Monthly Archives: Maret 2012

PERTUNJUKAN JEGOG MEBARUNG

Posted by Arsa Wijaya on Maret 07, 2012
Tulisan / 52 Comments

Di Kabupaten Jembrana, sering sekali diadakan pertunjukan Jegog mebarung. Jegog mebarung diadakan pada waktu acara resepsi pernikahan, mesangih, nyambutin, piodalan di  pura dan lain-lain. Jegog mebarung dipertunjukan untuk menghibur masyarakat dan dipertunjukan pada akhir acara. Selain itu, Jegog mebarung juga diadakan untuk menentukan sekehe Jegog terkuat dan terhebat. Mebarung artinya bertarung antara dua Jegog atau bisa juga bertarung antara tiga Jegog, yang dalam Bahasa Bali disebut Jegog Barung Dua atau Jegog Barung Telu.

Pada tanggal 24 Oktober 2011, di rumah Anak Agung Kade Suarsa, di Banjar Dangin Tukad Daya, Desa Dangin Tukad Aya, Kecamatan Jembrana diadakan resepsi pernikahan. Dalam acara resepsi itu, dipertunjukan kesenian Jegog mebarung, yaitu antara sekehe Rai Gita Suara dengan sekehe Suara Bajra Mukti.

Sekehe Jegog Rai Gita Suara merupakan sekehe Jegog yang berasal dari Banjar Dangin Tukad Daya, Desa Dangin Tukad Aya, Kecamatan Jembrana. Sekehe yang terdiri dari 19 orang ini diketuai oleh Anak Agung Kade Suarsa. Sekehe Jegog ini berdiri pada tanggal 25 Oktober 2010 dan dibina oleh I Made Adi Putra. Gamelan Jegog ini merupakan milik pribadi dari Anak Agung Kade Suarsa.

Sekehe Jegog Suara Bajra Murti merupakan sekehe Jegog yang berasal dari Banjar Masean, Desa Batu Agung, Kecamatan Jembrana. Sekehe yang dibina dan diketuai oleh Wayan Artika ini berdiri pada awal tahun 2009. Sekehe ini terdiri dari 21 orang. Gamelan Jegog yang dimiliki merupakan hasil sumbangan dari pemerintah dan sumbangan masyarakat.

Gamelan Jegog yang dimiliki oleh sekehe Jegog Rai Gita Suara memakai cat dasar berwarna merah dengan berisi corak berwarna biru, merah, hijau, dan kuning, dengan motif ukiran karang bunga, dan menggunakan togog berbentuk naga, Rangda, dan Bomo. Sedangkan gamelan Jegog yang dimiliki oleh sekehe Jegog Suara Bajra Mukti memakai cat dasar berwarna merah dengan berisi corak berwarna hijau, kuning, dan orange, dengan memakai motir ukiran karang bunga, dan menggunakan togog berbentuk naga, Rangda, paksi, Dewa Wisnu, dan Hanoman.

Pada saat pertunjukan, sekehe Jegog Rai Gita Suara memakai baju berwarna biru dengan berisi corak orange, udeng berwarna coklat dan kamben berwarna gelap, sedangkan sekehe Jegog Suara Bajra Mukti memakai baju berwarna hitam dengan berisi corak merah, udeng batik berwarna coklat, dan memakai kamben berwarna gelap.

