ibgirimantra

Blog

Archive for Juni, 2013

TARI SATYA BRASTA

Filed under: Lainnya — ibgirimantra @ 8:00 pm

  Tari Satya Brastha

SEJARAH TARI SATYA BRASTA

Bali terkenal dengan bentuk keseniaanya yang identik dengan seni tari, seni tabuh,seni patung,seni ukir, dan seni kriya. Di dalam peper penelitian ini saya akan memaparkan tentang tari Satya Brasta adapun sejarah dari munculnya tari Satya Brasta.  Tari Satya Brastha merupakan salah satu tari kreasi baru. Sebagai bagian dari seni pertunjukan Bali, tari Satya Brastha dapat berkembang dalam masyarakat karena komposisi tarinya yang unik, dengan gerak tari yang mudah untuk dipelajari oleh masyarakat.

Tari Satya Brasta adalah taru kreasi yang dibawakan oleh sekelompok penari pria yang menceritakan  tentang kepahlawan Gatotkaca dengan peperangan antara gatotkaca dengan karna yang diakhiri dengan gugurnya gatotkaca oleh senjata Konta Wijayakusuma. Dengan pencipta i I Nyoman Cerita, SST, MA pada tahun 1989

Tarian lepas angkatan terbaru belakangan ini ikut juga unjuk kiprah bersama-sama tari-tarian kreasi terdahulu yang kini sering mengisi kokosongan panggung pertunjukan yang ditinggalkan oleh Drama Gong dan Arja yang dulu sempat menjadi seni pertunjukan primadona masyarakat. Pementasan tarian lepas itu umumnya bersifat ngayah dalam konteks upacara keagamaan seperti pada pementasan malam itu adalah sajian balih-balihan dalam rangka suatu tonggak upacara agama penting di pura banjar tersebut. Para penari dan grup penabuh, tampil secara tulus tanpa menuntut imbalan apa pun. gampang untuk dimengerti

 Perkembangan Tari Satya Brasta

Sejak zaman dahulu I Nyyoman Cerita dikenal sebagi pencipta tari kreasi baru pada tahun 1989 pasa adnya Tari Satya Brata, perkembangan tarinya sampai saat ini sangat berkembang sangat pesat tetapi tidak sampai mengubah dari segi stuktur bentuk tarian tersebut. Tarian lepas angkatan terbaru belakangan ini ikut juga unjuk kiprah bersama-sama tari-tarian kreasi terdahulu yang kini sering mengisi kokosongan panggung pertunjukan yang ditinggalkan oleh Drama Gong dan Arja yang dulu sempat menjadi seni pertunjukan primadona masyarakat. Pementasan tarian lepas itu umumnya bersifat ngayah dalam konteks upacara keagamaan seperti pada pementasan malam itu adalah sajian balih-balihan dalam rangka suatu tonggak upacara agama penting di pura banjar tersebut. Para penari dan grup penabuh, tampil secara tulus tanpa menuntut imbalan apa pun. gampang untuk dimengerti

Salah satu pekembangan tari Satya Brasta dapat dilihat dari sering munculnya atau ditampilkan di dalam suatu pertujukan. Sehingga tari kreasi baru ini tidak pernah luput dari perhatian masyarakat karena masyarakatlah yang menilai baik-buruknya suatu pertunjukan tersebut dan dapat mempunyai asumsi bahwa tarian ini harus dikembangkan lagi supaya dikenal oleh masyakat diluar bukan hanya dari masyarakat di Bali saja. Pengetahuan itu harus ditanamkan kepada generasi muda yang mendatang khusunya yang mempunyai bakat didalam seni tari.

Perkembangan tari Satya Brasta dapat didukung oleh sektor pariwisata karena periwisata meupakan salah satu cara untuk mempekenalkan bentuk taian ini kepada wisatawan yang berlibur di Bali. Biasanya tarian dipertunjukan di hotel atau restorant yang menyediakan fasilitas unutuk kesenian. Maka dari itu seni tari khususnya di dalam seni tari Satya Brasta tidak bisa punah ataupun hilang karena masyarakat zaman sekarang sudah berani untuk menjaga kembali hasil kebudayaan kesenian Bali.

