MENGENAL TOKOH RUPA

MENGENAL TOKOH RUPA
Pelukis besar Kelahiran Kisaran, Sumatra Utara, 14 Dessember 1913, dia sangat menguasai teknik melukis dengan hasil lukisan yang berbobt. Dia guru bagi beberapa pelukis Indonesia. Selain itu, dia mempunyai pengetahuan luas tentang seni rupa. Dia kritikus seni rupa pertama di Indonesia.
Ia seorang nasionalis yang menunjukan pribadinya melalui warna-warna dan pilihan subjek. Sebagai kritikus seni rupa, dia sering mengecam Basoeki Abdullah sebagai tidak nasionalistis, karena melukis perempuan cantik dan pemandangan alam. Pak djon dan Basuki dianggap sebagai musuh bebuyutannya, bagai air dan api sejak tahun 1935.
Tapi beberapa bulan sebelumnyaPak Djon meninggal di Jakarta, 25 Maret 1985, pengusaha Ciputra mempertemukan Pak Djon dengan Basuki bersama pelukis Affandi dalam pameran bersama di pasar seni ancol, Jakarta. Sehingga menteri P&K Fuad Hassan, ketiak itu, menyebut pameran bersama ketiga raksasa seni lukis itu merupakan peristiwa sejarah yang penting.
Pak Djon lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa, buruh perkebunandi Kisaran,Raja Pejuang Batak melawan Kolonialis Belanda Sumuatra Utara. Namun sejak usia empat tahun, ia menjadi anak asuh. Yudhokusomo, seorang guru HIS, tempat Djon kecil sekolah, melihat kecerdasan dan bakatnya dan mengangkatnya sebagai anak. Yudhokusomo, kemudian membawanya ke Batavia tahun 1925.
Djon menamatkan HIS di Jakarta. Kemudian SMP di Bandung dan SMA Taman Siswa di Wakil Presiden Republik Indonesia(1972-1978) Yogyakarta. Dia pun sempat belajar khusus monitor sebelum belajar melukis pada RM Pringadie selama beberapa bulan dan pelukis Jepang Chioji Yazaki di Jakarta. Bahkan sebenarnya pada awalnya dia lebih mempersiapkan diri menjadi guru daripada pelukis. Dia sempat mengajar di Taman Siswa. Setelah lulus Taman Guru di Perguruan Taman Siswa Wakil Presiden Republik Indonesi (1972-1978) Yogyakarta, ia ditugaskan Menteri Pendidikan, Pengajarn dan Kebudayaan yang pertama Ki Hajar Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Madiun tahun 1931.
Namun, Sudjojono yang berbakat melukis dan banyak membaca tentang seni lukis modern Eropa, itu akhirnya lebih memilih jalan hidup sebagai pelukis. Pada tahun 1937, dia pun ikut pameran bersama pelukis Eropa di Kunstkring Jakrya, Jakarta. Keikutsertaannya pada pameran itu, sebagi awal yang memopulerkan namanya sebagai pelukis. Bersama sejumlah pelukis, ia mendirikan Persagi (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia), 1937. Sebuah serikat yang kemudian dianggap sebagai awal seni rupa modern Indonesia. Dia sempat menjadi sekretaris dan juru bicara Persagi.
Sudjojono, selain piawai melukis , juga banyak menulis beberapa buku dan berceramah tentang pengembangan seni lukis modern. Dia menganjurkan dan menyebarkan gagasan, pandangan dan sikap tentang lukisan, pelukis dan peranan seni dalam masyarakat dalam banyak tulisannya. Maka, komunitas pelukis pun memberinya predikat: Bapak Seni Lukis Indonesia Baru.
Lukisannya mempunyai ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol pada pemandangan alam, sosok manusia, serta suasananya. Pemilihan objek itu lebih didasari hubungan batin, cinta, dan simpati sehingga tampak bersahaja. Lukisannya yang monumental antara lain berjudul: Di Depan Kelambu Terbuka, Cap Go Meh, Pengungsi dan Seko.
Dalam komunitas seni-budaya, kemudian Djon masuk Lekra, lalu masuk PKI. Dia sempat terpilih mewakili partai itu di parlemen. Namun pada tahun 1957, ia membelot. Salah satu alasannya, bahwa buat dia eksistensi Tuhan itu positif, sedangkan PKI belum bias memberikan jawaban positif atas hal itu. Di samping ada alasan lain yang tidak diungkapkannya yang juga diduga menjadi penyebab Djon mencerraikan istri pertamanya, Mia Bustam. Lalu dia menikah lagi dengan penyanyi Seriosa, Rose Pandanwangi. Nama isterinya ini lalu diabadikannya dalam nama Sanggar Pandanwangi. Darii pernikahannya dia dianugrahi 14 anak.
Di tengah kesibukannya, dia rajin berolah raga. Bahkan pada masa mudanya, Djon tergabung kesebelasan Indonesia Muda, sebagai kiri luar, bersama Maladi (bekas Menteri Penerangan dan Olah Raga) sebagai kiper dan Pelukis Rusli kanan luar.
Itulah Djon yang sejak 1958 hidup sepenuhnya dari lukisan. Dia juag tidak sungkan menerima pesanan, sebagai suatu cara professional dan halal untuk mendapatkan uang. Pesanan itu, juga sekaligus merupakan kesempatan latihan membuat bentuk, warna dan komposisi.
Ada beberapa karya pesanan yang di banggakannya. Di antaranya, pesanan pesanan Gubernur DKI, yang melukiskan adegan pertempuran Sultan Agung melawan Jan Pieterszoon Coen, 1973. Lukisan ini berukuran 300310 meter, ini dipajang di Museum DKI Fatahillah.
Secara profesional, penerima Anugerah Seni tahun 1970, ini sangat menikmati kepopulerannya sebagai seorang pelukis ternama. Karya-karyanya diminati banyak orang dengan harga yang sangat tinggi di biro-biro lelang luar negeri. Bahkan setelah dia meninggal pada tanggal 25 Maret 1985 di Jakarta, karya-karyanya masih dipamerkan di beberapa tempat, antara lain di; Festival of Indoonesia (USA,1990-1992); Gate Foundatiaon (Amsterdam, Holland, 1993); Singapore Art Museum (1994; Center of Strategic and Internasional Studies (Jakarta, Indonesia, 1996); ASEAN Master works ( Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998).

