Sejarah Gamelan Gong Kebyar Di Banjar Semila Jati

foto gamelan banjar semilajati

Sebelum saya mengurai mengenai sejarah Gamelan Gong Kebyar yang ada di Banjar Semila jati, saya akan sedikit mengulas kemunculan Gamelan Gong Kebyar. Gamelan-gamelan Bali khususnya Gamelan Gong Kebyar sudah banyak ada yang melakukan untuk di teliti, baik oleh para penulis dalam negeri ataupun penulis luar negeri. Namun masalah asal mula Gamelan Gong Kebyar belum dapat terungkap secara jelas dan lengkap. Untuk mengungkap dan menguraikan asal mula gamelan ini memang merupakan tugas yang tidak mudah. Data-data yang berhasil di kumpulkan hanyalah bersifat informasi. Gamelan Gong Kebyar adalah tergolong gamelan Bali yang sangat muda usianya dan termasuk kelompok gamelan Bali baru. Gamelan ini mulai muncul ditafsirkan sesudah tahun 1906.

Pada awal adanya atau terbelinya Gamelan Gong Kebyar Di Banjar Semila Jati, yaitu pada tahun 1990. Sumber-sumber yang saya dapatkan yaitu dari, I Gede Alit Suarta, SE. beliau juga sebagai ketua anggota Sekaa Gong Kebyar Di Banjar Semila Jati. Wawancara dengan beliau pada tanggal 23 Maret 2014, di rumah beliau sendiri,di Banjar Semila Jati Denpasar.

Beliau menceritakan bahwa dulu  pada tahun 1988 sebelum Banjar Semila Jati membeli atau mempunyai Gamelan Gong Kebyar sudah terbentuknya anggota Sekaa Gong Kebyar. Terbentuknya Sekaa Gong ini, karena dulu pas ada kegiatan di Banjar Semila Jati, yaitu kegiatan gotong royong, untuk perbaikan jalan di sekitar banjar tersebut. Waktu pas istirahat bersama, dan ngobrol-ngobrol kelian Banjar Semila Jati yaitu Bapak Banu, mengusulkan untuk membentuk anggota Sekaa gong, usulan itu pun mendapat tanggapan positif dari anggota banjar tersebut. Karena Cuma baru berbasa-basi dan belum resmi, kelian banjar pun mengadakan suatu rapat anggota banjar, tentang pembentukan anggota Sekaa gong. Setelah rapat berjalan, usulan beliau untuk membentuk anggota Sekaa gong di setujui oleh anggota banjar tersebut. Setelah memilih dan mendapat beberapa orang yang menjiwai seni tersebut, maka terbentuklah Sekaa gong di Banjar Semila Jati, yang pada saat itu di anggotai oleh 19 orang, dan di ketuai oleh I Gede Alit Suarta.

Karena pada saat itu banjar belum mempunyai Gamelan Gong Kebyar, maka banjar pun meminjam Gamelan Gong Kebyar di salah satu Sekolah Dasar yang ada di dekat banjar Semila Jati tersebut, yang di pakai latihan maupun pas waktu ada upacara Yadnya dan hiburan bagi masyarakat sekitar. Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangannya tahap demi tahap Sekaa gong di Banjar Semila    Jati mengalami perubahan atau peningkatan dengan masuknya pendatang baru ke Banjar Semila Jati yang menjiwai seni tersebut. Kebenaran itu dapat dilihat dari semakin bertambahnya anggota dari Sekaa Gong Kebyar tersebut yang awalnya Cuma 19 orang, menjadi 33 orang.

Dan setelah sekian lama meminjam dari Sekolah Dasar tersebut dan anggota sekaa gong banjar pun merasa malu sering meminjam gamelan tersebut, akhirnya kelian Banjar Semila Jati pun mengadakan rapat anggota banjar, tentang masalah pembelian Gamelan Gong Kebyar, karena begitu besarnya antusiasme masyarakat banjar tersebut, maka diputuskanlah untuk membeli Gamelan Gong Kebyar. Dan dananyapun di dapat dari  sumbangan dari masyarakat banjar tersebut, dan itu pun masih kurang. Karena dana dari sumbangan masyarakat msih kurang, maka banjar pun melakukan penggalian dana melalui kegiatan Basar, yang dilakukan oleh anggota Banjar Semila Jati, untuk mencukupi kekurangan tersebut. Dari penggalian dana tersebut dan atas partisifasi masyarakat banjar akhirnya banjar pun dapat membeli Gamelan Gong Kebyar.

Alasan di belinya Gamelan Gong Kebyar ini yaitu tidak lain karena sangat pentingnya peranan gamelan di Bali dan khususnya di Banjar Semila Jati, sebagai Upacara Yadnya dan sarana hiburan bagi masyarakat sekitar.

Berdasarkan uraian-uraian di atas beserta argumentasi sebagai mana di kemukakan  Barungan Gamelan Gong Kebyar yang usianya relative muda sudah mendapat tempat dikalangan masyarakat bali. Gamelan ini mulai muncul ditafsirkan sesudah tahun 1906 dan sebelum tahun 1915 yang bertempat di daerah bali utara. Sedangkan Barungan Gamelan Gong Kebyar yang ada di Br Semila Jati dibeli pada tahun 1990. Gamelan Gong Kebyar dewasa ini sudah berkembang di kalangan masyarakat Bali, malahan hampir disetiap desa atau banjar sudah memiliki Barungan Gamelan Gong Kebyar seperti di Br Semila Jati ini.

