seluruh jenis sesajen yang dipergunakan dapat dirangkum sebagai berikut :

  1. Daksina gede
  2. Peras ajengan
  3. Pangresikan / biaakaonan
  4. Nasi rongan
  5. Ulam / lauk pauk karangan
  6. Pajegan dengan ulam pajegan
  7. Segehan agung
  8. Ketipat / ketupat tampul

Selain sesajen untuk Baris itu sendiri, juga dibuatkan sesajen untuk keperluan alat-alat gambelan, yang lazim disebut “banten gong”. Adapun jenisnya adalah sebagai berikut :

  1. Peras
  2. Daksina
  3. Sodan
  4. Segehan
  5. Ketipat kelanan
  6. Ketipat gong
  7. Tempat Pementasan

Tempat pementasan tari Baris ini disebut juga “kalangan” atau berbentuk arena. Dibuat bebas dan bersifat darurat. Tempat bermain ini biasanya di halaman pura dan juga di halaman kuburan. Apabila pentas di pura untuk suatu upacara Dewayadnya, maka kalangannya dibuat di “jaba” tengah, tanpa menggunakan “langse” atau hiasan lainnya secara khusus. Sedangkan apabila Baris tersebut pentas di kuburan, dalam suatu upacara Pitrayadnya, maka kalangan dibuat di dekat pembakaran mayat. Juga tanpa “langse” atau dekorasi khusus lainnya.

2.6 Iringan

Tari Baris Tekok Jago di banjar Tengah, Tegal Darmasaba ini mempergunakan seperangkat gambelan gong kebyar. Kalau di Tangguntiti, maupun di Begawan Pedungah, dipergunakan sebagian kecil dari gambelan gong kebyar, di banjar Tengah ini dipergunakan hampir seiuruh instrumen, kecuali gambelan terompong.

 

 

 

Adapun jenis jenis gambelan / instrumen yang dipakai adalah :

  1. Kendang 2 (dua) buah
  2. Suling
  3. Cengceng
  4. Giying / pengugal
  5. Pemade 4 (empat) buah
  6. Kantil 4 (empat) buah
  7. Jublag 2 (dua) buah
  8. Kajar
  9. Kenong
  10. Reong
  11. Jegogan 2 (dua) buah
  12. Kempur dan gong

Sedangkan lagu-lagu yang dipergunakan adalah :

  1. Lagu Omang
  2. Lagu Barong
  3. Lagu Kale
  4. Lagu Pengeset Jauh luh

2.7 Komposisi Tari

Komposisi atau “paileh” tari Baris Tekok Jago di banjar Tengah, Tegal Darmasaba ini dapat diuraikan sebagai berikut :

  1. Para penari berderet tiga memanjang, dengan perlengkapan tombak yang dipanggul dipundak kanan, perlahan-lahan maju ke arena dengan gerak “gandang arep” terus ngangsel. Gerakan ini disertai dengan agem kanan dan agem kiri dan dilanjutkan dengan tanjek dua, nengkleng berganti ganti kaki kanan dan kiri. Kemudian kembali angsel dilanjutkan dengan gerakan gelatik nuut papah ke kanan dan ke kiri. Gerakan ini dilanjutkan dengan tanjek kanan, terus gandang arep.
  2. Posisi kedua, sama dengan posisi pertama.
  3. Posisi ketiga, semua penari menghadap ke samping kanan de­ngan badan agak membungkuk, diikuti dengan gerakan ngegol, tombak dipegang dengan kedua tangan merentang di depan lutut, diayun ke muka dan ke belakang. Kemudian tombak diletakkan di bawah, dilanjutkan dengan mengambil selendang (sebagai sayap) lalu mengibas-ngibaskannya dalam posisi “ngitir” mengelilingi para penari lainnya yang masih jongkok. Dilakukan berulang-ulang dengan gerakan maaras-arasan, berganti ganti.
  4. Posisi keempat, sama dengan posisi pertama. Gerakannya nengkleng ke kiri dan ke kanan, berganti ganti. Selanjutnya, barisan terdapat berbalik hadap, dengan teriakan “kuuk”, diikuti oleh yang lainnya secara serempak. Tombak diayun ke depan seperti pasukan berperang.

AUTOBIOGRAFI SENIMAN TARI BALI

Alm.I Made Punia adalah seorang seniman tari dari br. Langon, Kapal. Beliau lahir pada tahun 1948. Beliau mengawali karirnya sebagai pengiring sekaa topeng carang sari. Dari melihat- lihat rekannya menari. Munculah bakat alami beliu untuk bisa menari. Beliau akhirnya diajari menari oleh gurunya yaitu A.A Bagus Sudarma, setelah beliau bisa menari, beliau akhirnya diajak untuk ngayah-ngayah hampir diseluruh pura yang ada di bali. Beliau juga terkenal sebagai penari celuluk, beliau sering menari celuluk pada pergelaran drama gong serta calonarang. Beliau juga pernah masuk acara taksu di bali TV pada tahun 2004. Tetapi sayangnya beliau meninggal dunia pada tahun 2007 karena sakit lever yang dideritanya. Sampai saat ini, beliau tetap dikenang oleh masyarakat luas dan keluarga, dan peninggalan beliau berupa topeng, wayang dan gamelan tetap di lestarikan serta diupacarai setiap rahina tertentu.

 

 

BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat diketahui mengenai keunikan tari tradisi Baris tekok jago yang telah dikaji, diantaranya ialah pengertian, asal-usul, tata gerak dan macam-macam busana tari tradisi Baris tekok jago dari daerah masing-masing. Serta diuraikan mengenai upaya-upaya melestarikan kesenian tari tradisional tersebut. Begitu pentingnya kesenian tradisional tari Baris Tunggal bagi generasi muda dan tidak hanya di Bali saja generasi muda melestarikannya melainkan juga kewajiban seluruh masyarakat Indonesia karena tari tradisi Baris tekok jago merupakan salah satu kekayaan budaya seni tari di Indonesia.  Sehingga, alangkah  baiknya apabila kita menjaga kekayaan bangsa Indonesia, dan menjunjunganya hingga ke kancah internasional sebagai wujud rasa cinta dan kebanggaan terhadap kesenian tradisioanal kita.

 

3.2 Kritik dan Saran

Kami sangat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami mohon kritik dan saran dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adnyana Suantara. 2012.  http://blog.isi-dps.ac.id/adnyasuantara/deskripsi-singkat-tari-baris-tunggal (diakses  16 Oktober 2013)

Koentjaraningrat,1972  Beberapa Pokok Antropologi Sosial.Jakarta  ian Rakyat.2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan .Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Prakempa : Sebuah Lontar Gambelan Bali. Denpasar : Percetakan Bali, 1986

Adi Boga. 2013. http://adiboga.blogspot.com/2013/02/artikel-tari-baris-tunggal.html

Gus Dedung Art, 2012. http://dedungart.blogspot.com/2012/02/tari-bali-tari-baris-tunggal.html

Ensiklopedia Indonesia

Tari Baris Katekok Jago

 
 

NGELAWANG DI DESA ADAT KAPAL

NGELAWANG SEBAGAI DAYA TARIK WISATA

ABSTRAK

Prosesi ngelawang di bali juga bisa di laksanakan pada hari kajeng kliwon, purnama, tilem dan rerahinan suci yang lainnya.tergantung pada adat dan istiadat masyarakat setempat dan harapan saya ngelawang bisa terus eksis di kalangan jaman moderent seperti sekarang ini dan tetap mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat

PENDAHULUAN

Di desa saya, desa Adat Kapal tradisi ngelawang biasanya di adakan mulai dari hari raya galungan sampai umanis galungan dan kemudian di lanjutkan lagi mulai penampahan kuningan sampai manis kuningan. Tradisi ini memang harus tetap di laksanakan karena menurut orang-orang tua yang sempat saya tanyakan mengatakan bahwa tradisi ngelawang bertujuan untuk melindungi masyarakat atau bisa di katakan panjak dari wabah-wabah penyakit dan gangguan-gangguam dari roh-roh jahat. Di desa saya sendiri ada lima petapakan yang biasanya ngelawang, masing-masing ada yang berwujud barong ket, barong bangkal, barong macan, dan ada pula yang berwujud barong landung. Petapakan ini di sungsung oleh masyarakat dari masing-masing banjar yang sudah di bagi oleh prajuru desa.
Biasanya pada jam tiga sore para panjak dari masing-masing banjar baik tua, muda, maupun anak-anak, sudah bersiap-siap ke pura mendak ida petapakan untuk ngelawang mengelilingi desa. Yang saya liat biasanya kebanyakan anak-anak yang ikut ngiring di masing-masing petapakan kecuali petapakan yang berwujud barong ket yang ikut ngiring biasanya orang-orang dewasa karena beliau berwujud cukup besar. Para petapakan yang ngelawang biasanya di iringi oleh gambelan. Petapakan barong ket biasanya memakai gambelan bebarongan yang instrumennya terdiri dari satu buah kendang barong, cenceng kopyak, tawe-tawe, gong, kemong, empat buah gangsa berlaras pelog lima nada yang memakai lima buah bilah dan duah buah jublag yang juga berlaras pelog lima nada, sedangkan kalau petapakan yang berwujud barong macan, barong bangkal dan barong landung biasanya memakai gambelan batel yang terdiri dari satu pasang kendang krumpungan, cenceng recek, tawe-tawe, kelnang, kemong dan kempur.
Setiap masyarakat yang tinggal di desa saya wajib mengaturkan canang sari setiap ada petapakan yang ngelawang di depan rumahnya. Di depan setiap rumah biasanya petapakan tersebut mesolah selama pemangku ngayab sesajen yang telah di haturkan dan di iringi oleh tetabuhan yang juga sudah menjadi ciri khas gending ngelawang di desa saya sendiri. Ada pula yang mengaturakan sesajen dengan upakara yang cukup besar yang biasa di sebut dengan istilah “nguntab”.Upakara ini di persembahkan sebagai rasa bersyukur karena doa-doanya telah di kabulkan. Ngelawang ini di lakukan sampai semua jalan-jalan yang ada rata di lewati, kecuali di depan rumah orang meninggal dan kalau tidak selesai di lakukan di hari raya galungan biasanya ngelawang di lanjutkan di umanis galungan dan di ulangi lagi pada penampahan kuningan sampai selesai.
Kemudian lima hari setelah kuningan di desa saya biasanya di adakan upacara besar yang di sebut wraspati pengrebegan. Di sini semua petapakan yang biasa ngelawang istilahnya berkumpul di pura dalem yang ada di desa adat tegal dan semua masyarakat desa juga berkumpul untuk melakukan persembahyangan bersama, setelah persembahyangan selesai semua petapakan kembali mengelilingi desa secara besamaan dan berkumpul kembali di pura dalem untuk di haturkan sesajen untuk persembahan terakhir hingga masing-masing petapakan kembali di sungsung ke pura tempat istana beliau masing-masing.

DATA INFORMAN

NAMA : I KETUT ARKA

ALAMAT : BANJAR TAMBAK SARI KAPAL

PEKERJAAN :KELIHAN PURA DALEM SALUNDING

GENDER WAYANG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang sangat luas dan terdiri dari beberapa pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan. Masing-masing pulau memiliki kebudayaan yang berbeda. Salah satunya Pulau Bali yang terkenal dengan beragam keseniannya. Pulau Bali memiliki pesona yang banyak menarik perhatian wisatawan manca negara. Salah satu pesona yang dimiliki adalah dibidang seni pertunjukkan. Seni pertunjukkan antara lain: Seni Karawitan, Seni Tari, dan Seni Pedalangan. Seni Karawitan di Bali memiliki beberapa barungan-barungan gamelan. Salah satu barungan gamelan yang ada di Bali adalah Barungan Gamelan Gender Wayang.
Gamelan Gender Wayang adalah barungan yang sangat tua dan sacral, karena Gamelan Gender Wayang ini dipentaskan atau dimainkan pada waktu mengiringi upacara Manusa Yadnya, Pitra Yadnya , Rsi Yadnya, dan Dewa Yadnya. Seperti namanya, Gamelan Gender Wayang sangat erat hubungannya dengan iringan pakeliran di Bali yaitu digunakan untuk mengiringi Wayang Parwa.

1.2 Rumusan Masalah
a. Apa definisi dari Gender Wayang tersebut?
b. Bagaimana sejarah gamelan Gender Wayang yang ada di Banjar Kayu Mas Kaja
Denpasar?

1.3 Tujuan
a. Untuk menyelesaikan tugas tengah semester.
b. Untuk mengetahui lebih jauh tentang gamelan Gender Wayang khususnya di Banjar
Kayu Mas Kaja Denpasar.
c. Untuk melestarikan budaya Bali, khususnya Seni Karawitan.

1.4 Manfaat
a. Penulis dapat mengetahui lebih jelas tentang gemelan Gender Wayang.
b. Sebagai tunjangan akademis, agar dapat dipelajari oleh generasi penerus.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Tentang Gender Wayang
Gender Wayang merupakan dua buah kata yang melahirkan suatu pengertian tertentu. Kata “Gender” jika didalam pengucapan tidak disertai dengan kata wayang, kadang-kadang mempunyai pengertian berbeda, seperti misalnya kata Genderambat dan Gender Barangan. Genderambat adalah salah satu jenis instrumen dalam gamelan Pelegongan atau Semarpagulingan, sedangkan Gender Barangan adalah jenis instumen dalam Gamelan Pelegongan atau pada Gender Wayang.
Gender adalah gamelan yang mempunyai bilah yang dibuat dari perunggu (karawang), yang digantung diatas resonator bambu yang di topang dengan tumpuan kayu atau besi, agar tidak bersentuhan antara bilah dengan bilah yang lainnya.
Wayang merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional rakyat Bali yang telah dikenal oleh hampir semua orang. Wayang juga merupakan teater daerah Bali, yang mempunyai fungsi yang sangat komplek di masyarakat, serta di gemari oleh hamper seluruh lapisan masyarakat Indonesia terutama suku Jawa dan Bali.
Gender Wayang, adalah seperangkat gemelan (barungan) yang di pakai untuk mengiringi pertunjukan Wayang Kulit di Bali. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Jaap Kunst dalam bukunya yang berjudul Hindu Javanese Musical Instrumens, mengatakan bahwa satu-satunya instumen yang menyertai pertunjukan Wayang Kulit di Bali pada kenyataannya adalah Gender Wayang.
Di Banjar Kayu Mas Kaja Denpasar, seperangkat gender wayang terdiri dari dua tungguh gender yang gede dan dua tungguh gender yang lebih kecil atau gender barangan yang juga biasa di sebut gender cenik. Sedangkan di Bali Utara biasanya dipakai dua tungguh gender gede saja. Gender wayang yang terdapat di Bali masing-masing mempunyai karakter tersendiri sesuai selera individu yang memiliki. Dengan demikian gender wayang dari desa satu dengan yang lainya tidak bias dimainkan bersama. Gender wayamg dilaras lima nada yang di sebut saih gender wayang dan mempunyai 10 bilah yang terdiri dari 2 octave.
Ombak (gelombang) dalam gender wayang lebih pelan di bandingkan dengan ombak gamelan Gong Kebyar. Satu tungguh gender lebih tinggi sedikit suaranya (gender pengisep) dari pada gender yang lainnya (pengumbang), apabila di pukul bersamaan akan menimbulkan getaran atau gelombang suara.