Sumber : Buku Seni Budaya .
wwww.tokohindonesia.com

TARI BARIS DI SAKRAL

    fghjk Para penari Baris Sakral yang ada di Desa Adat Penglipuran, yang terdiri dari penari Baris Jojor berjumlah enam belas orang, mereka adalah anggota masyarakat yang belum kawin yang bergabung dalam organisasi Sekha Teruna Teruni. Penari Baris Presi berjumlah 4 orang, sedangkan keanggotaan Sekha penari Baris Presi ini berjumlah 12 orang dan mereka adalah yang sudah berkeluarga, tetati bersetatus pengayah pengerob. Penari Baris Bedil berjumlah 16 orang, dan keanggotaan Sekha Baris Bedil ini berjumlah dua puluh orang. Mereka adalah sudah berkeluarga, tetapi bersetatus pengayah pengerob. Disamping pengayah pengerob untuk Penari Baris Presi dan Baris Bedil dapat juga ditarikan oleh “pengayah pengarep” yang memang mempunyai bakat sebagai penari Baris tersebut. Para penabuh juga dilakukan oleh masyarakat itu sendiri baik pengayah pengerob maupun penggarep yang memang mempunyai bakat atau kehalian sebagai penabuh yang jumlahnya 40 orang yang biasanya disesuaikan dengan jumlah perangkat gambelan yang ada. Adapun jenis tari-tarian sakral yang ada di Desa Adat Penglipuran: 1) Tari Baris Jojor adalah tari Baris yang di tarikan oleh sekha Teruna atau mereka yang belum berkeluarga atau belum kawin dengan bersenjataan jojor atau tombak dan biasanya si tarikan oleh 16 orang. 2) Tari Baris Bedil adalah tari Baris yang di tarikan oleh orang yang sudah berkeluarga atau sudah kawin yang bersenjataan bedil yang terbuar dari kayu yang menyerupai bedil. Tari Baris Bedil biasanya ditarikan oleh 16 orang Penari Baris Bedil. 3) Tari Baris Presi adalah tari Baris yang ditarikan oleh orang yang sudah berkeluarga atau sudah kawin, Tari Baris Presi ini para penarinya menggunakan Presi sebagai senjata, yang ditarikan oleh 4 orang penari Baris Presi. Jenis tarian Baris tersebut di atas adalah merupakan tari-tarian sakral yang hanya dapat ditarikan oelh orang laki-laki saja, yang dalam pementasannya diiringi dengan gambelan gong gede oleh Sekha gong Desa Adat Penglipuran.

   Adapun upaya pelestarian melalui sistem regenerasi ekspresi seni dimaksud dilakukan oleh Desa Adat Penglipuran sebagai sebuah pementasan nilai spiritualitas masyarakatnya adalah melalui: 1) Membentuk Sekha-Sekha tari Baris sakral yang keanggotaannya diambil dari Tari Baris sakral. Di samping itu, penari Baris dapat juga diambil dari pengayah pengerob, bagi mereka yang mempunyai bakat sebagai penari Baris. 2) Dengan membentuk sekha gong sebagai pendukung pementasan tari sakral, keanggotaannya diambil dari pengayah pengayah pengerob yang memang wajib untuk menjadi anggota sekha gong. Di samping itu, juga dapat diambil dari pengayah yang menekuni seni tabuh atau gambelan gong gede.

