KAKAWIN ARJUNA WIWAHA
Tahun : 1988
Penerbit : Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Daerah tingkat I Bali
Halaman : 130 halaman
Buku yang sampul depannya bergambarkan sosok tokoh Arjuna membawa panah, memuat kisah perjalanan Arjuna dalam usahanya untuk mendapatkan senjata ampuh guna membantu saudaranya Yudistira untuk menaklukkan musuhnya serta memakmurkan Dunia. Disamping itu juga berisi filsafat ke-Tuhanan yang sangat tinggi dan tak ternilai harganya. Ceritra tersebut digubah dalam bentuk Kakawin/Wirama.
Kakawin Arjuna Wiwaha dengan terjemahannya dalam bahasa Bali Aksara Bali ini merupakan sajian kedua dalam usaha terjemahan dan penerbitan kakawin yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Daerah tingkat I Bali.
Sesuai dengan kata pengantar dari buku ini, bahwa naskahnya diambil dari sebuah lontar, tetapi disana-sini diadakan perbaikan agar Guru Laghunya tepat kalau dibaca dengan Wirama. Dalam terjemahannya juga dibandingkan dengan terjemahan yang dilaksanakan oleh Dr. R.NG. Poerbatjaraka dan Sanusi Pane serta kamus Jawa Kuno yang ada.
Kakawin Arjunawiwāha adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.
Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru. Lalu ia diuji oleh para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini diperintahkan untuk menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka Batara Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini. Oleh para pakar ditengarai bahwa kakawin Arjunawiwaha berdasarkan Wanaparwa, kitab ketiga Mahābharata.
Dalam buku ini terdapat 36 Pupuh dengan wirama yang berbeda, tetapi yang sangat menarik bagi penulis adalah Wirama Kilayu Manedeng, Pupuh ke-23. Dalam pupuh ini disebutkan beberapa alat-alat musik atau Karawitan, yaitu tepatnya pada bait kedua. Berikut salinan Wirama Kilayu Manedeng bait kedua dan terjemahannya terdiri dari empat baris.
Wirama Kilayu Manedeng
“Siddaresi guna pada sumungsunging, gagana gurnita majaya-jaya”
“Lumrang sura kusuma lawan udan, ksanikatan pejalada tumiba”
“Akweh wihaganira, sarira,kampasuba manggalani lakunira”
“Wuntung buwana tekapikang mredangga, kal beri murawa kumisik”
Terjemahannya :
Baris pertama : Dewa resine sami memendak ring ambarane, umung nguncarang weda astuti.
Artinya : Para Dewa dan Resi menyambut Dewa Siwa sebagai Dewa tertinggi sambil mengucapkan mantra-mantra pemujaan.
Baris kedua : Sambeh sekar watek dewatane maduluran sabeh, ajahan tanpa gulem mawastu tedun.
Artinya : Para Dewa menaburkan bunga yang berupa rintikan hujan, walaupun tanpa adanya mendung tetapi hujan tersebut bias turun.
Baris ketiga : Katah cin ida, anggane makedutan, becik wiakti cirin pemargin idane.
Artinya : Banyak Tanda turunya Dewa Siwa, salah satunya seluruh tubuh bergetar, memang itulah tanda terbagus.
Baris keempat : Empeng jagate olih suaran kendang, bende, gong beri, reyong mebyayuhan.
Artinya : Jagat raya dipenuhi dengan gemuruh suara kendang, bende, gong beri dan riyong.
Dalam Wirama ini disebutkan beberapa instrument Karawitan, seprti Meredangga ( kendang ), Kala ( bende ), beri ( gong Beri ), Murawa ( reyong ). Instrumen-instrumen tersebut dibunyikan sebagai pertanda turunya Dewa Siwa. Demikian pentingnya fungsi instrument tersebut, sesuai dengan yang di ungkapkan dalam wirama ini.
Buku ini sangat bermanfaat bagi pembaca, tidak hanya bagi penggemar karya sastra, akan tetapi bagi semua kalangan, karena dalam kakawin ini terkandung tentang fisafat hidup, pendidikan pekerti, pengetahuan serta berbagai ajaran kebenaran yang bersumber Dharma dari Agama Hindu. Selain itu bagi jurusan karawitan, buku ini juga dapat dimanfaatkan sebagai sebuah literature karena didalamnya disebutkan beberapa instrument-instrumen karawitan dan fungsinya.
GONG KEBYAR DI DESA PUPUAN
Seklumit Tentang Keberadaan Gong Kebyar di Desa Pupuan.
Keberadaan barungan gamelan gong kebyar di Desa Pupuan saat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan gamelan tersebut ada. Hal tersebut disebabka karena minimnya bukti-bukti baik yang tertulis maupun bukti-bukti yang tidak tertulis.
Penulis mendapat beberapa informasi tentang gong kebyar yang ada di Desa pupuan dari seorang narasumber, dimana narasumber ini merupakan generasi ke tiga dari sekhaa gong kebyar di Desa Pupuan. Beliau bernama I Wayan Dika.
I wayan Dika menuturkan bahwa dirinya juga tidak tau secara pasti sejak kapan baru gong kebyar tersebut ada. Semenjak beliau baru lahir sudah ada barungan gong kebyar yang ada sekarang ini di Desa Pupuan. Beliau hanya sempat mendengarkan ceritra dari kakeknya yang bernama Pan Ciri.
Menurut penuturan kakek dari I wayan Dika, diketahui bahwa gamelan gong kebyar yang ada di Desa Pupuan dulunya dibeli oleh dua Desa, yaitu Desa Pupuan dan Desa Bantiran. Desa Pupuan dan Bantiran merupakan dua Desa yang berdekatan. Dulunya Pupuan dan Bantiran merupakan satu wilayah kerajaan yang bernama kerajaan Ambang. Sehingga kedua Desa ini dulu hanya memiliki satu Pura Desa dan Puseh. Tetapi saat ini masing-masing Desa sudah memiliki Pura Puseh dan Pura Desa. Bisa dikatakan bahwa Desa Pupuan merupakan pemekaran dari Desa Bantiran.
