Seni Tari Sebuah Fokus Kehidupan Orang Bali

Tarian Bali pada intinya adalah untuk pameran: menari untuk menghibur hadirin atau, untuk menunjukkan keterampilan, suatu tahan perkembangan yang dipunyai oleh peradaban maju, tetapi yang di Bali berjalan bersama-sama dengan tarian-tarian magis yang merupakan cirri dari primitih. Jadi bertahan hidupnya dari kaum primitive dari di dalam masyarakat maju, yang merupakan cirri apapun dari orang Bali, menunjukkan dirinya sendiri di dalam tarian dan juga di dalam moda umum dari kehidupan. Di dalam tarian-tarian keagamaan masyarakat menghibur dirinya sendiri pada waktu yang sama dia mencoba mengambil hati dewa-dewa dan mengusur roh jahat. Bahkan terdapat tarian mengorbankan diri yang ganas dimana penari dalam keadaan kesurupan menimulasikan penyiksaan diri dengan keris atau berjalan di atas api untuk memuaskan roh jahat yang haus darah dan untuk menunjukkan kekuatan gaibnya.

Orang Bali mempertalikan asal-usul kedewataan pada music dan tarian. Dikatakan bahwa Bntikannya, dewi sorga, untuk menari Batara Guru, Guru tertinggi, menemukan alat pertama, dan bahwa Indra, penguasa Langit, memulai tari-tarian ketika dia menciptakan dedari yang tak terbandingkan kecantikannya, dewi sorga, untuk menari bagi kesenangan para dewa. Di dalam Arjuna Wiwaha disebutkan bahwa tujuh edari utama dibuat dari batu permata yang dibelah menjadi tujuh. Sebelum menari di depan para Dewata yang berkympul, kata legenda, para bidadari berjalan tiga kali mengelilingi mereka dengan sikap hormat, dewa-dewa menjadi kasmaran, dan lantaran martabat mereka melarang mereka untuk menoleh, Indra mengeluarkan banyak mata, dan Brahma mengembangkan empat wajah.

Sebagaimana seni music, seni tari telah berkembang samapai sebuah standar kesempurnaan teknis yang membuatnya sebagai ilmu pengetahuan yang sulit, memerlukan waktu bertahun-tahun latihan fisik dan praktik. Walaupun aturan-aturan kerasa diikuti dan struktur tarian disusun dari sepenuhnya gerakan-gerakan tradisional yang tidak meninggalkan ruang bagi improvisasi atau gaya pribadi, terdapat batas-batas kebebasan tertentu yag diperkenankan bagi sang penari. Bunyi dan gerak menjadi satu, gerakan-gerakan yang pasti diatur oleh disiplin yang keras. Mutu yang baik dari penampil tidak tergantung pada hanya keterampilan, tetai juga pada kepribadiannya, intensitas eosionalnya, dan pengungkapan cirri-cirinya.hanya badut-badut (bebanyolan)tidak mempunyai teknik khusus dan tanpa program. Kepribadian dan semangat mengejutkan dari mereka.

Jelaslah terdapat pengaruh Jawa yang dapat dilihat di dalam aliran seni tari Bali, tetapi aliran-aliran ini menyimpang jauh di dalam semangat dan di dalam fungsi social yang hari ini keduanya hanya mempunyai sedikit kemiripan. Di Bali seni tari merupakan seni popular yang masih hidup, sementara di Jawa, seni tari dari tatana yang lebih tinggi seang sekarat sampai diselamatkan akhir-akhir ini oleh para sultan, pada masa kini satu-satunya istana para pangeran Jawa tarian yang bagus dapat ditonton. Di Jawa seorang penari yang baik adalah seorang spesialis dikaitkan dengan istana, sering sering sang pangeran sendiri; di Bali tersebut hanyalah orang desa yang kebanyakan dengan bakat yag tampil untuk harga diri masyarakat dan untuk menghibur para tetangganya. Di Bali seperti hal di Jawa, ini adalah bagian pendidikan angeran untuk menari, berekting dan memainkan alat music, tetapi di Bali seorang pangeran yang mengatur kelompok teater yang berbaur dengan orang kebanyakan dan tampil untuk hiburan mereka. Saan menyenangkan mendengar seorang Jawa dan seorang Bali saling mencemoohkan teater mereka: orang Bali berfikir bahwa tari-tarian Jawa tak bermakna,membosankan dan mati, tetapi orang Jawa terperanjat mendengarkan music Bali “rebut” dan memandang tari-tarian mereka sebagai hasil dari para petani yang kasar dan primitive.

