Perkembangan Jegog Menurut Seniman Jegog Jembrana

Lahirnya gamelan Jegog tidak serta merta luput dari berbagai perubahan mengikuti perkembangan jaman hingga saat ini. Perubahan terjadi baik dari segi bentuk fisik jegog dan pemanfaatan jegog dalam masyarakat. Berbicara masalah perkembangan fisik jegog, menurut I Gede Satria Budhi Utama, awal mula jegog berjumblah tiga instrument yaitu kantilan dua buah dan kuntung atau celuluk satu buah, dengan gamelan berbentuk tingklik atau bamboo bilah dan ada juga yang terbuat dari bahan kayu. Kayu yang digunakan pada saat itu adalah kayu baling dan bamboo yang digunakan adalah bamboo petung, dengan alasan bahan bahan yang dipergunakan pada saat itu sangat muudah didapatkan di hutan Jembrana.
Dudukan daun atau penyangga yang berada dibawah daun guna memberikan efek vibrasi atau menjaga getaran dari daun gamelan jegog pada awalnya menggunakan pelepah pisang yang dihancurkan sedikit hingga sekarang mempergunakan karet dan menghasilkan suara yang lebih baik. Pelawah yang saat ini sudah mempergunakan kayu pada saat itu hanya menggunakan peralatan sederhana yaitu badang dari daun kelapa yang disusun sedemikian rupa walaupun dengan kontruksi yang sederhana namun bisa bidilang kuat pada saat itu hingga pelawah jegog mulai menggunakan kaki kurang lebih pada tahun1960 hingga sekarang.
Seiring berjalannya waktu, mulai dilakukan penambahan instrument pada gamelan jegog. Penambahan instrument tersebut yakni kantilan dan undir. Kenapa menambahkan instrument undir ?, alasannya adalah guna mendukung instrument celuluk atatu kuntung serta menghasilkan suara yang lebih besar dengan oktaf yang lebih rendah atau berfungsi sebagai bass. Penamaan instrument kantil tersebut adalah karena mengambil referensi dari gambelan gong kebyar pada aat itu.
Alasan terjadinya perkembangan sedemikian rupa pada gamelan jegog adalah karena pada masa itu jegog mulai dikenal dan digemari oleh masyarakat Jembrana. Bahkan mereka sangat antusias untuk dapat ikut serta dalam memainkan gamelan jegog itu sendiri. Mengingat jegog lahir dikalangan masyarakat agraris, fungsi jegog kala itu sangat sederhana, disamping untuk mengahalau hama burung di sawah juga sebagai hiburan untuk melepas lelah para petani. Hingga pada saat ini perkembangan jegog sangat pesat terutama pada instrument instrument yang selalu bertambah hingga saat ini menjadi empat belas instrument.
Perkembangan fisik jegog yang begitu signifikan tentu mempengaruhi fungsi jegog oleh masyarakat Jembrana. Dahulunya jegog hanya untuk kenikmatan pribadi oleh sang pencipta Kiang Geliduh sampai akhirnya digunakan untuk alat komunikasi guna mengumpulkan banyak orang. Menurut I Wayan Gama Astawa, penemu Jegog Mebarung atau pementasan jegog yang bersifat kontestasi adalah Kiang Genyor yang berasal dari Desa Kaliakah, kemudian untuk penemu periode Jegog Tempo Dulu ( 1926 – sekarang ) adalah Kiang Suprig yang berasal dari Desa Delod Berawah, pada masa itu jegog dipengruhi unsur politik guna melawan penjajahan, maka lahirlah pementasan DAG ( seorang tokoh yang menggunakan pakaian perang layaknya pasukan Belanda ).
Seorang maestro jegog yang berasal dari Desa Swaragung bernama I Ketut Suwentra dinobatkan sebagai Pekak Jegog karena beliau dikenal sebagai sosok yang berpengaruh besar dalam kepopuleran seni Jegog di Jembrana, beliau juga penemu tari mascot jegog yakni Tari Mekepung. Dewasa ini kesadaran masyarakat yang didukung oleh pemerintah hingga fungsi jegog tidak lagi sebatas hiburan semata, mulai adanya festival jegog baik sebagai iringan tari dan perlombaan perlombaan tabuh jegog kreasi kolaborasi bahkan eksperimental jegog.
Selain perubahan pada fisik dan fungsi gamelan jegog, gaya bermain gamelan jegog juga mendapat perubahan yang tidak bisa kita lupakan begitu saja sejarahnya. I Nyoman Sutama alias Man Klau adalah nama dibalik sosok penemu gaya bermain gamelan jegog dengan tampa menggunakan tempat duduk atau lebih tepatnya bermain gamelan jegog dengan cara berdiri. Gaya tersebut beliau temukan pada saat memainkan tabuh jegog kolaborasi yang sudah mempergunakan instrument kendang, pada saat itu beliau yang bermain kendang dengan duduk di bawah merasa kesulitan untuk melihat aba aba dari si pengugal jegog yang berada pada patus baranga. Pada saat itulah beliau memerintahkan untuk memainkan jegog dengan cara berdiri, untuk tahunnya sendiri seingat beliau adalah pada tahun 1994 dan digunakan sampai dengan sekarang. Selain alasan di atas menurut Man Klau memainkan gamelan Jegog dengan cara berdiri dapat memberikan kesan lebih ekspesif dan enerjik sehingga meberikan nilai lebih dalam sebuah pementasan jegog dan sangat estetis menurut beliau.

