Eksistensi Gambelan Angklung Keluarga Besar Bendesa Manik Mas
Gambelan angklung merupakan barungan gambelan yang termasuk dalam golongan madya, karena dalam permainan gambelan angklung instrument kendang sudah mulai berperan. Demikian halnya dengan gambelan angklung milik keluarga besar Pasek Bendesa Manik Mas, yang berlokasi di Br. Kayu Padi, Desa Pupuan, Kec. Pupuan, Kabupaten Tabanan.
Mengenai keberadaan barungan gambelan ini, penulis mendapat bukti keberadaannya dari beberapa informan, dan ada pula bukti tertulis. Kedua sumber tersebutlah dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam penulisan ini.
Menurut 2 narasumber, yaitu I Made Kumpul dan I Gede Artayasa. kedua narasumber ini, merupakan generasi dari pendiri sekhe angklung, memang keberadaan seperangkat gambelan ini lebih dulu ada, dari kelahiran mereka, tetapi mereka mendapat informasi langsung dari pendiri sekhe angklung ini. Kedua narasumber ini memberikan pernyataan yang sama, bahwa keberadaan angklung tersebut dilatarbelakangi oleh kebutuhan pisikologis sekelompok keluarga yang berjumblah 7 orang, kebetulan 6 orang dari keluarga tersebut merupakan saudara kandung dan satu orang lagi merupakan ipar dari ke enam saudara kandung tersebut. Ketujuh anggota keluarga ini sepakat untuk membuat gambelan angklung, tentang alasan mengapa dipilihnya gambelan angklung adalah memang pada waktu itu Desa Pupuan sudah memiliki seperangkat gong kebyar, tetapi barungan tersebut hanya dipergunakan pada saat upacara Dewa Yadnya saja, sehingga mereka memandang bahwa jika membuat gambelan angklung, mungkin akan ada banyak orang yang mencari ( ngupah) jika mereka mengadakan Suatu upacara, baik Manusa Yadnya maupu Pitra Yadnya, para pendiri ini pada waktu itu sudah memiliki motif ekonomi disamping social kemasyarakatan, tetapi bukan itu saja sasaran mereka, melainkan mereka juga menginginka suatu hiburan untuk melepas lelah setelah mereka datang dari bekerja sebagai petani.
Awal mulanya barungan agklung ini baik yang berbilah maupun berpencon semuanya terbuat dari besi. Proses pembuatan pertama kali dilakukan dengan cara bergotong royong. Kebetulan juga salah seorang dari keluarga memiliki keahlian Memande ( membuat senjata ). Berangkat dari niat dan kesungguhan, bahan dan beralatan seadanya, bilah demi bilah tercipta oleh tangan terampil mereka, akhirnya jadi 4 tungguh gangsa, yang masing-masing terdiri dari 5 bilah, 1 tawa-tawa, 1 buah kempur dan 1 buah gong. Semuanya terbuat dari besi.
Setelah adanya seperangkat gambelan seadanya tersebut, munculah keinginan untuk mengupulkan sekhe gebug. Ternyata banyak dari keluarga yang satu darah berminat bergabung menjadi sekhe gebug, akhirnya terciptalah sekhe demen pada waktu itu
Setelah adanya sekhe mereka memulai latihan,akan tetapi pada waktu itu sangat sulit mencari pelatih tabuh, sehingga latihan dilakukan dengan kemampuan sendiri. Beberapa gending-gending dolanan, yang dipergunakan oleh anak-anak pada saat bermain mereka transfer kedalam tabuh angklung.
Ternyata keberadaan skhe ini mendapat dukungan yang sangat antusias dari masyarakat sekitar, hal ini dibuktikan dengan seringnya mereka kupah untuk menabuh jika ada suatu upacara baik Manusa Yadnya maupun Pitra Yadnya.
