BENTUK-BENTUK PETUALANGAN NGABEN

This post was written by Sanjaya on Juli 11, 2014
Posted Under: Tak Berkategori

    kkkjjkhkhkjkkhkj Di Bali kesenian itu lahir dan berkembang dengan subur yang saling tunjang-menunjang dengan kehidupan beragama terwujud dalam pelaksanaan Panca Yadnya, dan salah satu diantaranya adalah, Pitra Yadnya. Dalam melaksanakan upacara Pitra Yadnya da;am hal ini upacara ngaben, dibuat saran-saran upacara yaitu wadah dan petualangan dihiasi dengan bermacam-macam hiasan dari kertas, kain, kapas, benang berwarna-warni merupakan media yang baik dalam mengungkapkan rasa keindahan. Petualangan berasal dari kata tulang atau galih atau jenasah yang akan diupacarai. Kata tulang mendapat awalan pe dan aakhiran an menjadi petualangan. Jadi petualangan berarti sesuatu alat atau tempat tulang atau jenasah pada pembakaran mayat. Petualangan sebagai tempat pembakaran mayat umumnya berbentuk binatang-binatang tertentu yang bersifat simbolis. Ada pula berbentuk peti sederhana (gerombong polos) yang di beri kaki dan ekor yang disebut petualangan bentuk tabla. Dalam keadaan darurat petualangan dibuat dari batang pisang, disusun sedemikian rupa, dilengkapi pula dengan bentuk kepala sehingga menyerupai bentuk binatang.

    Kebiasaan membuat petualangan untuk kelengkapan sarana upacara ngaben di Bali, telah diwariskan secarra turun temurun oleh nenek moyang dari zaman dahulu sampai sekarang. Walaupun banyak para ahli menulis tentang upacara ngaben dengan segala pralatannya, namun belum banyak yang meninjau dari undur-unsur seni rupanya. Bertitik tolak dari beberapa pentingnya arti petualangan baik fungsi dan estetisnya, kajian petualangan ini dilihat dari unsur-unnsur seni rupanya yaitu bentuk, proporsi, anatomi, hiasan serta pewarnaan petualangan dalam berbagai bentuk. Diharapkan kajian ini dapat meningkatkan nilai estetis bentuk-bentuk petualangan dalaam upacara ngaben dan dapat memuaskan bagi masyarakat luas.

    Sejak zaman purba nenek moyang kita telah mengenal cara-cara penguburan mayat seperti sarkopagus. Sarkopagus adalah alat untuk penguburan mayat yang bentuknya seperti palung tetapi mempunyai tutup di atasnnya. Kubur batu yang sebetulnya tidak berbeda dengan petimayat dari batu, keempat dindingnya papan batu, begitu pula alas dan atapnya dari papan batu. Cara-cara penguburan mayat dalam sarkopagus berkembang dalam bentuk penguburan jaman sekarang. Kemudian ditingkatkan sesuai dengan perkembangan kerohanian dengan masuknya agama Hindu di Indonesia. Kita mengenal candi-candi yang pada masa pengaruh Hindu didirikan, tidak lain fungsinya untuk menyimpan abu jenasahpara raja pada jaman tersebut. Terdapat kata abu adalah keterangan yang  menunjukkan bahwa pembakaran mayat sudah biasa dilakukankebiasaan ini belangsung terus, disempurnakan pada masa datangnya pengaruh Kerajaan Majapahit dari Jawa Timur.  Menurut lontar Babad Dalem Katiagan, milik I Ketut Rinda dikatakan bahwa pada suatu waktu Raja Watu Renggong bertanya pada Hyang Nirartha, tentang mana yang lebih mulia, antara swadharma seorang kesatria sebagai raja swadharma seorang brahmana sebagai pendeta. Dari pertanyaan tersebut jawaban yang di peroleh bahwa keduanya adalah sam utamanya, hanya jalan yang berbeda. Kalau kwbrahmanaan menjalankan ajaran kepanditaan, kerohanian (dharma), sedangkan kesatria menjalankan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat serta kekuasaan dalam pemerintahan. Denag penjelasan itu, maka raja Dalem Watu Renggong memilih swadharma kesatria sebagai seorang raja yang memiliki rakyat banyak untuk mengusung jenasahnya kelak setelah meninggal. Untuk itu beliau meminta dibuatkan petualangan berbentuk lembu dan bade sebagai tempat usungan jenasah. Dari penjelasan di atas maka bade dan petualangan sebagai peralatan upacara “ngaben”(pembakaran jenasah) baaru dikenal setelah pemerintahan Dalem Watu Renggong yang memerintah di Gelgel.