Sebelum pertunjukan Jegog dimulai, masing-masing pemangku Jegog melakukan suatu ritual untuk sekehe Jegognya. Hal ini diadakan agar pertunjukan Jegog mebarung tersebut berjalan dengan lancar. Pertunjukan dimulai dengan penampilan Tabuh Teruntungan oleh sekehe Jegog Suara Bajra Mukti. Kemudian dilanjutkan dengan penampilan Tabuh Teruntungan oleh sekehe Jegog Rai Gita Suara. Setelah menampilkan Tabuh Teruntungan, pertunjukan dilanjutkan dengan Tabuh Pategak yang dimulai oleh sekehe Jegog Suara Bajra Mukti yang menampilkan tabuh klasik Saung Galing. Saung Galing merupakan sebuah tabuh yang memang sudah ada sejak dulu dan tidak diketahui siapa penciptanya. Setelah pertunjukan Tabuh Saung Galing selesai, dilanjutkan dengan sekehe Jegog Rai Gita Suara yang menampilkan tabuh klasik Jegog yang berjudul Sandat Gading yang dibuat oleh I Made Adi Putra. Setelah itu, pertunjukan dilanjutkan dengan pertunjukan Joged oleh kedua sekehe. Sekehe Jegog Suara Bajra Mukti menampilkan Joged yang menggunakan baju berwarna biru, kamben berwarna orange, dan selendang berwarna merah. Sedangkan sekehe Jegog Rai Gita Suara menampilkan Joged yang menggunakan baju berwarna merah, kamben berwarna merah muda, dan selendang berwarna kuning. Setelah pertunjukan Joged, dilanjutkan dengan pertunjukan Tabuh Pategak yang berjudul Becica Nguci yang ditampilkan oleh sekehe Jegog Suara Bajra Mukti. Tabuh Becica Nguci merupakan tabuh klasik Jegog yang memang sudah ada sejak dulu. Setelah itu, dilanjutkan dengan menampilkan Tabuh Petegak Klinyeng yang ditampilkan oleh sekehe Jegog Rai Gita Suara. Pada akhir pertunjukan, ditampilkanlah Tabuh Mebarung, kedua sekehe menabuh secara bersamaan dengan gending yang hampir sama dengan motif gilak. Sekehe Jegog Suara Bajra Mukti menggunakan motif 7 4 5 7 7 5 3 (7), sedangkan sekehe Jegog Rai Gita Suara menggunkan motif 5 3 3 7 7 4 4 (5).

Pertunjukan Komedi Stamboel

Posted by Arsa Wijaya on Maret 07, 2012
Tulisan / 55 Comments

Pertunjukan Komedi Stamboel yang dipentaskan hari Jumat, 23 Desember 2011 di Gedung Natya ISI Denpasar merupakan sebuah pertunjukan teater yang mengambil sumber cerita dari Hikayat 1001 Malam dengan judul “Aladin Melawan Raja Sihir Afrika” dengan sinopsis sebagai berikut.

Setelah beberapa bulan menikmati bulan madu bersama istrinya Jasmin, Aladin mohon pergi berburu sebagaimana kebiasaanya ketika masih bujangan. Dia meninggalkan istri serta istananya yang megah menuju gurun pasir nan luas.

Seorang raja sihir dari Afrika yang bernama Jafar, yang sejak lama menaruh dendam kepada Aladin karena pernah kalah berebut lampu wasiat, kini mempergunakan kesempatan untuk merebut kembali lampu wasiat itu. Dengan mempergunakan tipu daya dia memasuki istana dan berhasil membujuk putri Jasmin agar bersedia menukar lampu milik Aladin yang kuno dengan lampu yang baru dan lebih bagus. Putri Jasmin tidak menyadari tipu daya ini, lalu menukar lampu wasiat milik suaminya engan lampu milik si Raja Sihir. Akhirnya, dengan lampu wasiat asli tersebut, si Raja Sihir dengan bantuan Jin Budak Lampu memindahkan istana Aladin beserta segenap isinya ke Afrika.

Sang Raja Harun Al Rasyid, ayah putri Jasmin yang istanya terletak berseberangan jalan dengan istana Aladin sangat kaget karena istana menantunya Aladin tiba-tiba saja lenyap. Beliau sangat marah dan segera memanggil Aladin yang baru saja dating dari berburu. Aladin menyadari akan apa yang telah terjadi atas istana dan istrinya dan minta maaf kepada Raja. Namun, Raja tetap tidak bersedia memaafkan sebelum putrinya kembali. Aladin mohon diberi waktu 40 hari untuk mendapatkan kembali sang putrid raja, yang tiada lain adalah istrinya sendiri.

