Hubungan Ogoh- Ogoh Dan Nyepi

BAB I

Pendahuluan

 

1.1 Latar Belakang Lahirnya Hari Raya Nyepi

Menurut agama Hindu, alam semesta ini pada mulanya adalah kosong, sunya, tidak ada apa-apanya. Gelap gulita. Maka, tibalah suatu permulaan dari penciptaan, sebutir telur dalam Hiranyagharba sakti merupakan benih pertama segala apa yang terciptakan, disebut Mahadivya, pada awal yuga pertama. Inilah cahaya Brahman, Mahatman pertama, kekal abadi, tiada terlukiskan, cemerlang memancar ke mana-mana, ke seluruh penjuru. Ini adalah asal mula paling halus alam benda jasmaniah dan alam bukan benda atau rohaniah. Dari telur cahaya Brahman ini terlahir Pitamaha, satu-satunya makhluk disebut Prajapati pertama. Kemudian,  setelah Brahman, Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), tercipta sendiri cahaya suci Wiwaswan atau Sambhu. Demikianlah kemudian Brahman menciptakan surga, ujung surga, planet, angkasa, bulan, udara, ether, air, bumi, kemudian tahun, musim, sasih (bulan), paksha (tilem dan purnama), siang dan malam. Demikianlah tercipta segala-galanya, kecuali manusia. Wiwaswan atau Sambhu sebagai personifikasi Matahari menerima wahyu dari Brahman untuk menciptakan manusia pertama, yaitu Manu. Sambhu, yang menerima wahyu dari Brahman, Hyang Widhi, mengajarkan kepada manusia ajaran-ajaran suci dalam bentuk Veda-Desa. Manu-lah manusia pertama di bumi. Bumi kita diperkirakan sudah berusia 4.320.0000 tahun. Segala sesuatunya dalam alam semesta ini, baik makhluk hidup maupun alam benda, yang tercipta, pada akhir dunia ini, di kala yuga datang akan habis menjadi musnah, lenyap kembali kepada asal mula. Pada permulaan yuga yang baru, segala sesuatunya akan kembali terciptakan oleh Brahman, Hyang Widhi. Bagaikan buah jatuh ke tanah dari pohon, lalu tumbuh kembali. Sesuai pesan Sambhu, Manu kemudian mengajarkan wahyu, yaitu isi kitab Veda-Veda kepada Iswaku, undang-undang hukum hidup dalam alam semesta ini agar alam semesta ini dapat dilestarikan dan tidak termusnahkan di kala yuga mendatang. Demikianlah dalam perjalanannya yang amat panjang, umat manusia mengalami hidup pasang surut dan dunia ini mengalami kezaliman, kemusnahan dari zaman ke zaman.

Abad I masehi ditandai oleh suatu zaman keemasan bagi umat Hindu. Di India, di mana agama Hindu buat pertama kalinya diwahyukan Hyang Widhi kepada manusia pertama, Manu, zaman gemilang ini dicatat dengan lahirnya Kanishka I dari keturunan dinasti Kushana, masyur karena sikap toleransinya yang terlahir dari kebangkitan umat beragama, baik itu agama Buddha, agama Hindu sekte Siva, sekte Visnu, Tantri, Tirtha, dan sebagainya. Kebangkitan dan toleransi ini berkembang sangat luas, jauh melampaui batas-batas negeri dan kerajaan sampai ke Timur Tengah, Asia Tengah, Tibet, Cina, Jepang, seluruh semenanjung anak benua Asia (India), Birma (Myanmar), Srilanka, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Karena itu, dalam perjalanan ke negeri-negeri mancanegara, misi keagamaan mengemban penyebaran ajaran-ajaran suci sesuai zaman kebangkitan dan toleransi beragama ini. Demikianlah, seorang pendita Saka gelar Aji Saka menyebarkan kebangkitan dan toleransi beragama dan melakukan ekspedisi ke Indonesia, menuju Jawa, mendarat di sekitar desa Waru, Rembang, Jawa Tengah. Kebangkitan dan toleransi beragama ini mendapat gayung bersambut, di mana agama Hindu sudah tersebar luas. Begitu besar antusiasme penduduk bumi tanah Jawa terhadap kebangkitan dan toleransi beragama ini tercermin dalam ungkapan karya Empu Tantular: “Bhineka Tunggal Ika Tan Ana Dharma Mangrwa”. Seperti halnya di India, di Nusantara juga terdapat berbagai ragam agama, dari yang paling sederhana sampai kepada agama Hindu berbagai sekte, dari menyembah berhala,  dewa-dewa sampai Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Kehadiran sang pendita Saka gelar Aji Saka yang teramat penting ini, di bumi Indonesia ini, tidak dapat dilewatkan begitu saja. Ini adalah suatu tonggok sejarah kebangkitan dan toleransi beragama yang sangat harmonis, serasi dan selaras dengan sikap dan watak bangsa Indonesia, sejak dahulu kala hingga sekarang. Pendita Saka gelar Aji Saka ini adalah keturunan bangsa Saka dari Kshatrapa Gujarat, Barat Laut India, tiba di Indonesia pada tahun 456 Masehi, tatkala di India berkuasa Maharaja di Raja Skanda Gupta dari dinasti Gupta Yang Agung yang menaklukkan dinasti Kushana dan mengenyahka mereka dari India. Berkat ketekunan dan keuletan Pendita Saka gelar Aji Saka yang menyebarkan doktrin kebangkitan dan toleransi beragama, yang dirintis oleh Maharaja di Raja Kanishka I hampir 400 tahun sebelumnya, yaitu tahun 78 Masehi  di India, maka doktrin ini tetap berkembang hingga kini. Makin hari makin subur.Demikianlah hari tanggal 1 bulan 1 tahun 1 Saka yang jatuh pada tahun 78 Masehi diperingati dan dirayakan oleh umat Hindu yang mengagungkan hari kebangkitan dan toleransi beragama sebagai Hari Raya Nyepi.