Filosofi Tabing Jegog

Secara umum di daerah Jembrana tabing jegog berbentuk segi tiga. Menurut Wayan Gama Astawa, tabing jegog itu berbentuk menyerupai gunungan atau gunung entah itu tinggi ataupun rendah. Kenapa berbentuk gunung ?, kenapa tidak berbentuk segi lima atau segi enam ?, apakah orang Jembrana tidak bisa membuat tabing berbentuk lain ?, pertanyaan pertanyaan tersebut muncul sebagai bentuk penggalian makna yang mendalam pada tabing Jegog itu sendiri. Didalam tabing Jegog yang berbentuk gunungan tersebut terdapat ukiran ukiran yang orang bali biasa menyebutnya dengan ukiran Bunbunan ( tamanan menjalar ), sesungguhnya itu merupakan interpretasi dari pohon pohon atau tumbuhan tumbuhan yang ada pada sebuah gunung sehingga dapat juga dikatakan sebagai hutan. Berbicara mengenai bunbunan, menurut I Gede Satria Budhi Utama, jika kita masuk kedlam ilmu ornamentasi bali, dasar dari penciptaan ukiran bunbunan sendiri adalah alam yang distilirisasi ( perubahan bentuk tapi tidak menghilangkan ciri khas dari bentuk yang diambil ). Kembali lagi mengapa memilih gunung, menurut I Wayan Gama Astawa alasannya adalah gunung merupakan symbol kesejahteraan, dan gunung juga bersifat religious, karena dalam beberapa ajaran Agama Hindu diketahui bahwa gunung atau hutan (wana prasta) tempat bersemayamnya para dewa.
Gunung didalam konteks kehidupan dipercayai sebagai sumber kesejahteraan dan mempunyai nilai keindahan juga mengandung unsur kehidupan. Alasan alasan tersebut tidak lain adalah didasari oleh ajaran Tri Hita Karana dalam konteks Palemahan ( hubungan manusia dengan alam ), agar konsep cinta terhadap alam selalu ditumbuhkan oleh manusia.
Didalam tabing Jegog tentu tidak hanya terdapat ukiran bunbunan seperti yang dijelaskan diatas. Dalam beberapa tabing Jegog juga terdapat ukiran tapel yang berbentuk Rangda (bergigi rata) atau Sae (bergigi runcing), terutama pada tabing instrument patus barangan dan instrument jegogan. Dalam beberapa gamelan Jegog juga menggunakan tapel barong. Penggunaan tapel tapel seperti itu adalah untuk mendapatkan unsur religious dalam gamelan Jegog itu sendiri.
Keberadaan gamelan di Bali tidak akan pernah lepas dengan unsur kemagisan, magis dalam konteks sakralisasi maupun magis dalam konteks memberikan sugesti atau permainan tingkat energi pikiran kepada pemain atau seniman Jegog itu sendiri. Hal hal tersebut kembali lagi didasari oleh konsep Tri Hita Karana dalam konteks Prahyangan ( hubungan manusia dengan Tuhan ), dalam manifestasi Tuhan dengan mengambil bentuk Rangda dan Barong, rangda merupakan wujud dari Dewi Durga dan Barong merupakan wujud dari Banas Patiraja. Selain pada tabing, terdapat juga ornamentasi pada pelawah jegog yang menggunakan togog (patung), ada togog yang berbentuk rangda ada pula togog yang berbentuk baladewa, bahkan berbentuk dewa dan asura (raksasa) sekalipun. Alasannyya pula tidak lepas dari tujuan untuk mendapatkan unsur magis dari gamelan Jegog itu sendiri. Tidak jarang juga didapati togog yang berbentuk punakawan dalam pewayangan yaitu, sangut, delem, mredah, dan tualen.
Menurut I Gede Satria Budhi Utama, berbicara masalah kehidupan yang bertitik focus pada manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Didalam kehidupan ini terdapat berbagai karakter yang tertuang pada tokoh tokoh pewayangan punakawan itu sendiri, meski memiliki karakter yang berbeda beda tetapi mereka memiliki tujuan yang sama yakni mengabdikan dirinya dengan tulus iklas kepada tuannya. Lalu apa hubungan punakawan ini dengan Jegog, kembali lagi berbicara tentang kehidupan, di dalam kehidupan ini terdapat berbagai karakter antara lain ada baik, buruk, tulus, dan tidak tulus. Jadi benang merahnya adalah kesenian Jegog ini merupakan gambaran pengabdian secara tulus iklas oleh pendukung jegog yaitu masyarakat Jembrana kepada daerah Jembrana.

