Monthly Archives: Mei 2014

Sejarah Tari Rejang Ayunan di Desa Pupuan

Dulu sekitar abad XI di Desa Pupuan hanya terdiri dari 25 kepala keluarga. Desa Pupuan saat itu tidak seramai sekarang, di sekelilingnya hanya hutan belantara yang di tumbuhi pohon kayu yang besar dan tinggi, mereka bersepakat untuk menebang pohon kayu tersebut, yang mana tanahnya nanti akan dijadikan sawah dan ladang. Di dalam mereka menebang pohon kayu tersebut yang sangat besar dan tinggi, mereka mempergunakan tali atau ranting-ranting pohon untuk naik ke cabang pohon yang akan ditebang. Setelah selesai tanahnya diolah untuk di Tanami bermacam-macam tanaman seperti  padi, pohon kopi, dan buah-buahan yang hasilnya cukup mengembirakan.

Adapun rangkaian upacara sebelum piodalan di Pura Puseh Desa Bale Agung yaitu masyarakat desa mejejaitan, metanding banten upakara, mecaru, metelah-telah, mengelemeji, munggah bunga, mendak ngolemin ida betara diseluruh pura-pura di desa pupuan, mebiokaonan, kesucian /kebeji, katur sarining tetebasan, trisandya, rejang pulu,  nur ida betara, katur sarining soroan katuran Puseh Desa Bale Agung , mesandekan.

Pada hari ke-I, dilaksanakan Tari Rejang Penganyaran dudonane 3 kali, nganteb aturan karma banjar, mesandekan. Menunggu suara kentongan 3x karma desa kumpul di Jaba Pura Puseh Desa Bale Agung, untuk melaksanakan Peed. Para ibu membawa banten, sekaa truna truninya membawa pengawin dan pangkonan, untuk menyongsong Ida Betara (Pretima), diiringi dengan baleganjur dari masing-masing banjar, menuju ke pura Kayu Padi (Pura Duur Kauh), dilanjutkan upacara sampai dudonan upacara dan upakara di Pura Kayu Padi selesai

Tari Rejang Ramped ( Lanang )Hari ke-II, kembali upacara dilaksanakan di Pura Puseh Desa Bale Agung dilaksanakan Rejang Ramped sebanyak 9x putaran dilanjutkan Rejang  oleh truna truni (lanang lan istri),dilanjutkan

Camera 360Rejang Ayunan 2x putaran laki-laki dan perempuan , dilanjutkan 1 putaran lagi untuk laki-laki melakukan rejang ayunan, setelah selesai dilaksanakan Tari Rejang Ayunan dilanjutkan dengan mesandekan, lalu malam hari nya diadakan suatu hiburan dan balih-balihan (penyuung).

 

Hari ke-3 dilaksanakan upacara yang terakhir, lebar karya yang merupakan mengundang Ida Sesuhunan untuk menyaksikan upacara dan langsung memohon Wara Nugraha agar semua mendapatkan kekuatan dan kebahagiaan.

Fungsi dari Tari Rejang Ayunan di Desa Pupuan

Tari Rejang Ayunan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Bale Agung. Karena tanpa tarian ini upacara dianggap kurang sempurna. Di lihat dari segi fungsinya tari tarian dapat di klasifikasikan sebagai berikut :

a)      Tari Wali (sacral, religious dance )

Seni yang dilakukan di pura-pura dan di tempat yang ada hubungannya dengan upakara dan upacara agama yang pada umumnya tidak memakai lakon/peran.

b)      Tari Bebaki ( ceremonial dance )

Segala seni tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara di pura-pura ataupun di luar pura, cerita pada umumnya memakai lakon.

c)      Tari Balih-balihan ( secular dance )

Segala seni tari yang mempunyai unsur dasar dan seni tari yang luhur yang tidak digolongkan tari wali dan bebali serta mempunyai fungsi sebagai hiburan.

Sesuai dengan ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa Tari Rejang Ayunan merupakan tari sakral yang tergolong tari wali. Disebabkan karena tari rejang ayunan tersebut tidak memakai lakon yang berfungsi sebagai sarana didalam pelaksanaan upacara serta tidak pernah dipentaskan diluar upacara dewa yadnya di Pura Puseh Desa Bale Agung di Desa Adat Pekraman Pupuan.