Struktur Tari Satya Brasta

Struktur tari Satya Brasta ini tersusun sebagai berikut :

Dari Segi Gerak

Rangkaian geraknya secara singkat yaitu :

Pertama-tama keluar tiga orang penari dengan membawa tedung  (pajeng Bali), 3 orang penari keluar dengan langkah lebar-lebar dan kompak menghadap ke pojok depan stage dengan tekanan dan tanjekan mereka memulai gerakan angkat kaki kecil-kecil dengan bergiliran dan diselingi gerakan atau langkah kaki silang seperti orang berjalan dengan gerakan cepat. Dengan perpindahan komposisi lurus ke samping atau berjejer  mereka melakukan gerkan memutar tedung (pajeng Bali) tersebut, disana mereka menyembunyikan diri dibalik tedung (pajeng Bali) dengan memainkan property yang berbentuk anak panah tetapi pendek dengan menggambarkan naga yang biasanya disebut dengan konta. Disana yang kelihatan hanyalah tangan yang memegang property tersebut, kemudian bangun dengan gerakan kompak dan selanjutnya mengambil tedung dengan gerakan tangan memutar tedung (pajeng Bali) dan disana datanglah 3 orang lagi membawa kipas. Mereka yang membawa kipas melakukan gerakan malpal dengan langkah lebar dan kompak.  Yang membawa tedung (pajeng Bali) sama namun mereka hanya beda membawakan dan memainkan propertinya dengan variasi membuka kipas bagi yang membawa property kipas sedangkan yang membawa tedung (pajeng Bali) merentangkannya ke depan dan memutarkannya kemudian berjalan ke belakang dengan langkah penari untuk menaruh property tedung (pajeng Bali) dan kipasnya dibuka di depan tedung (pajeng Bali). Kemudian membuat komposisi satu orang memimpin di depan, dua orang di belakangnya, tiga orang lagi paling belakang. Disini juga melakukan gerakan kompak seperti gerakan duduk dengan satu kaki yaitu setengah jongkok, gerakan kompak seperti kipekan dengan ekspresi dan mata menatap tajam (nelik), gerakan langkah kaki mundur dengan kompak.  Kemudian dilanjutkan dengan adegan pembagian peran, dengan posisi 2 orang di depan melakukan gerakan bercakap dalam tari seperti nuding dan 4 orang berjejer di belakang duduk dengan gerakan kompak dan lambat seperti orang yang mendengarkan percakapan 2 orang yang di depan. Kemudian membuat posisi kereta berkuda dengan satu orang menjadi kuda, 2 orang memegang tedung (pajeng Bali) yaitu sebagai roda, satu orang memegang kipas dan tedung (pajeng Bali), satu orang memegang 2 kipas yang dibuka sebagai pintu kereta, satu orang sebagai tokoh dalam tari. Kemudian gerakan perang yang sudah tertata oleh pencipta tari. Dari synopsis tarinya dengan ending salah satu penari berada di depan untuk mengambil ancang-ancang dengan gerakan improvisasi dan melempar anak panah (konta) , dua orang membawa tedung (pajeng Bali) dan menghadapkannya ke depan dan memutarkannya. Satu orang membawa tedung (pajeng Bali) dengan posisi payung ditutup , satu orang sebagai tumpuan, satu orang sebagai tokoh yang berada di atas tumpuan yang akan kalah dalam cerita tari itu (dipanah).

–  Dalam tarian ini banyak terdapat gerakan kreasi baru yang kompak dan pengulangannya.

