Archive for April, 2013

FENOMENA MUSIK KONTEMPORER

Minggu, April 21st, 2013

FENOMENA MUSIK KONTEMPORER

INDONESIA

 

 1. Pendahuluan

 

Sebagian masyarakat mendefinisikan kebudayaan dalam arti sempit.mereka mengira kebudayaan itu hannya kesenian dalam wujud tarian. Kenyataan seperti itu ternyata masih berlangsung terus hingga saat ini,walaupun dalam arti sesungguhnya pengertian atau definisi kebudayaan tidaklah seperti itu. Di dalam satu kebudayaan terdapat unsur-unsur didalamnya, meliputi: system kepercayaan (system religi), system pengetahuan, peralatan hidup manusia, mata pencaharian atau system ekonomi hidup manusia, system kemasyarakatan, bahasa dan yang terakhir adalah kesenian.

Kesenian sebagai unsur kebudayaan mempunyai wujud, fungsi dan arti di dalam kehidupaan masyarakat. Kesenian terjadi melalui proses kreativitas yang konstruktif. Dengan kreativitas yang konstruktif, memungkinkan seniman untuk meningkatkan kualitas kehidupannya melalui interaksi dengan lingkungan fisik, sosial, intelektual, dan spiritual. Kreativitas dalam karya seni berkaitan dengan tiga unsur kesempuraan dunia yaitu logika, etika, dan estetika. Dalam hal ini bentuk-bentuk kesenian yang tersebar di seluruh dunia khususnya di tanah air menunjukkan corak-corak dan karakter yang beraneka ragam. Corak dan karakter tersebut muncul karena banyak dipengaruhi oleh sifat atau karakter budaya setempat, darimana masyarakat berasal atau bertempat tinggal. Kesenian terjadi melalui proses kreatifitas yang konstruktif. Dengan kreatifitas yang konstruktif memungkinkan seniman untuk meningkatkan kualitas hidupnya melalui interaksi dengan lingkungan fisik, social, intelektual dan spiritual. Seni berkaitan dengan eksspresi jiwa yang dengan kesadarannya sendiri menciptakan bentuk-bentuk dengan berbagai media ungkapnya. Salah satu wujud kesenian tersebut adalah music kontemporer.

Seorang mantan murid Slamet menulis tentang “Musik Kontemporer Abad ke-20” dia seorang komponis muda, penulis, kritikus music bernama Franki Raden, memaparkan music kontemporer berdasarkan kajian sejarah, ditemukan olehnya, Raden (1994; 6 )

bahwa:

 

Musik kontemporer Indonesia adalah sebuah fenomena yang lahir sebagai

Produk  budaya  masyarakat Indonesia yang hidup di  abad  ke-20. Gejala

Ini  muncul  akibat  pertemuan  antara  dua  tradisi, yaitu budaya Indonesia

Dengan subkulturnya dan budaya Eropa. Pertemuan tersebut merangsang

Masyarakat  Indonesia untuk menggunakan music  sebagai ekspresi yang

Personal. Musik  tidak  merupakan  cermin  dari pandangan  hidup sebuah

Komunitas, akan tetapi pandangan  hidup seorang  individu dengan segala

unikumnya.

 

Istilah music kontemporer dewasa ini sudah sangat sering dipergunakan oleh para insan music Indonesia termasuk di Bali. Namun harus diakui bahwa pengertian music kontemporer yang tunggal dan bulat mungkin tidak akan pernah ada, karena ia lebih menunjuk pada prinsip-prinsip kecenderungan fenomenologis yang terlalu heterogen sehingga cirinya bukan pada kebakuan format melainkan idealism yang selalu berkembang. Secara etimologis kata kontemporer menunjuk pada arti “saat sekarang” atau sesuatu yang memiliki sifat kekinian. Kata tersebut bukan berarti sesuatu yang terputus dari tradisi, melainkan sesuatu yang tercipta sebagai hasil perkembangan tradisi sampai saat ini. Kata kontemporer kendatipun harus diakui diadopsi dari bahasa Inggris (Barat) contemporary, namun tidak relevan jika kita selalu menghubungkan karya-karya kita semata-mata dari sudut pandang music kontemporer Barat. Terminologi kontemporer Barat inipun di ”Barat” tidak  bisa menjelaskan, kendatipun banyak diantara mereka yang mencoba mereka-reka.