 

1.2 Rumusan Masalah

1.  Apa makna antropologis rangkaian nyepi?

2.  Apa yang dimaksud dengan ogoh-ogoh serangkaian dengan perayaan nyepi?

3. Bagaimana proses pembuatan ogoh-ogoh?

4. Apakah fungsi ogoh-ogoh sehubungan dengan perayaan nyepi?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1. Makna Antropologis Rangkaian Nyepi

Di dalam upacara Melasti yang diadakan dua hari sebelum Nyepi, dibayangkan perjuangan manusia mencari sumber air amerta yang akan menghidupkan terus semangat mereka dalam menegakkan dharma. Diiringi suara gamelan yang riuh dan meriah, umat berjalan beriringan membawa seluruh perlengkapan upacara ke sumber-sumber air maupun menyusuri pantai. Terutama di pesisir pantai Sanur dan Kuta, diadakan upacara memberi sesaji kepada dewa laut, Baruna. Alunan monoton dari gamelan dan tabuhan membawa suasana magis dan beberapa orang mulai mengalami trance. Dialami bahwa seluruh kenyataan menjadi bulat dan seolah-olah “air amerta” itu sungguh-sungguh diteguk. Upacara berakhir dengan percikan air suci dari pedanda, diikuti oleh perasaan lengkap di hati umatnya. Sehari sebelum Nyepi diadakan upacara Butha Yadnya. Umat beriring membawa obor sambil memukul tabuhan pada senja kala. Kemudian, diadakan juga upacara memotong hewan korban yang secara simbolis ingin mengungkapkan bahwa bila manusia sanggup berkorban, ia baru dapat mencapai cita-citanya. Sesajen-sesajen diberikan bagi Butha Kala. Di sini, Butha Kala adalah kekuatan-kekuatan negatif yang menguasai manusia yang menghasilkan kekacauan dan penderitaan di dunia ini. kekuatan ini diajak berdamai dan dengan jalan ini manusia mencapai keselarasannya. Dalam konteks kita sekarang ini, kemarahan, pemerkosaan martabat manusia, nafsu berperang, pencemaran lingkungan, eksploitasi alam, kerasukan industri, adalah unsur-unsur yang dapat dipersonifikasikan ke dalam tokoh mitologis itu. Pada Hari Raya Nyepi, aspek ideal dari penghayatan harmoni antropokosmis dialami. Pada saat sepi itu, manusia menghayati kesatuan buana alit dan buana agung seperti pernah terjadi. Matra yang dibayangkan terjadi pada saat awal sekarang dibayangkan hadir saat kini. Kejadian primordial itu juga menjadi orientasi bagi tindakan manusia di masa kini, menjadi etika yang menentukan perasaan-perasaan manusia, baik sedih maupun gembira. Perbuatan agresif manusia seperti permusuhan, peperangan, kemarahan, kebencian, dianggap akan menggoncangkan atau bahkan merusak keselarasan. Dalam suasana semadi pada Hari Raya Nyepi ini, manusia ingin mengambil bagian dalam keheningan alam yang harmonis, alam yang berjalan menurut siklus yang selaras. Inilah makna terdalam yang ingin dicapai umat Hindu dalam menjalani Hari Raya Nyepi dan ini pula makna dalam diri umat manusia: harmoni antara dirinya dan alamya