Tutorial Memilih Bambu Untuk Membuat Daun Gamelan Rindik

Hey hey hey

Om Suastiastu semeton pecinta rindik Bali
Jumpa lagi kita di hari yang berbahagia ini, jadi pada kesempatan kali ini saya akan membahas mengenai bagaimana cara mencari atau memilih bambu untuk dijadikan daun gamelan rindik. Jadi memilih bambu yang akan digunakan sebagai daun gamelan rindik tidak bisa sembarangan semeton, karena tidak semua jenis bambu bisa digunakan untuk membuat daun gamelan, hanya ada beberapa jenis bambu saja yang bisa digunakan untuk membuat daun gamelan dan juga bambu yang boleh digunakan untuk membuat daun gamelan pun masih ada proses pemilihannya atau penyortirannya.

Bambu adalah tanaman yang beruas dan berongga di bagian batangnya yang merupakan tanaman anggota jenis rerumputan atau rumput-rumputan. Tanaman ini mempunyai banyak jenis atau tipe.

Selain memiliki banyak jenis, tanaman ini juga memiliki banyak sebutan lain di daerah-daerah tertentu, seperti aur, awi, eru, dan buluh. Selain definisi tersebut, tanaman ini juga memiliki beberapa definisi atau pengertian yang lain.

Bambu adalah tumbuhan berumpun yang memiliki akar serabut, memiliki batang bulat berongga, keras, tinggi, dan beruas yang biasanya digunakan sebagai bahan bangunan dan beberapa perabotan rumah tangga seperti kursi, mebel, dan sebagainya.

Tanaman ini diklasifikasikan lebih dari 10 genus, salah satu yang banyak ditemui adalah dari genus Bambusa. Tanaman ini merupakan tanaman yang memiliki laju pertumbuhan tertinggi di dunia. Pada Periode Cretaceous, tanaman ini pernah mengalami pertumbuhan besar-besaran di wilayah Asia.

Seperti jenis tumbuhan pada umumnya, tanaman ini memiliki beberapa karakteristik atau ciri khas yang membedakannya dengan jenis tumbuhan yang lain. Karakteristik tersebut antara lain melekatnya sistem rhizoma-dependen pada tumbuhan ini.

Sistem unik tersebut merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki oleh tanaman ini yaitu masa pertumbuhan yang relatif lebih cepat dibandingkan tumbuhan pada umumnya. Tanaman ini mampu mengalami pertambahan dimensi sepanjang 24 inchi atau sekitar 60 cm dalam satu hari.