Mulai bertambahnya wawasan dan tau akan pentingnya keberadaan angklung dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, akhirnya muncul keinginan untuk membeli seperangkat gambelan angklung yang terbuat dari bahan kerawang.
Menurut bukti yang tertulis diatas daun lontar yang menggunakan tulisan Bali/aksara Bali, disana disebutkan bahwa ketujuh orang ini yang membeli dan sekaligus sebagai pendiri atau perintis sekhe pada tahun 1940, tetapi tanggal dan bulannya tidak tertulis. Ketujuh pendiri tersebut antara lain :
- Pan Tadi
- Pan Rancis
- Pan Mintar
- Pan Nasti
- Pan Bekung
- Pan Nari
- Pan Mudatri
Disepakati untuk membeli angklung di daerah Tihingan, Klungkung. Pembelian dilakukan secara satu persatu, pembuatan seluruhnya dilakukan disana, tetapi bahan dari pelawahnya berasal dari ketujuh pembeli ini. Prosesnya sangat sulit karena pada tahun 1940 sangat sulit mencari transportasi, sehingga proses pembawaan kayu sebagai bahan terampa harus berjalan dari Pupuan ke Tihingan itu juga harus sembunyi-sembunyi, karena pada waktu itu Negara Indonesia masih belum merdeka sehingga masih banyak tentara-tetara penjajah yang berkeliaran. Bisa dibilang sampai mempertaruhkan nyawa untuk membeli gambelan angklung pada waktu itu. Setelah selesai dibuat, satu persatu dari instrument di bawa ke Pupuan, itu juga tidak mudah, harus tidak sampai terlihat oleh tentara penjajah pada waktu itu. Tidak terbayang bagaimana perjuangan para pendiri angklung ini.
Barungan angklung dibeli seharga 400 ringgit, pada waktu itu belum ada uang rupiah, bisa dikatakan cukup mahal pada jaman itu. Sumber dananya adalah dari ketujuh pendiri tersebut dengan cara patungan. Instrument yang dibeli antara lain : 4 tungguh gangsa, 4 tungguh kantilan ( masing-masing tungguh terdiri dari 5 bilah ), 2 tungguh gangsa pemetit, 2 tungguh jegog, 1 buah kempur, 1 buah tawa-tawa, 1 buah gong lanang, dan 1 buah gong wadon.
Setelah sarana lengkap, sekhe gebug sudah ada, tetapi pada waktu itu belum adanya sistim kepeggurusan sekhe, hanya berpedoman kepada para pendirinya. Tetapi pada waktu itu sudah memiliki aturan-aturan/ awig-awig bagi sekhe gebug dan pendirinya yang terlihat pada bukti tertulis ada 6 aturan, diantaranya :
- Barang siapa yang ingin masuk sebagai sekhe gebug, boleh menjadi sekhe angklung, asalkan taat dengan awig-awig, istilah balinya bani ngutang gae, sing madengang payuk jakan jumah atau dengan kata lain skhe ini adalah cenderung pada kegiatan social.
- kalau ingin berhenti boleh, dan tidak ada unsur paksa. Dengan terus terang dihadapan sekhe.
- kalau ada hasil uang, ia dapat bagian, dari jumbelah hasil yang dibagi rata, bagi anggota yang berhenti.
- Setelah berhenti dengan terus terang, tidak boleh memperhitungkan barang angklung yang ada, sebab yang membeli barang angklung itu terdiri dari 7 orang
- Bagi anggota 3 kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan, diadakan pendekatan.
- Bagi pemilik angklung yang berhenti sama sekali tidak boleh meminta bagian berupa barang angklung yang ada, maupun uang yang ada, walaupun mereka yang ikut membelinya.
Begitulah aturan menurut bukti tertulis tersebut.
Seiring dengan perkembangan jaman, sekitar tahun 60-an baru dibuat nama sekhe, yaitu sekhe Angklung MARGA UTAMA, dan mulai membuat system organisasi kepengurusan sekhe.
