Monthly Archives: April 2012

Resensi Buku Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan Klasik Pagongan Daerah Bali

Posted by Arsa Wijaya on April 05, 2012
Tulisan / 55 Comments

Judul               : Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan

  Klasik Pagongan Daerah Bali

Penulis             : I Nyoman Rembang

Penerbit           : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan

  Proyek Pengembangan Kesenian Bali

Tahun              : 1984/1985

Halaman          : XIII + 162 halaman

            Gamelan Bali khususnya pagongan merupakan suatu khasanah budaya Bali yang erat sekali kaitannya dengan upacara agama Hindu dan berfungsi sebagai sarana penunjang jalannya upacara yadnya. Gending-gending yang dikategorikan gending lelambatan klasik, berasal dari gending-gending gamelan Gong Gede atau Gong Gangsa Jongkok. Walaupun kini gamelan Gong Gede telah sebagian besar berubah bentuk menjadi bentuk Gong Kebyar, namun gending-gending tersebut tidak berubah ciri khasnya bila diperdengarkan menggunakan gamelan Gong Kebyar. Suasana yadnya yang megah dan agung tetap terasa dan membawa orang akan terbayang dengan kedamaian masa purba. Oleh karenanya gending-gending tersebut hingga kini diperlukan sebagai pendukung upacara. Jenis gending lelambatan ini sebenarya banyak sekali jumlahnya, namun melihat keadaannya dewasa ini yang semakin jarang muncul menimbulkan rasa khawatir akan kepunahan. Karena hal tersebut, penulis memandang perlu mendokumentasi dalam bentuk notasi lagu. Lagu-lagu yang dinotasi adalah lagu yang namanya pernah beredar dikebanyakan sekhe Gong yang ada di Bali dan penciptanya kebanyakan anonim, kecuali beberapa buah lagu yang di ketahui penciptanya antara lain, Semarandana Tabuh Pat oleh I Nyoman Nyebleg dari Gladag, Ginanti Tabuh Pat oleh I Gusti Pt. Made Geria dan kawan-kawan dari Buagan, dan Pengisep  Galang Kangin oleg I Wayan Berata dari Belaluan. Adapun sumber-sumber yang dijajagi antara lain adalah Banjar Geladag, Banjar Tengah Sesetan, Sidakarya, dan Belaluan serta dari beberapa sekeha Gong yang ada di lingkungan Denpasar, di daerah lain seperti Kubu dan Sulahan Bangli dan beberapa dari kabupaten lainnya di Bali.

            Adapun gending-gending yang dinotasi, Tabuh Pisan (Bebarongan, Gagak, Kedodong, Langsing Tuban, dan Pisang Bali), Tabuh Telu (Buaya Mangap, Cerukcuk Punyah, Den Bukit, Lempung Gunung, Lilit, Gajah Nongklang, Sekar Gadung, dan Semara Pita), Tabuh Pat (Banda Sura, Beramara, Berare, Buaya Mangap, Cangak Merengang, Cara Manis, Eman-eman, Ginanti, Jagul, Keroda, Mangong, Manggis Kuning, Manggis Masem, Munduk, Pangelong Jiwa, Sarwa Manis, Sekar Layu, Semarandana, Subandar, Tapa Tangis, Tunjur, dan Wiralodra), Tabuh Nem (Galang Kangin, Kebo Landung, Kembang Koning, dan Gadung Melati), dan Tabuh Kutus (Bendu Semara, Dangdang Gendis, Lasem, dan Pelayon).

            Simbol yang dipakai berasal dari sandang aksara Bali yang disebut ulu (3 dibaca ding), tedong (4 dibaca dong), taleng (5 dibaca deng), suku (7 dibaca dung), dan carik (1 dibaca dang). Titik diatas simbol berarti nada lebih tinggi dari nada normal dan titik dibawah simbol berarti nada lebih rendah dari nada normal. Tanda ketokan sebagai mat ditulis tanda strip pendek ( – ), tanda setengah ketukan ditulis   , tanda seperempat ketukan ditulis        , tanda pengulangan ditulis [ – – – – ], tanda melodi pindah (    > nyalit, nyalit    >, penyalit     >), Jegogan ( ^ ), Kempur ( + ), Kempli (     ), Gong ( ( – ) ), Kendang Wadon ( _ dibaca Ka, o dibaca Dag), dan Kendang Lanang ( __ dibaca Pak, ^ dibaca Dug).

