kisah awal balaganjur dan perkembangannya
Istilah Baleganjur berasal dari kata Bala dan Ganjur.Bala berarti pasukan atau barisan,Ganjur berarti berjalan.yang kini pengertiannya lebih berhubungan dengan sebuah barungan gamelan.
Sejarah Baleganjur
Gamelan Baleganjur pada awalnya difungsikan sebagai pengiring upacara ngaben atau pawai adat dan agama.Tapi dalam perkembangannya,sekarang peranan gamelan ini makin melebar.Kini gamelan baleganjur dipakai untuk mengiringi pawai kesenian,ikut dalam iringan pawai olahraga,mengiringi lomba laying-layang,dan ada juga yang dilombakan.
Baleganjur adalah sebuah ensamble yang merupakan perkembangan dari gamelan bonang atau bebonangan.Baik dari segi instrumentasinya maupun komposisi lagu-lagunya.
Bonang atau bebonangan adalah sebuah barungan yang terdiri dari berbagai instrument pukul(percussive) yang memakai pencon seperti reong,trompong kajar,kempli,kempur,dan gong. Gamelan bonang memakai dua buah kendang yang dimainkan memakai panggul cedugan. Dalam lontar Prakempa disebutkan bahwa gamelan bonang dipakai untuk mengiringi upacara ngaben.Sama kasusnya dengan gamelan baleganjur yang pada umumnya dipakai untuk mengiringi upacara ngaben
instrumen balaganjur terdiri dari :
- 1 buah kendang lanang
- 1 buah kendang wadon
- 4 buah reong(Dong,Deng,Dung,Dang)
- 2 Ponggang(Dung,Dang)
- 8-10 buah cengceng
- 1 buah kajar
- 1 buah kempli
- 1 buah kempur
- 1 pasang gong(lanang’wadon)
- 1 buah bende
pemilihan penari sanghyang bojog secara niskala
Desa Adat Bugbug adalah salah satu desa adat yang berada di wilayah Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Di sana, ada tarian yang dikenal dengan nama Sanghyang Bojog. Bojog dalam bahasa Indoonesia berarti kera atau monyet.
Berbicara tari sanghyang bukan hal asing di Bali. Beberapa desa masih melestarikan tari sanghyang. Berbagai jenis tari sanghyang ada Pula Dewata. Sebut saja Desa Adat Bugbug. Di sana, ada namanya Tari Sanghyang Jaran, Sanghyang Lesung, Sanghyang Kukur, Sanghyang Penyalin, Sanghyang Dedari, Sanghyang Saab, termasuk Sanghyang Bojog.
“Memang dari dulu, kami di Desa Adat Bugbug sudah sepakat melestarikan adat, tradisi, budaya yang sudah diterima secara turun temurun,” kata Kelian Adat Bugbug, Jro Wayan Mas Suyasa ditemui di rumahnya, Rabu lalu (16/8).
Semua tari sanghyang di desa setempat termasuk disakralkan krama (warga) Bugbug. Dipentaskan dalam upacara tertentu.
Namun dari sekian banyak tari sanghyang yang ada di desa yang terkenal dengan objek wisata Candidasa, itu Tari Sanghyang Bojog termasuk paling anyar. Tari ini mulai ada sejak tahun 2000 silam. “Walaupun baru, tapi disakralkan juga,” jelas Jro Mas Suyasa kepada Bali Express (Jawa Pos Group).
Sanghyang Bojog bisa biasa dipentaskan dalam berbagai upacara, khususnya dewa yadnya. Tak menoton di satu pura. “Adanya tarian ini untuk bisa mengimbangi pengaruh zaman kaliyuga,” imbuh Jro Mas Suyasa.