   Di samping membentuk sekha-sekha tari Baris dan sekha gong pementasan tari-tarian sakral tersebut, di beberapa tempat lainnya sebagai desa bebanuan, Desa Adat Penglipuran, yaitu di Desa Bayung Gede Kecamatan Kintamani dan Desa Adat Sulahan, Kecamatan Susut. Pementasan ini sebagai bentuk ekspresi seni keagamaan (seni sakral) agar keberlanjutannya dapat tetap dipertahankan hingga saat ini. Ini berarti sistem regenerasinnya memalui jalur informal dan non-informal khususnya melalui ranah tradisi adat Desa Penglipuran. Awig-awig adat telah memberikan rambu-rambu tranformasi nilai seni keagamaan ini secara hukum adat, sehingga memiliki kekuatan dalam pembinaan generasi muda untuk menekuni seni keagamaan ini. Dalam konteks teori estetika Hindu Bali, maka transformasi nilai seni keagamaan akan sampai pada kepuasan estetik jika telah terjadi keselarasan antara irama,gambelan,tenaga,penghayatan atas peran,dialog dan ekspresi atau karakter tokoh yang diperankan. Sebagai penumbuh kekuatan semua itu di landasi oleh konsep tiga wisesa, yakni satyam,siwam,sundaram; sebuah keindahan yang suci (penghayatan kepada kepada yang Maha Pencipta) dan secara etika benar atau mengandung kebenaran (pesan). Ketika konsep ini merupakan totalitas estetika yang tidak hanya menyentuh aspek estetika ragawi (fisik) namun juga estetika metafisik. Di situlah seni sebagai sarana pemujaan kepada dewa keindahan yang abadi (Tuhan) untuk mencapai hubungan yang seimbang secara kosmologi. Sang seniman melakukan kontemplasi estetik untuk dapat memohon kekuatan atas peran yang dimainkan, sehingga karakter tokoh yang dimainkan menjadi lengut,adung,pangus,serta mataksu. Inilah konsep sistem transformasi nilai seni keagamaaan yang sesungguhnya penting untuk ditularkan malaui tradisi adat khususnya awig-awig sebagaimana yang terjadi di Desa Adat Penglipuran itu. Tari Baris Sakral yang ada di Desa Adat Penglipuran ada tiga jenis, yaitu Tari Baris Jojor,Tari Baris Presi dan Tari Baris Bedil. Ketiga tari Baris tersebu adalah berfungsi sebagai tari penyelenggaraan upacara dewa yadnya.Pementasan Tari Baris Sakral yersebut disamping memperlihatkan unsur seni tari, juga tidak kalah pentingnya bahwa semua jenis tari Baris sakral itu dalam pungsinya sebagai tari penyelenggara upacagra dewa yadnya adalah pempunyai nilai-nilai spiritual yang sangat dalam, bahwa antara pementasan tari baris sakral dengan plaksanaan upacara dewa yadnya sebagai satu kesatuan yang utuh. Seperti yang telah dijelaskan di atas, salah satu pungsi musik dan tari dari deretan fungsi itu dapat ditegaskan , yakni fungsi persembaha simbolis dan fungsi upacara tampaknya tepat sekali untuk menyimak fungsi Baris sakral di Desa Adat Penglipuran. Funsi ini tetap di perhatika sekarang ini, meskipun penglipuran telah menjadi daerah tujuan wisata. Untuk meneskan pendapat Soedarsono ( 1985:18)yang mengatakan bahwa di Bali perkembangan rittual seni pertunjukan terjadi perubahan, seperti tari pendet dan tari abor yang fungsi aslinya adalah tari yang agak sakral untuk para dewa dan dipertunjukan dibagianpaling dalam dan suci, karena pengaruh pariwisata tambah fungsinya menjadi tari penyambutan untuk tamu-tamu agung. Sekali lagi dapat digarisbawahi bahwa kusus tari Baris sakral ini ternyata tidak demikian, sebab fungsinya semula masih dipertahankan sampai sekarang. Setiap anggota masyarakat yang sebagai pendukung pementasan Tari Baris Sakral, adalah juga tidak dapat dipisahkan dengan sakaa tubuh atau mereka yang memainkan gambelan sebagai pengiring setiap jenis tari Baris yang akan di dipentaskan.Setiap pendukung pementas tari Baris Sakraltersebut mempunyai sati keinginan untuk ngaturangayah sebagai perwujudan rasa bakti ke pada Tuhan Yang Maha Esa dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara Dewa Yadnya, sehingga baik penari maupun penabuh dengan sendirinya mereka terlibat dalam proses upacara melestarikan nilai-nilai spiriyual dari Tari Baris Sakral yang ada. Ini berarti fungsi tari Baris Sakral tersebut sebagai wahana pemujaan kepada Tuhan, khususnya pada waktu upacara piodalan.Fungsi sosiaal Baris sakral penekanannya ada beberapa aspek di luar struktur intrinsik, namun menjadi inti dari karya seni. Oleh karena Baris sakral ;itu di pentaskan, maka pementasan tentu melibatkan beberapa aspek sosial diluar seni. Sebagai sebuah kesenian Bali secara fungsional dapat olongkan menjadi tiga kelompok, yaitu, (1)tari wali(sacred religius dance.).(2)tari bebeli(ceremonical dance),dan (3)tari balih-balihan (secular dance Untuk itu Anthony Shay sebagaimana dikutip Bandem(1996:28)menyebutkan enam fungsi tari, yakni pertama, tari sibagai refleksi dan validasi organisasi sosial.