Begitulah sejarah singkat tentang keberadaan gambelan angklung Marga Utama milik keluarga Pasek Bendesa Manik Mas yang masih diwarisi sampai saat ini.Hingga saat ini Trampa dari barungan angklung ini belum pernah diganti, karena keadaannya masih tetap awet dengan motif-motif ukiran yang sangat lama ( kuno ), hanya saja sempat dipangur dan diganti tabung resonatornya saja sebnyak 2 kali dari awal berdirinya hingga saat ini. Barunngan angklung ini juga termasuk unik, karena merupakan gambelan laras selendro 5 nada, yaitu nding, ndong, ndeng, ndung, ndang.
Keberadaan angklung ini memang sudah cukup lama dan memiliki peranan yang sangat penting bagi kegiatan upacara baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat umum, selain itu barungan angklung ini telah memberikan dampak atau pengaruh yaitu sebagai pengikat suatu tali persaudaraan (istilah Balinya, Pang sing pegat-pegat menyama ), terbukti sekarang ini sudah sampai empat generasi. Keberadaan Gambelan Angklung ini harus tetap di jaga dan di lestarikan.
Demikianlah sejarah singkat mengenai keberadaan barungan gambelan angklung milik keluarga Pasek Bendesa Manik Mas. Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak kekurangan dan dapat dikatakan jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Sekian dan terimakasih.
Banjar kayu puring, Desa Pupuan
Pupuan merupakan nama sebuah Desa yang terletak di ujung barat Kabupaten Tabanan, tepatny di kaki gunung Batukaru. Secara geografis nama Pupuan berasal dari kata “pupu” yang berarti “paha”, karena letaknya di paha gunung Batukaru. Selain itu nama pupuan berasal dari kata “pelupuan” yang berarti “kubangan”, karena memang posisinya dikelilingi oleh dataran tinggi, sehingga nampak seperti kubangan. Dari kedua kata tersebut lah asal mula nama Pupuan.
Desa Pupuan terbagi menjadi 5 banjar, yaitu Banjar Pupuan, Banjar Kubu, Banjar Kayu Padi, Banjar Semoja, Banjar Kayu Puring.
BANJAR KAYU PURING
Banjar kayu puring terletak ddi bagian selatan dari desa Pupuan, dengan jumblah penduduk yang bertempat tinggal di banjar kayupuring dapat dikatakan sedikit, hanya bejumblah 125 Kepa kluarga.
Kata Kayu puring sebenarnya tidak ada artinya, nama tersebut diambil dari nama sebuah pohon besar yang tumbuh di lingkungan banjar, yaitu pohon Kayu Puring.
Penduduk Banjar Kayu Puring Mayoritas beragama Hindu, tetapi ada juga yang beragama Budha, Islam, dan Kristen.
Sistem pemerintahan Banjar di pimpin oleh Kelian Banjar Adat dan kelian Banjar Dinas. Kelian banjar Adat yang berada di bawah naungan Bendesa adat, berperan untuk menggerakkan masyarakat Banjar dalam kegiatan yang berhubungan dengan persoalan-persoalan Upacara adat yang berlangsung di desa Adat maupun Banjar.
Kelian banjar Dinas yang berada di bawah naungan kepala desa, berperan dalam bidang persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan, misalnya masalah kependudukan, dll.
Dalam setiap banjar tentunya pasti ada organisasi pemuda dan pemudi banjar, demikian halnya di Banjar kayu puring, terdapat organisasi pemuda dan pemudi yang bernama ST Griya Sentana Sari. Selain itu di banjar kayu Puring juga ada kelompok PKK yang di gerakkan oleh Kelian banjar dinas, dan banjar kayu puring juga memiliki sekhe Baleganjur, dimana anggota dari skhe tersebut semuanya merupakan masyarakat Banjar Kayu puring.
Tri hita karana selalu dijadikan sebuah pedoman dalam kehidupan bermasyaraka di banjar kayu puring.