(Harjana, 2004:187)

 

2.MASALAH

a.Sulitnya music kontemporer diterima dikalangan masyarakat umum.

b.Sulitnya pemahaman tentang isi dari suatu pementasan music kontemporer.

d.apakah music kontemporer bisa dinikmati tanpa diimbangi dengan visual?

 

3.PEMBAHASAN

3.a. Sulitnya music kontemporer diterima di kalangan masyarakat umum.

Di abad ke-20 ini banyak para seniman muda menciptakan karya-karya music kontemporer, hal ini desebabkan oleh berbagai factor misalnya, teori-teori klasik yang sedikit baku tampaknya tidak mampu mewadahi tuntutan jaman dan selera budaya masa kini, karena hamper selalu mematok sebuah pemahaman budaya’harus ini’ dan ‘harus itu, padahaal jika dicermati keharusan dan kemutlakan semacam ini seringkali tak mampu melacak kebenaran fenomena budaya itu sendiri, melainkan hannya sekeedar kamuflase. Seni music kontemporer berpendapat bahwa keindahan atau estetika tidak pernah terbayangkan.

karena sifat music kontemporer itu bebas,hal ini menyebabkan para seniman lebih bebas berekspresi untuk mengambangkan kreatifitasnya. Sarana dalam penyajian music kontemporer tidak hannya terpaku pada alat music melainkan bisa menggunakan sarana yang non alat music seperti,batu,alat dapur,meja.kursi dll. Hal ini yang menyebabkan terkadang aransemen dalam music kontemporer menjadi aneh dan sulit dicerna oleh semua penonton dalam pertunjukan terebut, dan berbagai pendapatpun timbul di masyarakat tentang music kontemporer mulai dari pendapat positif maupun negative.Pendapat negative tersebut muncul karena kurangnya akan pemahaman terhadap music kontemporer. Masyarakat pada umumnya lebih gampang untuk menikmati music tradisi karena dalam kesehariannya music tradisi lebih sering didengar pada upacara-upacara agama sehingga tidak asing lagi bagi telinga setiap orang.

Dalam masalah ini hendaknya para musisi kontemporer harus lebih sering mengadakan acara-acara yang mementaskan pertujukan kontemporer agar masyarakat lebih mengenal music kontemporer dan bisa semakin menerimanya sebagai sebuah sajian music yang terlahir dari perkembangan music tradisi dengan harapan music kontemporer bisa dinikmati oleh semua kalangan.

 

b.Sulitnya pemahaman tentang isi dari suatu pementasan music kontemporer

Sulitnya pemahaman tentang isi dari suatu pementasan music kontemporer yang dewasa ini tengah berkembang di lingkungan masyarakat kita bisa desebabkan oleh beberapa factor,salah satunya adalah daya musikalitas yang dimiliki oleh setiap individu yang berbeda, Lingkungan juga dapat mempengaruhi selera music seseorang berdasarkan kebiasaan sebuah komunitas mendengarkan suatu aliran music. Hal ini pula yang menyebabkan music kontemporer terkadang membuat penonton kebingungan ketika ia sedang menyaksikan pertunjukan tersebut.

Pada tahun 2005, music kontemporer yang berjudul “Gerausch” karya Sang Nyoman Putra Arsawijaya adalah satu contoh eksplorasi radikal music kontemporer Bali. Dalam karya seperti ini penonton tidak dimanjakan dengan suara merdu, mengalun, seshingga mereka terbuai, melainkan diajak mengambangkan imajinasi, melatih kepekaan dan kesabaran, sehingga pada akhirnya  setiap penikmat akan memiliki kesan yang berbeda-beda. Mempertanyakn sekaligus menghujat, mencaci maki, atau mungkin ada juga yang berusaha memahami, mencari makna dari apa yang mereka saksikan adalah wacana yang memang diinginkan dari karya seperti ini. Disinilah letak kesabaran dan inteligensia manusia di uji.

Karya ini sempat memunculkan polemik kecil di kalangan kampus. Berkembang wacana “apakah ini tergolong music atau tidak, termasuk karya karawitan atau bukan?” namun dengan pemahaman yang cukup a lot dari kalangan masyarakat kampus, akhirnya karya kontroversial inipun telah mengantarkan Sang composer memperoleh gelar S1 komposisi karawitan. Apa yang sebenarnya dijadikan titik tolak menilai suatu karya seni, pemahaman konsep dan paradigma yang sesuai dengan perubahan jaman diharapkan mampu menjelaskan fenomena yang ada. Itulah ciri music kontemporer “kontroversial” adalah ciri keberhasilannya.