Fungsi gamelan gong kebyar di banjar semila jati

 

            Sebagaimana kita ketahui lewat literatur dan rekaman telah tampak bahwa Gong Kebyar itu telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi. Sebagai pembaharu maksudnya adalah lewat gong kebyar para seniman kita telah berhasil menciptakan gending-geding baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada. Sedangkan sebagai pelanjut tradisi maksudnya adalah gong kebyar telah mampu mempertahankan eksistensi reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan adaptasi. Seperti apa yang telah diuraikan di atas bahwa gong kebyar memiliki fungsi untuk mengiringi tari kekebyaran.

Namun sesuai dengan perkembangannya bahwa gong kebyar memiliki fungsi yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan gong kebyar memiliki keunikan yang tersendiri, sehingga ia mampu berfungsi untuk mengiringi berbagai bentuk tarian maupun gending-gending lelambatan, palegongan maupun jenis gending yang lainnya. Disamping itu Gong Kebyar di Banjar Semilajati juga bisa dipergunakan sebagai salah satu penunjang pelaksanaan upacara agama seperti misalnya mengiringi tari sakral, maupun jenis tarian wali dan balih-balihan. Selain itu gamelan gong kebyar yang ada di banjar semilajati juga berfungsi sebagai sarana untuk belajar menabuh bagi masyarakat yang ada di banjar semilajati tersebut. Karena gong kebyar memiliki multi fungsi maka gong kebyar menjadi sumber inspirasi karya baru. Dengan demikian Gong Kebyar telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi. Sebagai pembaharu maksudnya adalah lewat Gong Kebyar para seniman kita telah berhasil menciptakan gending-gending baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada.

Instrument barungan gamelan gong kebyar

Adapun instrument gamelan gong kebyar yang ada di Br Semila Jati, yang saya bisa sampaikan adalah sebagai berikut :

  • Dua buah (tungguh) pengugal atau giying
  • Empat buah (tungguh) pemade atau gangsa
  • Empat buah (tungguh) kantilan
  • Dua buah (tungguh) jublag
  • Dua buah (tungguh) Penyacah
  • Dua buah (tungguh) jegoggan
  • Satu buah (tungguh) reong atau riyong
  • Satu buah (tungguh) terompong
  • Satu pasang gong lanang wadon
  • Satu buah kempur
  • Satu buah bebende
  • Satu buah kempli
  • Satu buah (pangkon) ceng-ceng ricik
  • Satu pasang kendang lanang wadon
  • Satu buah kajar
  • 1- 4 buah suling bambu
  • Satu buah rebab

Demikian yang bisa saya sampaikan, mungkin masih banyak kekurangan yang saya sampaikan yang tidak lain dari kekurangan dari cara penulisan atau penyampaian. kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya informasi atau referensi yang ada hubungannya dengan sejarah gamelan gong kebyar di banjar semilajati. Untu itu saya mohon kritik dan sarannya.

 

–          Sumber : I Gede Alit Suarta, SE.

Tari Topeng Sidakarya

sidakarya

Dalam masyarakat Bali, Topeng Sidhakarya seakan-akan disamakan dengan Topeng Pajegan. Pengertian itu terjadi bahwa Topeng Pajegan itu dilakoni oleh hanya seorang penari (pragina), dengan memainkan sejumlah karakter topeng. Tetapi kenyataannya dewasa ini tidak selamanya “nopeng sidhakarya” itu diperankan tokoh-tokohnya hanya oleh seorang pelaku. Sering dua atau lebih penari topeng, menarikan pada bagian lakonnya, hanya pada hadirnya topeng sidhakarya, dilakukan oleh seorang diantara mereka itu.

Kata Topeng mempunyai pengertian, yaitu :

  1. Topeng merupakan suatu benda penutup muka. Di sini dimaksud “tutup” yang dipakai untuk menutupi muka manusia. Topeng mengandung pengertian suatu benda yang ditekankan pada muka, yaitu tapel. Jadi disamping tapel, make up pun bisa disebut topeng, karena ia menimbulkan perubahan muka dari wujudnya semula.
  2. Kata topeng berasal dari kata “tup” yang berarti tutup. Karena gejala bahasa yang disebut pembentukan kata, kata “tup” ditambah saja dengan kata “eng“, yang kemudian menjadi “tupeng“. Tupeng kemudian mengalami perubahan sehingga menjadi topeng.
  3. Di Bali kata topeng berarti tutup atau tapel. Oleh karena itu pula bahwa tari topeng dikatakan sebagai tari yang memakai tapel untuk menutupi mukanya.

Akhirnya dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa topeng di Bali adalah suatu tarianyang penarinya memakai tapel atau topeng dan memakai sejarah atau babad sebagai lakon.

Sedangkan istilah Sidhakarya (Sidakarya : Bali), berasal dari kata “sida” dan “karya“. Kata “sida” dalam bahasa Sansekerta, dari urat kata “siddh” (kelas I/IV), artinya mencapai. Dalam pembentukannya (PP) menjadi kata siddha/siddhya, yang artinya berhasil, tercapai, terlaksana, sempurna. Sedangkan kata “karya“, memiliki pengertian tugas, tujuan, kerja/pekerjaan, ritual/upacara. Kedua kata itu menjadi kosa kata dalam bahasa Jawa Kuno (Bahasa Kawi) “Siddhakarya” dan dalam bahasa Bali “Sidakarya“, yang mempunyai arti yang sama, yakni pekerjaan yang berhasil atau sempurna ( Mardiwarsito, 1985 : 527). Jadi Topeng Sidakarya, merupakan sebuah pernyataan bahwa pekerjaan/karya yang digelar sudah selesai dengan sempurna.