Mungkin karena merasa memiliki latar belakang sosial religius yang sama, kemungkinan inilah yang menyebabkan kedua desa ini bergabung untuk membeli gong kebyar.
Barungan gong kebyar tersebut di beli di daerah Bali Utara. Akan tetapi pembelian barungannya belum lengkap, hanya beberapa tungguh saja.
Dituturkan juga oleh kakek dari I Wayan Dika, pada waktu itu setiap ada odalan di Desa Pupuan, penabuh dari Desa Bantiran yang menabuh. Demikian juga sebaliknya, setiap ada odalan di Desa Bantiran, penabuh dari Desa Pupuan yang menabuh. Begitu eratnya kaitan antara Desa Pupuan dengan Desa Bantiran. Hal tersebut berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Entah apa yang menyebabkan, setelah bertahun-tahun berjalan seperti itu terjadi konflik antara Desa Pupuan dengan Desa Bantiran. Konflik tersebut menyebabkan dibaginya barungan gamelan gong kebyar tersebut. Pembagiannya adalah Desa Bantiran mendapatkan instrumen yang berpencon, sedangkan Desa Pupuan mendapat instrumen yang berbilah.
Setelah gamelan tersebut dibagi, akhirnya Desa Pupuan berkeinginan untuk melengkapi gamelan hasil dari pembagian tersebut, dimana yang didapat dari pembagian tersebut hanya mendapat instrumen berbilah saja, itu juga belum lengkap.
Gagasan tersebut dikeluarkan oleh dua orang dan sekaligus memberikan dana, yaitu bernama Pan Ciri yang merupakan kakek dari I Wayan Dika dan Kang Bin Ciang ( di Desa Pupuan lebih dikenal Dengan nama Cik Lotiah) seseorang beragama Budha.
Akhirnya gagasan tersebut disetujui, dibelilah beberapa instrumen untuk melengkapi instrumen yang sudah ada. Instrumen-instrumen tersebut di beli di Desa Sawan, Buleleng.
Setelah lengkapnya barungan tersebut dibentuklah sekhaa, tetapi belum memiliki nama. Pada waktu itu sudah banyak memiliki tabuh-tabuh lelambatan yang diketahui semenjak masih bergabung dengan Desa Bantiran, entah siapa yang melatih, tetapi diperkirakan semua gending-gending tersebut berasal dari daerah Bali Utara. Ada juga beberapa gending sejenis pangecet yang dibuat oleh anggota sekhaa. Selain gending-gending petegak pada waktu itu juga sudah mengetahui gending untuk mengiringi tarian, yaitu gending Kebyar Legong dan Palawakya.
Pada tahun 1940-an, yaitu pada masa penjajahan Belanda (NIKA), sekhaa ini pernah mebarung melawaN sekhaa dari Desa Wangaya Tabanan.
Pada tahun 1950-an I Gede Manik seorang maestro tari dan tabuh dari Bali Utara ( Buleleng ) sempat melatih tarian Truna Jaya di Desa Pupuan, beliau juga langsung melatih iringannya.
Berselang beberapa tahun, yaitu tahun 1955 I I ketut Merdana yang juga merupakan seorang seniman dari Desa Kedis, Busungbiu Buleleng diundang ke Desa Pupuan untuk melatih ringan tari Truna Jaya dan Tari Palawakya.
Pada tahun 1960 ada seseorang pegawai Bank yang bernama I Ketut Adi, dari Banjar Tanggun Titi, Desa Tonja Denpasar, kebetula pada waktu itu bertugas disalah satu Bank yang ada di Desa Pupuan. Beliau sempat melatih beberapa gending-gending iringan tari, diantaranya, tari Pendet, tari Oleg tamulilingan, tari tenun, tari Panji Semirang, tari Margapati dan dan tari Kupu-kupu tarum.
Keberadaan sekhaa ini sempat mengalami pasang surut. Akibat dari tragedi G30 S/PKI sekhaa sempat tidak aktif. Melihat hal tersebut, akhirnya I Wayan Dika berpikir bagaimana cara untuk mengembalikan semangat sekhaa. Munculah ide dari I Wayan Dika untuk membuat Drama Gong pada tahun 1969. Idenya tersebut ia peroleh setelah menonton festival Drama Gong se-Bali yang di prakarsai oleh A.A. Rai Payadnya.
Idenya tersebut diawali dengan mengajak pemuda yang bukan termasuk dalam sekhaa untuk berlatih Drama Gong dalam rangka menyambut hari raya Galungan.
Pada saat dipentaskan, ternyata antusias masyarakat dan dinilai pertunjukan tersebut sangat bagus, sehingga Bendesa Adat pada waktu itu ingin membuat sekhaa Drama Gong dengan melibatkan sekhaa gong.
Terbentuklah sekhaa Drama Gong yang bernama SURA JAYA, dan nama tersebut sekaligus dipakai untuk nama sekhaa gong di Desa Pupuan. Judul Drama yang pertama adalah JAJAR PIKAT.
Tidak disangka ternyata Drama tersebut menjadi sangat terkenal di Bali, hampir seluruh daerah di Bali pernah di jajah oleh sekhaa Drama Gong SURA JAYA ini.
Saking seringnya pentas, dilihat juga terampa dari instrumen gong kebyar tersebut sangat polos, tanpa menggunakan ukiran dan menggunakan motif-motif Bali Utara. Dirasa juga pada waktu itu sudah memiliki dana untuk memperbaiki, akhirnya digantilah trampa yang menggunakan gaya Bali Utara menjadi gaya Bali Selatan, tetapi bilhnya tetap style Bali Utara.