 

 

2.2.  Ogoh-Ogoh Serangkaian Dengan perayaan nyepi

Apa itu ogoh-ogoh? Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi keempat mendefinisikan ogoh-ogoh sebagai patung yang terbuat dari bambu, kertas, dan sebagainya yang berbentuk raksasa dan lain-lain yang diarak keliling desa pada hari tertentu (biasanya sehari menjelang Nyepi). Sebagaimana telah dijelasksan, Hari Raya Nyepi selalu didahului oleh prosesi pengrupuk. Pengrupukan selalu ditunggu oleh masyarakat terlebih oleh anak-anak muda karena di malam pengrupukan akan diarak ogoh-ogoh keliling desa dan keliling kota diiringi gambelan bleganjur, kentogan dan muda mudi yang ikut mengarak dengan membawa obor. Ogoh-ogoh ada sekitar tahun 1980-an. Penggagasnya disebut-sebut adalah mantan Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra yang juga merupakan tokoh budayawan Bali. Ogoh-ogoh dilambangkan sebagai sifat buruk dalam diri manusia, kebencian, keserakahan, kemabukan, iri hati, ketamakan, loba yang mengkristal selama satu tahun. Setelah diarak, ogoh-ogoh itu akan dibakar/ dimusnahkan sebagai simbol penyucian sifat-sifat buruk manusia. Dan, di tahun yang baru, diharapkan terlahir kembali, bersih, dan selalu berbuat Dharma sesuai ajaran agama.

Sebagai daerah yang kaya akan seni dan budaya, kesenian dan kebudayaan yang berkembang di daerah Bali banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur agama Hindu. Hal ini disebabkan oleh adanya keinginan umat Hindu di Bali untuk memisualisasikan nilai-nilai ajaran agama Hindu. Dalam perayaan Tahun baru Saka atau Nyepi, ogoh-ogoh memiliki peranan sebagai simbol atau visualisasi prosesi penetralisiran kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan bhuta. Ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi ini merupakan perwujudan Bhuta Khala, yakni unsur alam yang terdiri dari air, api, cahaya, tanah, dan udara yang divisualkan dalam wujud yang menyeramkan, karena jika kekuatan alam itu berlebihan tentunya akan menjadi kekuatan yang merusak. Setelah memahami dengan lebih baik makna-makan ritual dalam rangkaian perayaan Nyepi secara religius budaya, kita akan mencoba memahami rangkain Nyepi itu dari sudut makna antropologis

 

2. 3. Proses pembuatan ogoh-ogoh

 

Dalam pembuatan sebuah ogoh-ogoh ada beberappa proses yang harus diakukan agar semua pekerjaan dapat dilakukan secara efektif yaitu :

 

Pembuatan rangka : Rangka sangat penting dalam pembuatan ogoh – ogoh selain sebagai  rangka bodi tentu harus kuat juga, kesulitannya adalah dasar bentuknya jika kurang pas tentu hasilnya nanti juga kurang maksimal. Campuran besi dan bambu dibentuk sedemikian rupa.

Pemberian busa : setelah pembuatan bodi tentu pemberian busa (tergantung si pembuat) terkadang menggunakan kertas semen, tapi sedikit lebih beresiko jika menggunakan kertas semen, yaitu mudah robek. Pemberian ini untuk menutup rangka sekaligus pembentukan yang sesuai seperti tangan dan kaki.

Pengecatan : ini yang penting, dengan pengecatan akan tampak seperti lebih nyata, butuh kreatifitas dan seni untuk mewarnai ogoh – ogoh ini, jika pengecatan tidak pas tentu akan tidak sesuai malah bisa jadi malah tampak lucu.

Kepala : Kepalapun tak kalah pentingnya, pembentukan yang menyesuaikan dengan rancangan badan cukup sulit, kreatifitas kembali dibutuhkan. Karena harus pas kepala dengan badan, kekecilan atau kebesaran kepala pasti akan tampak aneh.