sumber : Buku sejarah tari baris

BENTUK-BENTUK PETUALANGAN NGABEN

    kkkjjkhkhkjkkhkj Di Bali kesenian itu lahir dan berkembang dengan subur yang saling tunjang-menunjang dengan kehidupan beragama terwujud dalam pelaksanaan Panca Yadnya, dan salah satu diantaranya adalah, Pitra Yadnya. Dalam melaksanakan upacara Pitra Yadnya da;am hal ini upacara ngaben, dibuat saran-saran upacara yaitu wadah dan petualangan dihiasi dengan bermacam-macam hiasan dari kertas, kain, kapas, benang berwarna-warni merupakan media yang baik dalam mengungkapkan rasa keindahan. Petualangan berasal dari kata tulang atau galih atau jenasah yang akan diupacarai. Kata tulang mendapat awalan pe dan aakhiran an menjadi petualangan. Jadi petualangan berarti sesuatu alat atau tempat tulang atau jenasah pada pembakaran mayat. Petualangan sebagai tempat pembakaran mayat umumnya berbentuk binatang-binatang tertentu yang bersifat simbolis. Ada pula berbentuk peti sederhana (gerombong polos) yang di beri kaki dan ekor yang disebut petualangan bentuk tabla. Dalam keadaan darurat petualangan dibuat dari batang pisang, disusun sedemikian rupa, dilengkapi pula dengan bentuk kepala sehingga menyerupai bentuk binatang.

    Kebiasaan membuat petualangan untuk kelengkapan sarana upacara ngaben di Bali, telah diwariskan secarra turun temurun oleh nenek moyang dari zaman dahulu sampai sekarang. Walaupun banyak para ahli menulis tentang upacara ngaben dengan segala pralatannya, namun belum banyak yang meninjau dari undur-unsur seni rupanya. Bertitik tolak dari beberapa pentingnya arti petualangan baik fungsi dan estetisnya, kajian petualangan ini dilihat dari unsur-unnsur seni rupanya yaitu bentuk, proporsi, anatomi, hiasan serta pewarnaan petualangan dalam berbagai bentuk. Diharapkan kajian ini dapat meningkatkan nilai estetis bentuk-bentuk petualangan dalaam upacara ngaben dan dapat memuaskan bagi masyarakat luas.

    Sejak zaman purba nenek moyang kita telah mengenal cara-cara penguburan mayat seperti sarkopagus. Sarkopagus adalah alat untuk penguburan mayat yang bentuknya seperti palung tetapi mempunyai tutup di atasnnya. Kubur batu yang sebetulnya tidak berbeda dengan petimayat dari batu, keempat dindingnya papan batu, begitu pula alas dan atapnya dari papan batu. Cara-cara penguburan mayat dalam sarkopagus berkembang dalam bentuk penguburan jaman sekarang. Kemudian ditingkatkan sesuai dengan perkembangan kerohanian dengan masuknya agama Hindu di Indonesia. Kita mengenal candi-candi yang pada masa pengaruh Hindu didirikan, tidak lain fungsinya untuk menyimpan abu jenasahpara raja pada jaman tersebut. Terdapat kata abu adalah keterangan yang  menunjukkan bahwa pembakaran mayat sudah biasa dilakukankebiasaan ini belangsung terus, disempurnakan pada masa datangnya pengaruh Kerajaan Majapahit dari Jawa Timur.  Menurut lontar Babad Dalem Katiagan, milik I Ketut Rinda dikatakan bahwa pada suatu waktu Raja Watu Renggong bertanya pada Hyang Nirartha, tentang mana yang lebih mulia, antara swadharma seorang kesatria sebagai raja swadharma seorang brahmana sebagai pendeta. Dari pertanyaan tersebut jawaban yang di peroleh bahwa keduanya adalah sam utamanya, hanya jalan yang berbeda. Kalau kwbrahmanaan menjalankan ajaran kepanditaan, kerohanian (dharma), sedangkan kesatria menjalankan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat serta kekuasaan dalam pemerintahan. Denag penjelasan itu, maka raja Dalem Watu Renggong memilih swadharma kesatria sebagai seorang raja yang memiliki rakyat banyak untuk mengusung jenasahnya kelak setelah meninggal. Untuk itu beliau meminta dibuatkan petualangan berbentuk lembu dan bade sebagai tempat usungan jenasah. Dari penjelasan di atas maka bade dan petualangan sebagai peralatan upacara “ngaben”(pembakaran jenasah) baaru dikenal setelah pemerintahan Dalem Watu Renggong yang memerintah di Gelgel.