Seiring waktu, kebanyakan sekhaa Drama Gong tersebut meninggal karena Usia disamping itu juga karena kurangnya kepedulian para generasi penerus terhadap kesenian Drama Gong, menyebabkan hilangnya kesenian tersebut hingga saat ini. Akan tetapi sekhaa gong masih tetap ada hanya untuk keperluan upacara agama yang ada di Desa Pupuan. Dan pada tahun 1984 nama sekhaa gong yang dulunya bernama SURA JAYA diganti menjadi MANIPUSPAKA, hingga saat ini.
Demikian seklumit tentang keberadaan Gong Kebyar yang ada di Desa Pupuan, Kec. Pupuan, Kabupaten Tabanan.
Instrumentasi.
Barungan gong kebyar yang ada di Desa Pupuan, adalah merupakan barungan gong kebyar style Bali Utara, dimana bilah-bilah dari instrumen gangsa dan kantil di pasak atau tidak digantung seperti gong kebyar style Bali Selatan. Bentuk bilah gangsa dan kantilan bagian atasnya agak cembung, tidak datar seperti bilah gong kebyar Bali Selatan.
Gamelan ini berlaras pelog panca nada, dengan saih nada sedang, sama dengan barungan gong kebyar milik ISI Denpasar, hanya saja pengambilan nada pada instrumen trompong dan riyong yang lebih rendah, dimana dalam gong kebyar bali selatan menggunakan nada gangsa sebagai nada terompong, dan nada kantilan sebagai nada riyong, tetapi gong kebyar yang ada di pupuan ini menggunakan nada giying/ugal sebagai nada terompong, dan nada gangsa sebagai nada riyong, sehingga kedengarannya sangat rendah.
Gambelan yang berlaras Pelog Panca Nada ini sebagian besar terdiri dari alat-alat perkusif ( alat pukul ) dan dimainkan oleh 25 – 30 orang penabuh. Instrumen ada yang berbentuk bilah-bilah perkusi yang dipasang di atas resonator bambu, ada yang berbentuk mangkuk-mangkuk perkusi yang disebut instrumen berpencon, ada yang berbentuk Conicals Drums dan ada yang berbentuk Cymbals. Kecuali yang berbentuk Drums, semua instrumen-instrumen tersebut terbuat dari kerawang atau perunggu yang merupakan campuran dari Tembaga dengan Timah dengan perbandingan 10 : 3. Adapun jenis-jenis instrumen tersebut, diantaranya: Terompong 1 unit, Reyong 1 unit, Giying/pangugal 2 unit, Gangsa pemade 6 unit, Gangsa kantil 4 unit, Jublag 2 unit, jegog 2 unit, penyahcah 2 unit, Gong 2 buah, Kempur 1 buah, Kajar, Kempli, kemong, Ceng-ceng, Suling dan Kendang Lanang Wadon. Dulunya juga memiliki gender rambat, tetapi karena jarang difungsikan, akhirnya dijadikan penyahcah.
Bentuk ornamentasi atau pepayasan dari pelawah gong kebyar yang ada di Desa Pupuan awalnya menggunakan motif Bali Utara, tetapi setelah diganti pada tahun 1969 menggunakan motif-motif bentuk payasan Bali Selatan, dimana bentuk dari pola-polaukirannya agak sedikit bulat dengan meggunakan motif-motif ukiran patra samblung, patra kakul dan karang manusa ( bentuk Manusia ).
Fungsi.
Secara umum gambelan kebyar dimainkan berkaitan dengan fungsinya. Apabila dimainkan di Pura sebagai pendukung upacara ritual, gambelan kebyar memainkan lagu-lagu klasik pagongan yang disebut dengan Lelambatan. Apabila disajikan untuk tontonan, seperti Parade Gong Kebyar, lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu kebyar yang lebih dikenal dengan sebutan Tabuh Kreasi Baru. Gambelan kebyar juga berfungsi sebagai iringan Tari-tarian Bali. Di samping itu dengan gambelan Gong Kebyar juga dapat disajikan Repertoar-repertoar dari gambelan-gambelan lainnya, seperti palegogan, lelambatan, pagongan dan lain sebagainya.
Fungsi gong kebyar yang ada di Desa Pupuan sebagai pendukung Upacara Agama, Baik Manusa Yadnya, Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, dalam upacara Pitra Yadnya sangat jarang dipergunakan. Selain itu juga untuk mengiringi Tari-tarian, baik tari Wali, tari Bebali, maupun Balibalihan.
Mengapresiasi Pertunjukan Gamelan Mandolin
PERTUNJUKAN GAMELAN MANDOLIN : Mengiringi Tari Rejang Pulu dalam Pawai HUT. Kota Tabanan yang ke-518
Dalam rangka hari ulang tahun Kota Tabanan yang ke-518, pemerintah kota Tabanan menyelenggarakan berbagaimacam kegiatan. Salah satunya adalah pawai yang dilaksanakan pada tanggal 29 November 2011. Pawai ini melibatkan seluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Tabanan
Masing-masing kontingen dari Kecamatan diwajibkan untuk menampilkan salah satu Tarian sakral dan gamelan yang murupakan ciri khas dari masing-masing daerah duta kecamatan tersebut.
Pawai dimulai di depan taman kota Tabanan, dan berakhir di areal Pura Dalem Tabanan.
Pada hari tersebut seluruh kontingen dari masing-masing kecamatan sudah berkumpul di seputaran Gedung Mario pada pukul 15.00 WITA. Dan pawai dilaksanakan pada pukul 16.00 WITA.
Dalam pawai tersebut, yang menarik bagi penulis adalah duta dari Kecamatan Pupuan, yang diwakili oleh Desa Pupuan. Pada pawai tersebut Desa pupuan menampilkan kesenian Mandolin dan sebuah tarian sakral yang ada di Desa Pupuan, yaitu tari Rejang Pulu. Inilah yang menyababkan penulis ingin mengapresiasi pertinjukan tersebut.