Dalam pencariannya, Aladin dapat bantuan dari Jin Budak Cincin yang membawanya ke Afrika dalam waktu sekejap. Setiba di Afrika dalam waktu singkat pula Aladin berhasil menemukan istananya. Selanjutnya secara diam-diam dan sangat rahasia Aladin menemui istrinya. Mereka pun sangat bahagia. Setelah perjumpaan tersebut disusunlah tipu daya sehingga Jafar si Raja Sihir dapat dibunuh dan lampu wasiat kembali ke tangan Aladin. Dengan tidak menunggu waktu lama lagi, dengan bantuan Jin Budak Lampu, Aladin bersama istri dan istananya pindah kembali ke Persia. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Raja beserta segenap rakyatnya.

Pembabakan Komedi Stamboel “Aladin Melawan Raja Sihir Afrika” terdiri dari empat babak, yaitu:

  • Babak satu : Suasana gurun pasir (siang hari)

Aladin dan seorang pengiring sedang berburu setelah beberapa hari belum juga mendapatkan apa-apa, mereka memutuskan pulang ke istananya. Aladin khawatir bahwa kesialannya ini merupakan firasat buruk.

  • Babak dua : Dalam istana (pagi hari)

Putri Jasmin istri Aladin keudatangan seorang pedagang lampu yang bernama Jafar. Dia adalah raja sihir dari Afrika. Dia membujuk Jasmin agar bersedia menukarkan lampu Aladin yang sudah usang dengan lampu baru miliknya. Ketika lampu Aladin sudah berpindah tangan, maka dengan bantuan Jin Budak Lampu, istana Aladin beserta seluruh isinya dipindahkan dari Persia ke Afrika, yakni tempat asal Jafar.

  • Babak tiga : Dalam Istana Raa Harun (sore hari)

Raja bersama permaisurinya sangat kaget menyaksikan istana menantunya Aladin lenyap dalam sekejap. Seketika  itu pula raja marah dan memangggil Aladin yang baru saja tiba dari berburu. Raja mengancam  Aladin dengan hukuman pancung, jika tidak dapat menghadirkan putrinya yang hilang bersama istananya. Aladin berjanji akan mencari dan mendapatkan Jasmin dalam tempo 40 hari.

  • Babak empat : Istana Aladin di Afrika (malam hari)

Jafar merayu Jasmin agar mau jadi istrinya. Namun Jasmin tetap menolak. Jafar sangat kecewa dan megancam jika dalam beberapa hari lagi Jasmin tidak berubah pikiran dia akan dibunuh. Ketika Jafar meninggalkan Jasmin sendiri, Aladin pun muncul. Meraka sanngat bahagia. Ternnyata Jafar memergoki mereka. Terjadilah perkelahian. Jafar tewas.

Musik/gamelan pengiring yang digunakan dalam pertunjukan Komedi Stamboel adalah gamelan Siwa Nada. Gamelan ini hanya ada dua barung, yaitu di Bali dan di luar negeri. Siwa Nada ini di buat oleh I Wayan Sinti, MA. Menurut I Wayan Sinti, gamelan Siwa Nada yang dimaksud adalah gamelan dengan sembilan nada yang berkonotasi kepada sembilan sebagai angka tertinggi yang juga mengacu kepada konsep dewa-dewa Hindu ( Nawa Sanga). Sesungguhnya konsep ini sudah ada pada sistem tujuh nada (sapta nada) gamelan Bali yang dapat diekspresikan ke dalam patutan-patutan lima nada (panca nada) sebagaimana yang lazim pada gamelan Slonding, Gambang, Gong Luwang, Semar Pagulingan, dan Semaradhana.

GONG KEBYAR DI DESA PERGUNG

Posted by Arsa Wijaya on Maret 07, 2012
Tulisan / 3 Comments

Gong Kebyar merupakan gamelan yang paling populer dan paling di kenal oleh masyarakat di Bali. Karena kepopulerannya itu, gamelan Gong Kebyar dapat menyebar keseluruh pelosok dunia. Di Bali, hampir setiap banjar atau desa memiliki gamelan Gong Kebyar. Salah satu desa yang memiliki gamelan Gong Kebyar adalah Desa Pergung.

Desa Pergung merupakan sebuah desa yang berada di Kabupaten Jembrana. Desa Pergung memiliki seperangkat gamelan Gong Kebyar yang di dapat melalui sumbangan dari Bupati Jembrana dan swadaya masyarakat.