– Dalam gerakan transisi, perpindahan posisi 1 ke posisi yang lain menggunakan gerakan jalan dengan langkah lkebar dan gagah, dan gerakan nyrihsihg

– dalam tari ini banyak menggunakan komposisi dan trik dari property

– dalam tari ini ada gerakan improvisasi karena adanya penokohan dan perwatkana yang berbeda yang sudah ditata oleh pencipta tari

– yang menjadi cirri dari tari ini adalah adegan terjkahir klahnya gatotokaca oleh senajata Konta Wjayakusuma.

\- Gerakan tarinya sangat gagah dan berwibawa

  • Gerak tarinya sangat energik dan kebanyakan tempo cepat kecuali pada waktu pengadeng

Dari Segi Penari

Jumlah penari yang kami tonton berjumlah 6 orang, yang berjenis kelamin laki-laki (dewasa) yaitu anak SMKI. Postur tubuhnya sama namun ada terlihat dari keenam penari salah satu diantaranya agak kurus dan lebih pendek lagi sedikit dari penari lainnya. Kami melihat kualitas gerak penari sama.

  • 3 Iringan

Musik iringannya terdiri dari jenis gong kebyar dan pemain musiknya atau penabuh  yaitu anak-anak atau siswa dan guru pengajar di SMKI.

  •  Dari Segi Pendukung
  • Tempat dilaksanakan di depan pura puseh Batubulan, waktu dilaksanakannya pada malam hari dengan penerangan lampu dari arah depan stage saja.
  • Kostum yang digunakan :
    • Celana biru
    • Saput pink
    • Lamak/kancut depan dengan 3 warna yaitu kuning, pink dan biru
    • Sabuk kain
    • Baju variasi yang hanya menutup bagian dada, bahu, punggung.
    • Badong
    • Gelangkana tangan dan gelangkana kaki
    • Udeng Kain
    • Ampok-Ampok
    • Wig (rambut palsu)
    • Properti :
      • Kipas putih sedang
      • Tedung (pajeng Bali)  yang berwarna biru
      • Panah kecil yang bergambarkan naga (dililit) yang disebut dengan konta
      • Hiasan panggung sangat sederhana yaitu di depan candi bentar (pintu masuk) keluar masuk penari ada 2 tedung (pajeng Bali) berwarna merah dan diikat dengan selendang putih. Ada 2 buah tugu yag diisi kain poleng (hitam , putih).
      • Musik Iringan :

Memakai Gambelan gong kebyar

Pepeson : musik keras teratur.

Pengawak : musik sedang

Pesiat : musik keras.

Kesimpulan

Setelah kami menonton maka kami dapat menyimpulkan bahwa Tari Satya Brasta adalah tari kreasi yang diciptakan oleh I Nyoman Cerita dengan ide dan synopsis garapan yang sudah didapat dengan menuangkan gerak kreasi di dalam tari karena dalam tari ini banyak terdapat gerak kreasi yang sulit untuk kami paparkan dalam mendeskripsikan dan menganalisa tari ini

Gambar

Daftar Pustaka:

Djayus Nyoman , Teori Tari Bali ,Surabaya,CV Sumber Mas Bali, 1979

 

Comments (56)


TUGAS SENI PERTUNJUKKAN INDONESIA

Filed under: Karya — ibgirimantra @ 11:42 am

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas ‘Hari Raya Nyepi’ adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka. Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit. Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta).

Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI – XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga. Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah Nyepi, dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma Santi.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah  Pengertian Dan Makna  Hari Raya Nyepi ?

2. Bagaimanakah Pelaksanaan Perayaan Hari Raya Nyepi Dan Pelaksanaan Pawai

Ogoh-  Ogoh  Pada Tawur Kesanga ?