    Fungsi petualangan dalam upacara ngaben sangat erat kaitannya dengan kepercayaan nenek moyang terhadap binatang-binatang yang dianggap suci, keramat, memiliki kekuatan dan dijadikan lambang-lambang tertentu. Seperti kerbau yang terdapat diseluruh tanah air dipandang sebagai lambang kesuburan, sebagai penolak roh-roh jahat dan sebagai tunggang roh leluhur di akhirat. Di daerah Toraja, Sulawesi pada waktu ritual kematian banyak kebau dipotong, satu diantara kerbau tersebut dianggap sebagai kendaraan orang yang meninggal di akhirat. Hiasan rumah masyarakat Toraja Dibuat dari kayu berbentuk kerbau. Hal ini ada persamaan dengan petualangan berbentuk lembu pada upacara ngaben di Bali. Binatang kerbau mempunyai arti yang sangat penting dalam upacara penjenasahan. Kepercayaan terhadap binatang menjangan yang disucikan, digambarkan dalam bangunan bagian muka dari menjangan seluang mospait, rumah suci untuk dewa Mojopahit dalam kuil di Pura Desa Singaraja Bali, suatu peringatan terhadap perpindahan orang Hindu Jawa ke Bali setelah jatuhnya Majapahit. Di Bali kepercayaan terhadap binatang lembu seagai binatang yang disucikan. Lembu dipercaya sebagai wahananya Dewa Siwa. Dewa Brahma dipandang sebagai dewa pencipta segala yang ada, wahananya binatang singa. Sedangkan Dewa Wisnu berfungsi sebagai pemelihara, wahananya naga. Binatang-binatang tersebut disucikan, dihormati, sebagaimana menghormati dewa-dewa dengan manifestasinya masing-masing.

    Perwujudan petualangan dengan motif binatang, mengandung arti sebagai petunjuk jalan ke sorga bagi roh orang yang telah meninggal. Binatang nama lainnya sattwa terdiri dari kata sat dan twa. Sat berarti inti; twa berarti sifat. Jadi sattwa berarti bersifat esensiil dalam agama ialah sang Hyang Widhi. Dengan menggunakan petualangan berbentuk binatang, mengandung maksud agar roh secepatnya menuju Siwa Loka (ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sedangkan binatang tersebut sebagai perwujudkan petualangan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan umat terhadap kesucian dari bintang tersebut. Penggunaan petualangan dengan bentuk binatang ditentukan oleh sifat pewatakan serta kewajiban seseorang dalam masyarakat.  Menurut lontar awig-awig Denpasar milik Mangku Jero Kuta, Jagat Wewengkon Badung pemakaian bentuk petualangan diatur menurut susunan kasta yang ada di Bali yaitu 1) wangsa sudra jadma memakai petualangan bentuk gedarba atau bentuk macan, atau bentuk gajah mina; 2) Sang Aria memakai petualangan berbentuk menjangan. Sang Kesatria memakai petualangan bentuk singa; 3)Brahmana Wealaka memakai petualangan bentuk lembu hitam; dan 5) Pendeta memakai petualangan bentuk lembu putih. Sebagai tempat membakar jenasah dan secara spiritual, befungsi sebagai pengantar roh ke alam roh (sorga atau neraka) sesuai dengan hasilperbuatan di dunia. Menunjukan jenis sekte seseorang yang dianut seluhhurnya, menunjukan watak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat, menunjukan rasa bakti dan penghormatan terhadap dewa-dewa, karena dengan meniru wahananya sebagai saranaa upacara. Maka seolah-olah lebih dekat dengan Ida Sang Hyang Widhi. Sebagai pernyataan rasa seni yang menimbuulkan kepuasan batin bagi yang diupacarai,orang yang menyelengarakan upacara.Seniman yang mengerjakan ,dan masyarakat luas yang menikmatinya. Menurut lontar Yamaa Tatwa milik Pedanda Gede Manuaba, dari Griya Anyar Padang Tegal Ubud, Gianyar menyebutkan petualangan berbentuk; naga,lembu,singa,macan dan tabla. Sedangkan lontaar awig-awig Yama Purana Tatwa tertuulis petualangan berbentuk; gedarba,macan,gajah mina,menjangan,lembu dan singa. Jenis atau bentuk-bentuk petualangan sebagai berikut; Petualangan lembu putih dan lembu hitam idealanya binatang lembu dipakai oleh orang yang dipandang sudi sperti para pendeta, para pemangku(lembu,putih) dan lembu hitam oleh kesatria dan brahmana welaka. Bentuk petualangan singa bentuknya idelis singa warnanya merah  tua bersayap. Umumnya dipakai oleh raja-raja dan warga pasek. Petualangan bentuk naga kaarng, ialah bentuk idealis naga dikombinaasikan dengan ikan, berkepala naga badan bersisik ikan bersayap . Kaki sebagai kaki lembu dan besisik pada bagaian belakang kaki, dipakai oleh para arya sentong,sekte wisnu.

sumber : bheri isi denpasar 2008

MAKNA GONG KEBYAR DI MASA SEKARANG

jjmjj

Kesenian sebagai anak dari kebudayaan merupakan sebuah hasil karya budhi manusia yang sejatinya tidak berwujud secara real. Kebudayaan adalah bersifat fleksibel mengikuti perkembangan zaman, sehingga dalam perkembangannya masyarakat pendukungnya dituntut secara sadar mengikuti perkembangan zaman dengan tetap berpatokan kepada tradisi yang ada. Salah satu fenomena yang bisa diamati secara nyata adalah akulturasi budaya. Akulturasi adalah percampuran antara budaya luar dengan budaya asli tanpa menghilangkan kebiasaan tradisi budaya aslinya. Akulturasi sebagai fenomena transformasi budaya tidak hanya terjadi pada adat istiadat masyarakat Bali, tetapi juga dialami oleh sebagian besar wujud kebudayaan masyarakat Hindu di Bali. Salah satu diantaranya adalah akulturasi yang terjadi didalam Gong Kebyar.