Melihat perkembangannya Tari Rejang Ayunan, yang paling menonjol adalah dari segi tata busananya. Menurut I Nyoman Raka selaku Bendesa adat Desa Pekraman Pupuan mengatakan : Jaman dahulu dilihat dari segi tata busana adalah penari rejang menggunakan pakaian yang berwarna-warni sesuai dengan kemampuan masing-masing penari. Sehingga terlihat jelas perbedaan antara kaya dan miskin. Atas prakarsa Bendesa adat yang terdahulu, maka pakaian penari rejang diseragamkan.

Sebagai informasi yang paling mampu memberi keterangan, bahwa Tari Rejang Ayunan belum pernah mengadakan perubahan, baik dari segi komposisi maupun dari segi perbendaharaan gerakannya. Dapat disimpulkan bahwa yang mengalami perkembangan pada Tari Rejang Ayunan hanya dari segi tata busanannya.

Tari Rejang Ayunan itu biasanya dipentaskan dengan bunyi kentongan yang mengalun pertanda para penari sudah siap di Pura Puseh Desa Bale Agung sesuai dengan waktu yang telah ditentukan yaitu pukul 13.30 WITA. Penari Rejang Ayunan sudah berias dari rumahnya masing-masing. Setelah diberi aba-aba oleh kelian adat para pemangku memerciki tirta atau air suci kepada penari dengan tujuan memohon keselamatan dan kebersihan.

Gamelan berkumanang dengan irama pelan pertanda para penari siap melaksanakan tugasnya masing-masing. Penari berbaris berderet kebelakang selanjutnya berjalan mengelilingi pelinggih yang ada di Jeroan Pura sebanyak 3 kali putaran. Setelah berkeliling para penari menuju jaba tengah sambil terus menari dengan irama gamelan yang merdu. Ketika akan menginjak putaran ke 3 kalinya tempo gambelan dipercepat.

Terakhir para penari menuju pohon cempaka yang ada di Jabaan Pura. Salah satu dari cabang pohon tersebut, sebelumnya telah diikat keatas tali tambang yang salah satu ujungnya menjulur ke bawah. Ujung tali diikatkan pada cabang pohon cempaka, digantungi antara lain satu ekor ayam panggang, satu juring pisang kayu, ketupat dan satu botol arak. Setelah semua penari mendapat gilirannya barulah semua penari berlomba-lomba untuk dapat naik ke cabang pohon melalui tali tersebut. Salah satu penari berhasil sampai di atas dan berhak atas santapan yang sebelumnya telah disiapkan di atas pohon. Penari lain kembali ke jeroan pura, bertanda bahwa pertunjukan telah selesai.

Tempat pertunjukan Tari Rejang Ayunan tidak dibuat secara khusus baik dari segi ukurannya maupun dari segi dekorasinya. Akan tetapi tari rejang ayunan ini bertempat :

  1. Jeroan pura : para penari mengelilingi pelinggih 3 kali putaran.
  2. Jaba tengah : para penari menari dari jeroan pura menuju jaba tengah dan keliling sebanyak 3 kali putaran.
  3. Jabaan pura : setelah berkeliling 3 kali putaran di jaba tengah para penari langsung menuju jabaan pura untuk bermain ayunan.

Sumber : Jero Mangku I Gede Wirana  sebagai Pemangku Pura Puseh Desa Bale Agung Desa Adat Pekraman . I Nyoman Santika Yasa sebagai Kepala Dusun, Br.Kubu , Desa Adat Pekraman Pupuan. Buku Ensiklopedi Tari Bali: Dr.I Made Bandem,buku Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali:  I Wayan Dibia, buku Kaja dan Kelod  Tarian Bali dalam Transisi: I Made Bandem dan Fredrik Eugene deBoer, Kamus Bahasa Indonesia: D.Wirah Aryoso SS,  buku Taksu Dalam Seni dan Kehidupan Bali: I Wayan Dibia, buku Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi: R.M Soedarsono dan buku Puspasari Seni Tari Bali: I Wayan Dibia.