Kaitan Topeng Sidakarya dengan upacara Agama Hindu

Pada setiap upacara keagamaan Hindu di Bali, terutama dalam tingkatan yang lebih besar, wali Sidakarya tidak dapat dilupakan. Dalam bentuk sederhana dibuat banten sesayut Sidakarya. Dengan demikian, pertunjukan Topeng Sidakarya sebagai pelengkap dalam upacara mengandung arti sebagai berikut:

1. Sesuai dengan nama Topeng Sidakarya, ada tujuan supaya pekerjaan atau upacara berlangsung serta selesai dengan baik dan selamat. Selesai dengan baik mengandung arti bahwa upacara berlangsung sebagaimana mestinya lengkap terdiri dari upacara sesuai dengan tingkatan upacara. Selamat mengandung arti upacara terhindari dari segala mara bahaya. Hal ini dapat dihubungkan dengan ekspresi Topeng Sidakarya yakni tipe pelawak tersenyum, membangkitkan rasa kengerian.

2. Untuk menghubungkan umat dengan Sang Hyang Widhi dan leluhur melalui lakon yang dipentaskan memberi uraian tentang arti suatu upacara yang sedang digelar.

3. Upacara tersebut tidak hanya dipimpin dan diselesaikan atau di-puput oleh pendeta (sulinggih), tetapi pertunjukan topeng ikut memberi pengukuhan suksesnya serta sempurnanya sebuah upacara. Anugerah kesempurnaan dan kemakmuran dapat disaksikan pada akhir pertunjukan Topeng Sidakarya yakni secara simbolis peranan Sidakarya menghambur-hamburkan uang kepeng dan beras kuning (sekarura).

Demikian pentingnya pertunjukan Topeng Sidakarya keterkaitannya dengan upacara keagamaan dalam segala yadnya yang digelar di keluarga maupun di pura-pura besar perlu kiranya disikapi dengan arif sehingga tujuan inti ber-yadnya lebih meningkatkan kemantapan pencapaian spiritual. Di samping sebagai pelengkap dalam upacara agama Hindu, Topeng Sidakrya adalah seni kebudayaan Hindu yang dapat mengungkap sejarah.

 

 

Sejarah Topeng sidakarya

Kisahnya dimulai terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, tatkala beliau mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang diundang untuk muput upacara ini. Tersebutlah pandita (brahmana) sakti dari Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu, tetapi ingin terlibat muput karya. Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan kekerabatan antara Keling di Jawa dan Gelgel di Bali karena itu beliau datang. Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau tamu tanpa diundang ini seorang pandita. Maka, Pandita Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.

Pandita Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan dengan mengucapkan mantra yang berisi sumpah yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah/tidak berhasil, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah. Raja Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas untuk menjemput pandita yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan mempersilakan Pandita Keling untuk ikut muput upacara bahkan menjadi pamuput paling akhir sehingga karya itu menjadi sida (diberkahi). Prosesi ini bagi masyarakat kebanyakan lantas disebut pamuput Sidakarya.

Dari legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya. Wujudnya berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya mirip gelandangan. Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih banyak menutup wajah — terutama mulut — dengan kain putih yang dibawanya. Namun, mantra yang diucapkan sangat bertuah karena dilakukan dengan ngider buwana (ke segala arah). Itu sebabnya, tidak semua penari topeng mampu menarikan Dalem Sidakarya. Kebanyakan masyarakat Bali yang tidak mementaskan Topeng Sidakarya untuk muput yadnya beralasan lain lagi, yakni tak ingin memanggil sekaa topeng. Pengeluaran bertambah dengan mementaskan topeng. Namun, Topeng Sidakarya sendiri sesungguhnya bisa dipentaskan tanpa ”pementasan topeng”. Artinya, yang didatangkan hanya seorang penari topeng yang sudah berhak (secara ritual) membawakan topeng Dalem Sidakarya itu.

Gamelan pengiring tidak menjadi masalah, bisa gong gede, angklung, maupun gender biasa, disesuaikan dengan gamelan yang ada pada penyelenggaraan yadnya. Dalam hal ini penari Topeng Sidakarya disebut ”Topeng Pajegan”, karena dia harus menarikan berbagai peran. Dalem Sidakarya hanya muncul pada saat akhir yakni ketika membuat tirtha. Karena itu sebelumnya ”penari pajegan” ini melakukan improvisasi dan monolog untuk mengantar pada kemunculan Dalem Sidakarya. Penari bisa membanyol, bisa pula memberikan semacam dharma wacana, tergantung siapa penarinya. Sebagai seni ritual (seni wali) Topeng Sidakarya perlu dikembangkan dan dipopulerkan. Tentu fungsi utamanya ditambah, bukan hanya untuk mentradisikan legenda pamuput akhir dari yadnya, tetapi untuk media dharma wacana. Sekarang ini bukan hanya hama tikus yang meresahkan tetapi juga terjadinya kemerosotan moral pada generasi muda. Nah, siapa tahu Topeng Sidakarya bisa menjadi media perlawanan dalam mengatasi masalah moral ini dan bisa menjadi tongkak untuk menguatkan kesenian di bali khususnya seni tari wali ini.