Sebelum memiliki gamelan Gong Kebyar, Desa Adat Pergung telah memiliki gamelan Angklung pada masa G 30 S/PKI.  Karena adanya perkembangan, maka muncul sebuah inisiatif untuk membuat gamelan Gong Kebyar. Kemudian gamelan Angklung yang dimiliki oleh Desa Adat Pergung dilebur menjadi gamelan Gong Kebyar. Peleburan gamelan Angklung menjadi gamelan Gong Kebyar didanai oleh Pak Gaduh dan swadaya dari masyarakat Desa Adat Pergung. Pada tahun 1965, gamelan Gong Kebyar dijual oleh Pak Gaduh tanpa meminta pertimbangan dari masyarakat. Uang hasil dari penjualan gamelan Gong Kebyar itupun tidak dibagikan kepada masyarakat ataupun ke desa, dan masyarakat tidak tahu uang itu digunakan untuk apa. Akan tetapi, masyarakat bisa memakluminya. Bertahun-tahun Desa Adat Pergung tidak memiliki gamelan. Pada tahun 2001, para pengurus desa berinisiatif untuk membeli seperangkat gamelan Gong Kebyar. Akibat keterbatasan dana, pengurus desa kemudian meminta sumbangan kepada Bupati Jembrana dan diberikan sumbangan sebesar 20 juta rupiah dan sisanya mendapat bantuan dari masing-masing KK (Kepala Keluarga) di Desa Pergung sebesar 15 ribu rupiah. Setelah sumbangan terkumpul, dibelilah Gong Kebyar di Pak Gableran yang beralamat di Desa Blahbatuh, Gianyar seharga 72 juta rupiah. Kemudian terbentuklah sekehe Gong Kebyar Dewasa di Desa Pergung yang diberi nama Jaya Swara. Anggota sekehe ini adalah berasal dari Desa Pergung. Sekehe Gong ini tidak pernah mendatangkan pelatih untuk memberikan gending, namun sekehe ini hanya mengandalkan kemampuannya sendiri untuk menuangkan gending-gending yang sudah ada. Kemampuan itu didapatkankan oleh para sekehe ketika mereka masih ikut bergabung bersama sekehe lain.

Gong Kebyar di Desa Pergung terdiri dari satu tungguh Terompong, dua buah Kendang Cedug, satu buah Kendang Cetut, satu buah Ceng-Ceng Ricik, satu buah Kajar, dua buah Ugal, empat buah Gangsa Pemade, empat buah Gangsa Kantil, satu tungguh Reyong, dua buah Penyahcah, dua buah Calung, dua buah Jegogan, dua buah Gong, satu buah Kempur, satu buah Bende, satu buah Kempli, satu buah Klentong, dan enam buah Suling. Dalam pengklasifikasian alat musik, Terompong, Gangsa, Ugal, Kajar, Kempli, Reyong, Gong, Kempur, Bende, Klentong, Penyahcah, Calung, Jegogan, dan Ceng-Ceng Ricik termasuk dalam golongan Ideophone, Kendang termasuk dalam golongan Membranophone, dan Suling termasuk dalam golongan Aerophone. Gamelan Gong Kebyar di Desa Pergung tidak memiliki instrumen Rebab yang termasuk dalam golongan Ordophone.

Gong Kebyar di Desa Pergung memiliki saih selisir, yaitu saih Gong Kebyar yang biasanya di gunakan untuk Festival dalam acara Pesta Kesenian Bali (PKB). Motif ukiran yang dimiliki merupakan ciri khas dari Gong Kebyar yang ada di Gianyar yang berupa motif sae dan memakai pandil.

Gong Kebyar ini difungsikan untuk ngayah di Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem, dan pura yang ada di banjar yang ada di wilayah Desa Pergung. Sekehe Jaya Swara juga sering ngayah Calonarang di Pura Dalem Desa Pergung. Selain ngayah, sekehe ini juga sering di upah oleh masyarakat yang mempunyai kegiatan upacara yadnya. Gending-gending/tabuh-tabuh yang biasa dimainkan adalah tabuh lelambatan, tari-tarian, dan tabuh pategak.