Sebagai sebuah ensamble yang paling fleksibel terhadap masuknya pengaruh budaya musik dari luar, Gong Kebyar merupakan wujud kebudayaan yang menarik untuk dikaji, karena dalam perkembangannya dapat dipetik suatu relasi mengenai kebudayaan dan perkembangannya. Di dalam perkembangannya, dapat diketahui bahwa perjalanan gong kebyar dari abad ke-20 hingga sekarang membawa banyak perubahan yang melibatkan sebuah dentuman akulturasi diberbagai aspek pendukungnya. Gong Kebyar tidak saja membawa pengaruh terhadap ensamble musik Bali yang lainnya, tetapi Gong Kebyar dengan kefleksibelitasannya juga menerima unsur-unsur musikalitas dari musik luar. Gong Kebyar sebagai musik tradisional, yakni oleh masyarakat Bali sering disebut-sebut sebagai seni klasik, adiluhung, dan fungsional, dianggap sebagai sebuah barungan ideal yabg mencerminkan nilai-nilai luhur kebudayaan Bali sehingga perlu dilestarikan melalui kontrol sosial secara internal dengan membentuk keyakinan pada norma yang berlaku. Kontrol sosial secara internal untuk mempertahankan eksistensi Gong Kebyar sebagai musik tradisional Bali ini membentuk sistem dan gagasan-gagasan yang bersifat mengeuasai, yakni oleh Gramsci disebut hegemoni (dalam Arya Sugiartha, 2012:67,  Atmaja, 2010:203, Barker, 2005:13). Dalam hal ini hegemoni berkait dengan situasi tempat “block histories” suatu kelompok yang berkuasa mendapatkan kewenangan dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat dengan cara memenangi kesadaran.

Gong Kebyar sebagai barungan yang terdiri sari berbagai jenis alat yang dimainkan dengan cara dipukul, digesek, ditiup, sebenarnya mengandung sebuah konsep diferensiasi dan stratifikasi sosial. Relasinya dengan penggunaan Gong Kebyar sebagai media ungkap seni pertunjukkan di Bali adalah diketemukanya sebuah penglompokkan dan pengklasifikasian instrumen menurut cara memainkannya. Di awal penciptaanya (awal abad ke-20), Gong kebyar sebagai sebuah barungan yang tergolong barungan baru secara terang-terangan menampilkan peranan kendang sebagai pemurba irama dan pemberi aksentuasi-aksentuasi terhadap gending, peranan instrumrn yang lainya seolah-olah hanya berfungsi sebagai komplemen (pelengkap), sehingga menimbulkan sebuah kesan diskriminatif. Disini akan diulas secara konsep kebudayaan mengenai startifikasi dan pengaruh Gong Kebyar terhadap barungan gamelan Bali yang lainnya. Sehingga kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan dapat dipahami dengan virtuositas berpikir yang berlandaskan konsepsi kebudayaan.

Dalam dunia Antropologi Budaya, kehidupan yang bersifat komunal  dalam   bentuk susunan masyarakat mempunyai implikasi adanya suatu kedudukan ataupun tingkatan-tingkatan yang berbeda satu sama lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari banyak terdapat suatu perbedaan terhadap hak dan kewajiban antara seorang pria maupun wanita. Perbedaan inilah yang disebut dengan Deferensiasi Sosial.

Kedudukan-kedudukan dalam masyarakat, sering mendapat pengukuran penting dan tidak penting (rating), dan penilaian tinggi dan rendah (ranking) dari para warga masyarakat atau orang yang menempati kedudukan tersebut. Perbedaan tinggi rendah inilah yang saring disebut dengan Stratifikasi sosial.

Relasinya dengan Dunia Gong kebyar adalah bahwa di dalam gong kebyar sendiri juga terjadi suatu fenomena Diferensiasi dan Stratifikasi sosial. Dilihat dari segi Diferensiasi sosial bahwa masing-masing instrumen dalam gong kebyar itu memiliki tugas (Kewajiban) yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan sebuah pementasan. Secara sederhana, tidak salah kiranya jika penulis menempatkan kendang sebagai sebuah bagian dari Gong Kebyar yang berfungsi sebagai pemurba irama (pemberi aksentuasi) dan secara tak langsung memiliki kedudukan yang paling istimewa (jika dilihat dari segi stratifikasi). Mengapa tidak, sebab di masyarakat jika ada sebuah even-even pertunjukkan ataupun pementasan gong Kebyar mungkin kita sering mendengar kata “Nyen tukang kendangne sekaa gongnge ento?”. Seorang pengendang dan kendangnya memang mendapat sorotan lebih di mata masyarakat pencinta gong kebyar, terlebih lagi seorang pengendang itu memiliki virtuositas yang tinggi. Sehingga dalam berimprovisasi dapat menarik perhatian para penontonnya. Biasanya yang sering mendapat sorotan lebih adalah tukang Ugal, dan tukang Terompong.