I. Gambelan Mandolin di Desa Pupuan
1.1 Seklumit Tentang Keberadaan Mandolin di Desa Pupuan.
Di Bali tersebar puluhan barungan gamelan yang tersebar, terdiri dari jumlah alat yang besar maupun kecil. Jenis-jenis barungan tgamelan yang ada di Bali baru dapat didokumentasikan sekitar 33 barungan. Salah satunya adalah barungan gamelan Mandolin.
Tentang keberadaan gamelan Mandolin yang ada di Desa Pupuan tidak ada yang tau persis, sejak kapan gamelan tersebut ada, tetapi bias dilihat dari bentuk dan namanya bahwa gamelan Mandolin merupakan hasil dari Akulturasi kebudayaan, antara Agama Hindu dengan Agama Bhuda yang ada di Bali.
Gambelan Mandolin pertama kali muncul sebelum tahun 1930an di desa temukus Buleleng yang di ciptakan oleh warga Cina yang tinggal di daerah tersebut. Gambelan Mandolin berkembang dari Buleleng ke Pupuan pada masa perdagangan. Di Pupuan, gamelan Mandolin dikembangkan dan dibuat oleh Pan Sekar (alm.). Pada awalnya gambelan ini disebut Shaolin oleh warga Cina namun masyarakat di Pupuan menyebutnya dengan nama Mandolin dan akhirnya sampai sekarang gambelan tersebut dinamakn Mandolin.
Pada tahun 1930 Perkembangan Mandolin kemudian berpindah ke desa Pujungan karena masa-masa perdagangan, dimana pada awalnya gambelan mandolin di buat hanya 1 buah oleh I Nengah Madia (Gurun Suri) di rumah I Majar yang awal mulanya hanya untuk hiburan yang sifatnya pribadi/keluarga dan belum terbentuk dalam suatu wadah organisasi (sekha) termasuk segala peralatannya yang masih sederhana,dan suatu kepentingan serta tuntunan dari tokoh kesenian yang sangat optimis agar kelompok kesenian ini bisa di lestarikan kembali,maka tepatnya pada tahun 1963 sampai dengan tahun 1965 kesenian ini bisa dikembangkan dalam suatu sekha Mandolin yang dipimpin oleh seorang seniman yang bernama I Wayan Lancar (Gurun Suarti) dimana pada saat itu juga punya pengabdian terhadap masyarakat misalnya masa-masa kempanye PNI dan menyambut peringatan hari-hari nasional, tetapi karena suatu sebab sekha mandolin ini sempat mengalami kepakuman dan non aktif dalam segala kegiatan maka bubarlah akibatnya.
Setelah lama berkembang di Desa Pujungan, pada tahun 2010 atas inisiatif dari I Gede Made Wiartawan, yang ingin memunculkan kembali kesenian Mandolin yang adulunya ada di Desa Pupuan. Tetapi pada saat mencari gamelan Mandolin yang ada di Desa Pupuan, kebanyakan sudah rusak total karena termakan waktu dan tidak adanya generasi yang mau perduli dengan keberadaan gamelan Mandolin tersebut.
Akhirnya I Gede Made Wiartawan membeli gamelan Mandolin di desa Pujungan sebanyak dua buah. Dan dibuatlah tiga buah mandolin sesuai dengan gamelan Mandolin yang dibeli di Desa Pujungan.
Karena sudah memiliki gamelan Mandolin, kemudian di buat sekhaa Mandolin BUNGSIL GADING di Desa Pupuan.
Sekhaa Mandolin Bungsil Gading inilah yang ditampilkan pada acara pawai dalam rangka HUT kota Tabanan yang ke-518.
1.2 Identitas Gamelan Mandolin.
Gamelan Mandolin jika dilihat dari klasifikasi dalam Karawitan Bali, termasuk dalam kelas Kordofoon, karena gamelan Mandolin menggunakan dawai ( senar ) seperti Rebab dan Kecapi, dalam musik Barat sama dengan Gitar.
Gamelan Mandolin berbentuk kotak persegi panjang, dimana terdiri dari tiga bagian yaitu kepala, leher dan badan seperti bagian pada gitar yang sesuai dengan konsep Tri Angga dalam Karawitan Bali.
Bagian kepala merupakan tempat mengikatkan dawai dari mandolin, yang diikatkan pada pasak-pasak. Dan pada bagian ini merupakan tempat untuk mengatur nada-nada dari masing-masing dawai pada Mandolin. Karena mandolin yang ada di Desa Pupuan ini menggunakan empat dawai, sehingga pada bagian kepala terdapat empat pasak untuk mengikatkan dawai.
Gamelan Mandolin milik sekhaa Mandolin Bungsil Gading, pada bagian kepalanya menggunakan Tuning Control, yang ada pada Gitar Akustik, sehingga lebih mudah dalam mengikatkan dawai dan mengatur nada mandolin.
Bagian leher merupakan tempat dibentangkanya dawai dan merupakan tempat tombol-tombol atau panggul dari gamelan mandolin. Pada bagian leher ini terdapat 12 tombol nada. Bagian yang ketiga adalah badan mandolin. Memang pada bagian leher mandolin juga termasuk badan, karena kotak resonator dari mandolin memiliki ruangan resonator sampai ke bagian lehernya.
Pada bagian badan pada mandolin milik sekhaa mandolin Bungsil Gading terdapat sebuah lubang resonator dan dalam posisi yang sejajar dengan lubang resonator terdapat pula pickup/spul. Pickup ini merupakan komponen utama pada gitar elektrik.
Pickup elektromagnetik menangkap dan merubah getaran senar/dawai kedalam bentuk sinyal, yang kemudian diteruskan ke pengeras suara melalui kabel.