Seni Tari Sebuah Fokus Kehidupan Orang Bali

Tarian Bali pada intinya adalah untuk pameran: menari untuk menghibur hadirin atau, untuk menunjukkan keterampilan, suatu tahan perkembangan yang dipunyai oleh peradaban maju, tetapi yang di Bali berjalan bersama-sama dengan tarian-tarian magis yang merupakan cirri dari primitih. Jadi bertahan hidupnya dari kaum primitive dari di dalam masyarakat maju, yang merupakan cirri apapun dari orang Bali, menunjukkan dirinya sendiri di dalam tarian dan juga di dalam moda umum dari kehidupan. Di dalam tarian-tarian keagamaan masyarakat menghibur dirinya sendiri pada waktu yang sama dia mencoba mengambil hati dewa-dewa dan mengusur roh jahat. Bahkan terdapat tarian mengorbankan diri yang ganas dimana penari dalam keadaan kesurupan menimulasikan penyiksaan diri dengan keris atau berjalan di atas api untuk memuaskan roh jahat yang haus darah dan untuk menunjukkan kekuatan gaibnya.

Orang Bali mempertalikan asal-usul kedewataan pada music dan tarian. Dikatakan bahwa Bntikannya, dewi sorga, untuk menari Batara Guru, Guru tertinggi, menemukan alat pertama, dan bahwa Indra, penguasa Langit, memulai tari-tarian ketika dia menciptakan dedari yang tak terbandingkan kecantikannya, dewi sorga, untuk menari bagi kesenangan para dewa. Di dalam Arjuna Wiwaha disebutkan bahwa tujuh edari utama dibuat dari batu permata yang dibelah menjadi tujuh. Sebelum menari di depan para Dewata yang berkympul, kata legenda, para bidadari berjalan tiga kali mengelilingi mereka dengan sikap hormat, dewa-dewa menjadi kasmaran, dan lantaran martabat mereka melarang mereka untuk menoleh, Indra mengeluarkan banyak mata, dan Brahma mengembangkan empat wajah.

Sebagaimana seni music, seni tari telah berkembang samapai sebuah standar kesempurnaan teknis yang membuatnya sebagai ilmu pengetahuan yang sulit, memerlukan waktu bertahun-tahun latihan fisik dan praktik. Walaupun aturan-aturan kerasa diikuti dan struktur tarian disusun dari sepenuhnya gerakan-gerakan tradisional yang tidak meninggalkan ruang bagi improvisasi atau gaya pribadi, terdapat batas-batas kebebasan tertentu yag diperkenankan bagi sang penari. Bunyi dan gerak menjadi satu, gerakan-gerakan yang pasti diatur oleh disiplin yang keras. Mutu yang baik dari penampil tidak tergantung pada hanya keterampilan, tetai juga pada kepribadiannya, intensitas eosionalnya, dan pengungkapan cirri-cirinya.hanya badut-badut (bebanyolan)tidak mempunyai teknik khusus dan tanpa program. Kepribadian dan semangat mengejutkan dari mereka.

Jelaslah terdapat pengaruh Jawa yang dapat dilihat di dalam aliran seni tari Bali, tetapi aliran-aliran ini menyimpang jauh di dalam semangat dan di dalam fungsi social yang hari ini keduanya hanya mempunyai sedikit kemiripan. Di Bali seni tari merupakan seni popular yang masih hidup, sementara di Jawa, seni tari dari tatana yang lebih tinggi seang sekarat sampai diselamatkan akhir-akhir ini oleh para sultan, pada masa kini satu-satunya istana para pangeran Jawa tarian yang bagus dapat ditonton. Di Jawa seorang penari yang baik adalah seorang spesialis dikaitkan dengan istana, sering sering sang pangeran sendiri; di Bali tersebut hanyalah orang desa yang kebanyakan dengan bakat yag tampil untuk harga diri masyarakat dan untuk menghibur para tetangganya. Di Bali seperti hal di Jawa, ini adalah bagian pendidikan angeran untuk menari, berekting dan memainkan alat music, tetapi di Bali seorang pangeran yang mengatur kelompok teater yang berbaur dengan orang kebanyakan dan tampil untuk hiburan mereka. Saan menyenangkan mendengar seorang Jawa dan seorang Bali saling mencemoohkan teater mereka: orang Bali berfikir bahwa tari-tarian Jawa tak bermakna,membosankan dan mati, tetapi orang Jawa terperanjat mendengarkan music Bali “rebut” dan memandang tari-tarian mereka sebagai hasil dari para petani yang kasar dan primitive.