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

 2.1 Pengertian Dan Makna Hari Raya Nyepi

 

Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

  1. Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata “tawur” berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka. Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai

Hari raya Nyepi oleh umat hindu di Bali dirayakan sebagai hari pergantian tahun baru Caka. Hari raya ini menurut penanggalan hindu jatuh pada tanggal satu (penanggal pisan) sasih X (kedasa) atau tepatnya sehari sesudah tilem ke IX (kesanga). Terdapat beberapa rangkaian pelakasanaan hari raya Nyepi ini , yaitu :

1.Melasti
Melasti sering disebut dengan Melis atau Mekiis. Upacara melasti ini dilakukan pada pengelong 13 sasih kesanga (tepatnya traodasa kresnapaksa sasih IX). Pada upacara melasti ini dilakukan pensucian atau pembersihan segala sarana atau prasarana persembahyangan. Alat-alat atau sarana persembahyangan yang dibersihkan antara lain adalah: pratima dan pralingga. Sarana-sarana ini selanjutnya diusung ke tempat pembersihan seperti laut (pantai) atau sumber mata air lain yang dianggap suci, sesuai dengan keadaan tempat pelaksanaan upacara (desa, kala, patra). Tujuan dari upacara melasti ini adalah untuk memohon tirtha amerta sebagai air pembersih dari Hyang Widhi.

2.Tawur Kesanga     
Tawur kesanga jatuh sehari sebelum pelaksanaan hari raya nyepi yaitu pada tilem kesanga. Pada upacara tawur ini dilakukan persembahan kepada para bhuta berupa caru. Caru ini dipesembahkan agar para bhuta tidak menurunkan sifat-sifatnya pada pelaksanaan hari raya nyepi. Hal ini juga bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur jahat dari diri manusia sehingga tidak mengikuti manusia pada tahun berikutnya. Upacara tawur kesanga ini sering juga disebut dengan upacara pecaruan dan juga tergolong upacara bhuta yadnya.

3.Hari Nyepi
Hari raya nyepi dirayakan oleh umat dengan cara melakukan Catur Bratha Penyepian. Catur bratha penyepian terdiri dari empat macam pantangan yaitu: amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bekerja) dan amati lelanguan (tidak melakukan kegiatan hiburan). Semua pantangan in dilakukan untuk mengekang hawa nafsu dan segala keinginan jahat sehingga dicapai suatu ketenangan atau kedamaian batin. Dengan ini pikiran manusia bisa terintropeksi atas segala perbuatannya pada masa lalu dan pada saat yang sama memupuk perbuatan yang baik untuk tahun berikutnya. Semua ini dilakukan selama satu hari penuh pada hari raya nyepi.

4.Ngembak Geni      
Sehari setelah hari raya nyepi, semua aktivitas kembali berjalan seperti biasa. Hari ini dimulai dengan persembahyangan dan pemanjatan doa kepada Hyang Widhi untuk kebaikan pada tahun yang baru. Pada hari ngembak geni ini hendaknya umat saling bersilatuahmi dan memaafkan satu sama lain.

Hari raya nyepi pada hakekatnya adalah hari pengekangan hawa nafsu dan intropeksi diri atas segala perbuatan yang dilakukan pada masa lalu. Pelaksanaan hari raya nyepi ini harus didasari dengan niat yang kuat, tulus dan ikhlas tanpa ada ambisi tertentu. Pengekangan hawa nafsu untuk mencapai kebebasan batin memang suatu ikatan tetapi ikatan itu dilakukan dengan penuh keikhlasan.

2 .2 Pelaksanaan Hari Raya Nyepi

Bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.

Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:

  • Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).
  • Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
  • Amati lelungan (tidak bepergian).
  • Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).

Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu. Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana. Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan.

 

