MAKNA GONG KEBYAR DI MASA SEKARANG
Posted Under: Tak Berkategori
Kesenian sebagai anak dari kebudayaan merupakan sebuah hasil karya budhi manusia yang sejatinya tidak berwujud secara real. Kebudayaan adalah bersifat fleksibel mengikuti perkembangan zaman, sehingga dalam perkembangannya masyarakat pendukungnya dituntut secara sadar mengikuti perkembangan zaman dengan tetap berpatokan kepada tradisi yang ada. Salah satu fenomena yang bisa diamati secara nyata adalah akulturasi budaya. Akulturasi adalah percampuran antara budaya luar dengan budaya asli tanpa menghilangkan kebiasaan tradisi budaya aslinya. Akulturasi sebagai fenomena transformasi budaya tidak hanya terjadi pada adat istiadat masyarakat Bali, tetapi juga dialami oleh sebagian besar wujud kebudayaan masyarakat Hindu di Bali. Salah satu diantaranya adalah akulturasi yang terjadi didalam Gong Kebyar.
Sebagai sebuah ensamble yang paling fleksibel terhadap masuknya pengaruh budaya musik dari luar, Gong Kebyar merupakan wujud kebudayaan yang menarik untuk dikaji, karena dalam perkembangannya dapat dipetik suatu relasi mengenai kebudayaan dan perkembangannya. Di dalam perkembangannya, dapat diketahui bahwa perjalanan gong kebyar dari abad ke-20 hingga sekarang membawa banyak perubahan yang melibatkan sebuah dentuman akulturasi diberbagai aspek pendukungnya. Gong Kebyar tidak saja membawa pengaruh terhadap ensamble musik Bali yang lainnya, tetapi Gong Kebyar dengan kefleksibelitasannya juga menerima unsur-unsur musikalitas dari musik luar. Gong Kebyar sebagai musik tradisional, yakni oleh masyarakat Bali sering disebut-sebut sebagai seni klasik, adiluhung, dan fungsional, dianggap sebagai sebuah barungan ideal yabg mencerminkan nilai-nilai luhur kebudayaan Bali sehingga perlu dilestarikan melalui kontrol sosial secara internal dengan membentuk keyakinan pada norma yang berlaku. Kontrol sosial secara internal untuk mempertahankan eksistensi Gong Kebyar sebagai musik tradisional Bali ini membentuk sistem dan gagasan-gagasan yang bersifat mengeuasai, yakni oleh Gramsci disebut hegemoni (dalam Arya Sugiartha, 2012:67, Atmaja, 2010:203, Barker, 2005:13). Dalam hal ini hegemoni berkait dengan situasi tempat “block histories” suatu kelompok yang berkuasa mendapatkan kewenangan dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat dengan cara memenangi kesadaran.
Gong Kebyar sebagai barungan yang terdiri sari berbagai jenis alat yang dimainkan dengan cara dipukul, digesek, ditiup, sebenarnya mengandung sebuah konsep diferensiasi dan stratifikasi sosial. Relasinya dengan penggunaan Gong Kebyar sebagai media ungkap seni pertunjukkan di Bali adalah diketemukanya sebuah penglompokkan dan pengklasifikasian instrumen menurut cara memainkannya. Di awal penciptaanya (awal abad ke-20), Gong kebyar sebagai sebuah barungan yang tergolong barungan baru secara terang-terangan menampilkan peranan kendang sebagai pemurba irama dan pemberi aksentuasi-aksentuasi terhadap gending, peranan instrumrn yang lainya seolah-olah hanya berfungsi sebagai komplemen (pelengkap), sehingga menimbulkan sebuah kesan diskriminatif. Disini akan diulas secara konsep kebudayaan mengenai startifikasi dan pengaruh Gong Kebyar terhadap barungan gamelan Bali yang lainnya. Sehingga kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan dapat dipahami dengan virtuositas berpikir yang berlandaskan konsepsi kebudayaan.
Dalam dunia Antropologi Budaya, kehidupan yang bersifat komunal dalam bentuk susunan masyarakat mempunyai implikasi adanya suatu kedudukan ataupun tingkatan-tingkatan yang berbeda satu sama lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari banyak terdapat suatu perbedaan terhadap hak dan kewajiban antara seorang pria maupun wanita. Perbedaan inilah yang disebut dengan Deferensiasi Sosial.
Kedudukan-kedudukan dalam masyarakat, sering mendapat pengukuran penting dan tidak penting (rating), dan penilaian tinggi dan rendah (ranking) dari para warga masyarakat atau orang yang menempati kedudukan tersebut. Perbedaan tinggi rendah inilah yang saring disebut dengan Stratifikasi sosial.
Relasinya dengan Dunia Gong kebyar adalah bahwa di dalam gong kebyar sendiri juga terjadi suatu fenomena Diferensiasi dan Stratifikasi sosial. Dilihat dari segi Diferensiasi sosial bahwa masing-masing instrumen dalam gong kebyar itu memiliki tugas (Kewajiban) yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan sebuah pementasan. Secara sederhana, tidak salah kiranya jika penulis menempatkan kendang sebagai sebuah bagian dari Gong Kebyar yang berfungsi sebagai pemurba irama (pemberi aksentuasi) dan secara tak langsung memiliki kedudukan yang paling istimewa (jika dilihat dari segi stratifikasi). Mengapa tidak, sebab di masyarakat jika ada sebuah even-even pertunjukkan ataupun pementasan gong Kebyar mungkin kita sering mendengar kata “Nyen tukang kendangne sekaa gongnge ento?”. Seorang pengendang dan kendangnya memang mendapat sorotan lebih di mata masyarakat pencinta gong kebyar, terlebih lagi seorang pengendang itu memiliki virtuositas yang tinggi. Sehingga dalam berimprovisasi dapat menarik perhatian para penontonnya. Biasanya yang sering mendapat sorotan lebih adalah tukang Ugal, dan tukang Terompong.
Mengenai akulturasi budaya, telah menjadi keyakinan umum bahwa dalam akulturasi kebudayaan dan dalam relasi antar kebudayaan, kebudayaan yang kuat akan selalu menguasai. Kebudayaan yang lemah lama-kelamaan akan menyesuaikan diri terhadap yang kuat dalam prosesnya memasuki jalur peradaban yang lebih dominan. Cepat atau lambat hukum “pengaruh-mempengaruhi” ini akan menunjukkan dampak bagi perkembangan sebuah system budaya. Ada kalanya kontinuitas masih dapat dipertahankan, akan tetapi tidak jarang menjadi terkubur oleh keasyikan budaya jamannya.
Melalui makalah ini penulis mencoba mengungkapkan sebuah fenomena budaya yang terjadi pada kehidupan seni pertunjukkan di Bali. Fenomena Budaya yang terjadi tentu membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan di dalam susunan masyarakat.
sumber : Buku sejarah gong kebyar