2.4  Fungsi Ogoh-Ogoh

Fungsi utama “ogoh-ogoh” adalah sebagai representasi Bhuta Kala yang dibuat menjelang perayaan Hari Raya Nyepi, dimana “ogoh-ogoh” tersebut akan diarak beramai-ramai keliling banjar atau desa pada senja hari, sehari sebelum Hari Raya Nyepi (Pangrupukan). Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, prosesi ini melambangkan keinsyafan diri manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan “Bhuana Agung” (alam raya) dan “Bhuana Alit” (diri manusia). Dalam pandangan filsafat (tattwa), kekuatan tersebut dapat mengantarkan makhluk hidup di alam raya, khususnya manusia dapat menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua itu tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri serta seisi dunia. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala melambangkan kekuatan alam semesta (bhu) dan waktu (kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, “Bhuta Kala” digambarkan sebagai sosok yang besar menakutkan dan pada umumnya berupa wujud raksasa (rakshasa). Raksasa adalah bangsa pemakan daging manusia atau kadang-kadang sebagai bangsa kanibal dan dilukiskan dalam “Yakshagana”, sebuah seni populer dari “Karnataka”. Menurut mitologi Hindu dan Budha menyatakan, kata “rakshasa” mempunyai arti “kekejaman”, yang merupakan lawan dari kata “raksha” yang artinya “kesentosaan”. Namun tidak semua raksasa memiliki kepribadian yang kejam, seperti Wibisana, Hiranyaksa, dan Hiranyakasipu, yang mendapat berkah dari dewa karena mereka memuja Dewa Brahma. Menurut kitab Ramayana menguraikan, bahwa raksasa diciptakan dari kaki Dewa Brahma. Sedangkan menurut kisah lain, mereka berasal dari tokoh Pulastya, Khasa, Nirriti, dan Nirrita.

Dengan keberadaan arak-arakan “Ogoh-Ogoh” yang sudah menjadi tradisi inilah yang menambah daya tarik wisatawan baik mancanegara maupun nusantara. Karena selain memiliki keindahan tempat-tempat wisata, Balipun memiliki kekayaan budaya yang menjadi andalan kepariwisataan. Serasa belum lengkap bilamana wisatawan berkunjung tidak melihat prosesi “Ogoh-Ogoh” pada penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka.

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Setelah mempelajari seluk beluk Perayaan Nyepi dan memahami sedikit makna antropologis perayaan Nyepi, saya merasa betapa kayanya makna Perayaan Nyepi itu. Pengalaman saya secara pribadi, mendekati Nyepi, saya sangat senang karena bersama teman-teman bisa bermain mercon entah itu di rumah ataupun di sekolah dan sore harinya akan melihat pawai ogoh-ogoh. Inilah yang disebut sebagai upacara Pengrupuk. Dan, ternyata, bunyi-bunyian mercon itu tidak hanya sekedar dibunyikan dan ogoh-ogoh itu tidak hanya sekedar dipawaikan, melainkan mengandung makna religius. Sayangnya, tidak semuanya bisa dihayati dengan baik oleh umat Hindu sendiri. Karena, nyatanya, pada saat Nyepi, orang-orang biasanya keluar rumah dan beramai-ramai nongkrong di jalan raya sambil mengobrol, bercanda, ataupun tidur-tiduran. Paling tidak itulah yang pernah saya amati di dekat rumah saya. Padahal, ada larangan tidak boleh berjalan-jalan ke luar rumah. Maka, tidak mengherankan jika ada pecalang (polisi adat) yang biasanya bertugas mengawasi jalannya perayaan Nyepi. Walaupun demikian, kini saya menyadari bahwa Nyepi itu tidak hanya sekedar jalanan sepi, semua toko dan pasar tutup, dan lampu tidak boleh dinyalakan pada malam hari. Nyepi bagi saya adalah saat di mana dalam kesunyian, manusia kembali melihat relasinya dengan Allah (Hyang Widhi), manusia, dan lingkungannya dan dengan demikian, mau berusaha memperbaiki yang kurang baik dan melestarikan yang sudah baik.

 

Daftar Pustaka

Stiti Dharma Online, “Tahun Saka dan Hari Raya Nyepi”, dalam http://bali.stitidharma .org/tahun-saka -dan-hari-raya-nyepi/ (diunduh 25 Mei 2010).

Sutisna, Putu, ”Ogoh-Ogoh dan Sejarahnya,” dalam http://swarahindu. com/index. php?option=com_ content&view=article&id=52&Itemid= 58 , (diunduh 25 Mei 2010).

 

 

 

Comments are closed.