2.2 Sejarah Gambelan Gender Wayang Banjar Kayu Mas Kaja Denpasar
Di banjar Kayu Mas Kaja Denpasar terdapat sekeha Gender Wayang, konon Sekeha ini sudah berdiri sejak tahun 1967 yang dipimpin oleh I Konolan yang lebih dikenal dengan nama Pan Weca (Alm) yang berasal dari desa itu sendiri. Sekeha tersebut memiliki 1 (satu) barungan gender pewayangan yang di lengkapi dengan gamelan batel. Adapun barungan gamelan tersebut terdiri dari : 2 (dua) tungguh gender gede dan 2 (dua) tungguh gender barangan. Serta adapun gamrlan batel yang melengkapinya antara lain: 2 (dua) buah kendang krumpungan lanang wadon, 1 (satu) buah kempul, 1 (satu) buah tawa-tawa, 1(satu) buah krenet, 1(satu) buah kenong, 1(satu) buah klenang dan 1 (satu) buah cenceng kecek.
Gamelan tersebut sejak zaman dahulu dipergunakan sebagai pelengkap dalam suatu upacara dan berfungsi untuk mengiringi pementasan wayang kulit Parwa maupun Ramayana. Adapun keberadaan gamelan tersebut sangat erat kaitannya dengan yadnya yang ada di Bali.
Sekitar tahun 1978 konon gamelan tersebut pernah dicuri. Pada waktu itu gamelan gender tersebut di tempatkan di lumbung padi I Wayan Konolan, karena pada saat iti aekeha tersebut belum mempunyai tempat yang layak untuk menyimpan gamelan tersebut. Denagn sangat menyesal dan kecewa sekeha pun memutuskan untuk membuat gamelan lagi untuk menggantikan gamelan yang hilang tersebut. Setelah satu bulan lamanya gamelan tersebut pun jadi dan hingga sekarang gamelan tersebut masih dipergunakan.

2.3 Repertoar Gending-gending Gender Wayang Banjar Kayu Mas Kaja Denpasar

1. Gending Petegak
Gending petegak merupoakan gending instrumentalia, yang disajikan ketika
dalang sedang mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pertunjukannya atau gending yang mengawali pertunjukan wayang tersebut. Adapun nama gending-gending petegak antara lain : – Gending Sekar Sungsang
– Gending Sekar Gendot
– Gending Merak Ngelo
– Gending Cangak Merengang
– Gending Gelgah Merengang
– Gending Gelagah ketunuan
– Gending Katak Ngongkek
– Gending Sekati
– Gending Seronca
– Gending Ckra Gelar
– Gending Lelasan Megat Yeh
Mengenai gending-gending petegak yang akan disajikan, dipilih berdasarkan kesepakatan dari para penggender. Demikian pula gending-gending yang dijabarkan di bawah ini, tidak seluruhnya disajikan dalam suatu pertunjukan, melainkan disesuaikan lakon yang dibawakan pada saat itu.
2. Gending Pemungkah
Sesuai dengan namanya yaitu gending pemungkah yang artinya membuka, gending ini di sajikan sehabis gending petegak, yaitu mulai dari dalang membuka gedog sampai pengesahan kayonan. Nama gending pemungkah termasuk didalamnya gending Tulang Lindung, gending Tetayogan untuk tarian wayang kayonan.
3. Gending petangkilan
Gending ini disajikan ketika wayang-wayang mulai tampil hingga dialog pada adegan pertama. Yang termasuk kelompok gending petangkilan antara lain : Alas Arum, Rundah, Bopong, Penyacah Parwa, penyacah Rundah, Pengalang Ratu, dan Pengalang Penasar.
4. Gending Angkat-Angkatan
Gending Angkat-angkatan digunakan untuk mengiringi wayang ketika akan berangkat ke medan perang dan atau ke tempat pertemuan.gending ini di namakan sesuai tokoh wayang yang di iringi. Misalnya : Bimaniu, Bima kroda, Burisrawa, Sri Kandi, Patra Wijaya, dan Sebagainya.
5. Gending Tetangisan
Penyebutan gending ini sering juga di singkat menjadi gending tangis, di sajikan untuk mendukung suasana sedih atau ketika tokoh wayang sedang menangis. Nama gendingnya antara lain: Mesen, yaitu gending untuk mendukung suasana sedih bagi wayang yang bermata sipit. Bendu Semara, yaitu gending untuk mendukung suasana sedih bagi wayang yang bermata bulat dedeling. Dan Candi Rebah, yaitu gending untuk mengiringi untuk mendukung suasana sedih bagi wayang bermata dedeling raksasa.
6. Gending Aras-arasan.
Yang tergolong gending aras-arasan adalah gending Rebong. Gending ini disajikan ketika ada adegan berkasih-kasihan atau suasana yang bersifat romantis.
7. Gending Pesiat
Gending yang biasanya untuk mengiringi wayang dalam keadaan berkelahi atau perang.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gamelan Gender Wayang terdapat di seluruh daerah Bali, namun di setiap daerah memiliki style atau cirri khas tersendiri di dalam repertoar gending-gending gender wayang, seperti : style Buleleng, Tabanan, Bebadungan, Sukawati, Klungkung, dan Karangasem. Dalam larasnya pun juga terdapat perbedaan, karena di daerah masing-masing gender dilaras sedemikian rupa sesuai selera dan keinginan pengrawit.

3.2 Saran
Kami disini mengharapkan agar di masing-masing daerah mampu mempertahankan style atau cirri khas gamelan gender wayang itu sendiri. Disamping itu hal ini dapat memperkaya kebudayaan kita di bidang seni karawitan. Maka dari itu sebagai generasi penerus kita harus menjaga budaya warisan nenek moyang secara turun temurun.

DAFTAR PUSTAKA

Suweca, I Wayan, 1994, Metode Mengajar Gender Wayang; Proyek Operasi Da
Perwatan Pasilitas, STSI Denpasar.

Kunst, Jaap, 1968, Hindu Javanese Musical Instrumens, The Hague : Martinus Nijhoff.

DAFTAR INFORMAN
Nama : I Wayan Suweca, S,Skar
Umur : 60 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Dosen ISI Denpasar
Alamat :Jln. Noja Saraswati, Kesiman Petilan,