    Fungsi petualangan dalam upacara ngaben sangat erat kaitannya dengan kepercayaan nenek moyang terhadap binatang-binatang yang dianggap suci, keramat, memiliki kekuatan dan dijadikan lambang-lambang tertentu. Seperti kerbau yang terdapat diseluruh tanah air dipandang sebagai lambang kesuburan, sebagai penolak roh-roh jahat dan sebagai tunggang roh leluhur di akhirat. Di daerah Toraja, Sulawesi pada waktu ritual kematian banyak kebau dipotong, satu diantara kerbau tersebut dianggap sebagai kendaraan orang yang meninggal di akhirat. Hiasan rumah masyarakat Toraja Dibuat dari kayu berbentuk kerbau. Hal ini ada persamaan dengan petualangan berbentuk lembu pada upacara ngaben di Bali. Binatang kerbau mempunyai arti yang sangat penting dalam upacara penjenasahan. Kepercayaan terhadap binatang menjangan yang disucikan, digambarkan dalam bangunan bagian muka dari menjangan seluang mospait, rumah suci untuk dewa Mojopahit dalam kuil di Pura Desa Singaraja Bali, suatu peringatan terhadap perpindahan orang Hindu Jawa ke Bali setelah jatuhnya Majapahit. Di Bali kepercayaan terhadap binatang lembu seagai binatang yang disucikan. Lembu dipercaya sebagai wahananya Dewa Siwa. Dewa Brahma dipandang sebagai dewa pencipta segala yang ada, wahananya binatang singa. Sedangkan Dewa Wisnu berfungsi sebagai pemelihara, wahananya naga. Binatang-binatang tersebut disucikan, dihormati, sebagaimana menghormati dewa-dewa dengan manifestasinya masing-masing.

    Perwujudan petualangan dengan motif binatang, mengandung arti sebagai petunjuk jalan ke sorga bagi roh orang yang telah meninggal. Binatang nama lainnya sattwa terdiri dari kata sat dan twa. Sat berarti inti; twa berarti sifat. Jadi sattwa berarti bersifat esensiil dalam agama ialah sang Hyang Widhi. Dengan menggunakan petualangan berbentuk binatang, mengandung maksud agar roh secepatnya menuju Siwa Loka (ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sedangkan binatang tersebut sebagai perwujudkan petualangan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan umat terhadap kesucian dari bintang tersebut. Penggunaan petualangan dengan bentuk binatang ditentukan oleh sifat pewatakan serta kewajiban seseorang dalam masyarakat.  Menurut lontar awig-awig Denpasar milik Mangku Jero Kuta, Jagat Wewengkon Badung pemakaian bentuk petualangan diatur menurut susunan kasta yang ada di Bali yaitu 1) wangsa sudra jadma memakai petualangan bentuk gedarba atau bentuk macan, atau bentuk gajah mina; 2) Sang Aria memakai petualangan berbentuk menjangan. Sang Kesatria memakai petualangan bentuk singa; 3)Brahmana Wealaka memakai petualangan bentuk lembu hitam; dan 5) Pendeta memakai petualangan bentuk lembu putih. Sebagai tempat membakar jenasah dan secara spiritual, befungsi sebagai pengantar roh ke alam roh (sorga atau neraka) sesuai dengan hasilperbuatan di dunia. Menunjukan jenis sekte seseorang yang dianut seluhhurnya, menunjukan watak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat, menunjukan rasa bakti dan penghormatan terhadap dewa-dewa, karena dengan meniru wahananya sebagai saranaa upacara. Maka seolah-olah lebih dekat dengan Ida Sang Hyang Widhi. Sebagai pernyataan rasa seni yang menimbuulkan kepuasan batin bagi yang diupacarai,orang yang menyelengarakan upacara.Seniman yang mengerjakan ,dan masyarakat luas yang menikmatinya. Menurut lontar Yamaa Tatwa milik Pedanda Gede Manuaba, dari Griya Anyar Padang Tegal Ubud, Gianyar menyebutkan petualangan berbentuk; naga,lembu,singa,macan dan tabla. Sedangkan lontaar awig-awig Yama Purana Tatwa tertuulis petualangan berbentuk; gedarba,macan,gajah mina,menjangan,lembu dan singa. Jenis atau bentuk-bentuk petualangan sebagai berikut; Petualangan lembu putih dan lembu hitam idealanya binatang lembu dipakai oleh orang yang dipandang sudi sperti para pendeta, para pemangku(lembu,putih) dan lembu hitam oleh kesatria dan brahmana welaka. Bentuk petualangan singa bentuknya idelis singa warnanya merah  tua bersayap. Umumnya dipakai oleh raja-raja dan warga pasek. Petualangan bentuk naga kaarng, ialah bentuk idealis naga dikombinaasikan dengan ikan, berkepala naga badan bersisik ikan bersayap . Kaki sebagai kaki lembu dan besisik pada bagaian belakang kaki, dipakai oleh para arya sentong,sekte wisnu.

sumber : bheri isi denpasar 2008

Comments are closed.