            Secara umum, bahwa yang dimaksud tabuh hubungannya dengan gamelan adalah memebu nyikan atau menyuarakan gamelan. Mungkin dengan cara  memukul, meniup, dan meggesek. Tetabuhan diartikan alunan suara gamelan yang sedang dalam pergelaran, mungkin sebagai pendukung upacara atau iringan tari. Khusus  didalam pengertian karawitan Bali, bahwa yang dimaksud tabuh adalah hasil kemampuan seniman mencapai keseimbangan permainan dalam mewujudkan suatu repertoire dinggap sesuai dengan jiwa, rasa dan tujuan komposisi. Apabila terjadi kejanggalan-kejanggalan didalam penampilan suatu repertoire, maka para ahli karawitan Bali akan mengatakan bahwa tabuhannya yang rusak. Pemain gamelan yang demikian itu dianggap tidakmengerti tabuh yang sebenarnya. Mereka dianggap tidak tahu tata cara membawakan suatu komposisi lagu. Yang indah adalah yang harmonis,seimbang dan sesuai dengan karakter lagu.

            Istilah tabuh juga dipakai istilah bentuk kerangka dasar gending-gending lelambatan klasik, misalnya tabuh pisan, tabuh telu, tabuh pat, tabuh nem,dan tabuh kutus. Dengan demikian timbul anggapan bahwa nama tabuh tersebut dibuat demikian disebabkan oleh banyaknya jumlah pukulan Kempur dan Kempli didalam satu Gong. Dugaan atau anggapan tersebut adalah belum tepat, sebab yang diatur dalam komposisi gending-gending lelambatan tradisional itu bukan hanya pukulan Kempur dan Kempli saja, melainkan semua pukulan jenis-jenis instrumen. Istilah tabuh yang dilengkapai dengan nama-nama bilangan adalah suatu modus yakni cara membedakan nama bentuk yang satu dengan yang lainnya.

            Tabuh Telu merupakan gending yang ukurannya paling pendek diantara gending-gending yang termasuk dalam kategori lelambatan. Gending Tabuh Telu dapat dipakai berdiri sendiri  misalnya untuk tabuh pembukaan atau untuk pengisi waktu yang singkat. Disamping itu gending Tabuh Telu dipakai sebagai pengecet bagian terakhir gending-gending Tabuh Pat, Tabuh Nem, dan Tabuh Kutus. Dalam hal komposisi, gending Tabuh telu dapat dibagi menjadi dua macam bentuk, yaitu bentuk tunggal dan bentuk ganda. Tabuh Telu bentuk tunggal ialah gending yang terdiri dari kawitan dan pengawak saja, dan bagian pengawaknya dimainkan berulang-ulang, contohnya adalah Tabuh Telu Buaya Mangap. Tabuh Telu bentuk ganda adalah gending yang memakai dua bagian putarannya yaitu ada pengisep dan ada pengawaknya, contohnya adalah Tabuh Telu Sekar Gadung.

            Tabuh Pisan merupakan gending yang panjang melodi pengawak dan pengisepnya terdiri dari 16 x 4 ketokan didalam satu Gong. Tetapi satu pengawak terdiri dari dua Gong yang melodinya berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian pula halnya bagian pengisepnya. Namun ada pula gending Tabuh Pisan yang pengawaknya terdiri dari tiga Gong.

            Tabuh Pat, Tabuh Nem, dan  Tabuh Kutus memiliki pola dasar yang serupa. Bentuk keranka dasar lagunya mapun kendangannya semua sama, yang berbeda adalah panjang ukuran melodinya di dalam satu Gong. Tabuh Pat ukurannya sedang, Tabuh Nem agak panjang, dan Tabuh Kutus terpanjang. Pada umumnya gending-gending lelambatan klasik pegongan itu tersusun sedemikian rupa dan terdiri dari bagian-bagian yang disebut Kawitan, Pengawak, Pengisep, Pengecet, dan Tabuh Telu.