Ritual pembuatan

 

Tak hanya sang penari, proses pembuatannya pun tak bisa sembarangan karena memang tak dipakai untuk sembarangan. Topeng Sidakarya ini lain dengan topeng-topeng yang dibuat dan dijual secara massal, seperti di pasar-pasar kerajinan atau pasar oleh-oleh. Perbedaannya bisa mulai dari pemilihan bahan kayu, ritual memulai memahat, pengawetannya, hingga ritual penghidupan topeng tersebut. Namun, jangan salah paham dengan adanya ritual penghidupan topeng ini. Penghidupan ini bukannya topeng tersebut kemudian bisa berbicara, melainkan dimaksudkan terasa lebih hidup dan menyatu dengan sang penarinya, yakni proses inisiasi (penyucian) dan pesupati (menghidupkan). Biasanya, si penari topeng Sidakarya yang telah mewinten memiliki satu topeng khusus untuk dirinya ngayah. Satu hal lagi, pembuat topengnya pun melewati tahapan mewinten. penyakralan pada pembuatan topeng ini mampu menahan manusia untuk tidak semena-mena terhadap alam, khususnya pepohonan. Karena itu, dari pemilihan kayu hingga penebangannya pun harus disesuaikan dengan musim serta hari baiknya dengan tujuan agar alam tidak murka. Namun, ketika topeng sudah menjadi kerajinan yang dibuat secara massal, manusia menjadi rakus tanpa memilih kayu itu sudah cukup umur sampai tanpa pemilihan musim yang tepat pula. Semua demi kepentingan uang, bahkan pariwisata. Wajar jika kemudian alam menjadi murka. Inilah salah satu pesan topeng Sidakarya tentang alam.

Waktu pembuatan topeng sakral ini pun bervariasi, tergantung dari mood sang pengukirnya, bisa hanya tiga hari atau sebulan. Hal yang unik selama pembuatan topeng sakral, antara lain, adalah pengawetannya yang harus direbus dengan kuah bumbu genep (bumbu dapur lengkap) selama 12 jam tanpa putus. Awet dan tidaknya topeng juga tetap tidak lepas dari awal pencarian kayu cendana, pole, atau batang kamboja, termasuk pemilihan tanggal penebangannya. Dari puluhan tahun lalu, semua pembuatan topeng menggunakan ilmu logika dan pertimbangan penuh. Inilah seni lokal genius. Sayangnya, bahan pengawetan alami ini tidak diikuti dengan pewarnaan alami. Pewarnaan alami tidak lagi memiliki kualitas sama kuat antara puluhan tahun lalu dan sekarang. Karena itu, terpaksa digantikan dengan cat kimia dengan pemilihan kualitas nomor wahid. Topeng sakral selain topeng Sidakarya di Pulau Dewata, juga ada topeng yang sengaja disakralkan dan biasanya disimpan di pura-pura, seperti Rangda, Barong, dan Irarung. Pementasannya pun tidak setiap saat karena memiliki hari atau waktu pementasan sendiri. Semua topeng sakral ini pun diberikan banten dan doa-doa, terutama ketika tumpek wayang, sebagai persembahan kepada Dewa Iswara.

 

Narasumber : www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view..

Teknik Permainan Gamelan Bali

gamelan bali

Gamelan ialah sebuah orkestra Bali yang terdiri dari bermacam-macam instrumen seperti gong, kempur, reyong, tromping, cengceng, kendang suling dan rebab yang mempunyai laras slendro dan pelog. Menurut deskripsi yang termuat dalam lontar Prakempa bahwa di Bali terdapat 26 jenis perangkat gamelan, dan perangkat gamelan yang dibicarakan dalam konteks tulisan ini adalah gamelan (Gong) Kebyar, sebuah barungan yang terdiri dari 30-40 buah instrumen dan kebanyakan instrumennya berupa alat-alat perkusif (dipukul) dan menggunakan laras pelog. Menurut teknik permainannya, gamelan Gong Kebyar terdiri dari instrumen-instrumen yang dipukul, ditiup, digesek dan dipetik.

Gangsa (termasuk pemade, kantil, jegogan, jublag dan penyacah) dipukul dengan tangan kanan dan menggunakan panggul, kemudian bilah-bilahnya segera ditutup untuk memperoleh bunyi yang diinginkan. Tentu ada pula instrumen-instrumen dalam gamelan Gong Kebyar yang tidak perlu ditutup setelah dimainkan, dan kelompok-kelompok itu meliputi gong, kempur, dan kelentong. Alat ini dipukul secara bebas dan getaran bunyinya memiliki durasi yang cukup panjang dan instrumen-instrumen ini biasanya berfungsi sebagai semi ataupun finalis.

Kendang adalah salah satu jenis instrumen perkusif yang bunyinya ditimbulkan oleh membrano atau kulit yang dicencang lubang nada yang telah ditentukan. Istilah tiupan atau sebutan dalam gamelan Bali disebut “ngupin” sedangkan istilah tutupan jari tangan pada suling dinamakan “tetekep”. Kemudian berjenis-jenis laras yang ditimbulkan atas teknik tiupan dan tutupan pada suling lajimnya disebut tetekep suling. Suling Bali yang dimainkan dengan “ngunjal angkihan” (tiupan terus-menerus) menjadikan suling Bali itu unik dibandingkan dengan instrumen tiup lainnya di dunia. Di dalam gamelan Gong Kebyar dikenal adanya beberapa jenis tetekep sesuai dengan laras gamelan yang memanfaatkan suling tersebut. Tetekep itu meliputi deng, tetekep ding dan tetekep dong.

Satu jenis instrumen gesek yang terdapat di dalam gamelan Gong Kebyar disebut rebab. Sebagai golongan instrumen memakai dawai (kordofon), rebab Bali dimainkan dengan cara menggesek dawainya. Tiada berbeda dengan suling, teknik gesekan itu masih harus diikuti dengan tutupan dan dalam konteksnya dengan rebab tutupan itu dinamakan patetan (menutup sama dengan mamatet). Selanjutnya laras yang ditimbulkan akibat teknik permainan rebab itu dinamakan “patet”. Dalam rebab Bali yang bisa menghasilkan laras pelog tujuh nada, diketemukan adanya lima patet yaitu patet selisir, sundaren, baro tembung dan lebeng. Patet di dalam gamelan Bali masih perlu diselidiki secara mendalam, disebabkan karena kiranya pengertian patet dalam gamelan Bali tidak hanya terbatas dengan urutan nada (tangga nada) dalam satu oktaf, tetapi juga mengenai fungsi nada (tonika, dominan, subdominant) di dalam suatu lagu.