Pada tahun 2009, Gong Kebyar di Desa Pergung membentuk sekehe Gong Wanita yang bernama Padni Wijayanti. Pada saat itu juga, Gong Kebyar Wanita ini mendapat kesempatan untuk mengikuti Festival Gong Kebyar Wanita di Kabupaten Jembrana mewakili Kecamatan Mendoyo. Materi yang di bawakan adalah Tabuh Kreasi Pepanggulan, Tari Puspa Wresti, dan Tari Kreasi. Sekehe Padni Wijayanti ini dibina dan dilatih oleh I Wayan Gama Astawa, S.Sn dari Desa Tegalcangkring dan sekehe Padni Wijayanti ini mendapat juara 2 di Kabupaten Jembrana.

Sampai saat ini, sekehe Gong Desa Pergung Jaya Swara dan Padni Wijayanti tetap aktif untuk melakukan kegiatan ngayah di pura-pura dan kadang kala juga di upah oleh masyarakat yang mempunyai kegiatan upacara yadnya/adat.

 

Perkembangan Gamelan Jegog

Posted by Arsa Wijaya on Maret 07, 2012
Tulisan / 204 Comments

Gamelan Jegog adalah gamelan khas Kabupaten Jembrana. Jegog merupakan gamelan golongan baru yang bilah-bilahnya terbuat dari bambu besar yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi seperangkat alat musik bambu yang suaranya sangat merdu dan menawan hati. Kata Jegog diambil dari nama instrumen dalam gamelan Gong Kebyar. Tiap-tiap tungguh instrumen yang membangun perangkat Jegog itu sendiri terdiri dari delapan bilah yang tergantung sedemikian rupa pada pelawahnya. Instrumen-instrumen pada Jegog dimainkan menggunakan dua buah panggul, baik terbuat dari karet ataupun kayu. Gamelan Jegog memakai laras Pelog empat nada dengan padantara yang khas sehingga akan menimbulkan laras yang unik dan menarik. Gamelan Jegog dibuat oleh Kiyang Gliduh dan diperkirakan muncul pada tahun 1912 di Desa Dangin Tukad Aya.

Gamelan Jegog ini hanya berkembang di Kabupaten Jembrana saja, penyebarannya masih sangat sedikit. Gamelan Jegog mempunyai keunikan pada nada-nada yang dimilikinya, sehingga bisa membuat orang belum terbiasa mendengarnya menjadi bingung. Selain nadanya yang unik, Jegog juga mempunyai pertunjukan yang unik, yaitu pertunjukan Jegog mebarung dimana dua atau tiga (bisa juga lebih banyak) sekehe Jegog ditampilkan (menabuh) secara bersamaan.

Gamelan Jegog yang diamati sekarang ini telah mengalami tiga perkembangan dalam hal bahan, yaitu pada awalnya gamelan Jegog dibuat dari kayu, kemudian berkembang menjadi bambu dengan ukuran yang sama. Lama-kelamaan bentuk gamelan Jegog tersebut dikembangkan lagi dengan menggunakan bahan dari bambu yang ukurannya lebih besar. Dengan adanya perubahan ukuran bambu, maka pelawah atau wadah yang digunakan juga lebih besar.

Selain dalam hal bahan, perkembangan gamelan Jegog juga terjadi dalam hal memainkannya. Dulunya gamelan Jegog dimainkan dengan cara duduk, tentu saja dengan pelawah yang kaki-kakinya agak pendek. Sekarang permainan gamelan Jegog dimainkan dengan cara berdiri dengan menggunakan pelawah yang kakinya panjang. Hal ini digagas pertama oleh I Nyoman Sutama, SSKar.

Selain itu, perkembangan juga dialam oleh gamelan Jegog dalam hal repertoar gending. Dulunya gamelan Jegog hanya memainkan gending-gending klasik saja, namun akibat perkembangan gamelan Gong Kebyar, gamelan Jegog memainkan gending-gending yang ditransfer dari gending-gending Gong Kebyar. Kemudian, berkat inisiatif dari I Nyoman Sutama, SSKar, gamelan Jegog kini bisa memiliki gending-gending kreasi yang pertama kalinya dipelopori oleh sanggar Suar Agung. Selain Suar Agung, Jimbarwana, dan Yudistira merupakan sanggar Jegog yang menampilkan gending-gending kreasi yang semuanya di buat oleh I Nyoman Sutama, SSKar. Dengan adanya hal ini, gamelan Jegog semakin kaya akan repertoar dan semakin di kenal oleh masyarakat di Bali, di Indonesia dan di dunia (terutama di Jepang). Gamelan Jegog kini sering dipentaskan, selain ke luar negeri, Jegog juga sering tampil dalam acara PKB.