Orang Bali secara ajeg telah telah menyuntikkan kehidupan baru ke dalam teater mereka, berlawanan dengan orang Jawa, yang barangkali lantaran pengaruh Islam, telah membiarkan seni sampai pada keadaan madeg sehingga aktingnya menunjukkan peniruan dari gerakan-gerakan dari wayang kulit (wayang purwa). Actor Jawa tidak mampu mengungkapkan perasaan kecuali dengan gerakan-gerakan konvensional dan wajahnya teta kaku bagaikan mengenakan topeng. Orang Bali berakting dengan cara yang sama sekali berlawanan. Mereka periang, sangat gembira dan menyukai gerakan-gerakan komedi kasar. Topeng-topeng Jawa distilir, dengan hidung panjang tajam dan mata sipit yang menyingkirkan semua realism yang tidak disukai oleh islamnisme. Orang Bali membut topeng yang berupa penyataan perasaan yang menabjubkan, sering tokh yang yang realities, studi mengenai jenis-jenis baku.

Sebuah kelompok teater diatur oleh penduduk desake dalam sebuah masyarakat sepamjang garis-garis yang sama denga kelompok musical. Sumbangan-sumbangan berupa uang dilakukan, peralatan didapatkan, dan para musisi dilatih.  Calon penari dipilih dari anak-anak lelaki dan perempuan dari masyarakat. Dengan memperhatikan penampilan pribadi yang  menyenangkan, kemampuan fisiknya, dan kemampuan bakat  untuk taian tertentu. Untuk tari-tarian Bali yang paling khusus, legong misalnya, gadis-gadis kecil yang terpilih harus berusia antara lima sampai delapan tahun, dan kalau mereka dapat diketemukan mirip satu sama lain, maka dapat dianggap mereka akan merupaka legong yang sangat baik.

Ketika para penari dikumpulkan, seorang guru dipanggil untuk melatih mereka. Guru tersebut biasanya dulunya seorang penari ulung atau seorang pimpinan orkes yang mengetahui tarian tersebut sampai bagian-bagian terkecilnya. Rutin yang paling mendasar diajarkan pertama, dan diulang- ulang sampai tarian tersebut telah merasuk ke dalam diri murid-muridnya.

Pelatihan fisik memainkan bagian penting di dalam pendidikan sang penari; sementara murid mempelajari rangkaian mendasar dari tarian tersebut, langkah-langkah dasar dan gerakan-gerakan umum dari lengan, dia berlatih secara tetap untuk memperoleh kelemah-lembutan setiap otot dan mengontrol tiap angautanya sampai tubuhnya menjadi secara praktis sendi-sendinya lentur dan tangan dapat di gerakkan ke segala arah.

Ukuran gerombolan manusia adalah tanda satu-satunya mengenai apakah sebuah pementasan berasil atau tidak. Orang Bali tidak bertepuk tangan atau menunjukkan penggharhaan mereka bagi seorang penampil dengan cara lain. Yang tampaknya kurang member semangat tiding mempengaruhi kegairahan terhadap seni, dan menurut kesan yang kuperoleh, tarian teater masa kini bahkan lebh maju dibandingkan di masa lalu. Berdasarkan laporan-laporan kuno, tampaknya terdapat lebih banyak pementasan, pertunjukan lebih rumit dan beragam, dan yang dilestarikan dengan rasa iri. Hamper tidak ada desa yang tidak mempunyai semacam perkumpulan penari, bahkan pernyataan bahwa kebiasaan lama membebaskan actor dan musisi dari membayar pajak telah dihapuskan oleh pemerintah tidak menyurutkan minat dalam seni tari dan berakting. Bahkan tidak ada perangsang dalam keuntungan komersil bagi pribadi; jumlah uang yang kecil yang diterima pada perayaan-perayaan pribadi masuk pada dana masyarakat untuk membeli kostum baru, peralatan baru dan perayaan komunal.

Sumber :        Mignel Covarrubias “ PULAU BALI : Teman yang menakjubkan. Udanaya University Preas. “ De leak op Bali.” Tijd B.G., Jilid LX,h 1 dan 2 dan TYRA DE KLEEN : Mundras auf Bali, Handhaltungen der Priester. Hagen di westfalen. Bawangkara. Majalah bulanan diperuntukan etnologi Bali dan kesusastraan.