2.3  Pelaksanaan Pawai Ogoh Ogoh Pada  Tawur  Kesanga

Jika dilihat dari aspek tertentu ogoh-ogoh memiliki beberapa definisi, bagi orang awam ogoh–ogoh adalah boneka raksasa yang diarak keliling desa pada saat menjelang malam sebelum hari raya nyepi (ngerupukan) yang diiringi dengan gamelan bali yang disebut BLEGANJUR , kumudian untuk dibakar. Menurut Wilkipedia bahasa Indonesia,”Ogoh-ogoh adalah seni patung dalam kebudayaan bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Khala,” Bhuta berarti waktu yang tidak terukur,sedangkan Khala berarti kekuatan.dari arti kata diatas maka para cendekiawan hindu dharma mengambil kesimpulan bahwa proses perayaan Ogoh-ogoh melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta, dan waktu yang maha dasyat, kekuatan itu dapat dibagi dua, pertama kekuatan bhuana agung, yang artinya kekuatan alam raya, dan kedua adalah kekuatan Bhuana alit yang bearti kekuatan dalam diri manusia. kedua kekuatan ini dapat digunakan untuk menghancurkan atau membuat dunia bertambah indah. Sedangkan Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi tahun 1986, Ogoh-Ogoh didefinisikan sebagai ondel-ondel yang beraneka ragam dengan bentuk yang menyeramkan.

Di lain pihak, ditahun 2003 seorang peneliti yang bernama Laura Noszlopy meneliti “Pesta Kesenian Bali; budaya, politik, dan kesenian kontemporer Indosnesia” untuk Yayasan Arts of Afrika mendefinisikan ogoh-ogoh sebagai berikut Ogoh-ogoh adalah patung yang berukuran besar yang tebuat dari bubur kertas dan bahan pelekat yang biasanya dibuat oleh kaum remaja Bali sebagai suatu bagian dari perayaan tahunan “upacara pembersihan” (ngerupukan), yang dilaksanakan sehari sebelum perayaan Nyepi, tahun baru Hindu atau hari Nyepi.

         2.3.1 Awal Mula Munculnya Ogoh-Ogoh

Banyaknya fersi yang yang beredar di masyarakat bali yang menjelaskan tentang awal mula munculnya ogoh-ogoh tersebut , sehingga untuk mengeathui kapan awal mula munculnya ogoh-ogoh secara pasti sangatlah sulit. Diperkirakan ogoh-ogoh tersebut dikenal sejak jaman Dalem Balingkang dimana pada saat itu ogoh-ogoh digunakan pada saat upacara pitra yadnya(upacara yang pemujaan yang ditujukan kepada para pitara dan kepada roh-roh leluhur umat hindu yang telah meninggal dunia). Pendapat lain menyebutkan ogoh-ogoh tersebut terinspirasi dari tradisi Ngusaba Ndong-Nding di desa Selat Karangasem. Perkiraan lain juga muncul dan menyebutkan barong landung yang merupakan perwujudan dari Raden Datonta dan Sri Dewi Baduga (pasangan suami istri yang berwajah buruk dan menyeramkan yang pernah berkuasa di Bali) merupakan cikal-bakal dari munculnya ogoh-ogoh yang kita kenal saat ini. Informasi lain juga menyatakan bahwa ogoh-ogoh itu muncul tahun 70-80’an.. Ada juga pendapat yang menyatakan ada kemungkinan ogoh-ogoh itu dibuat oleh para pengerajin patung yang telah merasa jenuh

membuat patung yang berbahan dasar batu padas, batu atau kayu, namun disisi lain mereka ingin menunjukan kemampuan mereka dalam mematung, sehingga timbul suatu ide untuk membuat suatu patung dari bahan yang ringan supaya hasilnya nanti bisa diarak dan dipertunjukan.

2.3.2 Arak-Arakan Ogoh-Ogoh

Dalam rangkaian Nyepi di Bali yang bertepatan dengan Sasih Kesange (bulan kesange) atau pada penanggalan masehi bertepatan dibulan Maret atau April, upacara yang dilakukan berdasarkan wilayah adalah sebagai berikut:

  • Di ibu kota provinsi dilakukan upacara Tawur.
  • Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud.
  • Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak.
  • Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata.
  • Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.

Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipajangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) yang di tambahi dengan penjor atau dalam bahasa Indonesia biasa disebut umbul-umbul dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar. Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah. Upacara Bhuta Yajna di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 – 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngerupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Sejak tahun 80-an, umat hindu mengusung ogoh-ogoh yang dijadikan satu dengan acara mengelilingi desa dengan membawa obor atau yang diebut acara ngerupuk.