GAMELAN GEGUNTANGAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Berbicara masalah perkembangan, perkembangan karawitan Bali saat ini sangat luar biasa. Ini dapat dilihat dari kreativitas yang dilakukan oleh seniman Bali dalam upaya menciptakan, melestarikan dan mengembangkan segala bentuk kesenian Bali maupun yang bergerak di bidang pembuatan gamelan Bali. Melihat perkembangan gamelan Bali saat ini, banyak masyarakat yang menginginkan suatu yang baru yang timbul dari beberapa bentuk ensambel maupun dari repertoar lagu yang disajikan.
Dengan melihat perkembangannya ini, tentu saja membawa pengaruh yang sangat besar dalam karawitan Bali baik secara kuantitas yang meliputi instrumentasi (jumlah barungan/instrumennya bertambah) dan secara kualitas yang meliputi mutu dan musikalitas yang didalamnya mengandung unsur-unsur musik seperti melodi, warna suara, ritme, dinamika dan tempo.
Secara kuantitas, gamelan Bali sangat berkembang di beberapa daerah-darah di Bali bahkan di luar Bali. Salah satu gamelan yang berkembang dan diminati oleh masyarakat Bali yakni gamelan Geguntangan. Gamelan Geguntangan merupakan salah satu barungan gamelan yang tergolong baru. Ciri khas gamelan baru terletak pada penggunaan kendang, pembendaharaan pukulan kendang yang lebih dominant.
Pada awalnya, gamelan Geguntangan diciptakan untuk mengiringi dramatari Arja, sehingga gamelan Geguntangan sering juga disebut oleh kalayak umum dengan gamelan Arja. Tetapi dengan perkembangnnya, gamelan Geguntangan saat ini mengalami perkembangan baik secara kuantitas, kualitas, bentuk instrumennya maupun fungsi gamelan Geguntangan itu sendiri.
Secara kuantitas perkembangan gamelan Geguntangan dapat dilihat dari semakin banyaknya gamelan ini yang tersebar di masyarakat dan dari dalam barungannya yang dilihat dari segi penambahan instrumen atau masuknya instrumen lain diluar barungan gamelan Geguntangan itu sendiri. Dilihat dari segi kualitasnya, gamelan ini juga mengalami perkembangan baik dari musikalitasnya yang meliputi unsur-unsur musik maupun tata penyajiannya yang meliputi fungsi, diantaranya sebagai pengiring upacara adat, sosial dan yang sifatnya presentasi estetis.
Dalam kehidupan masyarakat Bali gamelan ini sedang “naik daun” yang sangat di gemari oleh masyarakat Bali khususnya pengemar pesantian (geguritan,pupuh dan yang lainnya). Hampir disetiap desa atau banjar memiliki gamelan ini. Pesatnya perkembangan media elektronik yang menyiarkan gamelan Geguntangan yang digunakan untuk mengiringi pesantian maupun dramatari Arja dalam penyajiannya, dapat memotifasi masyarakat untuk memiliki gamelan ini. Melalui penyajiannya lewat siaran ataupun rekaman audio-visual, gamelan Geguntangan yang disajikan untuk mengiringi pesantian atau geguritan dapat disaksikan oleh masyarakat umum, sehingga melalui siaran tersebut dalam kenyataanya mampu menarik perhatian masyarakat umum khususnya penggemar seni.
Dibalik perkembangan yang terjadi dalam gamelan Geguntangan, dalam instrumentasinya telah terjadi perubahan yang cukup signifikan. Perubahan tersebut dapat kita lihat dari intrumen guntang itu sendiri yang merupakan instrumen pembawa identitas dalam barungannya. Intrumen guntang saat ini telah diganti dengan intrumen timbung yang berfungsi sebagai pembawa tempo dan intrumen guntang gong digantikan dengan intrumen gong pulu. Hilangnya intrumen guntang berarti hilang pila jadi diri gamelan Geguntangan, karena yang menamai dia adalah gamelan Geguntangan adalah instrumen guntang itu sendiri. Dengan melihat perkembangan yang terjadi dalam gamelan Geguntangan, nanpaknya memberikan dampak yang cukup mengkawatirkan dalam barungannya maupun dalam seni pertunjukan Bali. Adanya beberapa perubahan ensambel Geguntangan menyebabkan hilangnya jati diri barungan Gamelan Geguntangan itu sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
Sebagai salah satu penelitian, maka perlu adanya batasan masalah yang dilakukan untuk membatasi segala yang dilakukan dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah yang menjadi fokus penelitian ini, di antaranya :
1. Bagaiaman sistim akustik yang dimiliki oleh instrumen guntang?
2. Tidak adanya instrumen guntang dalam barungan gamelan Geguntangan saat ini.
3. Gamelan Geguntangan yang berkembang saat ini, apakah masih boleh di bilang Gamelan Geguntangan? Kalau dia disebutkan gamelan Geguntangan, lalu dimana instrumen Guntangnya?
4. Dalam konteks perkembangannya secara kuantitas, apakah menjamin perkembangannya secara kualitas?
5. Kenapa instrumen Guntang yang masing-masing berfungsi sebagai gong dan tempo diganti dengan Instrumen Timbung?

1.3 Tujuan Analisis
Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini. Di antaranya:
1. Memberikan insformasi kepada masyarakat mengenai bagaiaman sebenarnya bentuk instrumen guntang dalam gamelan Geguntangan dan sistim akustika yang dimiliki.
2. Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai perubahan yang terjadi dalam instrumentasi dari gamelan Geguntangan.
3. Mengembalikan jati diri dari Gamelan Geguntangan.

1.4 Manfaat Analisis
Penelitian ini merupakan salah satu hasil interprestasi yang dilakukan dan merupakaan hasil dari pengamatan-pengamatan yang dilakukan dibeberapa daerah mengenai gamelan Geguntangan yang dilihat dari sudut instrumentasi dan eksistensi, sehingga memberikan manfaat bagi penulis, di antaranya :
1. Memeberikan pemahaman mengenai teknik permainan instrumen guntang yakni dengan pengaturan telapak tangan kiri yang dapat memberikan warna suara dan sistim akustika dari instrumen guntang.
2. Memberikan perbedaan karakteristik dari gamelan Geguntangan.
3. Mengetahui asal mula terjadinya perubahan instrumen guntang dalam Gamelan Geguntangan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Identifikasi Instrumen
Gamelan Geguntangan merupakan salah satu barungan gamelan yang tergolong baru. Ciri khas gamelan baru terletak pada penggunaan kendang, pembendaharaan pukulan kendang yang lebih dominan.

2.2 Identifikasi Suara/ bunyi Menurut Bahan, Bentuk, dan Cara
Memainkan
Dewasa ini gamelan Geguntangan amat menarik perhatian masyarakat. Ini dapat dibuktikan dengan kwantitas gamelan Geguntangan yang tersebar di beberapa wilayah di Bali. Perkembangan gamelan ini menyebabkan adanya beberapa perubahan dalam instrumentasinya, namun masih ada juga instruemn lama yang masih tetap digunakan. Dalam gamelan Geguntangan terdapat dua jenis tungguhan guntang yang mempunyai ukuran dan fungsi yang berbeda. Di mana masing-masing tungguhan guntang tersebut berfungsi sebagai gong atau finalis sebuah lagu, dan satunya lagi berfungsi sebagai kajar atau penentu cepat lambat jalannya tempo dalam memainkan sebuah repertuar lagu. Instrumen guntang dalam gamelan Geguntangan mempunyai ciri khas tersendiri, disamping sebagai identitas pada barungannya, instrumen guntang juga mempunayi perbedaan estetik bila diihat dari perkembangan instrumen yang terjadi sekarang dalam barungannya. Dilihat dari perbedaan akustik yang dimiliki oleh gamelan Geguntangan, instrumen guntang memiliki keunikan tersendiri baik dari segi bentuk resonator maupun teknik memainkannya. Dilihat dari segi bentuk instrumennya, instrumen ini berbentuk persegi panjang dengan bahan instrumen terbuat dari potongan bambu yang berukuran panjang sekitar 48-62 cm dan berdiameter sekitar 8-12 cm. Apabila instrumen ini difungsikan sebagai gong, instrumen ini dibuat lebih panjang dari instrumen guntang yang difungsikan sebagai kajar. Ini dimaksudkan agar ada perbedaan proyeksi suara yang dihasilkan pada saat kedua instrumen ini dimainkan dapat terdengar dengan jelas antara suara guntang gong dengan guntang kajar. Sehingga suara ombakan terdengar dengan jelas. Memainkan instrumen ini cukup sulit, karena perlu latihan yang cukup karena dalam memainkan instrumen guntang ini perlu keseimbangan antara tangan kanan dengan tangan kiri. Maka tidak sembarangan orang dapat memainkan instrumen ini. Mungkin inilah salah satu alasan orang menggantikan instrumen guntang ini dengan Gong Pulu sebagai finalis reportuar lagu dan instrumen guntang kajar digantikan dengan instrumen Timbung, disamping alasan-alasan lain diantaranya mungkin disebabkan oleh masyarakat yang ingin mendapatkan proyeksi suara yang besar dari guntang sebagai finalis sebuah lagu dan tempo.

2.3 Identifikasi Intensitas dan Kualitas Bunyi Yang Dihasilkan
Pada gamelan Geguntangan dahulu, ada dua jenis instrumen guntang yang masing- masing dipakai sebagai tempo dan difungsikan sebagai gong (finalis sebuah lagu). Apabila dia difungsikan sebagai pembawa tempo, maka guntang tersebut berukuran kecil dan intensitas suara yang dihasilkannyapun akan lebuh kecil dari guntang yang dipaki sebagai gong.

