pemilihan penari sanghyang bojog secara niskala
Posted Under: Tak Berkategori
Desa Adat Bugbug adalah salah satu desa adat yang berada di wilayah Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Di sana, ada tarian yang dikenal dengan nama Sanghyang Bojog. Bojog dalam bahasa Indoonesia berarti kera atau monyet.
Berbicara tari sanghyang bukan hal asing di Bali. Beberapa desa masih melestarikan tari sanghyang. Berbagai jenis tari sanghyang ada Pula Dewata. Sebut saja Desa Adat Bugbug. Di sana, ada namanya Tari Sanghyang Jaran, Sanghyang Lesung, Sanghyang Kukur, Sanghyang Penyalin, Sanghyang Dedari, Sanghyang Saab, termasuk Sanghyang Bojog.
“Memang dari dulu, kami di Desa Adat Bugbug sudah sepakat melestarikan adat, tradisi, budaya yang sudah diterima secara turun temurun,” kata Kelian Adat Bugbug, Jro Wayan Mas Suyasa ditemui di rumahnya, Rabu lalu (16/8).
Semua tari sanghyang di desa setempat termasuk disakralkan krama (warga) Bugbug. Dipentaskan dalam upacara tertentu.
Namun dari sekian banyak tari sanghyang yang ada di desa yang terkenal dengan objek wisata Candidasa, itu Tari Sanghyang Bojog termasuk paling anyar. Tari ini mulai ada sejak tahun 2000 silam. “Walaupun baru, tapi disakralkan juga,” jelas Jro Mas Suyasa kepada Bali Express (Jawa Pos Group).
Sanghyang Bojog bisa biasa dipentaskan dalam berbagai upacara, khususnya dewa yadnya. Tak menoton di satu pura. “Adanya tarian ini untuk bisa mengimbangi pengaruh zaman kaliyuga,” imbuh Jro Mas Suyasa.
Ada dua orang penari Tari Sanghyang Bojog. Mereka dirias layaknya kera. Tak sembarang orang bisa menjadi penarinya. Hanya orang tertentu atas pilihan sesuunan atau dipilih secara niskala (gaib) yang bisa menjadi penarinya. Namanya saja Sanghyang Bojog. Saat menari, mereka layaknya bojog. Misalnya saat naik ke atas pohon. Persis gayanya seperti bojog. Biasa naik ranting pohon yang jika orang biasa naik, maka ranting pohon tersebut bisa patah. Pernah juga penarinya masuk ke semak belukar penuh duri. Ternyata tak sampai tertusuk duri. Tingkah laku bojog yang pada umumnya usil juga terlihat. Sehingga saat ditarikan beberapa waktu lalu, krama atau penonton diimbau tak memperhatikan barang bawaanya, karena bisa saja diambil. “Kalau dibiarkan, bisa lari jauh. Lari-lari seperti bojog beneran,” tutur kelian kelahiran 1960 itu.
Saat menari, penarinya dalam keadaan sadarkan diri. Tak sembarang orang bisa mendekati penari Sanghyang Bojog itu. Apalagi sampai menyentuh, penarinya bisa galak. Bisa saja digigit. Gigitannya seperti juga digigit bojog asli. Tari Sanghyang Bojog ini hanya bisa dikendalikan oleh Jro Mas Suyasa sendiri.
“Selain saya tidak bisa. Dulu pernah ada mencoba memperbaiki pakaiannya, karena memang lepas. Ternyata malah digigit,” terangnya.
Saat menari, Sanghyang Bojog ini tidak diiringi gamelan. Hanya diiringi kidung. Menari bisa sampai dua jam. Kidung mengarahkan tingkah laku sang penari. “Kalau kidungnya naik ke pohon, ya, sanghyangnya naik,” imbuhnya. Penarinya bisa kembali sadar setelah diperciki tirta.