Sebelum memulai pawai ogoh-ogoh para peserta upacara atau pawai biasanya melakukan minum-minuman keras traditional yang dikenal dengan nama arak Pada umumnya ogoh-ogoh di arak menuju sutau tempat yang diberi nama sema(tempat persemanyaman umat hindu sebelum di bakar dan pada saat pembakaran mayat) kemudian ogoh-ogoh yang sudah diarak mengelilingi desa tersebut dibakar.

Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai dengan diiringi irama gamelan khas bali yang diberi nama BleganjurPatung yang dibuat dengan bahan dasar bambu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngerupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara.

         2.3.3  Makna Yang Terkandung Dalam Ogoh-Ogoh

Ogoh-ogoh merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia: adharma svarupa; sehingga pengarakannya berbagai lokasi di sekitar banjar atau desa, yang melewati jalan-jalan utama sehingga tampak oleh semua warga banjar yang memiliki suatu makna tersendiri. Kehidupan selalu memiliki elemen yang positif maupun negatif, hal ini selalu ada di dalam diri manusia, dan jika kita bijaksana untuk bersedia melihatnya, kita tidak akan menyangkalnya.

Ogoh-ogoh yang dibangun bersama secara swadaya oleh masyarakat banjar, secara implisit, memberikan ide bagi kita semua untuk bersedia melihat sifat-sifat negatif dalam diri kita, dan menjadi terbuka akannya, bahwa hal itu bukanlah hal yang harus ditakuti, namun untuk kita lihat dan amati bersama, sehingga kita dapat memahaminya. Tradisi ini mengingatkan masyarakat Bali khususnya. Selain itu ogoh-ogoh diarak keliling desa bertujuan agar setan-setan yang ada di sekitar desa agar ikut bersama ogoh-ogoh, Karen setan setan tersebut menganggap bahwa ogo-ogoh tersebut merupakan rumaah merak dan kemudian ikut di bakar.minum minuman keras tradisional khas bali yang di namai arak subelum mengarak ogoh-ogoh dengan cara diangkat.

Mabuk karena minum arak di bali bukan sesuatu yang dilarang malah itu adalah hal yang dianjurkan oleh agama mereka,sebagaimana kita tahu masyrakat bali yang mayoritas beragama hindu memiliki banyak sekali Dewa,begitu pula prilaku yang jahat mereka memiliki dewa untuk hal tersebut, yaitu Dewa atau Batara Kala. Sebenarnya hal ini dapat memberikan sedikit gambaran mengenai kepercayaan yang diyakini oleh orang bali, yaitu hal-hal yang terjadi di dunia ini selalu berpasangan, sebagai contoh ada orang baik dan ada juga orang jahat, ada kematian tapi ada juga bayi yang baru lahir, atau pemahaman lebih sederhananya yaitu ada warna hitam ada juga warna putih.

jadi apapun yang terjadi dalam kehidupan manusia selalu berjalan dengan seimbang, jadi ritual meminum arak bagi orang yang mengarak ogoh-ogoh di anggap sebagai perwakilan dari sifat buruk yang ada di dalam diri manusia.Bahwa beban dari berat yang mereka gendong adalah sebuah sifat negatif, seperti cerminan sifat-sifat raksasa, ketika manusia menyadari hal ini, mereka tidak akan menahan elemen-elemen ini sendirinya, dan membiarkan elemen ini menjadi tiada seperti abu dan debu yang tertiup angin.

 

 

 

 

 

 

 

2.3.4 Bentuk Ogoh-Ogoh

Ogoh-ogoh sendiri memiliki peranan sebagai simbol atau pemvisualisasian prosesi penetralisiran kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan Bhuta (kekuatan alam).

                                       

  Gambar : 1 Ogoh –Ogoh .