            Buku Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan Klasik Pagongan Daerah Bali merupakan buku yang sangat bermanfaat sekali. Didalamnya terdapat penjelasan simbul notasi dan penjelasan tentang berbagai macam tabuh lelambatan klasik. Selain itu, di dalam buku ini terdapat notasi gending-gending lelambatan. Hal tersebut memudahkan seseorang yang ingin mempelajari tabuh lelambatan klasik dan juga buku ini merupakan buku yang dibuat untuk melestarika tabuh lelambatan klasik agar tetap bisa di ingat di kalangan seniman masyarakat Bali.

Kakawin Smaradahana

Posted by Arsa Wijaya on April 05, 2012
Tulisan / 53 Comments

Penulis kakawin Smaradahana adalah Empu Dharmaja yang hidup pada jaman kerajaan Kediri.

Kakawin Smaradahana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna dalam bentuk kakawin yang menyampaikan kisah terbakarnya Batara Kamajaya (smara = asmara; dahana = api). Berikut merupakan ikthisar dari Kakawin Smaradahana.

Ketika Batara Siwa pergi bertapa, Indralaya didatangi musuh, raksasa dengan rajanya bernama Nilarudraka, demikian heningnya dalam tapa, batara Siwa seolah-olah lupa akan kehidupannya di Kahyangan. Supaya mengingatkan batara Siwa dan juga agar mau kembali ke Kahyangan ,maka oleh para dewa diutuslah batara Kamajaya untuk menjemputnya. Berangkatlah sang batara untuk mengingatkan batara Siwa, dicobanya dengan berbagai panah sakti dan termasuk panah bunga, tetapi batara Siwa tidak bergeming dalam tapanya. Akhirnya dilepaskannya panah pancawisesa yaitu:

  • hasrat mendengar yang merdu
  • hasrat mengenyam yang lezat
  • hasrat meraba yang halus
  • hasrat mencium yang harum
  • hasrat memandang yang serba indah

Akibat panah pancawisesa tersebut dewa Siwa dalam sekejap rindu kepada permaisurinya dewi Uma, tetapi setelah diketahuinya bahwa hal tersebut adalah atas perbuatan batara Kamajaya. Maka ditataplah batara Kamajaya melalui mata ketiganya yang berada di tengah-tengah dahi, hancurlah batara Kamajaya. Dewi Ratih istri batara Kamajaya melakukan “bela” dengan menceburkan diri kedalam api yang membakar suaminya. Para dewa memohonkan ampun atas kejadian tersebut, agar dihidupkan kembali, permohonan itu tidak dikabulkan bahkan dalam sabdanya bahwa jiwa batara Kamajaya turun ke dunia dan masuk kedalam hati laki-laki, sedangkan dewi Ratih masuk kedalam jiwa wanita. Ketika Siwa duduk berdua dengan dewi Uma, datanglah para dewa mengunjunginya termasuk dewa Indra dengan gajahnya, Airawata yang demikian dahsyatnya sehingga dewi Uma terperanjat dan ketakutan melihatnya, kemudian dewi Uma melahirkan putera berkepala gajah, dan kemudian diberi nama Ganesha. Datanglah raksasa Nilarudraka yang melangsungkan niatnya “menggedor” khayangan. Maka Ganesha ‘lah yang harus menghadapinya, dalam perang tanding tersebut ganesha setiap saat berubah dan bertambah besar dan semakin dahsyat. Akhirnya musuh dapat dikalahkan, dan para dewa bersuka cita.

Dalam kakawin Smaradahana (pupuh XXIX:8) terdapat potongan kakawin yang berbunyi:

“ginding daityaddhipati ya ta tinabih kendang, gong, gangsa, gubar asahuran…” artinya

“gending dari Sang Raja Raksasa dibunyikan, kendang, gong, gangsa, dan gubar bersahut-sahutan….”

            Mungkin yang di maksud sebagai Sang Raja Raksasa ini adalah raksasa Nilarudraka yang berniat ingin merusak khayangan. Ketika raksasa datang ke khayangan dibunyikan kendang, gong, gangsa dan gubar dengan bersahut-sahutan yang merupakan pertanda dari datangnya Nilarudraka ke khayangan. Jadi dapat saya simpulkan bahwa fungsi dari instrumen kendang, gong, gangsa dan gubar adalah sebagai alat musik yang dibunyikan untuk memberitahukan kedatangan dari Sang Raja Raksasa. Kendang merupakan alat musik yang tergolong membranophone, Gong merupakan alat musik yang terbuat dari kerawang yang berbentuk bulat besar dran bermoncol, Gangsa adalah alat musik yang berbilah, dan Gubar merupakan alat musik yang belum saya ketahui.