Photo bagian badan Mandolin.
Kotak resonator dari mandolin, yang mencangkup pada bagian badan dan leher semuanya terbuat dari kayu jati. Lubang tersebut sama dengan lubang pada gitar akustik, dimana gitar akustik memiliki badan yang berlubang dan dapat menghasilkan suara yang relatif cukup keras tanpa penguatan elektrik.
Cara kerja dari lubang resonator tersebut adalah bunyi dari mandolin dihasilkan dari getaran dawai yang kemudian diperkuat oleh badan Mandolin sebagai resonator.
Dawai dari gamelan Mandolin berbeda dengan dawai yang dipergunakan pada instrumen-instrumen berdawai lainnya, seperti Gitar, kecapi, Rebab dll. Dawai mandolin menggunakan sebuah kawat kecil yang terdapat pada tali rem pada sepeda motor, dipisahkan helai demi helai, sehingga gamelan mandolin mempunyai warna suara yg khas.
1.3 Teknik Permainan
Teknik permainan merupakan Aparatus utama dalam gamelan Bali. Teknik mengandung konotasi cara-cara memukul atau memainkan alat-alat musik sesuai dengan bentuk, sifat dan karakter yang telah ada dalam musik itu sendiri, dan teknik-teknik tersebut juga dapat dijadikan indikator pokok dalam mempelajari gaya masing-masing gamelan. Di samping itu melalui teknik permainan dapat dibedakan secara audio satu perangkat gamelan dengan perangkat yang lain.
Gamelan mandolin merupakan gamelan yang dimainkan dengan cara digesek dengan menggunakan pik/plektrum yang diregunakan untuk menggesek gitar, akan tetapi pada mandolin, bentuk dari plektrum dibuat lebih panjang. Tangan kanan penabuh lah yang dipergunakan untuk menggesek.
Tangan kiri dari penabuh berfungsi untuk menekan tombol-tombol nada ( panggul ) mandolin. Menekan tombol-tombol tersebut sangat diperlukan kelincahan jari-jari tangan.
Penguasaan tingkat kerumitan dari permainan mandolin ini adalah menyeimbangkan antara tangan kanan yang menggesek dengan tangan kiri yang menekan tombol, sehingga akan menghasilkan bunyi yang sesuai. Apalagi pada saat pentasnya sekhaa Mandolin Bungsil gading, dimana teknik permainannya menggunakan ubit-ubitan ( kotekan ) dengan pola polos dan sangsih, yang sangat sulit diterapkan dalam gamelan mandolin.
1.4 Sitem Nada Gamelan Mandolin.
Secara garis besar, semua barungan gamelan yang ada di Bali menggunakan sistem laras. Di Bali ada beberapa macam laras, diantaranya laras pelog lima nada, laras pelog tujuh nada, laras selendro lima nada, laras selendro empat nada, laras pelog empat nada.
Gamelan Mandolin yang ada di Desa Pupuan menggunakan laras pelog tujuh nada, yaitu ndeng, ndeung, ndung, ndang ndaing, nding, ndong. Urutan nada pada mandolin dimulai dari bunyi dawai dengan nada ndeng, kemudian tombol yang pertama nada ndeung, tombol yang ketiga bernada ndung, nada selanjutnya adalah ndang,ndaing,nding ndong, ndeng, ndeung, ndung, ndang, nding. Dawai dari gamelan Mandolin terdiri dari empat dawai, semuainya diatur supaya bernada sama.
II. Tari Rejang Pulu di Desa Pupuan
Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali yang universal identik dengan kehidupan religi masyarakatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sangat mendasar. Para penganutnya dapat mengekspresikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa. Maka banyak muncul kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan tertentu atau sebagai pelengkap pemujaan tersebut.
Upacara di Pura-Pura (tempat suci) tidak lepas dari seni suara, tari, karawitan, seni lukis, seni rupa dan sastra. Candi-candi, Pura-Pura, dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika dan sikap religius dari penganut Hindu di Bali. Pregina (penari) dalam semangat ngayah (bekerja tanpa pamrih) mempersembahkan tarian sebagai wujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri.
Para seniman pun ingin menyatu dengan seni karena sesungguhnya setiap insan di dunia ini adalah percikan seni. Selain itu juga berkembang pertunjukkan seni yang bersifat menghibur. Maka di Bali, berdasarkan sifatnya seni digolongkan menjadi seni wali yang disakralkan dan seni yang tidak sakral (disebut profan) yang berfungsi sebagai tontonan atau hiburan saja.
Pada seni tari, tari sakral atau wali adalah tari yang dipentaskan dalam rangka suatu karya atau yadnya atau rangkaian ritual tertentu, dan tarian tersebut biasanya disucikan. Kesuciannya tampak pada peralatan yang digunakan, misalnya pada tari Pendet ada canang sari (sesajian janur dan bunga yang disusun rapi), pasepan (perapian), dan tetabuhan. Pada tari Rejang pada gelungannya serta benang penuntun yang dililitkan pada tubuh penari (khusus Rejang Renteng). Topeng Sidakarya pada bentuk tapel (topeng), kekereb (tutup…), dan beras sekar ura (bunga yang dipotong kecil-kecil untuk ditaburkan). Semuanya tidak boleh digunakan sembarangan. Kesakralan juga ada pada si penari itu sendiri, misalnya seorang penari Rejang atau penari Sang Hyang harus menampilkan penari yang masih muda, belum pernah kawin, dan belum haid. Atau penarinya harus melakukan pewintenan (upacara
penyucian diri) dulu sebelum menarikan tarian sakral.
