GONG KEBYAR DI DESA PUPUAN
Seklumit Tentang Keberadaan Gong Kebyar di Desa Pupuan.
Keberadaan barungan gamelan gong kebyar di Desa Pupuan saat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan gamelan tersebut ada. Hal tersebut disebabka karena minimnya bukti-bukti baik yang tertulis maupun bukti-bukti yang tidak tertulis.
Penulis mendapat beberapa informasi tentang gong kebyar yang ada di Desa pupuan dari seorang narasumber, dimana narasumber ini merupakan generasi ke tiga dari sekhaa gong kebyar di Desa Pupuan. Beliau bernama I Wayan Dika.
I wayan Dika menuturkan bahwa dirinya juga tidak tau secara pasti sejak kapan baru gong kebyar tersebut ada. Semenjak beliau baru lahir sudah ada barungan gong kebyar yang ada sekarang ini di Desa Pupuan. Beliau hanya sempat mendengarkan ceritra dari kakeknya yang bernama Pan Ciri.
Menurut penuturan kakek dari I wayan Dika, diketahui bahwa gamelan gong kebyar yang ada di Desa Pupuan dulunya dibeli oleh dua Desa, yaitu Desa Pupuan dan Desa Bantiran. Desa Pupuan dan Bantiran merupakan dua Desa yang berdekatan. Dulunya Pupuan dan Bantiran merupakan satu wilayah kerajaan yang bernama kerajaan Ambang. Sehingga kedua Desa ini dulu hanya memiliki satu Pura Desa dan Puseh. Tetapi saat ini masing-masing Desa sudah memiliki Pura Puseh dan Pura Desa. Bisa dikatakan bahwa Desa Pupuan merupakan pemekaran dari Desa Bantiran.
Mungkin karena merasa memiliki latar belakang sosial religius yang sama, kemungkinan inilah yang menyebabkan kedua desa ini bergabung untuk membeli gong kebyar.
Barungan gong kebyar tersebut di beli di daerah Bali Utara. Akan tetapi pembelian barungannya belum lengkap, hanya beberapa tungguh saja.
Dituturkan juga oleh kakek dari I Wayan Dika, pada waktu itu setiap ada odalan di Desa Pupuan, penabuh dari Desa Bantiran yang menabuh. Demikian juga sebaliknya, setiap ada odalan di Desa Bantiran, penabuh dari Desa Pupuan yang menabuh. Begitu eratnya kaitan antara Desa Pupuan dengan Desa Bantiran. Hal tersebut berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Entah apa yang menyebabkan, setelah bertahun-tahun berjalan seperti itu terjadi konflik antara Desa Pupuan dengan Desa Bantiran. Konflik tersebut menyebabkan dibaginya barungan gamelan gong kebyar tersebut. Pembagiannya adalah Desa Bantiran mendapatkan instrumen yang berpencon, sedangkan Desa Pupuan mendapat instrumen yang berbilah.
Setelah gamelan tersebut dibagi, akhirnya Desa Pupuan berkeinginan untuk melengkapi gamelan hasil dari pembagian tersebut, dimana yang didapat dari pembagian tersebut hanya mendapat instrumen berbilah saja, itu juga belum lengkap.
Gagasan tersebut dikeluarkan oleh dua orang dan sekaligus memberikan dana, yaitu bernama Pan Ciri yang merupakan kakek dari I Wayan Dika dan Kang Bin Ciang ( di Desa Pupuan lebih dikenal Dengan nama Cik Lotiah) seseorang beragama Budha.
Akhirnya gagasan tersebut disetujui, dibelilah beberapa instrumen untuk melengkapi instrumen yang sudah ada. Instrumen-instrumen tersebut di beli di Desa Sawan, Buleleng.