Sumber kekawin : http://macapatwungu.wordpress.com/2011/03/23/jenis-jenis-gamelan-jawa-2/

Resensi Buku Gong: Antologi Pemikiran

Posted by Arsa Wijaya on April 05, 2012
Tulisan / 56 Comments

Dalam buku Gong: Antologi Pemikiran, termuat 16 himpunan tulisan yang di buat oleh I Wayan Rai S dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir. Pada mulanya artikel yang dihimpun dalam buku ini dibuat untuk kepentingan yang berbeda yaitu: ada yang ditulis untuk surat kabar, jurnal ilmiah, matrikulasi program studi, orasi ilmiah, seminar akademik, serta ada pula untuk seminar nasional dan internasional. Oleh karena itulah maka bentuk, isi, seta penyajiannya sangat bervarasi. 16 himpunan tulisan tersebut, yaitu:

  1. 1.      Sekitar Garapan Padu Arsa

Munculnya garapan Padu Arsa ini bermula dari adanya keinginan I Wayan Rai S untuk membuat sebuah karya musik (karawitan) yang instrumentasinya terdiri dari alat-alat musik bambu. Untuk itu I Wayan Rai S mulai mengumpulkan beberapa instrumen seperti suling Bali (dari berbagai jenis ukuran), guntang, timbung, suling Sunda; sadam (Sumatera), dan sebuah alat tiup bambu pemberian Hans Van Koolwijk.

  1. 2.      Peranan Teknologi dalam Penyelamatan dan Pengembangan Dolanan

Teknologi akan membuat perubahan yang sangat pesat, makin canggih teknologi itu makin cepatlah perubahan terjadi. Hal itu memang tidak bisa dihindari, namun yang harus dijaga hendaknya kita harus bisa memanfaatkan produk-produk teknologi itu ke arah yang positif. Dolanan, sering pula disebut gending rare, sekar rare merupakan salah satu warisan budaya kita yang harus kita jaga kelestariannya di jaman teknologi mutakhir ini. Produk-produk teknologi canggih dewasa ini akan sangat membantu kita dalam usaha penyelamatan dan pengembangan dolanan pada masa-masa mendatang.

  1. 3.      Legong Keraton Kuntir

Legong Keraton Kuntir mengisahkan tentang Aribang dan Arikuning sedang merebut Cupu Manik Astagina sehingga wujud mereka berubah menjadi kera yang kemudian bernama Subali dan Sugriwa.

  1. 4.      Gamelan Jegog: Tinjuan Terhadap Beberapa Aspeknya

Gamelan Jegog merupakan salah satu perangkat gamelan Bali yang bilah-bilahnya terbuat dari bambu. Tiap-tiap tungguh instrumen yang membangun perangkat Jegog itu sendiri terdiri dari delapan bilah yang tergantung sedemikian rupa pada pelawahnya, dimainkan dengan dua buah panggul baik terbuat dari kayu maupun karet. Jegog memakai laras Pelog empat nada.

  1. 5.      Gamelan Semara Winangun

Dalam penggarapan Sendratari, biasanya menggunakan dua sampai tiga barung gamelan. Karena adanya hal tersebut, maka dalam memainkannya penabuh itu harus berpindah-pindah. Melihat kenyataan ini maka timbul ide dari I Wayan Beratha untuk membuat gamelan baru dengan jalan menggabungkan dua jenis (barung) gamelan menjadi satu. Gamelan yang dipadukan adalah gamelan Gong Kebyar dan Semar Pagulingan Saih Pitu yang menghasilkan gamelan yang membanggakan dan fleksibel yaitu gamelan Semara Winangun.

  1. 6.      Incep-incepan Tingkat dalam Menabuh Gamelan Bali: Resik, Rontong, dan Romon

Incep merupakan istilah yang sering dipakai untuk menyebutkan hasil tabuhan yang kompak dan rapi. Resik merupakan incep-incepan pada tigkat yang paling baik. Rontong artinya kurang rapi. Romon berarti kotor, dikaitkan dengan incep-incepan, romon merupakan urutan palig bawah.