Mengenai akulturasi budaya, telah menjadi keyakinan umum bahwa dalam akulturasi kebudayaan dan dalam relasi antar kebudayaan, kebudayaan yang kuat akan selalu menguasai. Kebudayaan yang lemah lama-kelamaan akan menyesuaikan diri terhadap yang kuat dalam prosesnya memasuki jalur peradaban yang lebih dominan. Cepat atau lambat hukum “pengaruh-mempengaruhi” ini akan menunjukkan dampak bagi perkembangan sebuah system budaya. Ada kalanya kontinuitas masih dapat dipertahankan, akan tetapi tidak jarang menjadi terkubur oleh keasyikan budaya jamannya.

Melalui makalah ini penulis mencoba mengungkapkan sebuah fenomena budaya yang terjadi pada kehidupan seni pertunjukkan di Bali. Fenomena Budaya yang terjadi tentu membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan di dalam susunan masyarakat.

sumber : Buku sejarah gong kebyar

PENYATUAN SIVA-BUDHA MELALUI AJARAN TANTRA

images

    Sebagain besar sarjana menerima bahwa Tantrayana adalah faktor utama yang memberi ruang terjdinya fusi antara Sivaisme dan Buddhisme sehingga menjadi suatu masad keagamaan yang berdiri sendiri di Indonesia. Bahkan Moens secara khusus melukiskan bahwa Tantrayana, khusunya Kalacakratantra, bertanggung jawab atas penyatuan masab Siva-Budha di Indonesia. Zoetmulder menerima penapat Krom tentang pengaruh Tantrayana dan menanamkan phenomena ini dengan nama “tantirme-bhairava-bouddhique”, yang ditandai dengan pelaksanaan upacara inisiasi di pekuburan dan disertai dengan minum darah, alkohol dan hubungan sex.

    Tantra adalah suatu kombinasi yang unik antara mantra,upacara dan pemujaan secara total. Ia adalah agama dan juga philosopy, yang berkembang  baik dalam Hinduisme maupun Budhisme. Definisi tantra dijelaskan dalam kaliamat ini; shasanat tarayet yastu sah shastrah parikirtitah, yang berarti” yang menyediakan petunjuk jelas memotong  dam oleh karena iru menuntun  ke jalan pembebasan spiritual dan pengikutnya disebut sastra.”Akar Kata”trae” diikuti oleh siffix “da” menjadi “tra” yang berarti “yang membebaskan”. Kita melihat penggunaan yang sama dari akar kata “tra” Di dalam kata mantra. Definisi  mantra adalah: mamanat tarayet yastu sah mantrah parikirtitah:”Suatu proses yang, ketika diulang-ulang terus menerus di dalam pikiran, membawa pembebasan, disebut mantra. Beberapa sarjana mencoba membagi tantra menjadi dua bagian utama, yaitu “jalan kanan” dan “ jalan kiri”. Bernet Kemper berpendapat, tantra “jalan kanan”(menghindari praktek ekstrem, mencari-cari pengertian yang mendalam, dan pembebasan melalui asceticism) harus dibedakan dari “jalan kiri”(black magic dan ilmu sihir). Ia kemudian menegaskan, di dalam “jalan kanan” , bhakti atau penyerahan diri memgang peranan yang sangat penting. Lebih dari itu, bhakti cenderung menolak dunia material. Sedangkan “jalan kiri” mempunyai kecendrungan yang sangat berbeda. Ia berusaha keras untuk menguasai aspek-aspek kehidupan yang menggangu dan mengerikan seperti kematian dan penyakit. Untuk mengatasi hal tersebut eksistensi dari kekuatan keraksasaan (demonic) “jalan kiri” membuat kontak langsung di tempat-tempat yang mengerikan seperti di pekuburan.

    Pandangan kalang akademis ini sangat berbeda dengan pandangan dari prakrisi tantra. Para praktisi tantra pada umumnya menolak pembagian tantra atas tanra positif dan negatif dan menekankan pada metode untuk mentransformasoikan keinginan. Lama Thubten Yeshe, seorang praktisi tibetan tantra atans tantra mengatakan tantra menggunakan energi dari khyalan seperti keterikatan kepada keinginan adalah sumber dari penderitaan dan oleh karena itu harus di atasi namun ia juga mengajarkan keahlian untuk menggunakan energi dari khayalan tersebut untuk memperdalam kesadaran kita hingga mengahasilkan kemajuan spiritual. Seperti mereka yang dengan keahliannya mampu mengangkat racun tumbuh-tumbuhan dan menjadikan obat yang mujarab, seperti itu pula seorang yang ahli dan terlatih dalam praktek tantra, mampu memanipulasi energi keinginan bahkan kemarahan menjadi mapan. Ini sungguh-sungguh sangat mungkin dilakukan.