Tentang Saya
Nama saya Kadek Swartana, saya lahir pada tanggal 21 April tahun 1991, dilahirkan di Pupuan, sebuah desa kecil nan indah yang terletak di kakii gunung Batukaru. Saya anak ke dua dari dua bersaudara, anak dari pasangan I Wayan Kastika dengan Ni Made Rupi. Saya memiliki cita-cita ingin menjadi seniman.
Latar belakang pendidikan, bersekolah dasar di SD N 1 Pupuan, SMP di SMP N 1 Pupuan dan lanjut di SMK N 3 Sukawati, sekarang saya tercatat sebagai salah satu mahasiswa di Institut Seni Indonesia Denpasar, Fakultas seni Pertunjukan, jurusan seni Karawitan.
Kegemaran saya bermain gambelan sudah terlihat saat saya masih duduk di bangku kelas 2 SD. Pada waktu itu saya selalu ikut serta dalam latuhan-latihan di banjar, menkipun hanya sebagai pendengar saja. Pada saat saya duduk di bangku SMP saya mengikuti kegiatan extrakurikuler seni Tabuh. Kemudian saya Melanjutkan sekolah Di SMK N 3 Sukawati mengambil jurusan Karawitan. Berbekal pengalaman tersebut saya melanjutkan kuliah di Institut Seni Indonesia Denpasar.
Semangat yang tinggi untuk mewujudkan sebuah cita-cita mendorong saya untuk mengenyam pendidikan di ISI Denpasar, walaupun latar belakang keluarga kurang mampu, yang pekerjaan orang tua hanya sebagai petani, tetapi saya tetap yakin keterbatasan ekonomi tidak akan menjadi penghalang untuk meraih sebuah cita-cita yang penting kita selalu berusaha, saya yakin saya pasti bisa. Nantinya juga saya ingin mengabdikan diri pada masyarakat untuk melestarikan seni Karawitan Bali.
Kakawin Totaka
Pengertian dan Asal-usul Kekawin
Kekawin berasal dari kata “kawi” mendapat awalan ke dan akhiran an, menjadi kekawin. Kawi artinya Buat, susun, gubah, karang. Jadi kekawin dapat diartikan buatan, susunan, gubahan, dan karangan. Atas dasar pengertian tersebut , maka kekawin adalah puisi yang dibuat atau disusun dengan menggunankan bahasa Jawa Kuno. Puisi ini mengambil bentuk dari puisi para pujangga India kuno yang berbahasa Sansekerta. Kekawin biasa juga disebut dengan istilah lain, yaitu wirama, tembang gede dan sekar agung.
Dalam bahasa sehari-hari, ada beberapa istilah dalam menembangkan karya sastra, seperti kekawin, yaitu mabebasan, mapepaosan dan makekawin. Mabebasan artinya melagukan kekawin dengan terjemahannya. Dengan kata lain mabebasan berarrti kegiatan menyanyikan teks kekawin, kidung, atau macepat yang di ikuti dengan terjemahannya. Mapepaosan artinya melakukan kegiatan atau aktivitas pembacaan kekawin serta terjemahannya. Makekawin artinya melakukan hasil karya penyanyi atau melagukan puisi Jawa kuno, dengan memakai tembang India, yang diikat oleh aturan Guru Laghu. Dalam makekawin belum terkandung unsur penerjemahannya. Jadi makekawin belum dapat dikatakan mabebasan.
Menurut dugaan kekawin digubah di Jawa, pada abad IX – XV. Sekitar abad XVI, di Bali tumbuh dan berkembang pesat sampai saat ini, khususnya dalam rangkaian upacara adat dan upacara agama, kekawin di bacakan dengan pepaosan dan mabebasan. Kekawin atau puisi-puisi India Kuno ini dibawakan berdasarkan guru laghu dan wretta matra.