Fenomena di atas semakin mencirikan sulitnya pemahaman dari makna sebuah sajian music kontemporer, semua itu karena konsep music kontemporer adalah suatu pengembangan music yang tentunya dalam pemahamannya masih memerlukan waktu. Bila suatu music telah dipahami oleh berbagai kalangan maka hadirlah sebuah music yang baru yang membutuhkan waktu untuk dipahami kembali,karena music kontemporer bersifat kekinian dan dalam perkembangannya bagai itu pasti akan terjadi kontroversi dan bergai pendapat akan muncul seiring perkembangan music di dunia khususnya di Indonesia.

 

c.Apakah music kontemporer dapat dinikmati tanpa diimbangi tanpa visual?

Dapat kita lihat sendiri sebagian besar setiap pementasan music kontempoer pasti selalu disajikan dalam suatu parody yang mengikat garapan tersebut. Misalnya bercerita tentang pemahat, pegawai, dll. Ini sangat mendukung sajian tersebut agar nantinya dapat dimengerti oleh penonton. Tapi belakangan timbul pertanyaan “ Apakah bisa music kontemporer disajikan tanpa parody?”. Tentu saja hal ini sangat bergantung pada kemampuan composer music itu sendiri, sajian music yang digarap hendaknya sesuai dengan tujuan. Apa yang mempaengaruhi gaya cipta seorang composer kontemposer secara awal dapat diasumsikan karena orientasi ekspresif senimannya. Namun kenapa dan apa yang diinginkan seniman dalam menciptakan karya, inilah sesuatu yang perlu ditelusuri. Selain secara internal dari dalam diri seniaman, penciptaan sebuah karya seni sering juga dipengaruhi factor-faktor eksternal seperti misalnya trend dan paradigm baru dalam memandang seni.

Music kontemporer seharusnya bisa dinikmati tanpa visual,karena kaidah music adalah sesuatu yang didengar berbeda dengan tari. Banyak factor yang menyebabkan sulitnya music kontemporer dinikmati hannya dengan didengarkan saja. Selain karena alat yang dipakai berbeda dengan alat pada umumnya, komposisi music kontemporer pada kebanyakan berbeda dan aneh,hal ini disebabkan konsep music kontemporer yaitu mengarah ke sebuah konsep untuk menggolongkan karya-karya yang selalu disemangati pencaharian kemungkinan baru, menekankan sifat anti pada kaidah-kaidah kokpositosris, bahkan anti pada bentuk-bentuk penyajian musical yang mapan. Dari sudut pandang konsep kreatifitas music kontemporer dimengerti sebagai music baru yang dibuat dengan kaidah dan suasana yang baru. Paham mengenai music tidak lagi terbingkai pada sesuatu yang enak didengar saja, melainkan berkembang pada gagasan menampilkan proses eksplorasi bunyi sebagai yang utama dan medium ekspresi yang tak terbatas agar dapat mewadahi gagasannya. Dengan konsep ini akan memberikan kebebasan pada penciptanya berintepretasi berdasarkan pengalaman batinnya masing-masing namun justru dengan bentuknya yang sangat bebas membuat penikmat kehilangan pegangan untuk bisa menikmati music, sekaligus memahami unsur-unsur kebebasan yang ditawarkan sang composer.

Dengan permasalahan ini nampaknya sulit dihindari, jalan satu-satunya adalah setiap orang harus menyukai music kontemporer agar dapat menikmati tanpa visual. Jadi membuat orang untuk bisa menikmati music kontemporer tanpa visual tentunya sangat tidak mungkin, atau bisa dikatakan mustahil karena pada dasarnya selera setiap orang pasti berbeda-beda.

 

4.PENUTUP

Dari seluruh uraian di atas,wacana tentang “FENOMENA MUSIK KONTEMPORER INDONESIA” belum bisa dipahami secara tergesa-gesa. Hal ini disebabkan karena berbagai factor seprti : Sumber daya manusia. Daya musikalitas seseorang yang berbeda dan selera individu yang berbeda. Perlu waktu dan usaha keras untuk bisa membuat music kontemporer bisa diteria dan dimengerti oleh semua kalangan, untuk tujuan tersebut sangat dibutuhkan suatu sarana yang bisa mengayomi fenomena ini,dan perlu digiatkan adanya event-event guna mempopulerkan music kontemporer di Indonesia, khususnya di Bali.