Sayangnya, gamelan Jegog ini hanya berkembang di Kabupaten Jembrana saja, di Bali mungkin penyebarannya hanya ada di Ubud dan di kampus ISI Denpasar saja (sepengetahuan penulis). Selain di Bali, gamelan Jegog juga ada di negeri sakura, yaitu di Jepang.

Komentar Artikel “Karawitan Bali”

Posted by Arsa Wijaya on Maret 07, 2012
Tulisan / 53 Comments

Seniman karawitan Bali masa lampau sesungguhnya sudah sangat peka terhadap rasa musikal, hal itu kita warisi hingga sekarang dan kita cukup dibuat terpesona ketika mendengarkan gending-gending ciptaan mereka, rasa musikalnya enak dan cocok/sesuai dengan apa yang mereka ingin ungkapkan. Ketika hal ini ditanyakan kepada beberapa guru senior tradisional mereka menjawab dengan bermacam-macam. Ada yang menyebutkan hal itu disebabkan sang komposer masa lampau sudah sangat sepuh dan sangat peka terhadap rasa musikal, namun ada juga menyebutkan karena sang komposer masa lampau membuat lagu melewati eksplorasi yang mantap dan membutuhkan waktu yang cukup lama termasuk mengadakan semedi sebelum mencipta lagu (Wawancara dengan I Wayan Berata tanggal 28 Juli 2004 dirumahnya). Jawaban seperti ini tentu sifatnya sangat filosofis bahkan mungkin juga politis sehingga membuat kita selalu tanda tanya dan terus ingin menelusuri guna mendapatkan jawaban yang lebih mudah dipahami dari segi keilmuan.

Beberapa literarur telah ada yang menyinggung masalah rasa musikai seperti misalnya Lontar Prakempa dan Aji Gurnita, kedua lontar ini sesungguhnya telah menjelaskan teori rasa dalam karawitan Bali, walaupun untuk memahami secara mendalam masih sangat susah karena sifat literatur tersebut lebih mengedepankan aspek estetika filosofis. Di satu sisi dewasa ini kita sangat membutuhkan teori yang bisa memandu para seniman muda untuk memahami teori sekaligus mempraktekkannya.

Lontar Prakempa menyebutkan ada empat aspek utama dalam gamelan Bali yaitu tatwa (filsafat atau logika), susila (etika), lango (estetika), dan gegebug  (teknik) (Bandem, 1986:1). Keempat unsur pokok sebagai isi dari lontar Prakempa ini pada dasarnya sebuah sumber berharga guna mencermati teori rasa musikal dalam karawitan Bait. Sebagai sebuah pedoman pokok keempat aspek utama ini masih perlu diteliti secara mendalam untuk bisa dijadikan landasan dalam menguraikan lebih eksplisit untuk menjadi sebuah keterangan yang mudah dicerna.

Lontar Aji Gurnita ada menyebutkan sebuah bab khsus yang diberi judul Tutur Catur Muni-Muni, yaitu empat gamelan sekawan yang semuanya dianggap bersumber pada gamelan Gambuh, sebuah gamelan yang konon penciptanya adalah para dewa dari langit (Ibid.,  p. 6). Gamelan Gambuh atau Pegambuhan oleh seniman Bali sering disebut-sebut sebagai “tambang emas” atau sumber inspirasi atau sumber acuan penciptaan gamelan dan repertoar gamelan lainnya.  Hal ini berarti dengan mengoreksi secara detail unsur-unsur musikal gamelan Gambuh akan ditemukan seperangkat cara atau aturan untuk menciptakan sebuah lagu yang baik.