Ubit – ubitan

Istilah “ubit-ubitan” tidak dijumpai dalam kamus Bali-Indonesia (KBI), namun tertera dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) karangan W.J.S. Poerwadarminta yang menyatakan bahwa kata ubit-ubitan adalah sebuah kata yang berasal dari daerah tertentu dan berarti menggerak-gerakkan barang yang kecil-kecil, seperti nyala lampu. Dalam konteks permainan gamelan Bali, istilah ubit-ubitan dimaksudkan sebagai sebuah teknik permainan yang dihasilkan dari perpaduan sistem on-beat (polos) dan off-beat (sangsih). Pukulan polos dan sangsih jika dipadukan akan menimbulkan perpaduan bunyi yang dinamakan ubit-ubitan. Pukulan polos dan sangsih, bergerak naik-turun (sebaliknya), mengisi beat (ketukan) yang kosong dan akhirnya menimbulkan bunyi yang interlock (saling mengunci/mengisi) yang dinamakan ubit-ubitan. Di dalam musik Barat sistem sejenis itu disebut interlocking-figuration atau interlocking-parts yaitu figurasi yang saling mengisi dalam lagu.

Di beberapa daerah sub budaya Bali menggunakan istilah ubit-ubitan sejajar dengan istilah kotekan, cecandetan, dan tetorekan. Kotekan merupakan sebuah kata bentukan yang terdiri dari kata “kotek” yang berarti menjolok atau memukul dengan galah, sedangkan akhiran “an” yang mengikuti menyatakan hasil perbuatan yang disebut pada bentuk dasar. Tiada berbeda dengan ubit-ubitan bahwa istilah kotekan digunakan untuk menyebutkan sistem permainan gamelan Bali yang menggunakan sistem polos dan sangsih.

Ubit-ubitan sebagai salah satu teknik permainan yang penting artinya bagi pembakuan styl dalam gamelan Bali, memang beragam tipe dan keberadaanya. Ubit-ubitan yang berlaku dalam gamelan Gambang ternyata berbeda tipenya dengan ubit-ubitan yang berlaku dalam gamelan Gender Wayang. Gender Wayang sebagai pengiring pertunjukan Wayang Kulit mempunyai pula teknik permainan yang berbeda dengan gamelan Angklung. Demikian seterusnya, hampir setiap jenis barungan gamelan Bali memiliki ubit-ubitan tersendiri, satu sama lain sangat berbeda wujudnya. Jika salah satu wujud ubit-ubitan dari sebuah gamelan tertentu dimainkan dalam gamelan yang lain, maka sangatlah mudah bagi kita untuk mengetahui dari gamelan mana sumber ubit-ubitan itu berawal. Pada periode belakangan ini, gamelan Gong Kebyar banyak meminjam pola ubit-ubitan dari gamelan Gender Wayang dan gamelan Gambang, sehingga sering terdengar dalam lagu kebyar, suatu sekwen yang dinamakan gegenderan dan gegambangan. Demikian juga sebaliknya bahwa gamelan Gong Kebyar telah banyak mempengaruhi gamelan yang lain seperti Angklung dan Gong Gede, maka sering kita dengar ungkapan bahwa kedua gamelan di atas, ekspresinya sudah “ngebyar” (menjadi kebyar).

Ubit-ubitan kiranya tidak saja menjadi cirri khas dari sebuah barungan gamelan, tetapi teknik itu sesungguhnya menjadi pemberi identitas dari masing-masing instrumen dalam gamelan. Teknik ubit-ubitan reyong akan berbeda bentuknya dengan ubit-ubitan gangsa yang dimainkan dalam pemade dan kantil. Wujud instrumen dan psikologinya akan mempengaruhi pula ubit-ubitan yang terdapat dalam barungan itu. Di samping itu, wujud atau tipe dari sebuah ubit-ubitan sangat tergantung dari tema musical yang terdapat dalam sebuah lagu. Dengan perkataan lain, bahwa lagu gilak yang digunakan untung mengiringi tari Baris mempunyai ubit-ubitan yang berbeda dengan lagu bapang yang berfungsi mengiringi tari Penasar. Di lain pihak bahwa lagu Baris yang dikenal memiliki watak kepahlawanan masih bisa pula diolah ke dalam 2 atau 3 jenis ubit-ubitan untuk member warna yang berbeda. Warna-warna ubitan itulah sesungguhnya yang member identitas terhadap barungan gamelan yang beragam bentuknya.

 

–          Sumber : Buku Teknik Permainan Gamelan Bali. 1991. Oleh:  Dr. I Made Bandem

Tari Kecak Bali

kecak

Tari Kecak adalah Tarian Bali yang unik dan populer bagi turis di pulau Dewata Bali.Tari dinyanyikan oleh para penari tari kecak dianggap mirip dengan suara monyet, maka turis mancanegara menyebut tari kecak Bali ini sebagai “Monkey Dance”. Tersebutlah nama Wayan Limbak yang menciptakan tarian ini pada tahun 1930-an. Tahun 1930 Limbak sudah mempopulerkan tarian ini ke manca Negara dibantu oleh pelukis asal Jerman Walter Spies.