    Dalam arti tertentu tantra merupakan suatu teknik untuk mempercepat  pencapaian tujuan agama atau realisi sang diri dengan menggunakan berbagai medium seperti mantra, yantra, mudra, mandala pemujaan terhadap berbagai dewwa dewi termasuk pemujaan kepada mahluk stengah dewa dang mahluk-mahluk lain, meditasi dang berbagai cara pemujaan , serta praktek yoga yang kadang-kadang dihubungkan dengan hubungan sexsual. Elemen-elemen terdebut terdapat dalam tantra Hindu maupun Buddha. Kesamaan teologi ini menjadi faktor penting yang memungkinkan tangtra menjadi salah satu medium penyatuan antara Sivaisme dan Buddhisme di Indonesia. Hubungan sex dalam tantra, seperti diperkirakan oleh dasgupta  merupakan penyimpangan dari konsep awal tantra. Konsep awal tantra  meliputi elemen-elemen seperti yang disebutkan di atas, yakni; mantra,yantra,mudra dan yoga. Penyimpanan tersebut terjadi karena pnggunaan “alat-alat praktis” dalam tantra Buddha yang berdasarkan prinsip-prinsip mahayana dimaksudkan untuk merealisasikan tujuan tertinggi baik tantra Hindu maupun Buddha, adalah tercapainya keadaan sempurna dengan penyatuan antara dua praktek serta merealisasikan sifat nondual dari realitas tertinggi. H.B. Sarkar menyatakan hubungan sexual dalam tantra lebih diarahkan untuk mengontrol kekuatan alam dan bukan untuk mencapai kebebasan. Ia mengatakan secara umum tradisi indonesia membagi tujuan hidup manusia menjadi dua; pragmatis dan idielistis  mengontrol kekuatan alam adalah salah satu tujuan pragmatis. Hal ini biasanya dilakukan oleh raja yang mempraktekan sistem kalaca-krayana dalam usaha melindungi rakyatnya, memberikan keadilan,kesejahteraan dah kedamaian.

     Di Indonesi dikenal tiga jenis tantra yaitu; Bhairava Heruka di Padang Lawas, Sumatra Barat bhairava kalacakra yang dipraktekan oleh raja ketanegara dari singasari dan Adtityavarman dari sumatra yang sezaman dengan gajah mada di majapahit dan bharavia Bhima di Bali. Arca Bharavia Bima terdapat di Pura Edan, Bedulu, Gianyar Bali. Menurut prasasti palembang, Tantrayana masuk ke Indonesia melalui keraajaan Srivi jaya di Sumatra pada adab ke-7 .Kalacakratantra memgang peranan penting dalam univikasi sivaisme dan buddhaisme, karena dalam tantra ini siva and buddha, diunifikasikan menjadi sivabudha. Konsep Ardhanarisvari memegang peranan yang sangat penting dalam Kalacakratantra. Klacakratantra mencoba menjelaskan penciptaan dan kekuatan alam dengan penyatuan Dewi Kali yang menegerikan, tidak hanya dengan Dhyani Buddha, melainkan juga dengan adi buddha sendiri. Kalacakratantra mempunyai berbagai nama dalam sekta tantra yang lain seperti Hewarja,Kalacakra,Acala,Cakra Sambara, Vajrabairava,Yamari, Candama harosama dan berbagai bentukHeruka.

     Di dalam tantrayana ritual adalah elemen utama untuk merealisaikan Kebenaran Tertinggi. John Woodroffe mengatakan, ritual adalah sebuah seni keagamaan. Seni adalah bentuk luar materi sebagai ekspresi dari idea-idea yang berdasrkan intelektual dan dirasakan secara emosional. Seni ritual berhubungan dengn ekspresi idea-idea dan prasaan tersebut yang secara khusus disebut religious. Ini adalah suatu cara, dengaan mana kebenaran religious ditampilkan, dan dapat dimengerti dalam bentuk material dan simbol-simbol oleh pikiran. Ini berhungan dengan semua manifestasi adam dalam wujud keindahan,  dimana untuk beberapa alasan, Tuhan memperlihatkan diri Beliau sendiri. Tetapi ini tidak terbatas hanya untuk tujuan itu semata-mata. Artinya, denagn seni religious sebagai alat pikiran yang ditransformasikan dan di sucikan.

    Masab siva-buddha dengan pengaruh khusus Klacakratantra dapat dilihat pada tinggalan-tinggalan arkeologi seperti di Candi Jawi. Prapanca dalam NagarakertagamaBaab 56 ayat 1 dan 2 melukiskan monumen ini dengan sangat indah. Bagian bawah Candi  yaitu bagian dasar dan bagian badan candi adalah Sivaitis  dan bagian atas atau atap, adalah buddhistis, sebab Di dalamkaar terdapat arca Siva dan diatasnya di langit-langit terdapat sebuah arca Aksobhya. Inilah  alasannya mengapa Candi Jawi sangat tinggi dan oleh karena itu dissebut sebuah Kirthi. Dalam tantra Hindu prinsip metaphisik Siva-Shakti dimanifestasikaan di dunia material ini dalam wujud laki daan perempuan sedangkan dlam tantra Buddha pola sama diikuti  dimana prinsip-prinsip  metaphisik Prajna dan Upaya termanifestasikan dalam wujd perempuan dan laki-laki. Tujuan ttertinggi daari kedua masab tantra ini adalah penyatuan sempurna yaitu penyatuan antara dua aspek dari realitas dan relisasi dari sifat-sirat non-dual dari roh dan non-roh.

sumber : Bheri isi denpasar 2008