Fungsi Kekawin
Seperi halnya sekar alit, kidung, maka kekawin digunakan sebagai pengiring upacara yadnya (panca yadnya). Dalam kehidupan masyarakat Bali, aktivitas makekawin lebih di titik beratkan pada kegiatan upacara pitra yadnya. Kegiatan tersebut di mulai dari meninggal, ngeringkes, berangkat ke kuburan, penguburan / pembakaran jenasah, ngereka, nganyut, ngerorasin sampai ngelinggihang. Kekawin tersebut dinamakan kekawin Pitra Yadnya.
Kegiatan mabebasan dilakukan semalam suntuk. Keahlian tata bahasa kawi dan tata bahasa Bali amat diperlukan oleh pembaca maupun paneges kekawin. Kekawin yang biasa digunakan dalam upacara Dewa Yadnya adalah Merdukomala, Totaka, Indrawangsa, Pratiwitala. Untuk upacara Manusa Yadnya, adalah Wangsastha, Seronca, Wipula, Sardula, Sekarini. Dan kekawin yang biasa difungsikan dalamupacara Pitra Yadnya adalah wirama Indrawangsa, Aswalalita dan Girisa.
Syarat-syarat Kekawin
Dalam mempelajari kekawin ada berbagai cara, antara lain dengan system guru laghu, dengan pola melodi, dan biasa pula dengan cara pemberian tanda-tanda garis lurus, naik dan turun. Masalah Ritme dapat diatur dalam penulisan melodi dengan menyesuaikan guru laghu kekawin yang bersangkutan.
Syarat-syarat kekawin :
a. Tiap bait kekawin terdiri atas 4 baris ( kecuali kekawin Raitiga memiliki 3 baris dalam tiap baitnya ) keempat baris tersebut memiliki :
1. Pengawit ( penyemah atau pembuka )
2. Penampi ( Pengisep )
3. Pengumbang
4. Pemalet ( penutup )
b. Tiap baris suku katanya tetap sama sesuai dengan ketentuan yang ada pada tiap jenis kekawin kecuali Seronca.
c. Memakai Guru dan Laghu.
d. Suku kata terakhir boleh Guru, boleh Laghu
Guru dan laghu dalam kekawin merupakan pola dasar dalam pembentukan puisi Jawa kuno atau kekawin. Secara Etimologhi guru laghu terdiri dari dua kata, yaitu guru dan laghu. Dalam hubungannya dengan kekawin, maka Guru itu artinya suara berat, suara panjang dan beraturan. Dalam hukum kekawin maka guru diberi tanda garis datar ( — ), sedangkan kata Laghu sehubungan dengan aktivitas mabebasan artinya suara pendek, kencang dan ringan. Dalam hukum kekawin laghu ditandai dengan tanda garis melengkung ( È ). Berdasarkan pengertian tersebut maka dikatakan bahwa guru laghu berarti hukum kekawin tentang berat, ringan, panjang, pendek dan kencangnya suara dalam menyanyikan kekawin.
Bentuk Kekawin
Dalam aturan kekawin dikenal adanya Wretta dan Matra, untuk menyusun kekkawin. Wretta adalah jumlah suku kata dalam satu baris kekawin. Matra adalah susunan atau komposisi guru laghu dalam satu bait kekawin.
Perhitungan guru laghu dalam satu baris kekawin dibagi 3 ( tiga ) suku kata. Perhitungan atas tiga suku kata dalam kekawin disebut Gana. Dalam satu baris kekawin terdiri dari beberapa gana, setiap gana terdiri dari tiga suku kata, yang berkedudukan sebagai guru atau laghu.