Bahkan jika kondisi tanah dan iklim tempat tumbuhnya bersahabat, tanaman ini mampu mengalami pertumbuhan lebih dari itu. Tanaman ini memiliki struktur morfologi tertentu baik untuk bagian batang, daun, akar maupun tunasnya yang dikenal dengan istilah rebung.

Batangnya memiliki bentuk silinder memanjang yang terdiri atas beberapa ruas. Batang ini muncul dari akar-akar rimpang yang kemudian pada saat umurnya sudah mulai menua, batangnya cenderung berongga dan berubah menjadi keras.

Batang tumbuhan ini umumnya dibungkus oleh daun-daun yang biasa disebut pelepah batang yang akan berguguran ketika mulai menua. Di bagian ujung pelepah batang tersebut terdapat subang yang merupakan perpanjangan dari batang yang berbentuk menyerupai segitiga.

Tanaman ini umumnya memiliki tinggi sekitar 0,3 meter hingga 30 meter dengan diameter batang berkisar antara 0,25 cm hingga 25 cm yang ketebalan dindingnya mencapai 25 mm.

Daun tanaman ini merupakan jenis daun lengkap yaitu daun yang memiliki pelepah daun, helaian daun, dan tangkai daun. Pertulangan daun sejajar, dimana terdapat satu tulang daun berukuran besar di bagian tengah daun dengan tulang daun berukuran kecil di sekitarnya yang tampak tersusun sejajar satu sama lain.

Ujung daun berbentuk runcing, tepi daun rata, bangun daun lanset, dan daging daun bertekstur menyerupai kertas. Permukaan daun bagian atas memiliki warna hijau yang lebih terang dibandingkan dengan permukaan daun bagian bawah yang cenderung berwarna hijau gelap.

Perbedaan tekstur permukaan bagian atas dan bagian bawah juga dapat dilihat dari bulu yang menyelimutinya. Permukaan daun bagian atas memiliki bulu yang lebih halus dibanding bagian bawah yang memiliki bulu bertekstur kasar.

Akar bambu memiliki sistem percabangan tertentu yang berbeda antara jenis satu dengan jenis dengan lainnya. Akar tanaman ini merupakan akar rimpang yang ujungnya memiliki bentuk yang lebih lebar dibandingkan dengan bagian pangkalnya, atau dapat dikatakan memiliki bentuk yang meruncing ke arah pangkal, dan setiap ruasnya memiliki akar dan kuncup.

Kuncup yang terdapat pada akar inilah yang nantinya akan berkembang menjadi rebung dan akan memanjat ke atas menjadi buluh.

Rebung merupakan tunas bambu yang muncul dari dasar rumpun tepatnya dari kuncup akar rimpang yang sudah tua. ( Foresteract, 7 mei 2021 )

Jadi itulah penjelasan tentang bambu semeton selanjutnya kita akan memilih jenis bambu yang bisa digunakan untuk membuat daun gamelan. Di Bali sendiri bambu yang bisa digunakan untuk mebuat daun gamelan adalah bambu santong, bambu jajang, bambu hitam, dan bambu tutul. Namun kali ini kita akan bahas mengenai bambu tutul karena memiliki corak yang indah dan memiliki suara yang bagus ketika digunakan untui membuat daun gamelan.

Bambu Tutul merupakan salah satu bambu yang unik karena tampilannya. Spesies bambu dengan nama latin Bambusa Maculata ini sangat khas dengan pola seperti totol di seluruh permukaannya. Bambu ini dapat bertahan hidup pada wilayah dingin asalkan dengan suhu tidak kurang dari -2°C. Sehingga tumbuhan ini dapat dibudidayakan di dataran rendah maupun pegunungan dan di wilayah tropis maupun sub tropis.

Dalam mencari bambu tutul untuk membuat daun gamelan ada beberapa hal yang perlu diperhitungkan seperti, harus memilih bambu yang sudah tua, diameter bambu kurang lebih satu genggam 4 jari atau sekitar 15cm, bambu harus memiliki bentuk lingkaran yang baik atau simetris dan tidak oval, bambu yang digunakan tidak boleh bambu tunggul atau bambu yang hidup tapi tidak memilili ujung, bambu yang mati karena longsor juga tidak bisa dipakai.