  1. 7.      Baro, Bero, dan Pemero

Baro merupakan nama sebuah patet (mode) dalam gamelan Gambuh. Bero berarti tidak cocok dengan laras tertentu (false). Pamero merupakan sebuah istilah untuk menyebutkan suatu nada (terdapat dua pamero, yaitu Pamero Pokok dan Pamero Cengkok).

  1. 8.      Perkembangan Genggong Sebagai Seni Pertunjukan

Genggong yang semula merupakan instrumen tunggal dalam perjalanan sejarah kemudian berkembang menjadi sebuah barungan. Genggong lebih banyak berfungsi sebagai seni balih-balihan. Pada masa yang lalu juga pernah digunakan dalam rangkaian upacara perkawinan. Selain itu, Genggong juga dimainkan dalam rangkaian upacara potong gigi dan ngaben, dan yang paling sering adalah untuk konsumsi para wisatawan.

  1. 9.      Laras Genggong dan Hubungannya dengan Laras Slendro Empat Nada di Bali

Nada-nada ndeng, ndung, ndang, dan nding tersebut menunjukan lasar Slendro empat nada. Hal itu bisa dibuktikan lewat sruti dari nada-nada tersebut sebagaimana terlihat dari Chart. Penelitian ini membuktikan bahwa laras Genggong memang benar mempunyai hubungan yang erat dengan laras slendro empat nada di Bali.

  1. 10.  Peranan Sruti dalam Pepatutan Gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu

Sruti memegang peranan yang sangat penting dalam pepatutan gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu. Sruti yang baik akan menghasilkan embat yang baik. Dengan embat yang baik maka akan berhasil pula dicapai kelima patutan yang ada.

  1. 11.  Rwa Bhineda Dalam Berkesenian di Bali

Kita ketahui bersama bahwa dalam kesenian Bali Rwa Bhineda itu adalah konsep yang menuju kearah keseimbangan, sehingga akan menghasilkan sebuah kekuatan yang estetis. Oleh karena itu diharapkan bahwa melalui pemahaman konsep Rwa Bhineda sebagaimana tercermin dalam kesenian Bali khususnya, kita dapat lebih memantapkan integrasi bangsa.

  1. 12.  Seni Musik Dalam Konteks Pariwisata

Seni musik mempunyai kaitan yang sangat erat dengan industri pariwisata. Nampaknya hal yang sangat perlu ditekankan adalah bagaimana caranya agar industri pariwisata yang dibangun itu benar-benar dapat memberikan devisa kepada negara dan memperkaya perkembangan musik itu sendiri.

  1. 13.  Perkembangan Pariwisata: Perwujudan Interkoneksitas Multi-Disipliner

Yang dimaksud dengan “Seni Wisata” adalah suatu bentuk kesenian yang telah dikemas secara khusus untuk kepentingan wisata. Untuk dapat menghasilkan kemasan seni wisata yang baik dan benar bukanlah suatu hal yang mudah sebab membutuhkan SDM yang handal mulai dari art director, koreografer, komposer, art management, artists, dan lain-lainnya.

  1. 14.  Gong Kebyar: sebagai Salah Satu Sumber Inspirasi Karya Baru

Gong Kebyar telah terbukti sebagai salah satu sumber inspirasi bagi seniman dan sarjana, baik dalam maupun luar negeri. Berkat inspirasi tersebut berbagai bentuk karya seni telah terwujud. Disamping itu bebrapa tulisan ilmiah berupa disertasi, tesis, laporan penelitin, artikel, dan paper telah sampai ke tangan kita sehingga menambah wawasan kita “tentang dan sekitar” Gong Kebyar.

  1. 15.  Baris Cina: A Case Study of Acculturation in Balinese Music and Dance

In the village of Renon, located near a harbour in south Bali, there is a trance ceremony unique to thr island, wich is well known since the time of Jane Belo ang Margaret Mead (1930’s). the ceremony is very unusual because of thr diversity of influences it displays, namely Balinese, Javanese, hinese, Europen, Hindu, Buddhist, and remarkbly, Islamic elements. Baris Cina is an essential tradition in Renon village. As ritual dance, it has persisted from generation to generation, because it is believed that Bais Cina represents their “Pengayom Jagat” or Protector of the Universe.