Jenis – jenis Kekawin
Dibawah ini adalah bermacam-macam kekawin beserta jumlah guru laghunya :
1. Girisa = 16
2. Wangsastha = 12
3. Merdukomala = 18
4. Wirat = 23
5. Totaka = 12
6. Sekarini = 17
7. Seronca = 10
8. Aswalalita = 23
9. Indrawangsa = 12
10. Wipula = 8
11. Basanta = 14
12. Rajani = 17
13. Pratiwitala = 17
14. Raitiga :
– Wirat = 20
– Sronca = 11
– Swandewi = 13
15. Praharsini = 13
16. Sardula = 19
17. Wiralata = 16
18. kilayu manedeng = 22
19. Sragdara = 21
20. Sarisi = 11
Kekawin Totaka
Struktur Kekawin Totaka
WIrama atau Kekawin Totaka ini dipetik dari buku Kekawin Arjuna Wiwaha, halaman 38 pupuh ke 11 yang dikarang oleh Empu Kanwa. Wirama totaka biasanya berfungsi sebagai pengiring upacara Dewa Yadnya. Banyaknya guru laghu wirama Totaka adalah 12, dimana dalam satu bait terdiri dari 4 baris dan masing-masing barisnya terdiri dari 12 suku kata.
Wirama Totaka
Guru laghu = 12
È | È | — | È | È | — | È | È | — | È | È | È |
SA | SI | WIM | BA | HA | NENG | GA | T, | ME | SI | BA | NYU |
NDA | NA | SING | SU | CI | NIR | MA | LA, | ME | SI | WU | LAN |
I | WA | MANG | KA | NA, | RA | KWA | KI | TENG | KA | DA | DIN |
RING | A | NGAM | BE | KI | YO | GA, | KI | TENG | SE | KA | LA |
Makna Kekawin Totaka
Sasi wimba haneng gata, mesi banyu.
– Arti dalam Bahasa Bali :
“Sekadi lawat bulane sane wenten ring june, madaging toya”.
– Arti dalam Bahasa Indonesia :
“Seperti bayangan bulan yang terlihat pada jun ( tempat air ), yang berisi air”.
Ndanasing suci nirmala, mesi wulan.
– Arti dalam Bahasa Bali :
“Sakewanten wantah sane ening tanpa teleteh kewanten, madaging lawat bulan”.
– Arti dalam Bahasa Indonesia :
“Tetapi hanya pada air yang bersih tanpa kotoran saja bayangan bulan itu akan nampak”.
Iwa mangkana, rakwa kiteng kadadin.
– Arti dalam Bahasa Bali :
“ Sakadi punika paduka Batara ring saluiring panumadiane”.
– Arti dalam Bahasa Indonesia :
“ Seperti itulah Tuhan dalam kehidupan ini”.
Ringangambeki yoga, kiteng sekala
– Arti dalam Bahasa Bali :
“ Ring sang ngincepang tapa brata, paduka Batara pikanten nyekala”
– Arti dalam Bahasa Indonesia :
“ Hanya pada manusia yang taat melaksanakan yoga Tuhan itu akan menunjukkan diriNya secara nyata.
Makna dari kekawin totaka ini jika dilihat dari arti syair tiap barisnya, diungkapkan bahwa manusi agar bisa menemukan atau melihat Tuhan dalam berbagai manefestasinya secara nyata merupakan sesuatu yang sangat sulit. Dalam kekawin ini Tuhan di ibaratkan seperti bulan, manusia seperti jun (tempat air) dan air merupakan segala sifat manusia. Bayangan bulan hanya bisa terlihat pada jun yang berisi air yang benar-benar bersih, jika jun berisi air kotor atau keruh, sedikit pun tidak akan terlihat bayangan bulan. Begitu juga dengan manusia, jika ingin melihat, menemukan, atau merasakan keberadaan Tuhan, manusia haruslah bersih atau suci secara lahir bathin tanpa adanya sifat keduniawian di dalam diri, untuk mencapai hal ini memang smembutuhkan prosen yang sangat panjang dan harus diimbangi dengan keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Jika sudah memiliki niat yang baik, dan mau untuk berusaha kita pasti akan mencapai apa yang kita inginkan.