 

 

 

 

 DAFTAR PUSTAKA

 

Arsawijaya, Sang Nyoman Putra. 2005. Gerausch, Skrip Karawitan untuk memenuhi

syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana (S1) pada Institut Seni Indonesia

Denpasar.

 

Bandem, I Made, 1986. Prakempa, Sebuah Lontar Gambelan Bali, Denpasar:

Akadememi Seni Tari Indonesia.

 

Harjana, suka.2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu Dan Kini, Jakarta: The

Ford Fondation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indinesia.

 

Sugiartha I Gede Arya, 2009. Estetika Music Kontemporer Bali, makalah disajikan            dalam semianar akademik dalam rangka dies natalis ISI Denpasar.

 

Hubungan Ogoh- Ogoh Dan Nyepi

Minggu, April 21st, 2013

BAB I

Pendahuluan

 

1.1 Latar Belakang Lahirnya Hari Raya Nyepi

Menurut agama Hindu, alam semesta ini pada mulanya adalah kosong, sunya, tidak ada apa-apanya. Gelap gulita. Maka, tibalah suatu permulaan dari penciptaan, sebutir telur dalam Hiranyagharba sakti merupakan benih pertama segala apa yang terciptakan, disebut Mahadivya, pada awal yuga pertama. Inilah cahaya Brahman, Mahatman pertama, kekal abadi, tiada terlukiskan, cemerlang memancar ke mana-mana, ke seluruh penjuru. Ini adalah asal mula paling halus alam benda jasmaniah dan alam bukan benda atau rohaniah. Dari telur cahaya Brahman ini terlahir Pitamaha, satu-satunya makhluk disebut Prajapati pertama. Kemudian,  setelah Brahman, Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), tercipta sendiri cahaya suci Wiwaswan atau Sambhu. Demikianlah kemudian Brahman menciptakan surga, ujung surga, planet, angkasa, bulan, udara, ether, air, bumi, kemudian tahun, musim, sasih (bulan), paksha (tilem dan purnama), siang dan malam. Demikianlah tercipta segala-galanya, kecuali manusia. Wiwaswan atau Sambhu sebagai personifikasi Matahari menerima wahyu dari Brahman untuk menciptakan manusia pertama, yaitu Manu. Sambhu, yang menerima wahyu dari Brahman, Hyang Widhi, mengajarkan kepada manusia ajaran-ajaran suci dalam bentuk Veda-Desa. Manu-lah manusia pertama di bumi. Bumi kita diperkirakan sudah berusia 4.320.0000 tahun. Segala sesuatunya dalam alam semesta ini, baik makhluk hidup maupun alam benda, yang tercipta, pada akhir dunia ini, di kala yuga datang akan habis menjadi musnah, lenyap kembali kepada asal mula. Pada permulaan yuga yang baru, segala sesuatunya akan kembali terciptakan oleh Brahman, Hyang Widhi. Bagaikan buah jatuh ke tanah dari pohon, lalu tumbuh kembali. Sesuai pesan Sambhu, Manu kemudian mengajarkan wahyu, yaitu isi kitab Veda-Veda kepada Iswaku, undang-undang hukum hidup dalam alam semesta ini agar alam semesta ini dapat dilestarikan dan tidak termusnahkan di kala yuga mendatang. Demikianlah dalam perjalanannya yang amat panjang, umat manusia mengalami hidup pasang surut dan dunia ini mengalami kezaliman, kemusnahan dari zaman ke zaman.