2.4 Identifikasi Sistim Resonator
Disamping itu, dilihat dari bentuk dan resonatornya instrumen ini memiliki keunikan tersendiri, dimana instrumen ini terbuat dari bambu yang dikupas pada bagian luarnya. Kupasan bambu tersebut akan diisi pelayah yang akan difungsikan sebagai daun instrumennya. Untuk resonatornya pada bagian bawah pelayah itu dibuatkan lubang resonator untuk menyaring bunyi yang dihasilkan saat instrumen dimainkan. Sedangakan pada ruas sebelah kiri terdapat juga lubang kecil yang berfungsi sebagai pembuat ombakan suara pada waktu instrumen ini dipukul dengan menggunakan tangan kiri.

2.5 Uraian Konsep Dasar dari Pembuatan Instrumen dalam Konteks
Estetik, Sosial, dan Budaya
Berbicara mengenai perkembangan, dalam gambelan Bali ada dua aspek utama yang perlu di perhatikan yaitu perkembangan secara kwantitas yang meliputi instrumentasi yang mencakup : pertambahan instrumen / jumlahnya bertambah dan secara kwalitas yang meliputi musikalitas yang di dalamnya mengandung unsur – unsur musik seperti melodi, warna suara, ritme, dinamika, tempo dan lain-lain dan tata penyajian di dalamnya menyangkut tentang fungsi baik untuk upacara, sosial, maupun hiburan yang lebih mengarah pada presentasi estetis.
• Perkembangan Instrumen Guntang
Dari informasi yang penulis dapatkan dari sebuah buku, instrumen gong yang menggantikan instrumen guntang ini diduga masuk pertama kali pada tahun 1968 yang pertama dimulai oleh Keluarga Kesenian Bali RRI Studio Denpasar. Namun ide semacam ini sudah dipraktekan sebelumnya oleh sekaa gong Gianyar tiap mengiringi tari-tarian sejenis Arja dari Puri Gianyar namun penggunaan instrumen ini kemudian dipopulerkan oleh Keluarga Kesenian Bali RRI Denpasar, dengan drama tari Arja yang mempergunakan lakon godogan, pakang laras dan lain-lain.
Dengan perkembangan yang terjadi sekarang ini, telah menjadikan suatu perubahan dalam ensamble Geguntangan. Dimana gong Pulu telah menggantikan posisi guntang ini sebagai finalis lagi sehingga sekarang ini tinggal nama saja dalam barungan Geguntangan. Begitu juga dengan yang terjadi pada instrumen guntang kecil sebagai tempo. Guntang kecil mulanya digunakan dalam barungan gamelan Geguntangan bertugas untuk menentukan tempo. Melihat perkembangannya sampai saat ini instrumen guntang sebagai tempo telah digantikan dengan instrumen Timbung yang menyerupai Guntang tapi dibuat dengan bambu yang berbentuk bilahan, dimana proyeksi suara yang dihasilkan Timbung ini lebih keras, sehingga dalam perkembangan yang terjadi saat ini telah menggantikan instrumen guntang kecil.
Dilihat dari sejarahnya pada mulanya instrumen Timbung ini digunakan pada barungan gamelan Gegandrungan. Pada gamelan Gegandrungan instrumen Timbung ini juga difungsikan sebagai penentu tempo namun daun bilahan Timbung pada gamelan ini terdiri dari dua buah bilahan bambu sebagai daun instrumennya yang masing-masing daun instrumen tersebut mempunyai nada yang berbeda yaitu nada ( dong ) dan ( deng ). Kedua daun instrumen ini diletakan pada sebuah pelawah yang terbuat dari kayu. Tungguhan Timbung pada gamelan ini merupakan tungguhan instrumen yang mempunyai irama yang dipukul oleh satu orang penabuh dengan menggunakan dua buah panggul sehingga suara yang dihasilkan waktu Timbung ini dipukul dapat terdengar dengan keras. Adanya proyeksi suara yang dihasilkan oleh instrumen Timbung ini memberikan pengaruh bagi peminat gamelan Geguntangan yang sama-sama difungsikan sebagai tempo sewaktu memainkan repotuar sebuah lagu.
Pada gamelan Geguntangan sekarang ini instrumen Timbung telah banyak kita jumpai. Namun sekarang instruen Timbung yang digunkan dalam gamelan Geguntangan hanya terdiri dari satu buah bilahan bambu saja sebagai daun instrumennya yang diletakan pada sebuah pelawah yang sama-sama terbuat dari bambu. Sebagai resonatornya dibawah daun instrumennya dibuatkan lubang yang berfungsi sebagai resonator. Dilihat dari akustikanya, instrumen Timbung ini dalam memainkannya jauh lebih mudah dibandingkan dengan memainkan instrumen guntang, disamping suara yang dihasilkan lebih keras dari instrumen Guntang.
Dilihat kwalitas dan estetikanya, gamelan Guguntangan yang dulu (asli) jauh lebih baik kwalitas dan keindahannya yang dapat dilihat dari bentuk barungan instrumen secara keseluruhan maupun dari reportuar lagunya. Dengan perkembangan gamelan Geguntangan saat ini dalam suatu pementasan telah mulai diselipkan instrumen– instrumen lain diluar barungan gamelan Geguntangan misalnya dalam suatu pertujukan Geguntangan tersebut disertai dengan instrumen lain misalnya instrumen gender rambat, baik yang oleh dua orang ataupun empat orang. Disatu sisi dengan masuknya instrumen dapat menambah keharmonisan dalam suatu pementasan, namun disisi lain dengan masuknya instrumen ini dapat menghilangkan nilai rasa gamelan Geguntangan aslinya.
• Perkembangan Secara Kwalitas
Secara kwalitas, perkembangan gamelan Geguntangan dapat kita lihat dari musikalitasnya. Perkembangan kwalitas dalam musikalitas gamelan Geguntangan terjadi dalam tata penyajian yang menyangkut tentang fungsi.
Dalam musikalitas gamelan Geguntangan, ada beberapa perubahan yang menyangkut tentang perkembangannya yaitu dari warna suara yang dihasilkan oleh Timbung dan Gong Pulu yang menggantikan instrumen guntang itu sendiri sebagai pembawa tempo dan finalis sebuah lagu. Instrumen Timbung dalam gamelan Geguntangan telah memberikan warna suara yang lebih keras yang berbeda dengan instrumen guntang. Dilihat dari melodinya, secara kwlitas tentu saja berbeda antara daerah yang satu dengan derah yang lain, itu menyangkut kemampuan seseorang dalam memainkan gamelan Geguntangan . Dilihat dari temponya, dalam memainkan instrumen Geguntngan tentu saja harus disesuaikan dengan jenis dan karakter lagunya, apabila karakter lagunya marah pasti temponya cepat dengan memakai sistim tabuh 2, dan apabila sedih temponya lambat dengan memakai sistim tabuh 4. untuk memperkaya ritme digunakan kekrentengan ( kajar palegongan ).
Perkembangan fungsi Gamelan Geguntangan dapat dilihat dari tata penyajian yang dilakuakan dalam masyarakat Bali. Dalam kesenian Bali ada 3 jenis pengelompokan fungsi kesenian khususnya dalam seni pertunjukan, diantaranya bersifat Bali, Bebali dan Bali-balihan. Seperti apa yang disebut di atas pada mulanya gamelan ini diciptakan untuk mengiringi drama tari Arja yang dalam pengelompokan fungsi di atas termasuk Bebali yang dalam pertujukannya diiringi dengan gamelan Geguntangan yang berlangsung sampai saat ini. Seiring perkembangannya, Gamelan Geguntangan kini lebih banyak digunakan untuk mengiringi pesantian misalnya geguritan, pupuh, ataupun jenis tembang yang lainnya. Dengan masuknya gamelan Geguntangan dalam mengiringi pesantian, memberi pengaruh khususnya bagi pecinta geguritan yang ada di Bali. Dengan perkembangan fungsi gamelan Geguntangan secara kwalitas saat ini lebih banyak sebagai hiburan atau yang sifatnya presentasi estetis. Ini disebabkan karena pertunjukan gamelan Geguntangan yang digunakan untuk mengiringi pesantian telah di rekam dan disiarkan melalui media elektronik seperti televisi dan radio. Ini menyebabkan semakin banyak masyarakat mengetahui hubungan antara musik iringannya dengan musik vokal atau tembang tersebut disamping sebagai hiburan.
Dengan perkembangan yang terjadi pada barungan gamelan Geguntangan tersebut, menyebabkan perubahan bentuk barungannya, artinya dengan masuknya instrumen Timbung dan Gong Pulu otomatis menggantikan instrumen Guntang dan menimbulkan bentuk barungan gamelan yang baru tetapi masyarakat sampai saat ini masih menyebutnya dengan barungan gamelan geguntangan padahal kalau dilihat dari barungannya sama sekali tidak ada instrumen Guntangnya atau dengan kata lain kondisi gamelan yang dilihatnya sekarang itulah yang dikatakan gamelan Geguntangan. Kalau dilihat yang menamai atau menyebutkan itu adalah gamelan Geguntangan adalah instrumen Guntang itu sendiri.