Sejarahnya tari wali ini sebagian besar dikaitkan dengan mitologi agama yang berkembang di daerah tertentu. Mitologi ini mungkin dibuat bersamaan atau sesudah tari wali itu diciptakan atau sebelumnya. Meskipun tarian ini diciptakan manusia, tetapi karena sudah merupakan konsensus dari masyarakat pendukungnya maka tari wali ini mendapat tempat khusus di hati masyarakat dalam kaitannya dengan keyakinan agama, terutama agama Hindu.
Tari-tari wali yang tercipta di Bali mirip dengan tari-tari ritual di India. Menurut mitologi tarian-tarian wali itu diciptakan oleh Dewa Brahma, dan Dewa Siwa yang terkenal dengan tarian kosmisnya, yaitu Siwa Nata Raja. Di mana Dewa Siwa memutar dunia dengan gerakan mudranya yang berkekuatan ghaib. Setiap sikap tangan dengan gerakan tubuh memiliki makna dan kekuatan tertentu sehingga
tarian ini tidak hanya menampilkan keindahan rupa atau pakaian, tetapi mempunyai kekuatan sekala dan niskala. Di Bali tidak sembarang digunakan. Hanya para Sulinggih (Brahmana atau orang suci) saja yang menggunakan gerakan tangan mudra ini, karena sangat sakral.
Rejang Pulu merupakan salah satu kesenian sakral yang ada di desa Pupuan. Tarian ini biasanya di pentaskan(di lakukan) di pura Puseh Ulu ( Ulun Suwi) yg terdapat di desa Pupuan dalam rangkain pujawali Ngusaba Tabuh yang dilaksanakan pada sasih Desta atau pun Sadha, mencari waktu saat padi di sawah masih berwarna hijau.
Tarian ini dilaksanakan jam tiga pagi, saat keadaan masih sepi, penarinya adalah para wanita, dengan membawa atribut Nini dan Pulu. Nini merupakan seikat padi yg berjumlah 33 helai yg dibagi dua menjadi simbul lanang dan istri (laki-laki dan perempuan), dengan menggunakan berbagai hiasan, baik dari bunga dan banyak hiasan-hiasan khusus yg digunakan. Nini merupakan lambing atau prwujudan dari Bhatari Sri. Pulu merupakan sebuah periuk yg biasanya digunakan untuk menyimpan beras, pulu yang dibawa pada tarian ini di dalamnya berisi beras, yang merupakan simbol dari Manik Galih.
Penari yang membawa Nini dan Pulu harus wanita yang masih dauh sari ( Masih remaja ).
Tari rejang Pulu ini tidak menggunakan gerakan yangkhusus, penari hanya berjalan mengelilingi areal jeroan Pura Puseh Ulu sebanyak tiga kali, diiringi dengan kekidungan (nyanyian) khusus, dan tidak menggunakan gamelan. Kekidungan ini di nyanyikan oleh para wanita yang ikut menari mengikuti Nini dan Pulu.
Tarian rejang pulu merupakan tarian sesolahan Bhatari Sri sebagai dewi kemakmuran. Tarian rejang pulu merupakan perwujudan rasa syukur kehadapan Bhatari Sri sekaligus terkandung suatu harapan oleh masyarakat agar mendapatkan hasil panen yang banyak, dan tanaman padi tidak diserang hama.
Setelah selesai ditarikan, Nini dan Pulu disimpan di Palinggih utama yang berbentuk gedong, dan selanjutnya beras yang ada dipulu tersebut akan di bagikan kepada seluruh masyarakat untuk diletakkan di pulu rumah masing-masing. Dilakukan setelah rangkaian upacara selesai, hal ini disebut dengan istilah Ngentegang Merta.
III. Bentuk pertunjukan.
Dalam pertunjukan yang penulis sempat amati ada beberapa hal, diantaranya :
3.1 Pertujukan Mandolin.
3.1.1 Jumlah instrument yang digunakan.
Dalam pertunjukan Mandolin dalam pawai HUT kota Tabanan tersebut, penulis melihat ada beberapa instrumen yang dipergunakan, diantaranya : Mandolin 3 unit, 1 unit kendang menengah, 1 unit tawa-tawa, 1 unit gong pulu, satu unit kempli, satu unit klentong, I unit cengceng ricik, 3 unit suling kecil.
3.1.2 Fungsi masing-masing Instrumen.
Dari ketiga instrumen mandolin, salah satunya berfungsi sebagai ugal, sekaligus sebagai pembawa melodi, dan instrumen mandolin yang lainnya dimainkan dengan motif-motip kotekan dengan satu polos dan satu sangsih. Instrumen Kendang difungsikan sebagai pemurba irama. Instrumen tawa-tawa difungsikan sebagai tempo, instrumen gong untuk mengakhiri setiap kalimat-kalimat lagu/gending yang dibawakan. Instrumen kempli sebagai pengganti dari kempur. Dan suling sebagai pemanis dan melodi.
3.1.3 Sound Sistem.
Dalam pertunjukan mandolin oleh sekhaa Mandolin Bungsil Gading ini menggunakan sound system, yang dibawa dengan menggunakan gerobak yang berisi dua roda. Gerobak tersebut dihias sedemikian rupa berbentuk mirip kontruksi bale bengong,
Diatas grobak tersebut terdapat pengeras suara, dan disana juga diletakkan gong pulu, klentong dan kempli.
3.2 Pertunjukan Tari Rejang Pulu.
Dengan wajah cantik dan kostum menggunakan baju kebaya putih dan kamen kuning, sudah memberikan kesan bahwa pertunjukan tersebut merupakan sebuah tarian yang suci ataupun sakral. Terdiri dari 10 orang penari yang berbaris di belakang gamelan mandolin.
masing-masing penari semuanya membawa atribut pulu tetapi dari kesepuluh penari tersebut ada satu orang yang membawa pulu dan nini sekaligus sebagai pemimpin dalam pementasan tari tersebut.