Abad I masehi ditandai oleh suatu zaman keemasan bagi umat Hindu. Di India, di mana agama Hindu buat pertama kalinya diwahyukan Hyang Widhi kepada manusia pertama, Manu, zaman gemilang ini dicatat dengan lahirnya Kanishka I dari keturunan dinasti Kushana, masyur karena sikap toleransinya yang terlahir dari kebangkitan umat beragama, baik itu agama Buddha, agama Hindu sekte Siva, sekte Visnu, Tantri, Tirtha, dan sebagainya. Kebangkitan dan toleransi ini berkembang sangat luas, jauh melampaui batas-batas negeri dan kerajaan sampai ke Timur Tengah, Asia Tengah, Tibet, Cina, Jepang, seluruh semenanjung anak benua Asia (India), Birma (Myanmar), Srilanka, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Karena itu, dalam perjalanan ke negeri-negeri mancanegara, misi keagamaan mengemban penyebaran ajaran-ajaran suci sesuai zaman kebangkitan dan toleransi beragama ini. Demikianlah, seorang pendita Saka gelar Aji Saka menyebarkan kebangkitan dan toleransi beragama dan melakukan ekspedisi ke Indonesia, menuju Jawa, mendarat di sekitar desa Waru, Rembang, Jawa Tengah. Kebangkitan dan toleransi beragama ini mendapat gayung bersambut, di mana agama Hindu sudah tersebar luas. Begitu besar antusiasme penduduk bumi tanah Jawa terhadap kebangkitan dan toleransi beragama ini tercermin dalam ungkapan karya Empu Tantular: “Bhineka Tunggal Ika Tan Ana Dharma Mangrwa”. Seperti halnya di India, di Nusantara juga terdapat berbagai ragam agama, dari yang paling sederhana sampai kepada agama Hindu berbagai sekte, dari menyembah berhala,  dewa-dewa sampai Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Kehadiran sang pendita Saka gelar Aji Saka yang teramat penting ini, di bumi Indonesia ini, tidak dapat dilewatkan begitu saja. Ini adalah suatu tonggok sejarah kebangkitan dan toleransi beragama yang sangat harmonis, serasi dan selaras dengan sikap dan watak bangsa Indonesia, sejak dahulu kala hingga sekarang. Pendita Saka gelar Aji Saka ini adalah keturunan bangsa Saka dari Kshatrapa Gujarat, Barat Laut India, tiba di Indonesia pada tahun 456 Masehi, tatkala di India berkuasa Maharaja di Raja Skanda Gupta dari dinasti Gupta Yang Agung yang menaklukkan dinasti Kushana dan mengenyahka mereka dari India. Berkat ketekunan dan keuletan Pendita Saka gelar Aji Saka yang menyebarkan doktrin kebangkitan dan toleransi beragama, yang dirintis oleh Maharaja di Raja Kanishka I hampir 400 tahun sebelumnya, yaitu tahun 78 Masehi  di India, maka doktrin ini tetap berkembang hingga kini. Makin hari makin subur.Demikianlah hari tanggal 1 bulan 1 tahun 1 Saka yang jatuh pada tahun 78 Masehi diperingati dan dirayakan oleh umat Hindu yang mengagungkan hari kebangkitan dan toleransi beragama sebagai Hari Raya Nyepi.

 

1.2 Rumusan Masalah

1.  Apa makna antropologis rangkaian nyepi?

2.  Apa yang dimaksud dengan ogoh-ogoh serangkaian dengan perayaan nyepi?

3. Bagaimana proses pembuatan ogoh-ogoh?

4. Apakah fungsi ogoh-ogoh sehubungan dengan perayaan nyepi?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1. Makna Antropologis Rangkaian Nyepi

Di dalam upacara Melasti yang diadakan dua hari sebelum Nyepi, dibayangkan perjuangan manusia mencari sumber air amerta yang akan menghidupkan terus semangat mereka dalam menegakkan dharma. Diiringi suara gamelan yang riuh dan meriah, umat berjalan beriringan membawa seluruh perlengkapan upacara ke sumber-sumber air maupun menyusuri pantai. Terutama di pesisir pantai Sanur dan Kuta, diadakan upacara memberi sesaji kepada dewa laut, Baruna. Alunan monoton dari gamelan dan tabuhan membawa suasana magis dan beberapa orang mulai mengalami trance. Dialami bahwa seluruh kenyataan menjadi bulat dan seolah-olah “air amerta” itu sungguh-sungguh diteguk. Upacara berakhir dengan percikan air suci dari pedanda, diikuti oleh perasaan lengkap di hati umatnya. Sehari sebelum Nyepi diadakan upacara Butha Yadnya. Umat beriring membawa obor sambil memukul tabuhan pada senja kala. Kemudian, diadakan juga upacara memotong hewan korban yang secara simbolis ingin mengungkapkan bahwa bila manusia sanggup berkorban, ia baru dapat mencapai cita-citanya. Sesajen-sesajen diberikan bagi Butha Kala. Di sini, Butha Kala adalah kekuatan-kekuatan negatif yang menguasai manusia yang menghasilkan kekacauan dan penderitaan di dunia ini. kekuatan ini diajak berdamai dan dengan jalan ini manusia mencapai keselarasannya. Dalam konteks kita sekarang ini, kemarahan, pemerkosaan martabat manusia, nafsu berperang, pencemaran lingkungan, eksploitasi alam, kerasukan industri, adalah unsur-unsur yang dapat dipersonifikasikan ke dalam tokoh mitologis itu. Pada Hari Raya Nyepi, aspek ideal dari penghayatan harmoni antropokosmis dialami. Pada saat sepi itu, manusia menghayati kesatuan buana alit dan buana agung seperti pernah terjadi. Matra yang dibayangkan terjadi pada saat awal sekarang dibayangkan hadir saat kini. Kejadian primordial itu juga menjadi orientasi bagi tindakan manusia di masa kini, menjadi etika yang menentukan perasaan-perasaan manusia, baik sedih maupun gembira. Perbuatan agresif manusia seperti permusuhan, peperangan, kemarahan, kebencian, dianggap akan menggoncangkan atau bahkan merusak keselarasan. Dalam suasana semadi pada Hari Raya Nyepi ini, manusia ingin mengambil bagian dalam keheningan alam yang harmonis, alam yang berjalan menurut siklus yang selaras. Inilah makna terdalam yang ingin dicapai umat Hindu dalam menjalani Hari Raya Nyepi dan ini pula makna dalam diri umat manusia: harmoni antara dirinya dan alamya