  1. 16.  Trasformasi Babad Dalam Seni Pertunjukan Bali

Babad merupakan sebuah karya sastra sejarah yang telah lama ditrasformasikan ke dalam seni pertunjukan Bali. Konteks transformasi disini adalah karya Babad itu dirubah bentuk penampilannya, situasi atau karakternya untuk selanjutnya diekspresikan ke dalam benuk seni pertunjukan.

Dari  himpunan tulisan di atas, tulisan yang berjudul Gamelan Jegog: Tinjuan Terhadap Beberapa Aspeknya menurut saya paling menarik karena menulis gamelan Jegog yang hanya berkembang di Kabupaten Jembrana saja. Selain itu, tulisan tersebut nantinya bisa berguna dalam pembuatan Tugas Akhir.

Gamelan Jegog dibuat oleh Kiyang Gliduh dan diperkirakan muncul pada tahun 1912 di Desa Dangin Tukad Aya. Sebagaimana dilaporkan oleh B. de Zoete dan Walter Spies pada tahin 1930-an mereka melihat pertunjukan Jegog di Jembrana. Kelengkapan perangkat gamelan Jegog pada waktu itu terdiri dari 20 tungguh instrumen bambu dari berbagai ukuran. Pertunjukan Jeegog itu juga dilengkapi dengan tari-tarian. Sejalan dengan perkembangan, maka instrumennya pun mulai dilengkapi dengan alat-alat seperti Kendang, Ceng-ceng, Rebana, dan Suling. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah jaman kemerdekaan, Jegog mulai mengalami masa pasang surut. Namun berkat kerja keras dari para seniman, pemerintah dan masyarakat, khususnya pecinta Jegog, kekhawatiran yang sempat menghantui kita kini telah terjawab. Dewasa ini telah banyak gending-gending Jegog bermunculan baik itu iringan tari, tabuh pategak bahkan experimen-experimen baru.

Apabila kita perhatikan laras Jegog itu maka kita akan mendapatkan hal yang sangat unik. Jegog terdiri dari empat nada dalam satu oktafnya, yaitu dong, deng, dung, ding (4, 5, 7, 3). Dengan urutan nada-nada tersebut, apabila kita bertitik tolak dari laras pelog maka akan didapatkan sruti sebagai berikut: dong ke deng adalah pendek, deng ke dung adalah panjang (karena melewati satu pamero), dung ke ding paling panjang, karena melewati nada dang dan pamero. Dong, deng, dung, ding merupakan urutan nada Jegog yang biasa diucapkan di Jembrana. Tetapi apabila kita dengarkan laras Jegog itu nampaknya diucapkan dung, dang, ding, deng dalam laras Pelog biasa. Karena keunikannya inilah laras Jegog cenderung disebut laras Pelog.

Satu barungan gamelan Jegog terdiri dari 14 buah instrumen, yaitu satu buah Patus Barangan, dua buah Pengapit Barangan, satu buah Patus Kancil, dua buah Pengapit Kancil, satu buah Patus Swir, dua buah Pengapit Swir, dua buah Celuluk/Kuntung, dua buah Undir, dan satu buah Jegog.

Gamelan Jegog lebih banyak berfungsi sebagai seni hiburan, misalnya untuk memeriahkan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, makepung (lomba balap kerbau), mebarung, atraksi pencak silat dalam bentuk akrobat dan belakangan ini juga dipentaskan untuk para wisatawan. Disamping itu Jegog juga dipakai sebagai sarana untuk memanggil orang-orang (desa) untuk melakukan gotong royong misalnya nyucuk.

Gending-gending Jegog ada yang berbentuk instrumentalia dan ada pula gending iringan baik iringan tari maupun vokal (kombinasi vokal dan instrumental). Adapun beberapa nama gending Jegog itu adalah Truntungan Pengawit, Goak Ngolol, Kebyar Ndung, Gegilakan, Tabuh Paket bali, dan sebagainya.

Artikel atau tulisan tentang Gamelan Jegog: Tinjuan Terhadap Beberapa Aspeknya ini memang penting untuk dibaca dan dipelajarai, karena akan sangat bermanfaat sekali bagi para seniman untuk mengetahui gamelan Jegog yang hanya berkembang di Kabupaten Jembrana saja.