Memotong bambu untuk membuat daun gamelan rindik pun ada caranya, pertama ketika bambu sudah ditebang selanjutnya bambu akan dopotong per 3 atau tiga ruas, dengan cara memotong tepat diatas ruas setelah ruas kedua atau ketiga dari bawah. Setelah bambu dipotong selanjutnya sekat sekat pada ruas dalam bambu harus dihilangkan namun ruas baling ujung harus tetap dibiarkan, hal tersebut dilakukan karena setelah ini bambu maris harus melalui proses penjemuran dan akan diisi air penuh di dalam bambu, hal ini dilakukan untuk membunuh hama ulat bambu yang ada di dalam bambu dan juga menjada suhu dalam bambu agar tidak pecah ketika dijemur dibawah sinar matahari langsung, penjemuran ini dilakukan sekitar dua minggu dan kemudia air bisa dibuang dan bambu di diamkan di tempat teduh dan tunggu hingga bambu kering dan berwarna coklat baru bisa digunakan untuk membuat daun gamelan.

Gending Rindik ” Nangluk Merana “

Hey hey hey …..

Kembali lagi bersama saya Diki Putra, pada kesempatan kali ini kembali lagi saya mengeluarkan gending rindik dengan judul ” Nangluk Merana “,

mungkin beberapa dari pemirsa bertanya tanya bagaimana kemudian judul itu mencerminkan isi dari sebuah gending rindik ( khususnya ). Dari pengalaman yang saya dapatkan selama terjun di dunia kesenian rindik jika melihat dari judul kemudian memainkan gendingnya sendiri saya kira agak susah kemudian melihat bagaimana konsep dari judul tersebut dituangkan kedalam sajian musik. Jika dilihat dalam karya karya saya sendiri saya menggunakan judul sebagai penanda gending tersebut merupakan gending yang ke berapa di dalam satu album, maksud saya disini adalah di dalam gending gending saya, saya menggunakan sebuah rangkaian kegiatan dalam kehidupan nyata untuk saya jadikan satu album rindik sebagai judul dari masing” gending, jadi misalnya album ini bertopik upacara yadnya maka rangkaian atau proses kegiatan tersebut akan saya gunakan sebagai judul satu persatu hingga selesai.

Berikut adalah bahasan mengenai sebuah upacara nangluk merana.

Musim pancaroba menjadi musim yang identik dengan penyakit dan hal-hal negatif lainnya. Banyak orang mudah sakit dan emosi dengan keadaan cuaca yang berubah-ubah, karena pengaruh energi negatif antara makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) yang saling memengaruhi. “Cuaca sekarang panas, manusia merasa sangat gerah. Inilah yang saya maksud bahwa  makrokosmos memengaruhi mikrokosmos. Begitu pun sebaliknya,” tegas Prof Dr  I Wayan Suka Yasa MSi kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (18/12) lalu.

Dikatakannya, lontar yang berkaitan dengan Nangluk Merana adalah Lontar Roga Sanghara Bumi, yang
membahas tentang penetralisasi, meniadakan bencana, dan hal negatif di muka bumi. “Di lontar ini dikatakan bahwa sasih kanem diramalkan banyak orang akan jatuh sakit, bahkan hingga tidak bisa tertolong. Agar bisa menetralisasi  perlu dibuat upacara macaru. Upacara Nangluk Merana menjadi salah satu upacara untuk menetralisasi kekuatan negatif itu,” sebut dosen yang juga menjadi pemangku di Pura Dalem Banjar Bonian, Desa Antap, Tabanan ini.

Mengadakan upacara Nangluk Merana, lanjutnya  bisa diandaikan seperti sebuah kandang yang berisi sapi. Sapi bisa keluar masuk secara bebas. Jika ingin sapi bisa diatur dan aman dari bahaya diluar, maka dibuat tangluk. Tangluk ini adalah pintu kandang sapi itu. “Dari kata Tangluk inilah Nangluk Merana ini. Jadi, dengan memiliki pintu pada kandang, sapi bisa aman dan terhalang dari hal negatif di luar,” paparnya.