2.6 Instrumen dari Gambelan Guntangan
1. Kendang
Kendang bali berbentuk truncated/bulat panjang dan memakai hourblass atau pakelit . kendang itu dibuat dari kayu nangka , jati , atau seseh yang dibungkus dengan kulit pada kedua ujung dan dicancang dengan jangat.
Fungsi kendang adalah sebagai pemurba irama , mengatur cepat lambat dan perubahan dynamio.

2. Gong pulu
Gong pulu berfungsi sebagai sebagai gong dan bermain imbalan dengan tawa-tawa.
3. Guntang
berfungsi sebagai kajar atau penentu cepat lambat jalannya tempo dalam memainkan sebuah repertuar lagu.
4. Klenang
Klenang bermain imbalan/alternating dengan instrument guntang.
5. Krenet
Pukulan krenet mngikuti pukulan kendang.
6. Cenceng Ricik
Rincik yaitu cengceng kecil yang berfungsi untuk memperkaya rythme.
7. Tawa-tawa
Tawa-tawa bermain imbalan dengan gong pulu.
10. Suling
Suling berfungsi untuk mengiringi pupuh yg di nyanyikan.

2.7 Laras dan tetekep
Dalam gamelan geguntangan yang menetukan laras adalah instrumen suling. Dimana instrument suling menyusaikan dengan pupuh yg di nyanyikan dan setiap pupuh memakai tetekep yang berbeda sehingga harus memakai suling dengan beragam ukuran.

2.8 Gending- Gending Geguntang
Didalam Gamelan Geguntangan ada beberapa gending petegak yang biasa di gunakan untuk mengawali pementasan, di antaranya:
1. Lenngker
2. Godeg miring
3. Sinom ladrang
4. Selisir

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Melihat perkembangan gamelan Geguntangan yang terjadi saat ini (yang bekembang dalam masyarakat saat ini), sebaiknya diberikan nama baru dalam barungannya karena bila dilihat dari instrumentasinya sama sekali tidak ada instrumen guntangnya sebab yang menamai itu adalah barungan gamelan Geguntangan instrumen guntang itu sendiri. Jadi sesuai dengan perkembanganya di masyarakat berikanlah ia nama barungan gamelan yang baru sesuai dengan instrumentasinya yang sekarang. Apabila gamelan itu disebut gamelan Geguntangan harus pakai instrumen guntang agar tidak adanya kerancuan nama atau kehancuran dari instrumentasinya. Apabila instrumen guntangnya dihilangkan maka jati diri gamelan Geguntangan itu akan hilang pula baik secara kuantitas maupun kualitas. Ini juga nantinya berpengaruh pada perkembangannya selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Dana, I Wayan. 2003. “Barong Keket Sebagai seni Wisata” dalam Kembang Setaman Persembanhan Untuk Sang Mahaguru. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

Dibia, I Wayan. 1977. Pengantar Karawitan Bali. Denpasar. Proyek Peningkatan dan Pengembangan ASTI Denpasar

BALAGANJUR DALAM KONTEK TRI HITA KARANA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bunyi gamelan merupakan salah satu media informasi adanya suatu prosesi ritual. Dengan mendengarkan bunyi gamelan kita dapat mengetahui adanya prosesi ritual di suatu tempat, bahkan banyak orang dapat mengetahui dari jauh tentang proses atau urutan dan tahapan-tahapan pelaksanaan ritual itu melalui bunyi gamelan. Salah satu contohnya yaitu saat seseorang dari kejauhan mendengar bunyi gamelan Baleganjur, maka ia dapat mengetahuai bahwa telah dilaksanakanya sebuah prosesi ritual, melis, mecaru atau upacara Bhuta yadnya.
Mendengar bunyi gamelan Baleganjur, kadang kala memotifasi kita untuk melihat atau menyaksikan prosesi ritual yang berlangsung yang diiringi dengan gamelan Baleganjur. Gamelan Baleganjur merupakan salah satu jenis barungan gamelan Bali yang mempunyai karakter yang keras, mendebarkan sehingga mampu membangkitkan suasana hati yang pada umumnya dipakai untuk mengiringi prosesi ritual.
Bila dikaitkan dengan konteks upacara Panca Yadnya yaitu lima macam yadnya atau korban suci yang dilakukan dengan penuh iklas, diantaranya :
1. Dewa yadnya adalah korban suci yang dipersembahkan dengan tulus iklas kehadapan Hyang Widhi dengan jalan cinta bakti, sujud memuja, mengikuti segala ajaran suci-Nya, serta melakukan tirta yatra (kunjungan ketempat-tempat suci).
2. Pitra yadnya adalah korban suci yang dipersembahkan dengan tulus iklas kepada para leluhur dengan memuja keselamatan beliau di akhirat, memelihara keturunan mereka dan mengikuti segala tuntunannya.
3. Manusa yadnya adalah korban suci yang dipersembahkan dengan tulus ilkas demi keselamatan keturunan kita dan kesejahteraan manusia lain dengan dana punia serta usaha kesejahteraan lainnya.
4. Rsi yadnya adalah adalah korban suci yang dipersembahkan dengan tulus iklas untuk kesejahteraan para Rsi, antara lain dengan mengamalkan segala ajarannya.
5. Bhuta yadnya adalah korban suci yang dipersembahkan dengan tulus iklas kepada segala mahluk bawahan, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, untuk memelihara kesejahteraan alam semesta.
Gamelan Baleganjur mempunyai andil yang sangat besar sebagai musik pengiring prosesi ritual di atas, karena bila dilihat dari jenis-jenis pelaksanaan yadnya tersebut, sebagian besar menggunakan gamelan Baleganjur sebagai musik iringan prosesi ritual tersebut. Dalam konteks upacara dewa yadnya pada kenyataanya menggunakan gamelan Baleganjur sebagai musik iringan prosesi misalnya upacara Melasti. Dalam konteks upacara manusa yadnya, gamelan Baleganjur digunakan untuk mengiringi upacara Ngaben. Dan yang paling penting ialah gamelan Baleganjur yang digunakan saat pelaksanaan upacara Bhuta yadnya karena gamelan Baleganjur diyakini berfungsi sebagai sarana pengundang para bhuta , dengan karakter tabuh yang keras yang berbeda dengan upacara dewa yadnya. Semua yang telah diuraikan di atas tidak terlepas dari konsep Tri Hita Karana.
Konsepsi Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab kesejahteraan materi dan rohani manusia, maka kesejahteraan adalah hasil integrasi dari hubungan harmoni dari tiga variabel yakni : pertama, hubungan harmoni antara insan manusia dengan Tuhan (Parhyangan). Kedua, hubungan harmoni antara insan manusia yang satu dengan insan manusia yang lainnya tanpa memandang ras, agama dan kebangsaan (Pawongan). Ketiga, hubungan harmoni antara insan manusia dengan alam dengan jaminan bahwa pemanfaatan alam oleh manusia untuk kesejahteraan bersama, tetap menjaga keseimbangan di alam itu sendiri (Palemahan) .
Gamelan Baleganjur mempunyai peranan yang sangat besar dalam pelaksanaan ritual yang terkait dengan konsep Tri Hita Karana di atas. Bagaimana peranan gamelan Baleganjur dalam konteks Tri Hita Karana? itulah yang kiranya akan diuraiakan dalam tulisan ini.