 

 

2.2.  Ogoh-Ogoh Serangkaian Dengan perayaan nyepi

Apa itu ogoh-ogoh? Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi keempat mendefinisikan ogoh-ogoh sebagai patung yang terbuat dari bambu, kertas, dan sebagainya yang berbentuk raksasa dan lain-lain yang diarak keliling desa pada hari tertentu (biasanya sehari menjelang Nyepi). Sebagaimana telah dijelasksan, Hari Raya Nyepi selalu didahului oleh prosesi pengrupuk. Pengrupukan selalu ditunggu oleh masyarakat terlebih oleh anak-anak muda karena di malam pengrupukan akan diarak ogoh-ogoh keliling desa dan keliling kota diiringi gambelan bleganjur, kentogan dan muda mudi yang ikut mengarak dengan membawa obor. Ogoh-ogoh ada sekitar tahun 1980-an. Penggagasnya disebut-sebut adalah mantan Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra yang juga merupakan tokoh budayawan Bali. Ogoh-ogoh dilambangkan sebagai sifat buruk dalam diri manusia, kebencian, keserakahan, kemabukan, iri hati, ketamakan, loba yang mengkristal selama satu tahun. Setelah diarak, ogoh-ogoh itu akan dibakar/ dimusnahkan sebagai simbol penyucian sifat-sifat buruk manusia. Dan, di tahun yang baru, diharapkan terlahir kembali, bersih, dan selalu berbuat Dharma sesuai ajaran agama.

Sebagai daerah yang kaya akan seni dan budaya, kesenian dan kebudayaan yang berkembang di daerah Bali banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur agama Hindu. Hal ini disebabkan oleh adanya keinginan umat Hindu di Bali untuk memisualisasikan nilai-nilai ajaran agama Hindu. Dalam perayaan Tahun baru Saka atau Nyepi, ogoh-ogoh memiliki peranan sebagai simbol atau visualisasi prosesi penetralisiran kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan bhuta. Ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi ini merupakan perwujudan Bhuta Khala, yakni unsur alam yang terdiri dari air, api, cahaya, tanah, dan udara yang divisualkan dalam wujud yang menyeramkan, karena jika kekuatan alam itu berlebihan tentunya akan menjadi kekuatan yang merusak. Setelah memahami dengan lebih baik makna-makan ritual dalam rangkaian perayaan Nyepi secara religius budaya, kita akan mencoba memahami rangkain Nyepi itu dari sudut makna antropologis

 

2. 3. Proses pembuatan ogoh-ogoh

 

Dalam pembuatan sebuah ogoh-ogoh ada beberappa proses yang harus diakukan agar semua pekerjaan dapat dilakukan secara efektif yaitu :

 

Pembuatan rangka : Rangka sangat penting dalam pembuatan ogoh – ogoh selain sebagai  rangka bodi tentu harus kuat juga, kesulitannya adalah dasar bentuknya jika kurang pas tentu hasilnya nanti juga kurang maksimal. Campuran besi dan bambu dibentuk sedemikian rupa.

Pemberian busa : setelah pembuatan bodi tentu pemberian busa (tergantung si pembuat) terkadang menggunakan kertas semen, tapi sedikit lebih beresiko jika menggunakan kertas semen, yaitu mudah robek. Pemberian ini untuk menutup rangka sekaligus pembentukan yang sesuai seperti tangan dan kaki.