Ada dua orang penari Tari Sanghyang Bojog. Mereka dirias layaknya kera. Tak sembarang orang bisa menjadi penarinya. Hanya orang tertentu atas pilihan sesuunan atau dipilih secara niskala (gaib) yang bisa menjadi penarinya. Namanya saja Sanghyang Bojog. Saat menari, mereka layaknya bojog. Misalnya saat naik ke atas pohon. Persis gayanya seperti bojog. Biasa naik ranting pohon yang jika orang biasa naik, maka ranting pohon tersebut bisa patah. Pernah juga penarinya masuk ke semak belukar penuh duri. Ternyata tak sampai tertusuk duri. Tingkah laku bojog yang pada umumnya usil juga terlihat. Sehingga saat ditarikan beberapa waktu lalu, krama atau penonton diimbau tak memperhatikan barang bawaanya, karena bisa saja diambil. “Kalau dibiarkan, bisa lari jauh. Lari-lari seperti bojog beneran,” tutur kelian kelahiran 1960 itu.
Saat menari, penarinya dalam keadaan sadarkan diri. Tak sembarang orang bisa mendekati penari Sanghyang Bojog itu. Apalagi sampai menyentuh, penarinya bisa galak. Bisa saja digigit. Gigitannya seperti juga digigit bojog asli. Tari Sanghyang Bojog ini hanya bisa dikendalikan oleh Jro Mas Suyasa sendiri.
“Selain saya tidak bisa. Dulu pernah ada mencoba memperbaiki pakaiannya, karena memang lepas. Ternyata malah digigit,” terangnya.
Saat menari, Sanghyang Bojog ini tidak diiringi gamelan. Hanya diiringi kidung. Menari bisa sampai dua jam. Kidung mengarahkan tingkah laku sang penari. “Kalau kidungnya naik ke pohon, ya, sanghyangnya naik,” imbuhnya. Penarinya bisa kembali sadar setelah diperciki tirta.
Tradisi Ngelawang dan Barong Bangkung
Alam Bali yang indah serta berbagai budaya dan tradisi di pulau Dewata ini, bisa menjadi daya tarik yang sangat spesial bagi wisatawan, untuk tidak bosan-bosan menikmati pulau Bali. Selain pemandangan alamnya, beragam budaya dan tradisi unik yang merupakan warisan leluhur dan juga berkaitan dengan ritual-ritual keagamaan masih dipertahankan dan berkembang baik sampai saat ini.
Salah satunya adalah tradisi Ngelawang, bagi warga Bali mungkin tidak asing lagi dengan tradisi Ngelawang tersebut dan apalagi anak-anak pasti akan sangat menyukainya, dianggap sebagai pertunjukan seni yang menarik. Pada saat tradisi Ngelawang tersebut digelar, maka yang dipentaskan adalah Barong Bangkung, barong tersebut diarak keliling desa diiringi oleh gamelan.
Selain Barong Bangkung atau barong berbentuk babi, di Bali sendiri dikenal beberapa jenis barong lainnya diantaranya; Barong Ket, Barong Gajah, Barong Macan, Barong Nagasari, Barong Lembu, Barong Brutuk, Barong Landung dan banyak lagi jenis lainnya. Tetapi tari barong di bali yang mungkin cukup populer di kalangan masyarakat adalah Barong Ket yang sering dipentaskan di pura atau tempat suci lainnya, bahkan Ket ini populer di kalangan wisatawan, karena setiap harinya di beberapa tempat di Bali dengan tujuan untuk hiburan.
Ngelawang memang sangat berkaitan dengan Barong Bangkung, karena jenis barong inilah yang dipentaskan keliling desa, ini adalah sebuah budaya dan tradisi di Bali yang bertujuan untuk menolak Bala dan juga untuk merayakan kemenangan dharma atas adharma.
Barong sendiri merupakan lambang perwujudan dari Sang Banas Pati Raja yang bisa menjaga manusia dari wabah dan bahaya. Untuk menghindari wabah dan bahaya tersebut tentu juga bertujuan untuk memotivasi manusia untuk menjaga lingkungan tetap bersih, menjaga keberadaan hutan sehingga tidak terjadi wabah penyakit ataupun bahaya banjir yang merugikan.
Barong Bangkung tersebut ditarikan dan diarak keliling melewati jalan-jalan desa dengan tujuan mengusir roh-roh jahat atau tolak bala, Ngelawang melibatkan banyak peserta selain penari Barong Bangkung juga mereka pengiring sekaligus para penabuh gamelan, semuanya bisa berjumlah antara 8 sampai 15 orang, para pemain biasanya dari kalangan anak-anak dan remaja.