.2 Rumusan Masalah
Didalam karya tulis ini ada beberapa permasalahan yang hendak dibicarakan, di antaranya :
1. Bagaimana asal mula gamelan Baleganjur dan bagaimana sesungguhnya gamelan Baleganjur?
2. Landasan-landasan apa saja yang ada didalam konsep Tri Hita Karana?
3. Apa hubungan Gamelan Baleganjur dengan konsep Tri Hita Karana?

1.3 Tujuan Penelitian
Pada dasarnya, dalam membuat ataupun menciptakaan sesuatu, sudah barang tentu mempunyai tujuan dan manfaat. Tujuan merupakan landasan utama yang perlu diperhatikan dalam berbuat sesuatu yang memberikan motivasi terwujudnya suatu karya tulis. Adapun tujuan dari karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara gamelan Baleganjur terkait dengan konteks Tri Hita Karana di Bali.
2. Untuk mengetahui bagaimana peranan gamelan Baleganjur terhadap pelaksanaan prosesi ritual Hindu Di Bali.
3. Untuk mengetahui sejauh mana peranan gamelan Baleganjur terhadap seni pertunjukan.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan dan menambah wawasan serta pengalaman dalam menyusun suatu karya tulis ilmiah.
2. Memberikan masukan mengenai peranan gamelan Baleganjur dalam konteks Tri Hita Karana yang terwujud dalam suatu bentuk karya tulis ilmiah, yang kiranya bermanfaat sebagai acuan, serta sebagai bahan perbandingan dalam meningkatkan kreativitas di kalangan seniman akademis.

1. 5 Ruang Lingkup Penelitian

Didalam setiap pelaksanaan prosesi ritual hindu di Bali selalu disertai oleh suara gamelan. Suara gamelan merupakan salah satu dari konsep Panca Gita diantaranya : Kidung/lagu-lagu pujaan, Suara Genta, Mantra, Kulkul dan Suara gamelan. Terkait dengan konsepsi Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab kesejahteraan materi dan rohani manusia, maka kesejahteraan adalah hasil integrasi dari hubungan harmoni dari tiga variabel yakni : pertama, hubungan harmoni antara insan manusia dengan Tuhan (Parhyangan). Kedua, hubungan harmoni antara insan manusia yang satu dengan insan manusia yang lainnya tanpa memandang ras, agama dan kebangsaan (Pawongan). Ketiga, hubungna harmoni antara insan manusia dengan alam dengan jaminan bahwa pemamfaatan alam oleh manusia untuk kesejahteraan bersama, tetap menjaga keseimbangan di alam itu sendiri (Palemahan). Dalam setiap aspek tersebut selalu diikuti suara gamelan, dan tak dapat dipungkiri gamelan Bleganjur juga kadang kala digunakan untuk mengiringi setiap jenis kegiatan baik yang sifatnya ritual maupun presentasi estetis.
Gamelan Bleganjur, pada kenyataannya sampai saat ini masih difungsikan sebagai gamelan pengiring prosesi. Gamelan ini, bila dikaitkan dalam konsep Tri Hita Karana dapat dilihat dari sudut fungsi yang didalamnya berhubungan dengan konteks upacara (Parhyangan), konteks sosial (Pawongan) dan konteks lingkungan, budaya dan pariwisata (Palemahan).
4.1 Konteks Upacara (Parhyangan)
Bila dimasukan dalam konteks Tri Hita Karana iringan gamelan Bleganjur tidak boleh terlepas dari kontek parhyangan yang digunakan untuk mengiringi upacara ritual keagamaan. Misalnya : dalam konteks upacara dewa yadnya menggunakan gamelan bleganjur sebagai musik iringan prosesi seperti upacara melasti, mendak ida betara dan sejenisnya. Dalam konteks upacara manusa yadnya, gamelan baleganjur digunakan untuk mengiringi upacara ngaben. Gamelan bleganjur yang digunakan saat pelaksanaan upacara bhuta yadnya diyakini berfungsi sebagai sarana pengundang para bhuta , dengan karakter tabuh yang keras yang berbeda dengan upacara dewa yadnya. Semua yang telah diuraikan di atas tidak terlepas dari konsep Tri Hita Karana yang melandasi segala pelaksanaan ritual, misalnya pada upacara bhuta yadnya, yang pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan Bhuta Kala menjadi Bhuta Hita, Bhuta Hita artinya menyejahterakan dan melestarikan alam lingkungan beserta isinya . Semua kegiatan ritual diatas sebagian besar diiringi dengan tetabuhan gamelan Bleganjur. Dalam memainkan tetabuhan gamelan Bleganjur diatas harus disesuaikan dengan etika. Etika dimaksud disini ialah bagaimana Bleganjur yang digunakan dalam dewa yadnya dengan bhuta yadnya harus dibedakan baik dari unsur garap musikalnya maupun tata penyajiannya. Semua itu tidak terlepas dari apa yang disebutkan dalam lontar Prakempa yang salah satu berhubungan dengan aspek filsafat, etika, estetika, dan teknik menabuh gamelan Bali . Beberapa hal tersebut, harus diperhatikan dalam memainkan gamelan Bleganjur yang difungsikan sebagai musik prosesi ritual.
4.2 Konteks Sosial (Pawongan )
Gamelan Bleganjur kendatipun masih eksis digunakan dalam konteks prosesi ritual, juga tak luput dari hukum perubahan baik bentuk garap, nuansa musikal yang tentunya disebabkan orientasi fungsi dan penggunaannya. Bentuk dan tata penyajiannya juga akhirnya berkembang, yaitu tidak hanya sebagai musik pengiring prosesi ritual, melainkan juga sebagai musik instrumental dan iringan seni pertunjukan. Perkembangan tata garap ini bahkan lebih menekankan pada penciptaan musik yang lebih artistik, baik dari segi suara musikal maupun penampilan pemainnya yang mengutamakan penampilan estetis.
Terkait dengan konsep Tri Hita karana, konsep ngayah juga memberi peluang pada gamelan Bleganjur dalam konteks sosial disamping ada juga hubungannya dengan konteks parhyangan.Dalam konteks pawongan disini, juga dapat dilihat dari hubungan gamelan Bleganjur yang difungsikan sebagai presentasi estetis disejajarkan dengan konsep pawongan yang terdapat dalam Tri Hita Karana.
Hubungan Pawongan disini menyangkut tentang sosial masyarakat, yang didalamnya memuat tentang gamelan Bleganjur yang dilihat dari segi fungsi yaitu gamelan Bleganjur digunakan dalam perlombaan (festival Bleganjur), pengiring lomba layang-layang maupun pengiring ogoh-ogoh, baik yang dilombakankan maupun yang sifatnya pawai.
Dalam hubungan gamelan Bleganjur dengan pawongan, yang paling menarik disini ialah gamelan Bleganjur telah mampu memikat hati generasi muda khususnya dalam mempelajari, memainkan dan melombakan Bleganjur. Lomba Bleganjur dewasa ini merupakan salah satu pertunjukan yang populer, sebab dengan tata garap musikal yang baru, penampilan yang lihai dengan aktingnya atau dengan kata lain Bleganjur yang ditarikan, dilengkapi dengan berbagai atribut keindahan telah mampu menampilkan tontonan yang indah baik secara audio maupun visual.
4.3 Konteks lingkungan, Budaya dan Pariwisata (Palemahan)
Hubungan Bleganjur terkait dengan konteks lingkungan dan budaya termasuk dalam konsep palemahan dalam Tri Hita karana, mempunyai peranan yang sangat penting. Bila dilihat dari hubungannya dengan lingkungan, gamelan Bleganjur digunakan sebagai musik prosesi pada upacara mecaru dan tawur agung, yang ada hubungannya dengan keseimbangan alam semesta dan lingkungan sekitar. Disamping itu konsep lingkungan dalam hubungannya dengan palemahan juga dilihat dari lingkungan budaya dan pariwisata. Gamelan Bleganjur bila dilihat dari segi budaya, juga berperan dalam uapaya pelestarian budaya karena gamelan Bleganjur merupakan salah satu warisan budaya yang patut kita jaga kelestariannya.