Orang Bali secara ajeg telah telah menyuntikkan kehidupan baru ke dalam teater mereka, berlawanan dengan orang Jawa, yang barangkali lantaran pengaruh Islam, telah membiarkan seni sampai pada keadaan madeg sehingga aktingnya menunjukkan peniruan dari gerakan-gerakan dari wayang kulit (wayang purwa). Actor Jawa tidak mampu mengungkapkan perasaan kecuali dengan gerakan-gerakan konvensional dan wajahnya teta kaku bagaikan mengenakan topeng. Orang Bali berakting dengan cara yang sama sekali berlawanan. Mereka periang, sangat gembira dan menyukai gerakan-gerakan komedi kasar. Topeng-topeng Jawa distilir, dengan hidung panjang tajam dan mata sipit yang menyingkirkan semua realism yang tidak disukai oleh islamnisme. Orang Bali membut topeng yang berupa penyataan perasaan yang menabjubkan, sering tokh yang yang realities, studi mengenai jenis-jenis baku.

Sebuah kelompok teater diatur oleh penduduk desake dalam sebuah masyarakat sepamjang garis-garis yang sama denga kelompok musical. Sumbangan-sumbangan berupa uang dilakukan, peralatan didapatkan, dan para musisi dilatih.  Calon penari dipilih dari anak-anak lelaki dan perempuan dari masyarakat. Dengan memperhatikan penampilan pribadi yang  menyenangkan, kemampuan fisiknya, dan kemampuan bakat  untuk taian tertentu. Untuk tari-tarian Bali yang paling khusus, legong misalnya, gadis-gadis kecil yang terpilih harus berusia antara lima sampai delapan tahun, dan kalau mereka dapat diketemukan mirip satu sama lain, maka dapat dianggap mereka akan merupaka legong yang sangat baik.

Ketika para penari dikumpulkan, seorang guru dipanggil untuk melatih mereka. Guru tersebut biasanya dulunya seorang penari ulung atau seorang pimpinan orkes yang mengetahui tarian tersebut sampai bagian-bagian terkecilnya. Rutin yang paling mendasar diajarkan pertama, dan diulang- ulang sampai tarian tersebut telah merasuk ke dalam diri murid-muridnya.

Pelatihan fisik memainkan bagian penting di dalam pendidikan sang penari; sementara murid mempelajari rangkaian mendasar dari tarian tersebut, langkah-langkah dasar dan gerakan-gerakan umum dari lengan, dia berlatih secara tetap untuk memperoleh kelemah-lembutan setiap otot dan mengontrol tiap angautanya sampai tubuhnya menjadi secara praktis sendi-sendinya lentur dan tangan dapat di gerakkan ke segala arah.

Ukuran gerombolan manusia adalah tanda satu-satunya mengenai apakah sebuah pementasan berasil atau tidak. Orang Bali tidak bertepuk tangan atau menunjukkan penggharhaan mereka bagi seorang penampil dengan cara lain. Yang tampaknya kurang member semangat tiding mempengaruhi kegairahan terhadap seni, dan menurut kesan yang kuperoleh, tarian teater masa kini bahkan lebh maju dibandingkan di masa lalu. Berdasarkan laporan-laporan kuno, tampaknya terdapat lebih banyak pementasan, pertunjukan lebih rumit dan beragam, dan yang dilestarikan dengan rasa iri. Hamper tidak ada desa yang tidak mempunyai semacam perkumpulan penari, bahkan pernyataan bahwa kebiasaan lama membebaskan actor dan musisi dari membayar pajak telah dihapuskan oleh pemerintah tidak menyurutkan minat dalam seni tari dan berakting. Bahkan tidak ada perangsang dalam keuntungan komersil bagi pribadi; jumlah uang yang kecil yang diterima pada perayaan-perayaan pribadi masuk pada dana masyarakat untuk membeli kostum baru, peralatan baru dan perayaan komunal.

Sumber :        Mignel Covarrubias “ PULAU BALI : Teman yang menakjubkan. Udanaya University Preas. “ De leak op Bali.” Tijd B.G., Jilid LX,h 1 dan 2 dan TYRA DE KLEEN : Mundras auf Bali, Handhaltungen der Priester. Hagen di westfalen. Bawangkara. Majalah bulanan diperuntukan etnologi Bali dan kesusastraan.