Penelitian yang sifatnya menerangkan lebih detail mengenai isi Lontar Prakempa dan Aji Gurnita sesungguhnya sudah dilakukan oleh seniman karawitan Bali dan banyak melahirkan teori-teori yang sangat bermanfaat bagi pembelajaran karawitan Bali. Almarhum I Gusti Putu Geria lewat analisisnya telah melahir-kan konsep Tri Angga, sebuah teori logika musikal dan bedah struktur karawitan Bali, yang pada dasarnya adalah konsep estetika dalam memahami struktur. Teori ini sampai sekarang selalu dijadikan pedoman bagi para komposer untuk membuat struktur gending menjadi harmonis serta memiliki kaedah-kaedah estetika.

I Made Bandem selain telah menterjemahkan dan membedah dengan cermat isi Lontar Prakempa dan Aji Gurnita, juga menelaah dan menguraikan lebih detail aspek teknik/gegebug kemudian menyusun sebuah artikel berjudul Ubit-Ubitan, Sebuah Teknik Permainan Gamelan BaliUbit-ubitan atau kotekan yang dianalisis oleh I Made Bandem berdasarkan informasi dua maestro karawitan Bali yaitu almarhum I Gusti Putu Geria dan almarhum I Nyoman Kaler. Lebih lanjut disebutkan bahwa ragam kotekan atau ubit-ubitan juga akan menentukan rasa musikal tertentu (Ibid., p. 15).

I Wayan Rai S dalam orasi ilmiahnya berjudul Unsur Musikal dan Ekstra Musikal dalam Penciptaan Gending-Gending Iringan Tari Bali juga telah memberikan panduan kepada kita untuk memahami karakterisasi karawitan sebagai iringan tari. Rai menyebutkan ada dua unsur penting yang dijadikan acuan oleh komposer dalam menciptakan iringan tari Bail yaitu unsur musikal dan unsur ekstra musikal (Rai, op. cit. p. 4).  Penelitian yang dilaku-kan I Wayan Rai ini masih merupakan hasil analisis dan hipotesa awal untuk dijadikan acuan dalam mengadakan penyelidikan yang sifatnya lebih detail.

Colin McPhee dalam bukunya berjudul Music In Bali (1966) juga menjelaskan tentang adanya variasi dalam tetekep yang dapat melahirkan karakterisasi gending-gending Pegambuhan. McPhee menyebutkan tetekep selisir memiliki karakter halus (refined), tetekep tembung memiliki karakter keras (coarse), sedangkan tetekep sundaren memiliki karakter antara halus dan keras. Tetekep tebeng juga berkarakter halus tetapi biasanya digunakan secara khusus untuk mengiringi tokoh putri (princess), sedangkan tetekep baro untuk mengiringi tokoh pelayan dan pelawak dalam dramatari Gambuh (Phee, 1966:40). Namun demikian apa yang menyebabkan variasi tetekep itu dapat menentukan perbedaan rasa belum dijelaskan secara detail  McPhee hanya menjeiaskan kenyataan yang biasa dipergunakan kemudian dideskripsi seperti tersebut di atas.

 

Komentar:

Dalam artikel di atas ada kata yang tidak saya temukan di Kamus Bahasa Indonesia dan belum pernah saya dengar yaitu kata literarur yang terdapat pada paragraf kedua dan kata kedua. Mungkin yang penulis maksud adalah literatur. Selain itu juga terdapat kata yang salah pada paragraf kedua  dan kata kesembilan, seharusnya musikal tetapi ditulis musikai. Pada bab ketiga, seharusnya Bali ditulis Bait dan juga pada bab keempat kata khusus ditulis khsus. Pada paragraf kelima dan ketujuh terjadi kesalahan dalam pemenggalan kata, yang seharusnya kata itu tidak dipenggal, yaitu pada kata melahir-kan (seharusnya melahirkan) dan dilaku-kan (seharusnya dilakukan). Dan juga pada paragraf kelima ada kata yang salah yang seharusnya kaidah ditulis kaedah.

Jadi, dalam artikel yang berjudul Karawitan Bali banyak terjadi kesalahan dalam penulisan kata. Artikel di atas kurang bias menjadi artikel yang baik, karena banyak terjadi kesalahan dalam kata.