BAB II
KAJIAN SUMBER

Terwujudnya suatu karya tulis tidak terlepas dari sumber dan informasi. Untuk menghasilkan karya tulis yang didalamnya mengandung nilai filsafat, Etika dan sistimatis, maka tulisan ini didukung dengan beberapa kajian sumber. Sumber-sumber tersebut diantaranya :
2.1 Sumber Pustaka
a. Esensi Gamelan dalam Prosesi Ritual Hindu. 2005. Donder, I Ketut. Surabaya : “PARAMITA”. Buku ini memberikan gambaran bagi penulis tentang esensi bunyi yang ditimbulkan oleh suara gamelan terkait dengan Tri Hita Karana.
b. “Vidya Werta, Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia”. Indiani, Ni Made, dkk. Denpasar : UNHI. Dalam Buku Ini menjelaskan tentang konsepsi Tri Hita Karana.
c. Prakempa, Sebuah Lontar Gamelan Bali. 1988. Bandem,I Made. Denpasar. Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Buku ini memuat tentang empat unsur pokok dalam gamelan Bali yaitu Filsafat, etika, estetika dan teknik menabuh. Disamping itu di dalam buku ini juga dicantumkan mengenai konsep catur muni-muni.
d. Bheri, Jurnal Ilmiah Musik Nusantara. 2002. Denpasar. Jurusan Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Di dalam buku ini ada salah satu judul sub bab yang memang relevan dengan karya tulis penulis. Judul sub bab tersebut ialah Gamelan Baleganjur dari Ekspresi Lokal ke Global oleh I Gede Arya Sugiartha.
e. Gamelan Balaganjur Sebagai Musik Iringan Tari. Yudarta, I Gede. 1994. Denpasar. Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Buku ini memberikan imformasi secara tertulis mengenai perkembangan gamelan Baleganjur.
f. Mencermati seni pertunjukan II, Perspektif Pariwisata, Lingkungan dan Kajian seni pertunjukan. Santosa. 2004. Surakarta. The Ford Foundation & Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Didalam buku ini salah satunya memuat bagaimana hubungan antara kesenian dengan lingkungan dan kepariwisataan sebagai salah satu seni pertunjukan
f. Dana, “Barong Keket Sebagai Pertunjukan Seni Wisata” dalam Kembang Setaman Persembahan Untuk Sang Mahaguru. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2003. Buku ini merupakan salah satu sumber referensi penulis yang didalamnya memuat tentang teori evolusi.

2. 2 Observasi
Untuk mewujudkan sebuah karya tulis yang berbobot, ilmiah dan sistimatis, tentu harus didukung oleh data maupun informasi yang relevan dengan karya tulis. Di dalam karya tulis ini, secara observasi penulis melihat dari dua sudut pandang yakni :
• Pengamatan
Dalam tahap ini, penulis melihat apa yang terjadi dan ada di lapangan sesuai dengan judul tulisan penulis yakni Gamelan Baleganjur Dalam Konteks Tri Hita Karana. Pada kenyataannya didalam melaksanakan prosesi upacara penulis melihat gamelan Baleganjur sangat akrab dengan konteks pelaksanaan upacara ritual, yang ada hubungannya dengan konsep Tri Hita Karana.
• Wawancara
Wawancara dengan Bapak I Nyoman Winda, S.Skar., MA seorang komposer (komponis) yang sudah banyak menciptakan komposisi musik. Wawancara yang penulis lakukan pada hari kamis,15 Juni 2006, di kampus ISI Denpasar. Dari proses wawancara ini, penulis banyak menerima masukan mengenai judul dan hubungan gamelan Baleganjur dalam konteks Tri Hita Karana.
Wawancara dengan Bapak I Gede Yudarta, S.SKar salah seorang dosen pengajar di kampus ISI denpasar. Dalam wawancara ini penulis memperoleh informasi mengenai asal mula gamelan Baleganjur. Wawancara dilakukan pada hari kamis, 15 Juni 2006 di kampus Institut Seni Indonesia Denpasar.

BAB III
Kesimpulan dan Saran

3.1 Kesimpulan
Gamelan Bleganjur merupakan salah satu bentuk gamelan Bali yang pada umumnya difungsikan sebagai musik prosesi ritual. Seiring dengan perkembangan jaman, gamelan Bleganjur telah mengalami perkembangan baik dari segi fungsi maupun tata garap musikalnya. Gamelan Bleganjur bila dikaitkan dengan konsep Tri Hita Karana, mempunyai peranan dalam setiap bagaiannya, Baik dalam konteks Parhyangan, Pawongan maupun Palemahan.
Konsep ngayah di Bali memberi celah pada kegunaan maupun fungsi gamelan Bleganjur dalam mengiringi kegiatan-kegiatan masyarakat Bali, baik yang sifatnya ritual, sosial (ngayah), dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya presentasi estetis (hiburan). Semua yang disebutkan di atas, disesuaikan dengan konsep desa, kala,patra yang berlaku di daerah setempat.
3.2 Saran
Dewasa ini, gamelan Bleganjur telah mengalami poerkembangan yang begitu pesat. Dengan perkembangannya tersebut diharapkan tidak melampaui dari etika dan tata cara baik itu menyangkut fungsi, tata penyajian maupun tata garap musikalnya. Bila dilihat dari sudut tetabuhan, jenis-jenis tetabuhan diharapakan dan harus disesuaikan dengan jenis pelaksanaan ritual maupun jenis kegiatan-kegiatan yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Arya Sugiarta, I Gede. 2002. “Gamelan Balaganjur dari Ekspresi lokal ke Global” dalam Bheri Jurnal Ilmiah Musik Nusantara. Denpasar. Jurusan Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

Bandem, I Made. 1988. “Prakempa, Sebuah Lontar Gamelan Bal”i. Denpasar. Sekolah Tinggi Seni Indonesia

Dana, I Wayan. 2003. “Barong Keket Sebagai Pertunjukan Seni Wisata” dalam Kembang Setaman Persembahan Untuk Sang Mahaguru. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta

Dharmika, Ida Bagus. “ Segehan, Caru dan Tawur-Sebuah Interprestasi Neofungsionalisme”, dalam Vidya Werta. Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia. UNHI.

Donder, I Ketut. 2005. “Esensi Bunyi Gamelan Dalam Prosesi Ritual Hindu”. Surabaya. Paramita.

Indiani Ni Made. 1997. “Konsepsi Tri Hita Karana”, dalam Vidya Wertta. Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia. Denpasar : UNHI

Putu Wijaya.2005. “ Seni, Tradisi dan Kepercayaan”. Cirendeu

Santosa. 2004. “Mencermati seni pertunjukan II, Perspektif Pariwisata, Lingkungan dan Kajian seni pertunjukan”. Surakarta. The Ford Foundation & Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia

Yudarta, I Gede. 1994. “Gamelan Balaganjur Sebagai Musik Iringan Tari”. Denpasar. Sekolah Tinggi Seni Indonesia