Istilah nama kecak sendiri diduga berasal dari suara tarian ini sendiri, yaitu kecak, kecak, cak, cak, cak,cak uhh. Suara yang terdengar aneh tapi unik ,harmonis irama bunyi ini diucapkan sepanjang pertunjukan tari kecak, dengan diselingi ucapan dengan aksen tertentu dalam tarian kecak ini,dimana ritme irama harmonis bunyi nyanyian para penari tari kecak ini menimbulkan  suasana magis . Pada Tari kecak ,penari kecak tidak menggunakan alat musik lain ,tapi hanya menggunakan kincringan  yang berbunyi pada kaki para penari kecak.

 

Tari Kecak disebut juga sebagai tari “Cak” atau tari api (Fire Dance) merupakan tari pertunjukan masal atau hiburan dan cendrung sebagai sendratari yaitu seni drama dan tari karena seluruhnya menggambarkan seni peran dari “Lakon Pewayangan” seperti Rama Sinta dan tidak secara khusus digunakan dalam ritual agama hindu seperti pemujaan, odalan dan upacara lainnya.

 

 Perkembangan Tari Kecak

Tari kecak di Bali mengalami terus mengalami perubahan dan perkembangan sejak tahun 1970-an. Perkembangan yang bisa dilihat adalah dari segi cerita dan pementasan. Dari segi cerita untuk pementasan tidak hanya berpatokan pada satu bagian dari Ramayana tapi juga bagian bagian cerita yang lain dari Ramayana.

Kemudian dari segi pementasan juga mulai mengalami perkembangan tidak hanya ditemui di satu tempat seperti Desa Bona,Gianyar namun juga desa-desa yang lain di Bali mulai mengembangkan tari kecak sehingga di seluruh Bali terdapat puluhan group kecak dimana anggotanya biasanya para anggota banjar. Kegiatan kegiatan seperti festival tari Kecak juga sering dilaksanakan di Bali baik oleh pemerintah atau pun oleh sekolah seni yang ada di Bali. Serta dari jumlah penari terbanyak yang pernah dipentaskan dalam tari kecak tercatat pada tahun 1979 dimana melibatkan 500 orang penari. Pada saat itu dipentaskan kecak dengan mengambil cerita dari Mahabarata. Namun rekor ini dipecahkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan yang menyelenggarakan kecak kolosal dengan 5000 penari pada tanggal 29 September 2006, di Tanah.

Pola Tari Kecak

Sebagai suatu pertunjukan tari kecak didukung oleh beberapa factor yang sangat penting, Dalam pertunjukan kecak ini menyajikan tarian sebagai pengantar cerita, tentu musik sangat vital untuk mengiringi lenggak lenggok penari. Namun dalam Tari Kecak musik dihasilkan dari perpaduan suara anggota cak yang berjumlah sekitar 50 – 70 orang semuanya akan membuat musik secara akapela, seorang akan bertindak sebagai pemimpin yang memberika nada awal seorang lagi bertindak sebagai penekan yang bertugas memberikan tekanan nada tinggi atau rendah seorang bertindak sebagai penembang solo, dan sorang lagi akan bertindak sebagai dalang yang mengantarkan alur cerita. Penari dalam tari kecak dalam gerakannya tidak mestinya mengikuti pakem pakem tari yang diiringi oleh gamelan. Jadi dalam tari kecak ini gerak tubuh penari lebih santai karena yang diutamakan adalah jalan cerita dan perpaduan suara.

Ciri Khas Tari Kecak

Ciri khas tari kecak adalah harmonisasi suara dan gerak yang ditampilkan puluhan penarinya dan semuanya itu dilakukan bahkan tanpa adanya seseorang yang bertugas sebagai pemberi komando. Tentu tidak mudah mengharmonisasikan suara dan gerak sekian puluh orang untuk menjadi sebuah rangkaian tari bernuansa magis tersebut. Inilah salah satu keunggulan Bali, selain memiliki pesona keindahan alam yang menjadikannya dinobatkan sebagai Pulau Dewata, Bali juga mampu mengolah dan mengemas seni budayanya menjadi sebuah sajian atau atraksi wisata yang menarik bagi wisatawan.

 

Fungsi Tarian Kecak

Tari sebagai upacara
fungsi tari sebagai sarana upacara merupakan bagian dari tradisi yang ada dalam suatu kehidupan masyarakat yang sifatnya turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya sampai masa kini yang berfungsi sebagai ritual.

Tari sebagai sarana hiburan
salah satu bentuk penciptaan tari ditujukan hanya untuk di tonton. Tari ini memiliki tujuan hiburan pribadi lebih mementingkan kenikmatan dalam menarikan

Tari sebagai sarana pertunjukkan
tari pertunjukkan adalah bentuk momunikasi sehingga ada penyampai pesan dan penerima pesan. Tari ini lebih mementingkan bentuk estetika dari pada tujuannya. Tarian ini lebih digarap sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat

Tari sebagai sarana pendidikan
tari yang digunakan untuk sarana pendidikan dengan mengajarkan di sekolah – sekolah formal.

Keunikan tari kecak

Tidak seperti tari bali lainnya menggunakan gamelan sebagai musik pengiring tetapi dalam pementasan tari kecak ini hanya  memadukan seni dari suara – suara mulut atau teriakan – teriakan seperti “cak cak ke cak cak ke” sehingga tari ini disebut tari kecak.

sebagai pengetahuan tambahan kecak pada awalnya merupakan suatu tembang atau musik yang dihasil dari perpaduan suara yang membentuk melodi yang biasanya dipakai untuk mengiringi tari Sanghyang yang disakralkan. Dan hanya dapat dipentaskan di dalam pura. Dan kostum yang digunakan para penari kecak tidak banyak menggunakan ornament, penari laki-laki hanya menggunakan kain bercorak kotak menyerupai motif papan catur dengan hiasan setangkai bunga yang disematkan di telinga. Kemudian pada awal tahun 1930an seniman dari desa Bona, Gianyar mencoba untuk mengembangkan Sejarah Tari Kecak Bali dengan mengambil bagian cerita Ramayana yang didramatarikan sebagai pengganti Tari Sanghyang sehingga tari ini akhirnya bisa dipertontontan di depan umum sebagai seni pertunjukan. Bagian cerita Ramayana yang diambil pertama adalah dimana saat Dewi Sita diculik oleh Raja Rahwana.