Setelah penabuh mandolin memainkan gending rejang, dengan gaya penuh kehikmatan para penari tersebut mulai menari, dengan gerakan-gerakan yang sudah tertata, dengan beberapa perubahan komposisi, sesekali hanya berjalan melingkar saja.
3.3 Jenis-jenis Gending.
- Motif kebyar dengan dilanjut motif gending sejenis legod bawa,
Pada awal pertunjukan, yaitu dari awal mulai berjalan menuju ke tempat display, menggunakan gending pejalan yang mirip legod bawa, setelah sampai di depan panggung kehormatan, gending penyalit yang mengarah keg ending rejang.
- Gending rejang untuk mengiringi tari rejang pulu.
Gending ini terdiri dari kawitan dan pengawak, sama seperti struktur tabuh telu buaya mangap, tetapi pola kekendangannya berbeda dengan menggunakan motif-motif kendang gupekan nunggal.
Setelah kawitan, mulailah penari dari rejang pulu memasuki areal pentas, mulai dengan gerakan-gerakan yang telah tertata dan menggunakan komposisi gerak yang lumayan bagus.
Setelah berputar kurang lebih sebanyak tiga kali, akhirnya penari rejang pulu tersebut kembali berjalan meninggalkan areal pentas, dan gending mandolin pun dialihkan kembali pada gending pejalan awal, yaitu bentuk legod bawa
IV. Analisis
4.1 Kekurangan.
1. Dari segi pertunjukan Mandolin,
- Penulis merasakan bunyi yang dihasilkan akibat dari sound system yang digunakan, sedikit menghilangkan ciri khas dari bunyi mandolin.
- Jumlah instrument mandolin yang dipergunakan sangat sedikit, mungkin karena sudah mengandalkan sound system yang digunakan..
- Karena hanya Mandolin yang menggunakan pengeras suara, sehingga dari jarak jauh, dominan terdengan suara mandolin saja, sedangkan instrumen-instrumen pendukung lainnya tidak terdengar.
2. Dari segi pertunjukan Tari Rejang Pulu
- Secara pribadi penulis memang kurang setuju tentang pementasan sebuah tarian sakral untuk kepentingan pawai. Namanya juga tari sakral, tentu pementasannya ada waktu tertentu, hari tertentu, tempat juga tertentu. Menurut penulis, sedikit demi sedikit akan dapat mengurangi kesakralan dari tarian tersebut, secara otomatis taksu juga akan hilang.
4.2 Kelebihan
- Terlihat dari pementasan tersebut bahwa banyak inovasi yang terjadi pada gamelan mandolin, mulai dari penggunaan pickup/spul gitar, menggunakan tuning control untuk mengikatkan dawai dari mandolin.
- Telah adanya pengembangan teknik permainan, yaitu diterapkannya pola ubit-ubitan dalam permainan mandolin.
- Dengan tangga nada yang dimiliki, yaitu pelog tujuh nada, sehingga mandolin memiliki kekayaan nada.
- Dengan menggunakan sound system suara mandolin jadi terdengar sangat keras, meskipun hanya menggunakan tiga mandolin saja.
- Untuk kepentingan tontonan, tari Rejang pulu jadi terlihat lebih menarik, dengan pola-pola perubahan komposisi dan gerak tari yang tertata.
BIOGRAFI I GEDE MADE WIARTAWAN
I Gede Made Wiartawan adalah seorang seniman muda yang berperan dan berpengaruh terhadap perkembangan kesenian yang ada di desa Pupuan, kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan.
Laki-laki dengan nama panggilan De Arta ini adalah seorang seniman Tari. Anak ke-2 dari pasangan I Gede Suriada dengan Ni Wayan Rukmini. Dilahirkan di Pupuan pada tanggal 23 Mei 1979. Menikah dengan Ni Putu Sriastuti, S.Pd. pada tanggal 3 Desember 2003. Dari pernikahannya, kini pasangan I Gede Made Wiartawan, S.Sn dengan NI Putu Sriastuti, S.Pd telah dianugrahi dua orang anak. Anak yang pertama bernama I Gede Diva Satria Gautama dan anak yang kedua bernama Ayu Kaeysha Tiarika.
Dari hasil wawancara yang penulis dapat saat ditemui di kediamannya yaitu di Banjar Kubu, Desa Pupuan pada tanggal 6 November 2011. Lelaki yang kini sudah berumur 32 tahun ini dengan gaya santai dan sesekali diselingi dengan bercanda menuturkan latar belakang pendidikan dan pengalamannya.
“ Sejak masih duduk di Taman Kanak-kanak ( TK ) saya sudah mulai belajar menari, Sekolah dasar di SD Negeri 1 Pupuan, tamat pada tahun 1992, kemudian melanjutkan sekolah di SMP Negeri 1 Pupuan. Pada saat saya duduk di bangku SMP, saya memilih untuk mengikiti exstrakurikuler Seni Tari. Saking tingginya minat dan kegemaran saya terhadap seni tari, setelah lulus SMP pada tahun 1995 saya melanjutkan untuk bersekolah di SMK negeri 3 Sukawati yang pada waktu itu masih bernama SMKI. Di sana saya mulai memperdalam pengetahuan tentang tari dan tamat pada tahun 1998.
Keinginan untuk menjadi seorang seniman tari mendorong saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, akhirnya saya memilih untuk mengikuti pendidikan di ISI ( Institut Seni Indonesia ) Denpasar.
Berbagai pengalaman saya dapatkan saat kuliah di ISI Denpasar, baik suka maupun duka hidup saya rasakan. Lucunya lagi, pada saat sedang menyusun sekripsi bab IV saya menyempatkan diri untuk menikah dan juga saya sempat cuti dari perkuliahan selama 1 tahun. Akhirnya, setelah berhenti 1 tahun saya kembali untuk menuntaskan pendidikan di ISI Denpasar. Judul karya saya pada ujian tugas akhir di ISI Denpasar adalah “ MUNDAR BURANGKAK”. Berkat optimisme, akhirnya saya menuntaskan pendidikan pada tahun 2004 dan memperoleh gelar Sarjana Seni ( S.Sn ).
