Filosofi Tabing Jegog

Secara umum di daerah Jembrana tabing jegog berbentuk segi tiga. Menurut Wayan Gama Astawa, tabing jegog itu berbentuk menyerupai gunungan atau gunung entah itu tinggi ataupun rendah. Kenapa berbentuk gunung ?, kenapa tidak berbentuk segi lima atau segi enam ?, apakah orang Jembrana tidak bisa membuat tabing berbentuk lain ?, pertanyaan pertanyaan tersebut muncul sebagai bentuk penggalian makna yang mendalam pada tabing Jegog itu sendiri. Didalam tabing Jegog yang berbentuk gunungan tersebut terdapat ukiran ukiran yang orang bali biasa menyebutnya dengan ukiran Bunbunan ( tamanan menjalar ), sesungguhnya itu merupakan interpretasi dari pohon pohon atau tumbuhan tumbuhan yang ada pada sebuah gunung sehingga dapat juga dikatakan sebagai hutan. Berbicara mengenai bunbunan, menurut I Gede Satria Budhi Utama, jika kita masuk kedlam ilmu ornamentasi bali, dasar dari penciptaan ukiran bunbunan sendiri adalah alam yang distilirisasi ( perubahan bentuk tapi tidak menghilangkan ciri khas dari bentuk yang diambil ). Kembali lagi mengapa memilih gunung, menurut I Wayan Gama Astawa alasannya adalah gunung merupakan symbol kesejahteraan, dan gunung juga bersifat religious, karena dalam beberapa ajaran Agama Hindu diketahui bahwa gunung atau hutan (wana prasta) tempat bersemayamnya para dewa.
Gunung didalam konteks kehidupan dipercayai sebagai sumber kesejahteraan dan mempunyai nilai keindahan juga mengandung unsur kehidupan. Alasan alasan tersebut tidak lain adalah didasari oleh ajaran Tri Hita Karana dalam konteks Palemahan ( hubungan manusia dengan alam ), agar konsep cinta terhadap alam selalu ditumbuhkan oleh manusia.
Didalam tabing Jegog tentu tidak hanya terdapat ukiran bunbunan seperti yang dijelaskan diatas. Dalam beberapa tabing Jegog juga terdapat ukiran tapel yang berbentuk Rangda (bergigi rata) atau Sae (bergigi runcing), terutama pada tabing instrument patus barangan dan instrument jegogan. Dalam beberapa gamelan Jegog juga menggunakan tapel barong. Penggunaan tapel tapel seperti itu adalah untuk mendapatkan unsur religious dalam gamelan Jegog itu sendiri.
Keberadaan gamelan di Bali tidak akan pernah lepas dengan unsur kemagisan, magis dalam konteks sakralisasi maupun magis dalam konteks memberikan sugesti atau permainan tingkat energi pikiran kepada pemain atau seniman Jegog itu sendiri. Hal hal tersebut kembali lagi didasari oleh konsep Tri Hita Karana dalam konteks Prahyangan ( hubungan manusia dengan Tuhan ), dalam manifestasi Tuhan dengan mengambil bentuk Rangda dan Barong, rangda merupakan wujud dari Dewi Durga dan Barong merupakan wujud dari Banas Patiraja. Selain pada tabing, terdapat juga ornamentasi pada pelawah jegog yang menggunakan togog (patung), ada togog yang berbentuk rangda ada pula togog yang berbentuk baladewa, bahkan berbentuk dewa dan asura (raksasa) sekalipun. Alasannyya pula tidak lepas dari tujuan untuk mendapatkan unsur magis dari gamelan Jegog itu sendiri. Tidak jarang juga didapati togog yang berbentuk punakawan dalam pewayangan yaitu, sangut, delem, mredah, dan tualen.
Menurut I Gede Satria Budhi Utama, berbicara masalah kehidupan yang bertitik focus pada manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Didalam kehidupan ini terdapat berbagai karakter yang tertuang pada tokoh tokoh pewayangan punakawan itu sendiri, meski memiliki karakter yang berbeda beda tetapi mereka memiliki tujuan yang sama yakni mengabdikan dirinya dengan tulus iklas kepada tuannya. Lalu apa hubungan punakawan ini dengan Jegog, kembali lagi berbicara tentang kehidupan, di dalam kehidupan ini terdapat berbagai karakter antara lain ada baik, buruk, tulus, dan tidak tulus. Jadi benang merahnya adalah kesenian Jegog ini merupakan gambaran pengabdian secara tulus iklas oleh pendukung jegog yaitu masyarakat Jembrana kepada daerah Jembrana.

Comments are closed.