Setelah lengkapnya barungan tersebut dibentuklah sekhaa, tetapi belum memiliki nama. Pada waktu itu sudah banyak memiliki tabuh-tabuh lelambatan yang diketahui semenjak masih bergabung dengan Desa Bantiran, entah siapa yang melatih, tetapi diperkirakan semua gending-gending tersebut berasal dari daerah Bali Utara. Ada juga beberapa gending sejenis pangecet yang dibuat oleh anggota sekhaa. Selain gending-gending petegak pada waktu itu juga sudah mengetahui gending untuk mengiringi tarian, yaitu gending Kebyar Legong dan Palawakya.
Pada tahun 1940-an, yaitu pada masa penjajahan Belanda (NIKA), sekhaa ini pernah mebarung melawaN sekhaa dari Desa Wangaya Tabanan.
Pada tahun 1950-an I Gede Manik seorang maestro tari dan tabuh dari Bali Utara ( Buleleng ) sempat melatih tarian Truna Jaya di Desa Pupuan, beliau juga langsung melatih iringannya.
Berselang beberapa tahun, yaitu tahun 1955 I I ketut Merdana yang juga merupakan seorang seniman dari Desa Kedis, Busungbiu Buleleng diundang ke Desa Pupuan untuk melatih ringan tari Truna Jaya dan Tari Palawakya.
Pada tahun 1960 ada seseorang pegawai Bank yang bernama I Ketut Adi, dari Banjar Tanggun Titi, Desa Tonja Denpasar, kebetula pada waktu itu bertugas disalah satu Bank yang ada di Desa Pupuan. Beliau sempat melatih beberapa gending-gending iringan tari, diantaranya, tari Pendet, tari Oleg tamulilingan, tari tenun, tari Panji Semirang, tari Margapati dan dan tari Kupu-kupu tarum.
Keberadaan sekhaa ini sempat mengalami pasang surut. Akibat dari tragedi G30 S/PKI sekhaa sempat tidak aktif. Melihat hal tersebut, akhirnya I Wayan Dika berpikir bagaimana cara untuk mengembalikan semangat sekhaa. Munculah ide dari I Wayan Dika untuk membuat Drama Gong pada tahun 1969. Idenya tersebut ia peroleh setelah menonton festival Drama Gong se-Bali yang di prakarsai oleh A.A. Rai Payadnya.
Idenya tersebut diawali dengan mengajak pemuda yang bukan termasuk dalam sekhaa untuk berlatih Drama Gong dalam rangka menyambut hari raya Galungan.
Pada saat dipentaskan, ternyata antusias masyarakat dan dinilai pertunjukan tersebut sangat bagus, sehingga Bendesa Adat pada waktu itu ingin membuat sekhaa Drama Gong dengan melibatkan sekhaa gong.
Terbentuklah sekhaa Drama Gong yang bernama SURA JAYA, dan nama tersebut sekaligus dipakai untuk nama sekhaa gong di Desa Pupuan. Judul Drama yang pertama adalah JAJAR PIKAT.
Tidak disangka ternyata Drama tersebut menjadi sangat terkenal di Bali, hampir seluruh daerah di Bali pernah di jajah oleh sekhaa Drama Gong SURA JAYA ini.
Saking seringnya pentas, dilihat juga terampa dari instrumen gong kebyar tersebut sangat polos, tanpa menggunakan ukiran dan menggunakan motif-motif Bali Utara. Dirasa juga pada waktu itu sudah memiliki dana untuk memperbaiki, akhirnya digantilah trampa yang menggunakan gaya Bali Utara menjadi gaya Bali Selatan, tetapi bilhnya tetap style Bali Utara.
Seiring waktu, kebanyakan sekhaa Drama Gong tersebut meninggal karena Usia disamping itu juga karena kurangnya kepedulian para generasi penerus terhadap kesenian Drama Gong, menyebabkan hilangnya kesenian tersebut hingga saat ini. Akan tetapi sekhaa gong masih tetap ada hanya untuk keperluan upacara agama yang ada di Desa Pupuan. Dan pada tahun 1984 nama sekhaa gong yang dulunya bernama SURA JAYA diganti menjadi MANIPUSPAKA, hingga saat ini.