 

Cerita singkat tari kecak

Karena akal jahat Dewi Kakayi ( ibu tiri ) Sri Rama, putra mahkota yang syah dari kerajaan Ayodya di asingkan dari istana ayah andanya Sang Prabu Dasarata. Dengan di temani adik laki lakinya ( Laksamana ) serta istrinya ( Dewi Sinta ) yang setia, Sri Rama pergi ke hutan Dadanka. Pada saat mereka berada di hutan, mereka di ketahui oleh Prabu Dasamuka (Rahwana) seorang raja yang lalim, dan Rahwana terpikat oleh kecantikan Dewi Sita , ia lalu membuat upaya untuk menculik Sita, dan ia di bantu oleh patihnya Marica. Denga kesaktian raksasa Marica menjelma menjadi seekor kijang emas yang cantik dan lincah. Dengan demikian merekapun berhasil memisahkan Sita dan Rama dan Laksamana. Rahwana lalu menggunakan kesempatan ini untuk menculik Dewi Sita dan membawanya kabur ke Alengka Pura. Denganmengdakan tipuan ini maka Rama dan Laksamana berusaha menolong Sita dari cekraman raja yang kejam itu, Atas bantuan bala tentara kera di bawah panglima Hanoman maka mereka berhasil mengalahkan bala raksasa Rahwana yang di pimpin oleh Meganada, oleh putranya sendiri. Akhirnya Rama berhasil merebut kembali istrinya dengan selamat.

 

-Sumber :

http://kebudayaan1.blogspot.com/2013/07/asal-muasal-munculnya-tari-kecak-bali.html

http://m3d14ku.wordpress.com/2013/03/26/fungsi-tari-kecak/

 

SEJARAH BANJAR SEMILA JATI

 

Banjar Semila Jati berada di, Jalan Wibisana Barat, Desa Pemecutan Kaja, Denpasar Utara. Pada awal berdirinya Banjar Semila Jati yaitu pada tanggal 15 Mei 1985. Dan kelian Banjar Semila Jati yang pertama adalah Almarhum Bapak Nyoman Banu. Sumber-sumber yang saya dapatkan yaitu dari Bapak Wayan Landep. Beliau juga sebagai kelian Banjar Semila Jati saat ini. Wawan cara yang saya lakukan dengan beliau pada tanggal 31 Mei 2014, di rumah atau kediaman beliau sendiri di Jalan Wibisana Barat, Banjar Semila Jati.

Beliau menceritakan bahwa dulu pada tahun 1984 sebelum Banjar Semila Jati berdiri, di sekitar wilayah Banjar Semila Jati tersebut masih terdapat sedikit rumah dan beberapa penduduk yang tinggal di wilayah Banjar Semila Jati tersebut. Dan di sekitar rumah-rumah penduduk tersebut masih terdapat sawah-sawah dan tanah lapang / tanah kosong. Dan jalan di sekitar wilayah Banjar tersebut juga belum bagus, masih jalan tanah dan hanya jalan setapak yang hanya bisa di lalui kendaeaan roda dua. Seiring berjalannya waktu, bulan demi bulan warga yang datang dan tinggal di wilayah Banjar tersebut pun semakin bertambah dan semakin banyak. Pergaulan, interaksi, sosialisasi antara tetangga dan warga di wilayah tersebut sangat baik dan semakin hari semakin akrab satu sama lainnya. Karena keakraban tersebut warga di wilayah banjar tersebut khususnya truna-truna dan bapak-bapak melakukan kegiatan olah raga bersama, yaitu bermai bulutangkis. Mereka melakukan olah raga tersebut di sebuah tanah lapang yang ada di wilayah banjar semila jati, yang tanah tersebut di miliki oleh Bapak Nyoman Banu sendiri. Dan para warga di wilayah tersebut membuat suatu perkumpulan atau group bulutangkis yang di berinama Jati, dan di ketuai oleh I Gede Alit Suarta. Mereka membuat lapangan bulutangkis di tanah lapang yg di miliki oleh Bapak Banu tersebut. Setiap sore hari mereka berkumpul di lapangan tersebut untuk bermain dan berlatih bulutangkis bersama. Beberapa bulan kemudian group bulutangkis tersebut mengikuti berbagai pertandingan bulutangkis di desa-desa tetangga. Dan group tersebut pernah mendapat prestasi dengan menjuarai beberapa pertandingan yang pernah di ikut sertai tersebut.