Barong Bangkung berpenampilan cukup sederhana, berperawakan seperti badan babi dengan kulitnya berwarna hitam, ditarikan oleh 2 orang, serta pakaiannya yang cukup sederhana, serta topeng yang digunakan berbentuk topeng berwujud bangkung (babi), berbeda dengan Barong Ket (bentuk boma) terlihat gemerlap dan mewah, topengnya berbetuk boma.
Asal kata Ngelawang adalah “lawang” berarti pintu, jadi mereka menarikan barong Bangkung tersebut dari rumah ke rumah dan berkeliling di jalan-jalan desa. Ritual atau tradisi Ngelawang ini digelar setiap 6 bulan sekali diantara Hari Raya Galungan dan Kuningan.
Perayaan galungan senidiri merupakan perayaan kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan), termasuk juga tujuan Ngelawang tersebut, selain untuk mengusir hal-hal yang bersifat negatif dan tolak bala, juga untuk merayakan kemenangan kebaikan atas kejahatan.
Barong Bangkung dan Ngelawang adalah sebuah tarian sakral di Bali, tradisi Ngelawang tersebut tidak hanya digelar saat perayaan Galungan dan Kuningan, tetapi juga pada hari-hari tertentu yang dianggap perlu untuk mengusir wabah pada suatu tempat, jadi dianggap perlu mementaskan Barong Bangkung tersebut.
Tidak semua tempat atau desa memiliki tradisi Ngelawang dan mementaskan Barong Bangkung tersebut, hanya di beberapa tempat yang memiliki warisan budaya leluhur tersebut, begitu juga tata cara pelaksanaannya terkadang juga berbeda tetapi pada hakekatnya memiliki tujuan yang sama.
Bagi warga Hindu tentu Ngelawang menjadi hal penting bisa menjaga lingkungan aman dan bebas dari wabah, sehingga tidak jarang umat memberikan punia (sedekah) sebagai imbalan dan ucapan terima kasih, tidak itu saja Ngelawang keliling desa juga menjadi hiburan menarik bagi anak-anak, mereka sangat bersuka cita menyaksikan tari Barong tersebut.
Apalagi jika tradisi tersebut digelar di pusat-pusat pariwisata seperti Kuta dan Ubud, tentu menjadi hiburan yang unik bagi wisatawan yang menyaksikan, yang sekaligus menjadi promosi mengenai budaya dan kebiasaan orang bali
Tari Barong Bangkung ini dalam tradisi Ngelawang, mungkin cukup jarang kita temukan hanya pada hari-hari tertentu dan itupun pada beberapa tempat saja. Namun seni pentas tari Ngelawang ini selalu digelar setiap tahunnya dalam pesta kesenian bali (PKB) di taman Werdhi Budaya Art Center. Anda bisa menyaksikannya gratis, bahkan digelar beberapa kali dalam beberapa hari berbeda.
Sejarah Gamelan Kembang Kirang Di Banjar Tangkup Tegalalang
Timbulnya barungan gambelan kembang kirang suci di Banjar Tangkup Tegalalang ,dimulai dari dibuatnya barungan gamelan Angklung Klentangan yang merupakan satu-satunya kesenian yang menjadi kebanggaan masyarakat di Banjar Tangkup,sampai sebelum tahun 1940.
Tidak dapat diketahui dengan pasti,kapan gambelan Angklung klentangan tersebut tumbuh.Namun hanya dapat diungkapkan bahwa,Gamelan Angklung ini pernah menjadi kegemaran bagi warga Puri Agung di Gianyar.Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa,setiap kali pihak Puri Agung Gianyar menyelenggarakan suatu upacara yadnya,maka sekaa Angklung dari Banjar Tangkup tidak pernah luput untuk “ngaturang ayah” guna memeriahkan suasana upacara tersebut.