Demikian seklumit tentang keberadaan Gong Kebyar yang ada di Desa Pupuan, Kec. Pupuan, Kabupaten Tabanan.
Instrumentasi.
Barungan gong kebyar yang ada di Desa Pupuan, adalah merupakan barungan gong kebyar style Bali Utara, dimana bilah-bilah dari instrumen gangsa dan kantil di pasak atau tidak digantung seperti gong kebyar style Bali Selatan. Bentuk bilah gangsa dan kantilan bagian atasnya agak cembung, tidak datar seperti bilah gong kebyar Bali Selatan.
Gamelan ini berlaras pelog panca nada, dengan saih nada sedang, sama dengan barungan gong kebyar milik ISI Denpasar, hanya saja pengambilan nada pada instrumen trompong dan riyong yang lebih rendah, dimana dalam gong kebyar bali selatan menggunakan nada gangsa sebagai nada terompong, dan nada kantilan sebagai nada riyong, tetapi gong kebyar yang ada di pupuan ini menggunakan nada giying/ugal sebagai nada terompong, dan nada gangsa sebagai nada riyong, sehingga kedengarannya sangat rendah.
Gambelan yang berlaras Pelog Panca Nada ini sebagian besar terdiri dari alat-alat perkusif ( alat pukul ) dan dimainkan oleh 25 – 30 orang penabuh. Instrumen ada yang berbentuk bilah-bilah perkusi yang dipasang di atas resonator bambu, ada yang berbentuk mangkuk-mangkuk perkusi yang disebut instrumen berpencon, ada yang berbentuk Conicals Drums dan ada yang berbentuk Cymbals. Kecuali yang berbentuk Drums, semua instrumen-instrumen tersebut terbuat dari kerawang atau perunggu yang merupakan campuran dari Tembaga dengan Timah dengan perbandingan 10 : 3. Adapun jenis-jenis instrumen tersebut, diantaranya: Terompong 1 unit, Reyong 1 unit, Giying/pangugal 2 unit, Gangsa pemade 6 unit, Gangsa kantil 4 unit, Jublag 2 unit, jegog 2 unit, penyahcah 2 unit, Gong 2 buah, Kempur 1 buah, Kajar, Kempli, kemong, Ceng-ceng, Suling dan Kendang Lanang Wadon. Dulunya juga memiliki gender rambat, tetapi karena jarang difungsikan, akhirnya dijadikan penyahcah.
Bentuk ornamentasi atau pepayasan dari pelawah gong kebyar yang ada di Desa Pupuan awalnya menggunakan motif Bali Utara, tetapi setelah diganti pada tahun 1969 menggunakan motif-motif bentuk payasan Bali Selatan, dimana bentuk dari pola-polaukirannya agak sedikit bulat dengan meggunakan motif-motif ukiran patra samblung, patra kakul dan karang manusa ( bentuk Manusia ).
Fungsi.
Secara umum gambelan kebyar dimainkan berkaitan dengan fungsinya. Apabila dimainkan di Pura sebagai pendukung upacara ritual, gambelan kebyar memainkan lagu-lagu klasik pagongan yang disebut dengan Lelambatan. Apabila disajikan untuk tontonan, seperti Parade Gong Kebyar, lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu kebyar yang lebih dikenal dengan sebutan Tabuh Kreasi Baru. Gambelan kebyar juga berfungsi sebagai iringan Tari-tarian Bali. Di samping itu dengan gambelan Gong Kebyar juga dapat disajikan Repertoar-repertoar dari gambelan-gambelan lainnya, seperti palegogan, lelambatan, pagongan dan lain sebagainya.
Fungsi gong kebyar yang ada di Desa Pupuan sebagai pendukung Upacara Agama, Baik Manusa Yadnya, Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, dalam upacara Pitra Yadnya sangat jarang dipergunakan. Selain itu juga untuk mengiringi Tari-tarian, baik tari Wali, tari Bebali, maupun Balibalihan.
????
goodddd thankssss youuuu
Agustus 19th, 2022 at 3:30 am