Gending Rindik ” Nangluk Merana “

Hey hey hey …..

Kembali lagi bersama saya Diki Putra, pada kesempatan kali ini kembali lagi saya mengeluarkan gending rindik dengan judul ” Nangluk Merana “,

mungkin beberapa dari pemirsa bertanya tanya bagaimana kemudian judul itu mencerminkan isi dari sebuah gending rindik ( khususnya ). Dari pengalaman yang saya dapatkan selama terjun di dunia kesenian rindik jika melihat dari judul kemudian memainkan gendingnya sendiri saya kira agak susah kemudian melihat bagaimana konsep dari judul tersebut dituangkan kedalam sajian musik. Jika dilihat dalam karya karya saya sendiri saya menggunakan judul sebagai penanda gending tersebut merupakan gending yang ke berapa di dalam satu album, maksud saya disini adalah di dalam gending gending saya, saya menggunakan sebuah rangkaian kegiatan dalam kehidupan nyata untuk saya jadikan satu album rindik sebagai judul dari masing” gending, jadi misalnya album ini bertopik upacara yadnya maka rangkaian atau proses kegiatan tersebut akan saya gunakan sebagai judul satu persatu hingga selesai.

Berikut adalah bahasan mengenai sebuah upacara nangluk merana.

Musim pancaroba menjadi musim yang identik dengan penyakit dan hal-hal negatif lainnya. Banyak orang mudah sakit dan emosi dengan keadaan cuaca yang berubah-ubah, karena pengaruh energi negatif antara makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) yang saling memengaruhi. “Cuaca sekarang panas, manusia merasa sangat gerah. Inilah yang saya maksud bahwa  makrokosmos memengaruhi mikrokosmos. Begitu pun sebaliknya,” tegas Prof Dr  I Wayan Suka Yasa MSi kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (18/12) lalu.

Dikatakannya, lontar yang berkaitan dengan Nangluk Merana adalah Lontar Roga Sanghara Bumi, yang
membahas tentang penetralisasi, meniadakan bencana, dan hal negatif di muka bumi. “Di lontar ini dikatakan bahwa sasih kanem diramalkan banyak orang akan jatuh sakit, bahkan hingga tidak bisa tertolong. Agar bisa menetralisasi  perlu dibuat upacara macaru. Upacara Nangluk Merana menjadi salah satu upacara untuk menetralisasi kekuatan negatif itu,” sebut dosen yang juga menjadi pemangku di Pura Dalem Banjar Bonian, Desa Antap, Tabanan ini.

Mengadakan upacara Nangluk Merana, lanjutnya  bisa diandaikan seperti sebuah kandang yang berisi sapi. Sapi bisa keluar masuk secara bebas. Jika ingin sapi bisa diatur dan aman dari bahaya diluar, maka dibuat tangluk. Tangluk ini adalah pintu kandang sapi itu. “Dari kata Tangluk inilah Nangluk Merana ini. Jadi, dengan memiliki pintu pada kandang, sapi bisa aman dan terhalang dari hal negatif di luar,” paparnya.

Hal negatif, penyakit, kekuatan buruk dari luar inilah Merana-nya. Sehingga perlu dilakukan upaya untuk menghadang agar Merana tidak menyebabkan kesengsaraan. “Maka sebagai manusia bisa mengadakan upacara Nangluk Merana. Ibaratnya manusia membuat penghalang, supaya bisa menangkal hal negatif pada musim pancaroba atau sasih kanem,” terang pria yang kini menginjak usia kepala enam itu.
Dalam lontar Roga Sanghara Bhumi, lanjutnya, saat sasih kaenem disebutkan  kekuatan negatif itu berkeliaran bebas.
“Melakukan upacara Nangluk Merana diharapkan akan menetralisasi hal negatif tersebut,” imbuhnya.

Senada dengan Prof DR I Wayan Suka Yasa MSi, Bendesa Adat Kuta I Wayan Wasista menerangkan bahwa dilakukannya upacara Nangluk Merana untuk memohon karahayuan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Upacara ini  dilaksanakan rutin setiap tahun oleh Desa Adat Kuta sejak 20 tahun lalu. “Ini kami laksanakan bertepatan dengan sasih kanem yang dipandang sebagai sasih pancaroba. Tepatnya  pada Kajeng Kliwon Uwudan atau  Kajeng Kliwon pertama setelah purnama,” ujarnya.

Dikatakan Wayan Wasista,  Nangluk Merana diikuti 13 banjar di Desa Adat Kuta. Prosesinya dimulai dari catus pata, selanjutnya dilaksanakan mendak (menjemput) Pakuluh Ida Bathara ke Pura Segara. Usai prosesi di segara (laut), masing-masing pelawatan di lingkungan Desa Adat Kuta yang berjumlah tujuh pelawatan barong (termasuk dua pelawatan Kedaton), dimulai proses dari batas kaler (utara) di Banjar Plasa, Pande Mas, dan Pemamoran.

Lalu di sebelah selatan ada di Pura Tanjung Pikatan di Banjar Segara, kemudian di bagian tengah pelawatan dari Puri Dalem Satria Kaleran. Selesai upacara di masing-masing catus pata, di pertigaan ataupun perempatan,  dilanjutkan dengan pelawatan Ratu Ayu menuju Pura Dalem Kahyangan.
Selain warga,  masing-masing hotel di lingkungan Desa Adat Kuta juga melaksanakan upacara tersendiri, sesuai surat edaran dari desa adat. Pihak hotel yang memiliki Pura Parhyangan melakukan upacara mapikeling. Manajemen hotel juga membuat sanggah cukcuk untuk diletakkan di depan hotel. Sanggah cukcuk  dilakukan prosesi alit dan sor, ditambah dengan segehan cacah.
.

Langsung saja cek videonya di Youtube Diki Putra Sentana

Comments are closed.