Pengalaman yang paling tidak terlupakan pada waktu itu adalah pada saat saya lulus di ISI Denpasar saya mendapat 2 ijasah, yang pertama ijasah sarjana seni dan yang kedua anak saya yang pertama juga lahir pada waktu itu”. Tutur dari ayah dua anak tersebut.
I Gede Made Wiartawan, S.Sn lumayan banyak memiliki pengalaman, baik sebagai penata dan pembina tari maupun sebagai pelaku seni tari, diantaranya :
- Sebagai pembina dan penata tari dalam ajang Festival dan Parade gong kebyar anak-anak dan dewasa duta kabupaten Tabanan dari tahun 2005 hingga saat ini.
- Sebagai penata tari kreasi yang dipentaskan di Art Centere pada tahun 2007.
- Sebagai penari Festival Tari Nusantara duta Provinsi Bali yang di wakili oleh Kabupaten Klungkung bertempat di Taman Mini Indonesia Indah pada tahun 2009.
- Juara I lomba ngibing joged se-Bali tahun 2010.
- Penata tari WIDYA WIGUNA yang merupakan tari maskot SMP Negeri 1 Pupuan dalam rangka lomba Wawasan Wiyata Mandala tingkat Provinsi tahun 2011.
- Sebagai penari festival Karnaval Kewiraan Nusantara duta Provinsi Bali yang diwakili oleh kabupaten Tabanan tahun 2011.
Perkembangan kesenian-kesenian di Desa sangat ia perhatikan, buktinya I Gede Made Wiartawan sangat aktif dalam pembinaan-pembinaan kesenian yang ada di Desa, mulai dari dibentuknya sekhe gong remaja, sekhe mandolin, sekhe topeng, dan baru-baru ini dia membuat sebuah pertunjukan Pecalonarangan, dimana dulunya belum pernah ada yang berani membuat pertunjukan calonarang di Desa Pupuan, dialah pendobrak pertama yang membuat pertunjukan calonarang di Pupuan.
Saat ini I Gede Made Wiartawan, S.Sn tercatat sebagai salah satu pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabanan.
MENGAPRESIASI KARYA KARAWITAN ” SATRU MITRA”
Semua mahluk hidup diciptakan untuk hidup saling berdampingan, harmonis satu sama lain. Namun tidak jarang keharmonisan itu sendiri bisa ternodai oleh rasa individualisme yang timbul dari adanya perbedaan pendapat. Disharmoni sering di gambarkan dengan tingkah laku hidup kucing dan tikus dalam edisi film kartun yang ditokohkan sebagai Tom and Jerry. Terinspirasi dari peran tokoh kartun tersebut timbulah sebuah ide untuk menuangkannya kedalam sebuah garapan komposisi karawitan inovatif yang berjudul “Satru Mitra” , dengan mengolah unsur-unsur musikal seperti melodi, ritme dan tempo yang diintegrasikan kedalam Gamelan Baleganjur yang menggunakan dua buah saih reong.
Penata : I Putu Agustana
Nim : 2006.02.006
- Tema Garapan
Mengapresiasi mengenai konsep garapan yang terlihat dari video garapan yang berjudul satru mitra, memang sangat jelas terlihat kesesuaian antara garapan dengan tema garapan. Satru mitra dapat dikatakan sebuah perbedaan berarti juga musuh dalam selimut.Hal tersebut sangat jelas terlihat dari adanya 2 kelompok riong yang berbeda saihnya. Dalam permainan kedua kelompok riong tersebut berjalan dengan tempo yang berbeda, dengan pola melodi yang berbeda pula, tetapi sesekali kedua kelompok riong tersebut terjalin sebagai suatu melodi dalam satu kesatuan yang terdengar sangat harmonis. Hal tersebut menunjukkan ke harmonisan dan ketidak harmonisan yang sesuai dengan judul garapan.
- Tata Panggung
Dari segi komposisi penabuh di atas panggung menekankan pembagian menjadi 2 kelompok, yang dalam permainannya masing-masing kelompok berbeda. Hal tersebut lebih menekankan kesesuaian antara tema garapan dengan bentuk penyajian garapan.
- Tata Cahaya
Dalam video garapan ini sangat jelas terlihat pencahayaan yang kurang bagus, fokus lampu hanya di tengah-tengah panggung, sehingga membuat pemandangan yang tidak bagus saat menonton video ini, kesan gerak yang ditonjolkan jadi tidak terlihat jelas.
Jika memungkinkan sebaiknya dari segi pencahayaan harus jendral atau secara keseluruhan panggung terkena cahaya yang sama, sehingga saat bergerak pun akan terlihat jelas.
- Sound Sistem
Pada video ini sangat jelas terdengar bahwa suara yang paling domina adalah suara cengceng, suara riong yang sebelah kanan lebih keras dari pada yang sebelah kiri, selain itu suara suling sangat kecil. Dari beberapa ketidak seimbangan bunyi tersebut memang membuat garapan tersebut menjadi kurang bagus terdengar, jika didengar saat menonton rekaman videonya.
Entah apa yang menyebabkan ketidak seimbangan bunyi tersebut, tetapi yang paling berpengaruh adalah microphone yang di pergunakan. Dalam video ini hanya terlihat menggunakan 2 buah microphone, yaitu di samping kiri depan dan samping kanan depan.
Dapat dimaklumi juga, karena garapan ini di awalnya penabuh bergerak ke segala tempat, sehingga tidak memungkinkan untuk memfokuskan penempatan microphone. Jika diletakkan secara digantung, mungkin yang paling jelas terdengar hanya suara ceng-ceng saja.
Demikianlah apresiasi video yang berjudul Satru mitra