Seiring berjalannya waktu pada awal tahun 1985, di sela-sela latihan bulutangkis, tepatnya pada saat istirahat, para pemain bulutangkis tersebut pun ngobrol-ngobrol bersama dan obrolan pun menuju topik tentang wilayah di sekitar tersebut. Di sela-sela obrolan tersebut Bapak Banu pun mengusulkan untuk mendirikan sebuah Balai Banjar. Karena banyaknya warga yang tinggal di wilayag tersebut, dan semakin lama semakin banyak yang berdatangan dan bermukim di wilayah tersebut. Mendengar usulan Bapak Banu tersebut, para pemain bulutangkis yang ada di lapangan saat itu pun setuju atas usul tersebut untuk mendirikan bali banjar di wilayah tersebut. Dan tanpa membuang waktu, esok pagi harinya Bapak Banu dan pemain bulutangkis tersebut pun memberitahu warga-warga yang lain, yang ada di sekitar wilayah tersebut agar berkumpul pada sore hari di lapangan bulutangkis tersebut, untuk membicarakan masalah pembangunan banjar tesebut. Pada sore hari setelah warga dari wilayah tersebut berkumpul, Bapak Banu pun menjelaskan rencana dan sarannya untuk membangun dan mendirikan sebuah balai banjar kepada warga tersebut. Mendengar rencana yang sangat bagus itu, warga pun sangat setuju untuk mendirikan balai banjar di wilayah tersebut. Untuk tempat berkumpul dan bersosialisasi bagi bagi warga yang tinggal di wilayah tersebut. Setelah warga setuju, maka di tentukanlah tempat untuk membangun balai banjar tesebut, setelah berunding maka tempat yang di pakai adalah lapangan bulutangkis tersebut. Yang tanahnya di miliki oleh Bapak Banu sendiri. Yang akan di beli oleh warga sekitar. Luas tanah tersebut tidak begitu luas Cuma 2,5 are. Karena lapangan bulutangkis tersebut di pakai untuk mendirikan balai banjar, maka Bapak Banu pun meminjamkan tanahnya yang ada di sebelah rumahnya untuk di jadikan lapangan bulutangkis, sebagai ganti lapangan yang lama. Setelah sepakat menentukan lokasi pendirian balai banjar, warga di wilayah sekitar pun mulai mengumpulkan dana untuk pembangunan balai banjar tesebut. Dananya pun di dapat dari sumbangan warga yang tinggal di wilayah tersebut dan sumbangan dari Desa juga. Seiring berjalannya waktu dan dananya pun sudah terkumpul namun hanya cukup untuk membayar tanah Bapak Banu yang di beli untuk membangun balai banjar dan membeli beberapa bahan –bahan bangunan yang di pakai untuk membangun balai banjar tersebut.

Setelah bahan-bahan sudah ada, maka dilakukanlah upacara peletakan batu pertama pada tanggal 15 Mei 1985, yang di lakukan oleh Bapak Banu dan Bapak Kepala Desa Pemecutan Kaja, yang di saksikan oleh warga yang tinggal di wilayah tersebut. Setelah itu mulai lah di lakukan pembangunan balai banjar tersebut. Pembangunan balai banjar tersebut di kerjakan oleh warga setempat langsung secara gotong royong. Pembangunan balai banjar tersebut pun di lakukan secara tahap demi tahap, karena keterbatasan danan yang di miliki saat itu. Di sela-sela tahap pembangunan balai banjar tersebut, di adakanlah suatu rapat, yang lokasinya di lapangan bulutangkis yang baru, untuk membentuk pemimpin atau pengurus dari banjar yang akan di dirikan tersebut. Pada saat rapat di tunjuklah Bapak Nyoman Banu oleh warga sekitar sebagai pemimpin atau kelian banjar tersebut. Dan mencatat warga yang menjadi anggota banjar tersebut. Seiring berjalannya waktu, 3 bulan kemudian bangunan banjar pun sudah berdiri setengah jadi, hanya kurang finising. Melihat banjar sudah tinggal finising, Bapak Banu pun mengarahkan warga sekitar untuk rapat di balai banjar tersebut, untuk membicarakan masalah upacara melaspas balai banjar tersebut. Dan warga pun setuja dan mendukung rencana Bapak Banu tersebut. Namaun pada saat itu warga banjar tersebut pun belum dapat melakukan upacara melaspas tersebut, karena kendala dana yang pas saat itu masih sangat kurang untuk melakukan upacara tersebut. Warga pun tidak putus asa. Dan warga pun kembali mengumpulkan dana dari warga sekitar banjar secara sukarela. Agar dapat melaksanakan upacara tersebut. Karena antusias warga yang sangat besar, maka dana tersebut pun sudah terkumpul dalam waktu kurang lebih dua bulan.

Dan akhirnya pada bulan November tahun 1985, di laksanakanlah upacara melaspas banjar tersebut. Dan memberi nama banjar tersebut dengan nama Banjar Semila Jati, yang di usulkan oleh Bapak Banu dan di setujui oleh warga banjar tersebut. Setelah di lakukan upacara melaspas tersebut, warga banjar pun kembali melakukan pengerjaan finising pembangunan tahap akhir banjar hingga selesai, yang dananya di dapat dari warga banjar tersebut. Di sela-sela finising itu dilakukan juga perbaikan jalan atau pelebaran jalan di wilayah Banjar Semila Jati tersebut. Yang di kerjakan sendiri oleh warga banjar tersebut secara gotong royong. Semenjak Bnjar Semila Jati berdiri warga pendatang pun semakin banyak yang tinggal di wilayah banjar tersebut dan menjadi anggota banjar tersebut.

Dan Banjar Semila Jati yang ada di Desa Pemecutan Kaja, Denpasar Utara ini pun di tetapkan awal berdirinya pada tanggal 15 Mei 1985.

Demikian yang bisa saya sampaikan, mungkin masih banyak kekurangan yang saya sampaikan yang tidak lain kekurangan dari cara penulisan atau penyampaian. kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya informasi yang ada hubungannya dengan sejarah banjar semilajati. Untuk itu saya mohon kritik dan sarannya.

 

– Sumber : Wayan Landep  ( Kelihan Banjar Semila Jati )