 

dimana ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi ini merupakan perwujudan Bhuta kala yakni unsur alam yang terdiri dari air, api, cahaya, tanah, dan udara yang divisualkan dalam wujud yang menyeramkan dan bentuknya yang sangat besar, karena jika kekuatan alam itu berlebihan tentunya akan menjadi kekuatan yang merusak dan menyeramkan, ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.pada awal mula disiptakannya ogoh-ogo dibuat dari rangka kayu dan bambu sederhana, rangka tersebut dibentuk lalu dibungkus kertas. Pada perkembangan jaman yang maju pesat ogoh-ogoh pun terimbas dampaknya, ogoh-ogoh makin berinovasi, ogoh-ogoh dibuat dengan rangka dari

besi yang dirangkaikan dengan bambu yang dianyam, pembungkus bodi ogoh-ogoh pun di ganti dengan gabus atau stereofoam dengan teknik pengecatan. Tema ogoh-ogoh pun semakin berfariasi, dari tema pewayangan, modern, porno sampai politik yang tidak mencerminkan makna agama.

Tema ogoh-ogoh yang diharapkan adalah sesuai dengan nilai agama Hindu yaitu tidak terlepas dari Tuhan, Manusia dan Buta Kala sebagai penyeimbang hubugan ketiganya. Ogoh-ogoh simbol Kala ini haruslah sesuai dengan sastra agama yang diatur dalam pakem dan bukan seperti yang beberapa dibuat saat ini, karena banyak kita lihat kala dibuat berbentuk manusia lucu, Rocker, punk, inul, manusia, raksasa sexy dan seronok. Tapi dari sudut pandang lain mengatakan ogoh-ogoh itu merupakan kreativitas anak muda yang mengekploitasi bentuk gejala alam dan fenomena sosial yang terjadi dimasyarakat saat ini jadi tidak perlu adanya pembatasan ataupun pengekangan dalam berekspresi.

Dampak Dari Perayaan Ogoh – OgohDari peraya ogoh tersebut banyak dampak yang tibul dalam masyarakat bali atau pun dari luardampak positif namun juga menghadirkan dampak negatif . Dapak dampak tersebut seperti:• Dampak positif dari perayaan ini seperti menjadi hiburan ter sendiri bagi umat hindu dan non hindu, menarik banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri, karena ogoh-ogoh adalah sebuah patung yang sangat besar maka di butuhkan benyak orang untuk mengaraknya dari sanalah rasa persatuan dan kesataun diantara umat hindu, dalam pebuatan ogoh-ogoh yang mengandung unsur seni dapat mehidupkan kreatifitas pada pemuda pemudi bali.

     2.3.5 Makna Ogoh-Ogoh Dan Hari Raya Nyepi

 

 

 

 

Ogoh – ogoh itu sendiri diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa Bali. Artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Dan tahun 1983 merupakan bagian penting dalam sejarah ogoh-ogoh di Bali. Pada tahun itu mulai dibuat wujud-wujud bhuta kala berkenaan dengan ritual Nyepi di Bali. Ketika itu ada keputusan presiden yang menyatakan Nyepi sebagai hari libur nasional. Semenjak itu masyarakat mulai membuat perwujudan onggokan yang kemudian disebut ogoh-ogoh, di beberapa tempat di Denpasar. Budaya baru ini semakin menyebar ketika ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke XII.Ogoh – Ogoh ini dimaksudkan mengembalikan bhutakala ketempat asalnya. Sebelumnya ada tradisi Barong Landung, Tradisi Ndong Nding dan Ngaben Ngwangun yang menggunakan ogoh-ogoh Sang Kalika,  bisa juga merujuk sebagai cikal bakal wujud ogoh-ogoh.

Di dalam babad, tradisi Barong Landung berasal dari cerita tentang seorang putri Dalem Balingkang, Sri Baduga dan pangeran Raden Datonta yang menikah ke Bali. Tradisi meintar mengarak dua ogoh-ogoh berupa laki-laki dan wanita mengelilingi desa tiap sasih keenam sampai kesanga. Visualisasi wujud Barong Landung inilah yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya ogoh-ogoh dalam ritual Nyepi.