Hal negatif, penyakit, kekuatan buruk dari luar inilah Merana-nya. Sehingga perlu dilakukan upaya untuk menghadang agar Merana tidak menyebabkan kesengsaraan. “Maka sebagai manusia bisa mengadakan upacara Nangluk Merana. Ibaratnya manusia membuat penghalang, supaya bisa menangkal hal negatif pada musim pancaroba atau sasih kanem,” terang pria yang kini menginjak usia kepala enam itu.
Dalam lontar Roga Sanghara Bhumi, lanjutnya, saat sasih kaenem disebutkan  kekuatan negatif itu berkeliaran bebas.
“Melakukan upacara Nangluk Merana diharapkan akan menetralisasi hal negatif tersebut,” imbuhnya.

Senada dengan Prof DR I Wayan Suka Yasa MSi, Bendesa Adat Kuta I Wayan Wasista menerangkan bahwa dilakukannya upacara Nangluk Merana untuk memohon karahayuan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Upacara ini  dilaksanakan rutin setiap tahun oleh Desa Adat Kuta sejak 20 tahun lalu. “Ini kami laksanakan bertepatan dengan sasih kanem yang dipandang sebagai sasih pancaroba. Tepatnya  pada Kajeng Kliwon Uwudan atau  Kajeng Kliwon pertama setelah purnama,” ujarnya.

Dikatakan Wayan Wasista,  Nangluk Merana diikuti 13 banjar di Desa Adat Kuta. Prosesinya dimulai dari catus pata, selanjutnya dilaksanakan mendak (menjemput) Pakuluh Ida Bathara ke Pura Segara. Usai prosesi di segara (laut), masing-masing pelawatan di lingkungan Desa Adat Kuta yang berjumlah tujuh pelawatan barong (termasuk dua pelawatan Kedaton), dimulai proses dari batas kaler (utara) di Banjar Plasa, Pande Mas, dan Pemamoran.

Lalu di sebelah selatan ada di Pura Tanjung Pikatan di Banjar Segara, kemudian di bagian tengah pelawatan dari Puri Dalem Satria Kaleran. Selesai upacara di masing-masing catus pata, di pertigaan ataupun perempatan,  dilanjutkan dengan pelawatan Ratu Ayu menuju Pura Dalem Kahyangan.
Selain warga,  masing-masing hotel di lingkungan Desa Adat Kuta juga melaksanakan upacara tersendiri, sesuai surat edaran dari desa adat. Pihak hotel yang memiliki Pura Parhyangan melakukan upacara mapikeling. Manajemen hotel juga membuat sanggah cukcuk untuk diletakkan di depan hotel. Sanggah cukcuk  dilakukan prosesi alit dan sor, ditambah dengan segehan cacah.
.

Langsung saja cek videonya di Youtube Diki Putra Sentana

Tabuh Kreasi ” TapaK Dara “

TABUH KREASI

Komposisi Kreasi baru adalah sebuah komposisi karawitan yang diaransir baru kendatipun materi tradisi masih sangat kental dan menonjol, karena yang di inovasi lebih bersifat ornamentasi untuk menampilkan nuansa baru, sedangkan aspek musikal lainnya masih menggunakan materi tradisi secara umum. Dalam bentuk komposisi ini masih sangat kental nuansa tradisinya dan sifat konfensionalnya masih sangat kuat.