Lebih lanjut informan I Wayan Wiri asal dari Banjar Tangkup mengatakan bahwa, pada tahun 1940 di Puri Agung Gianyar sedang diselenggarakan serangkaian upacara yadnya yang cukup besar.Pada kesempatan tersebut sekaa Angklung dari Banjar Tangkup turut pula memeriahkan upacara itu dengan kebolehannya menabuh gamelan.Pada pelaksanaan upacara tersebut selain telah dimeriahkan oleh suara angklung klentangan,turut pula ditabuh beberapa jenis barungan gamelan yang lain seperti Gong Gede,Gender Wayang,Gambang,serta gamelan Kembang Kirang dari desa Kamasan Kelungkung.
Penampilan barungan gambelan kembang kirang dari desa kamasan kelungkung, adalah betul-betul sempat memukau para peserta upacara tersebut. Demikian pula halnya dengan para sekaa angklung dari banjar tangkup, selain merasa kagum akan penampilan gamelan kembang kirang itu, pada kesempatan itu pula mereka mulai memperbincangkan keinginan mereka untuk dapat memiliki barungan gambelan kembang kirang. Dalam pikiran mereka membayangkan, betapa lebih mantapnya apabila mereka dapat memainkan gambelan angklung panca nada yang berbilah sepuluh itu.
Demikianlah hal tersebut senantiasa menjadi angan-angan serta menjadi bahan perbincangan setiap kali berkumpul dengan teman-temannya. Sampai pada akhirnya tercetuslah idenya untuk menambah beberapa jenis instrumen angklungnya untuk bisa di jadikan barungan gambelan kembang kirang.
Kemudian atas prakarsa dari pemuka masyarakat yang antara lain dapat disebutkan yaitu : I Nyoman Degeng, I Wayan Liah, I Ketut Teka, I Wayan Sambut, serta berkat dukungan dari “Kerama Banjar” Tangkup, maka pada tahun 1949 Gambelan kembang kirang yang senantiasa menjadi impian masyarakat di Banjar Tangkup, brhasil didirikan dengan biyaya sebanyak 80 (delapan puluh) ringgit, yang dikerjakan oleh “Pande Gambelan” dari Tiyingan Kelungkung yang bernama Bapan Geriya.
Oleh pande gambelan tersebut, sebelumnya dapat menyampaikan kepada masyarakat di Banjar Tangkup bahwa, Gambelan Kembang Kirang yang mereka miliki itu nantinya akan menjadi barungan gambelan yang “tenget” Namun ketika itu Masyarakat di Banjar Tangkup, belum percaya degan penyampaian pande tersebut.
Setelah gambelan itu dicoba untuk mengadakan latihan-latihan, ternyata ada saja keributan-kerubutan yang terjadi di dalam latihan.
Akhirnya semenjak saat itu, mereka telah mempunyai keyakinan bahwa, Gambelan Kembang Kirang mereka itu adalah dianggap keramat. Kiranya anggapan dan keyakinan mereka akan hal itu, akhirnya telah mendorong hati mereka untuk menghubungkan pengertian keramat itu adalah sama dengan “suci”.
Demikianlah kemudian barungan gambelan yang mereka miliki itu dinamai “Gambelan Kembang Kirang Suci” Sampai sekarang masi menjadi kebanggaan bagi masyarakat pendukungnya.
Kiranya perlunya penulis ungkapkan disini bahwa, sebagai mana umumnya yang kita jumpai di Bali, yaitu “sekaa” biasa menyimpan alat-alat gambelannya di tempat-tempat yang khusus. Tempat menyimpan gamelan biasanya disebut “Cegong” atau Bale Gong.
Kenyatan yang penulis jumpai di Banjar Tangkup adalah sangat unik, di mana barungan gambelan kembang kirang ini tidak pernah disimpan di dalam ruangan, melainkan tetap di gelar di aula balai banjar Tangkup.
Masysrakat di Banjar Tangkup mengatakan bahwa, setiap kali gambelan tersebut disimpan di dalam bale gong, maka suatu keributan-keributan akan slalu saja terjadi. Kenyataan yang sering dialami inilah, nampaknya telah menambah suatu kepercayaan mereka bahwa gambelan yang mereka miliki itu adalah memang benar-benar kramat (suci).