Pengecatan : ini yang penting, dengan pengecatan akan tampak seperti lebih nyata, butuh kreatifitas dan seni untuk mewarnai ogoh – ogoh ini, jika pengecatan tidak pas tentu akan tidak sesuai malah bisa jadi malah tampak lucu.

Kepala : Kepalapun tak kalah pentingnya, pembentukan yang menyesuaikan dengan rancangan badan cukup sulit, kreatifitas kembali dibutuhkan. Karena harus pas kepala dengan badan, kekecilan atau kebesaran kepala pasti akan tampak aneh.

2.4  Fungsi Ogoh-Ogoh

Fungsi utama “ogoh-ogoh” adalah sebagai representasi Bhuta Kala yang dibuat menjelang perayaan Hari Raya Nyepi, dimana “ogoh-ogoh” tersebut akan diarak beramai-ramai keliling banjar atau desa pada senja hari, sehari sebelum Hari Raya Nyepi (Pangrupukan). Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, prosesi ini melambangkan keinsyafan diri manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan “Bhuana Agung” (alam raya) dan “Bhuana Alit” (diri manusia). Dalam pandangan filsafat (tattwa), kekuatan tersebut dapat mengantarkan makhluk hidup di alam raya, khususnya manusia dapat menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua itu tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri serta seisi dunia. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala melambangkan kekuatan alam semesta (bhu) dan waktu (kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, “Bhuta Kala” digambarkan sebagai sosok yang besar menakutkan dan pada umumnya berupa wujud raksasa (rakshasa). Raksasa adalah bangsa pemakan daging manusia atau kadang-kadang sebagai bangsa kanibal dan dilukiskan dalam “Yakshagana”, sebuah seni populer dari “Karnataka”. Menurut mitologi Hindu dan Budha menyatakan, kata “rakshasa” mempunyai arti “kekejaman”, yang merupakan lawan dari kata “raksha” yang artinya “kesentosaan”. Namun tidak semua raksasa memiliki kepribadian yang kejam, seperti Wibisana, Hiranyaksa, dan Hiranyakasipu, yang mendapat berkah dari dewa karena mereka memuja Dewa Brahma. Menurut kitab Ramayana menguraikan, bahwa raksasa diciptakan dari kaki Dewa Brahma. Sedangkan menurut kisah lain, mereka berasal dari tokoh Pulastya, Khasa, Nirriti, dan Nirrita.

Dengan keberadaan arak-arakan “Ogoh-Ogoh” yang sudah menjadi tradisi inilah yang menambah daya tarik wisatawan baik mancanegara maupun nusantara. Karena selain memiliki keindahan tempat-tempat wisata, Balipun memiliki kekayaan budaya yang menjadi andalan kepariwisataan. Serasa belum lengkap bilamana wisatawan berkunjung tidak melihat prosesi “Ogoh-Ogoh” pada penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka.

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Setelah mempelajari seluk beluk Perayaan Nyepi dan memahami sedikit makna antropologis perayaan Nyepi, saya merasa betapa kayanya makna Perayaan Nyepi itu. Pengalaman saya secara pribadi, mendekati Nyepi, saya sangat senang karena bersama teman-teman bisa bermain mercon entah itu di rumah ataupun di sekolah dan sore harinya akan melihat pawai ogoh-ogoh. Inilah yang disebut sebagai upacara Pengrupuk. Dan, ternyata, bunyi-bunyian mercon itu tidak hanya sekedar dibunyikan dan ogoh-ogoh itu tidak hanya sekedar dipawaikan, melainkan mengandung makna religius. Sayangnya, tidak semuanya bisa dihayati dengan baik oleh umat Hindu sendiri. Karena, nyatanya, pada saat Nyepi, orang-orang biasanya keluar rumah dan beramai-ramai nongkrong di jalan raya sambil mengobrol, bercanda, ataupun tidur-tiduran. Paling tidak itulah yang pernah saya amati di dekat rumah saya. Padahal, ada larangan tidak boleh berjalan-jalan ke luar rumah. Maka, tidak mengherankan jika ada pecalang (polisi adat) yang biasanya bertugas mengawasi jalannya perayaan Nyepi. Walaupun demikian, kini saya menyadari bahwa Nyepi itu tidak hanya sekedar jalanan sepi, semua toko dan pasar tutup, dan lampu tidak boleh dinyalakan pada malam hari. Nyepi bagi saya adalah saat di mana dalam kesunyian, manusia kembali melihat relasinya dengan Allah (Hyang Widhi), manusia, dan lingkungannya dan dengan demikian, mau berusaha memperbaiki yang kurang baik dan melestarikan yang sudah baik.

