Perkembangan Jegog Menurut Seniman Jegog Jembrana
Lahirnya gamelan Jegog tidak serta merta luput dari berbagai perubahan mengikuti perkembangan jaman hingga saat ini. Perubahan terjadi baik dari segi bentuk fisik jegog dan pemanfaatan jegog dalam masyarakat. Berbicara masalah perkembangan fisik jegog, menurut I Gede Satria Budhi Utama, awal mula jegog berjumblah tiga instrument yaitu kantilan dua buah dan kuntung atau celuluk satu buah, dengan gamelan berbentuk tingklik atau bamboo bilah dan ada juga yang terbuat dari bahan kayu. Kayu yang digunakan pada saat itu adalah kayu baling dan bamboo yang digunakan adalah bamboo petung, dengan alasan bahan bahan yang dipergunakan pada saat itu sangat muudah didapatkan di hutan Jembrana.
Dudukan daun atau penyangga yang berada dibawah daun guna memberikan efek vibrasi atau menjaga getaran dari daun gamelan jegog pada awalnya menggunakan pelepah pisang yang dihancurkan sedikit hingga sekarang mempergunakan karet dan menghasilkan suara yang lebih baik. Pelawah yang saat ini sudah mempergunakan kayu pada saat itu hanya menggunakan peralatan sederhana yaitu badang dari daun kelapa yang disusun sedemikian rupa walaupun dengan kontruksi yang sederhana namun bisa bidilang kuat pada saat itu hingga pelawah jegog mulai menggunakan kaki kurang lebih pada tahun1960 hingga sekarang.
Seiring berjalannya waktu, mulai dilakukan penambahan instrument pada gamelan jegog. Penambahan instrument tersebut yakni kantilan dan undir. Kenapa menambahkan instrument undir ?, alasannya adalah guna mendukung instrument celuluk atatu kuntung serta menghasilkan suara yang lebih besar dengan oktaf yang lebih rendah atau berfungsi sebagai bass. Penamaan instrument kantil tersebut adalah karena mengambil referensi dari gambelan gong kebyar pada aat itu.
Alasan terjadinya perkembangan sedemikian rupa pada gamelan jegog adalah karena pada masa itu jegog mulai dikenal dan digemari oleh masyarakat Jembrana. Bahkan mereka sangat antusias untuk dapat ikut serta dalam memainkan gamelan jegog itu sendiri. Mengingat jegog lahir dikalangan masyarakat agraris, fungsi jegog kala itu sangat sederhana, disamping untuk mengahalau hama burung di sawah juga sebagai hiburan untuk melepas lelah para petani. Hingga pada saat ini perkembangan jegog sangat pesat terutama pada instrument instrument yang selalu bertambah hingga saat ini menjadi empat belas instrument.
Perkembangan fisik jegog yang begitu signifikan tentu mempengaruhi fungsi jegog oleh masyarakat Jembrana. Dahulunya jegog hanya untuk kenikmatan pribadi oleh sang pencipta Kiang Geliduh sampai akhirnya digunakan untuk alat komunikasi guna mengumpulkan banyak orang. Menurut I Wayan Gama Astawa, penemu Jegog Mebarung atau pementasan jegog yang bersifat kontestasi adalah Kiang Genyor yang berasal dari Desa Kaliakah, kemudian untuk penemu periode Jegog Tempo Dulu ( 1926 – sekarang ) adalah Kiang Suprig yang berasal dari Desa Delod Berawah, pada masa itu jegog dipengruhi unsur politik guna melawan penjajahan, maka lahirlah pementasan DAG ( seorang tokoh yang menggunakan pakaian perang layaknya pasukan Belanda ).
Seorang maestro jegog yang berasal dari Desa Swaragung bernama I Ketut Suwentra dinobatkan sebagai Pekak Jegog karena beliau dikenal sebagai sosok yang berpengaruh besar dalam kepopuleran seni Jegog di Jembrana, beliau juga penemu tari mascot jegog yakni Tari Mekepung. Dewasa ini kesadaran masyarakat yang didukung oleh pemerintah hingga fungsi jegog tidak lagi sebatas hiburan semata, mulai adanya festival jegog baik sebagai iringan tari dan perlombaan perlombaan tabuh jegog kreasi kolaborasi bahkan eksperimental jegog.
Selain perubahan pada fisik dan fungsi gamelan jegog, gaya bermain gamelan jegog juga mendapat perubahan yang tidak bisa kita lupakan begitu saja sejarahnya. I Nyoman Sutama alias Man Klau adalah nama dibalik sosok penemu gaya bermain gamelan jegog dengan tampa menggunakan tempat duduk atau lebih tepatnya bermain gamelan jegog dengan cara berdiri. Gaya tersebut beliau temukan pada saat memainkan tabuh jegog kolaborasi yang sudah mempergunakan instrument kendang, pada saat itu beliau yang bermain kendang dengan duduk di bawah merasa kesulitan untuk melihat aba aba dari si pengugal jegog yang berada pada patus baranga. Pada saat itulah beliau memerintahkan untuk memainkan jegog dengan cara berdiri, untuk tahunnya sendiri seingat beliau adalah pada tahun 1994 dan digunakan sampai dengan sekarang. Selain alasan di atas menurut Man Klau memainkan gamelan Jegog dengan cara berdiri dapat memberikan kesan lebih ekspesif dan enerjik sehingga meberikan nilai lebih dalam sebuah pementasan jegog dan sangat estetis menurut beliau.