Setiap individu seniman khususnya komposer musik barang tentu memiliki karakter atau ciri khasnya masing – masing, saya sebagai generasi penerus dalam dunia karawitan bali juga ingin memiliki ciri khas tersendiri. bahasan ini menuai pro dan kontra di dalam diri saya sendiri, saya menemukan satu pertanyaan tentang seniman musik berciri khas atau lebih tepatnya tentang penting kah ciri khas dalam sebuah karya musik ?, terjadi kepelikan yang membuat saya berfikir berulang kali dalam memecahkan masalah tersebut. sebuah argumen mengatakan bahwa jika karya seorang seniman musik dapat dikenali dengan cara hanya didengar maka karya tersebut sudah dapat dikatakan membawa ciri khas dari si pencipta karya tersebut, kemudian apa bila demikian bukankah berarti seniman itu tidak memiliki kreatifitas yang luas jika karyanya hanya begitu begitu saja atau monoton ?, saya belum dapat menjawab persoalan tersebut, selanjutnya saya kembali berfikir bahwa konsistensi dalam berkarya itu juga penting, konsistensi yang saya maksud disini adalah tetap menggunakan cara cara berkarya sesuai dengan apa yang sudah menjadi kekayaan pribadi kita agar tidak banyak menggunakan cara cara kerja orang lain untuk menciptakan sebuah karya seni di bidang musik karena dapat mengurangi nilai originalitas. Mungkin pembaca dapat membantu saya dalam memecahkan persoalan diatas, selanjutnya saya akan menjelaskan tentang sebuah karya komposisi musik yang saya buat dibawah ini.


“ TAPAK DARA “
Pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan tentang karya komposisi tabuh kreasi yang telah saya buat secara musikalitasnya secara keseluruhan. Sebelum membahas tentang tehnis musikalitasnya terlebih dahulu saya kira penting untuk membahas tentang strukturnya terlebih dahulu, struktur yang digunakan pada komposisi ini secara umung bisa dikatakan hampir sama dengan tabuh kreasi pada umumnya yaitu, pengawit, pengawak, dan pengecet. Pada bagian pengawit menggunakan motif gineman ( jalinan melodi terputus putus ), bagian pengawak menggunakan motif gegenderan, dan bagian pengecet menggunakan motif motif tertentu yang saya kreasikan sendiri.
Selanjutnya kita lihat bagian per bagian yang dimana pada bagian pertama atau pengawit ini menggunakan motif gineman. Motif gineman pada komposisi kreasi yang saya buat ini menonjolkan kesatuan instrument seperti kendang, riong, dan ganggsa, selain menonjolkan pola pola instrumental juga tidak jarang terdapat beberapa kali seluruh instrument terlibat didalamnya, pada saat seluruh instrument dimainkan secara bersamaan atau bisa dibilang motif kebyar, saya juga mengisi aksentuasi dari kendang dan kecek yang cukup menonjol. Selain hal – hal tersebut, dinamika juga sangat saya perhatikan pada bagian ini, terdapat dua kali jalinan melodi dengan menggunakan tempo pelan yang tentu bertolak belakang dengan tempo sebelumnya.
Seperti yang telah saya jelaskan diatas dimana pada bagian pengawak dari gending ini menggunakan motif gegenderan seperti yang telah diarahkan oleh dosen pengampu mata kuliah. Pada bagian gegenderan ini menggunakan dua nada yang diolah sedemikian rupa sehingga ornamentasi pada instrument gangsa dapat melakukan jalinan melodi lebih luas dari melodi pokok yang dimainkan oleh instrument Jegog dan Jublag. Pada bagian ini dua nada yang diolah adalah terdapat dua pasang nada yaitu nada ndang bersama nada ndeng, dan nada ndung bersama nada nding, hal tersebut adalah penggambaran dari Tapak Dara yang saya maksud apabila dilihat dari pengider buana.
Selanjutnya menuju ke bagian pengecet. Namun sebelum menuju ke bagian pengecet terdapat pula bagian bapang yang menggunakan tempo cenderung cepat dengan menonjolkan beberapa instrument seperti kendang, gangsa, dan riong secara bergiliran dan secara bersamaan. Pada bagian ini terdapat dua pola yang saya gunakan, kedua pola tersebut adalah pola pertama hampir sama dengan pola gegenderan, dan pola kedua menggunakan melodi panjang yang diolah sedemikian diisi dengan ornamentasi dari instrument gangsa dan instrument lainnya. Kedua pola tersebut diulangi dua kali dan kemudian komposisi ini berakhir pada bagian pengecet. Yang menjadi menarik kemudian pada komposisi saya ini adalah pada bagian gegenderan dan bagian pengecet menggunakan tehnik layering, tehnik layering yang saya maksud disini adalah dimana instrument pemade dan kantil menggunakan memainkan melodi yang berbeda pada satu bantang gending yang sama.