“Ogoh-ogoh” merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian “Bhuta Kala” dan sudah menjadi ikon ritual yang secara tradisi sangat penting dalam penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka. Seluruh umat Hindu Dharma akan bersukaria menyambut kehadiran tahun baru itu dengan mengarak-arakan “ogoh-ogoh” yang dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan sudah dilakukan selama ini.  Pada saat “Pangrupukan” atau sehari menjelang Hari Raya Nyepi, peristiwa dan prosesinya setiap tahunnya sama yaitu pada setiap Banjar (pemangku adat setingkat Kelurahan) di Bali akan berlomba dalam hal membuat “ogoh-ogoh” semenarik mungkin. Bila pembuatannya lebih bernilai seni, rumit, dan lebih mutakhir, maka “ogoh-ogoh” itu diharapkan bisa menaikkan martabat Banjar yang membuatnya.

Fungsi utama “ogoh-ogoh” adalah sebagai representasi Bhuta Kala yang dibuat menjelang perayaan Hari Raya Nyepi, dimana “ogoh-ogoh” tersebut akan diarak beramai-ramai keliling banjar atau desa pada senja hari, sehari sebelum Hari Raya Nyepi (Pangrupukan). Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, prosesi ini melambangkan keinsyafan diri manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan “Bhuana Agung” (alam raya) dan “Bhuana Alit” (diri manusia). Dalam pandangan filsafat (tattwa). Dengan keberadaan arak-arakan “Ogoh-Ogoh” yang sudah menjadi tradisi inilah yang menambah daya tarik wisatawan baik mancanegara maupun nusantara. Karena selain memiliki keindahan tempat-tempat wisata, Balipun memiliki kekayaan budaya yang menjadi andalan kepariwisataan. Serasa belum lengkap bilamana wisatawan berkunjung tidak melihat prosesi “Ogoh-Ogoh” pada penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 

Kesimpulan yang didapat dari pembahasan dan berbagai pengertian yang telah dijelaskan pada bab –bab sebelumnya mengenai Hari Raya Nyepi Dan Hubungannya Dengan Pawai Ogoh –Ogoh . ‘Hari Raya Nyepi’ adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan. Ogoh-ogoh merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia: adharma svarupa; sehingga pengarakannya berbagai lokasi di sekitar banjar atau desa, yang melewati jalan-jalan utama sehingga tampak oleh semua warga banjar yang memiliki suatu makna tersendiri.     Fungsi utama “ogoh-ogoh” adalah sebagai representasi Bhuta Kala yang dibuat menjelang perayaan Hari Raya Nyepi, dimana “ogoh-ogoh” tersebut akan diarak beramai-ramai keliling banjar atau desa pada senja hari, sehari sebelum Hari Raya Nyepi (Pangrupukan).

3.2 Saran Dan Kritik

Pembahasan mengenai Hari Raya Nyepi Dan Hubungannya Dengan Pawai Ogoh –Ogoh,pada dasarnya jauh dari kesempurnaan maka saya selaku penulis ingin menyampaikan suatu permintaan maaf jika dalam penulisan dan pembahasan tersebut terjadi kekeliruan dan kurang dimengerti dimohon untuk dimaklumi.

Daftar Pustaka

 

Www.Google.Com// Mengenai Ogoh-Ogoh Dalam Sradha Hindu Bali.

Pendit,Nyoman. 1998. Bhagawadgita,Upacara Hindu.

——–.1992.  Babad Bali. Hari Besar Hindu. Pemerintah Prov Bali.

——–.1998. Seni Pertunjukkan Indonesia Di Era Globalisasi. Dirjen Dikti Departemen P Dan K Jakarta.

Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

 

Comments (55)


Valid XHTML 1.0 Transitional© 2008 | ibgirimantra
'Twilight' Wordpress theme | Powered by Atillus