 

Daftar Pustaka

Stiti Dharma Online, “Tahun Saka dan Hari Raya Nyepi”, dalam http://bali.stitidharma .org/tahun-saka -dan-hari-raya-nyepi/ (diunduh 25 Mei 2010).

Sutisna, Putu, ”Ogoh-Ogoh dan Sejarahnya,” dalam http://swarahindu. com/index. php?option=com_ content&view=article&id=52&Itemid= 58 , (diunduh 25 Mei 2010).

 

 

 

suradnyana

Selasa, April 9th, 2013

Nama: IB Gde Bajra Suradnyana,

Telp  :085792028571

        Saya lahir di Denpasar 6 Oktober 1990. Saya anak ke dua dari tiga bersaudara, Bapak saya bernama IB Suragantara dan ibu saya bernama IA Putu Rasmini(Alm), saya berasal dari Br.Gria Sukawati,akan tetapi saya sekarang tinggal di batubulan ( Gang kapal no VII ) bersama keluarga saya. Dulu saya masuk Sekolah Dasar no 7 Batubulan, melanjutkan ke SMP Negeri 2 Sukawati, dan karena saya sangat tertarik dengan kesenian kuhusnya musik  setelah lulus SMP saya memutuskan untuk melanjutkan di SMK 3 Sukawati (KOKAR/SMKI) jurusan karawitan, dengan bersekolah disana saya bisa mendapatkan kesempatan untuk mengikuti lomba-lomba baik di tingkat lokal maupun nasional, seperti misalnya pada tahun 2007 saya mengikuti festival dan lomba seni siswa nasional yang diadakan di Bandung sebagai kontingen Bali. Di sana saya mendapatkan banyak pengalaman baru tentang budaya- budaya yang berbeda dengan budaya di Bali, banyak teman-teman baru yang tentunya memiliki hobi yang sama. Saya lulus SMK pada tahun 2009 dan pada saat itu menggarap komposisi karawitan yang berjudul “ALUNAN JIWA” dalam garapan ini saya menggunakan barungan gambelan semara pegulingan sebagai media utamanya, yang dikombinasi dengan alat perkusi yang disusun menyerupai drum dan sebuah seruling bali yang ukurannya kira-kira 1,5 meter. Garapan ini mendapat apresiasi yang baik oleh penguji yang memberikan penilaian pada saat itu. Untuk menambah pengalaman akhirnya mengambil program D1 di kampus “Sekolah Perhotelan Bali”. Dari menjadi mahasiswa di sana saya sedikitnya bisa tahu dengan system di sebuah hotel dan bisa belajar bahasa inggris di kampus tersebut, akan tetapi selama kuliah disana saya selalu menyempatkan diri untuk bermain gambelan di sanggar-sanggar antara lain sanggar cerakens dan alit sundari batuyang, di sanggar cerakens saya cenderung banyak mendapat pelajaran tentang musik yang bersifat inovasi maupun kontemporer, karena di sini banyak melakukan kerjasama dengan turis-turis asin, ikut serta dalam garapan komposisi mereka. Pada awalnya saya mendengar lagu-lagu mereka memang sedikit aneh, tapi lama-kelamaan saya jadi terbiasa dan sangat antusias jika ada turis yang membuat komposisi.

       Berbeda halnya dengan di sanggar alit sundari, di sini saya cenderung lebih banyak mendapat materi tradisi, yang biasanya wayang, arja, topeng, megambel pada acara-acara agama yang bersifat spiritual, lomba baleganjur dll. Dan kebetulan pada tahun 2012 sanggar ini mewakili kabupaten gianyar sebagai duta gong kebyar, saya pun ikut disana sebagai penabuh dan banyak pengalaman yang saya dapatkan selama proses latian berlangsung, saya bisa mendapat banyak ilmu disana untuk menambah bekal pengetahuan saya dalam bermusik.

          Pada tahun akhirnya saya lulus di SPB  pada tahun 2010  dan pada tahun 2012 akhirnya saya memutuskan untuk kembali melanjutkan kuliah di Institut Seni Indonesia. agar bisa memperdalam ilmu secara teori maupun praktek dan bisa menganal teman- teman dalam hobi yang sama yaitu karawitan,

Halo dunia!

Selasa, April 9th, 2013

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!