Biografi Seniman I Nyoman Pugra

I NYOMAN PUGRA

Penari topeng Bali

dari Br.Tegal Kuwalon, desa adat Sumerta-Denpasar

                                    

                          

Lahir              : tahun 1915

Alamat          : Jln.Kenyeri

Pendidikan  : tidak mengenal pendidikan ( seniman alam )

Karya             : pencipta tari topeng kenyum manis ( monyer )

      I Nyoman Pugra merupakan seorang seniman petani buta huruf asal Banjar Tegal Kuwalon, Desa adat Sumerta, Denpasar. Bapak I Nyoman Pugra yang lahir pada tahun 1915, merupakan seniman alam yang mengenyam pendidikan secara otodidak, artinya tidak sekolah tetapi beliau berguru kemana-mana. Beliau mempunyai 1 orang anak yang bernama Ni Wayan Murdi. Sepanjang hidupnya I Nyoman Pugra mengabdikan dirinya untuk kesenian. Berkecimpungnya I Nyoman Pugra ke dunia seni, membuatnya melahirkan tari topeng. Beliau yang pertama kali menciptakan Tari Topeng Kenyum Manis yang diiringi dengan Tabuh Telu. Terciptanya topeng tersebut bermula dari seseorang dari Banjar Bun yang sering membeli kelapa di rumah Bapak I Nyoman Pugra. Setiap orang tersebut kerumah beliau selalu dengan senyuman manisnya, tidak pernah sekalipun orang itu berprilaku selain dari itu tadi. Maka dari sanalah muncul ide dari Bapak I Nyoman Pugra menciptakan suatu tarian topeng, yaitu “ Topeng Kenyum Manis ”. Dengan kepiawaian beliau menarikan topeng tersebut membuat topeng tersebut terkenal pada era itu. Sehingga orang-orang dulu mengenal beliau dengan sebutan Topeng Pugra.

Topeng pugra merupakan drama tari topeng dengan drama bintang utamanya Bapak pugra, adalah sebuah drama tari prembon yang memadukan unsur patopengan dan pengarjaan. Perpaduan ini merupakan konsep kreatifitas seni dikalangan budaya bali yang sesuai dengan system kehidupan sosial masyarakat bali dengan sifat kerakyatan kesenian itu sendiri serta proses penciptaannya yang kreatif dan spontanitas. Topeng pugra ini mempunyai keaksaan dalam bentuknya yang hanya yang hanya ditarikan oleh 3 orang penari, yaitu I Nyoman Pugra, A. A. Aji Blang, Ni Wayan Murdi, dan I Nyoman Pugra. Topeng tersebut sering menjelaskan asal usul nama tempat di mana ia mengadakan pementasan. Selain menekuni bidang seni, beliau dulunya sangat suka bergaul dan membentuk sebuah seke bersama teman-temannya, seke ini bukanlah seke gambelan melainkan seke manyi, oleh karena beliau suka berkumpul-kumpul, tidak heran jika membuat beliau banyak mempunyai seke, khususnya di desa sumerta kaja, dari ujung utara sampai ujung selatan beliau ikut serta dalam beberapa seke yang ada di desa sumerta kaja. Keterlibatan beliau dengan seke-sekenya sampai membuat beliau tidak pernah tidur dirumahnya sendiri. Selain itu, berbekal kemampuan yang beliau miliki, beliau sampai pernah ke Prancis yang merupakan pusat kebudayaan di Eropa. Disana beliau mementaskan Topeng Pugra tersebut. Topeng tersebut mempunyai daya tarik yang kuat, walaupun orang Prancis tersebut tidak mengerti bahasa bali. Tetapi kontak batin yang membuatnya mengerti.

Pada umur ke-56 dari tahun-tahun usianya, perlahan-lahan tenaga beliau mulai melemah . Hingga akhirnya pada tahun 1975 beliau meninggal di atas panggung saat tampil menari di Sasonomulyo, Solo. Saat itu masyarakat Tegal Kuwalon betul-betul merasakan kehilangan sosok orang yang paling berjasa. Sejak kepergian beliau, masyarakat menyucikan gelungan arja milik Bapak Nyoman Pugra dan disimpan di banjar. Semenjak itu pula anak beliau yang bernama Ni Wayan Murdi yang melestarikan tari arja di Banjar Tegal Kuwalon hingga sekarang.

Kontribusi yang pernah dilakukan Bapak I Nyoman Pugra untuk banjar adalah sebagai pelopor/motivator pembuatan Gamelan Gong Kebyar di Banjar Tegal Kuwalon dan sebagai pencetus tari arja dan topeng di Banjar Tegal Kuwalon. Sehingga arja dan topeng beliau sangat terkenal dan disukai banyak kalangan pada era itu.

Alasan saya memilih Bapak I Nyoman Pugra sebagai seniman yang saya ingin ketahui perjalanan hidupnya ( biografinya ) karena saya sangat kagum dengan pemikiran dan pengorbanan beliau yang begitu besar membuat nama banjar begitu di kenal pada jaman itu.

 

 

 

 

Narasumber : Drs. I Wayan Butuantara, M.Si

 

 

Sejarah Gamelan Gong Kebyar di Banjar Tegal Kuwalon Sumerta

Sejarah Gamelan Gong Kebyar di Banjar Tegal Kuwalon

Desa adat Sumerta – Denpasar

Setiap Gamelan pada masing-masing daerah di Bali pasti memiliki yang namanya sejarah. Sejarah inilah yang kemudian menunjukan perjalanan-perjalanan dari belum ada sampai menjadi adanya sebuah gamelan pada daerah tersebut. Selain dari pada itu, sejarah gamelan membuat kita tahu dan ingat akan pengorbanan demi pengorbanan yang dilakukan oleh panglingsir (orang tua kita dulu) yang sekarang sudah menjadi leluhur. Maka dari itu saya mengangkat tema tentang Sejarah Gamelan Gong Kebyar di banjar tempat saya tinggal, yaitu di Banjar Tegal Kuwalon, Sumerta – Denpasar. Penulisan sejarah singkat gamelan gong kebyar  di banjar Tegal Kuwalon didapat berdasarkan informasi dari sesepuh dan pemuka masyarakat yang dapat memberikan keterangan tentang keberadaan Gamelan Gong Kebyar tersebut.

Dulu kehidupan masyarakat di Banjar Tegal Kuwalon bergerak pada sektor pertanian(agraris), sebagian besar masyarakatnya mencari nafkah dengan bekerja/bercocok tanam disawah menanam padi dan berbagai hasil panen lainnya atau dalam istilah balinya dikenal dengan nama “manyi”. Pada saat beercocok tanam di sawah, ada sekelompok orang atau dulu dikenal dengan seke demen yang terdiri dai 43 orang. Kelompok atau seke ini sangat senang bekerja disawah sambil bersenda-gurau dan bernyanyi-nyanyi satu sama lainnya untuk mengurangi dan menghilangkan rasa lelahnya. Dalam gurauan-gurauan inilah suatu ketika timbulah ide yang iseng dan mendadak dari seseorang pada seke tersebut ingin memiliki satu barung Gamelan Gong Kebyar. Beliau adalah Alm.Bapak I Nyoman Pugra. Dari ide yang iseng itu, disetiap saat ada pertemuan dengan teman-temannya baik disawah maupun di Bale Banjar, beliau selalu melontarkan kata-kata bahwa ingin memiliki satu barung Gamelan Gong Kebyar. Mendengar ide tersebut teman-teman/seke demen beliau pun ternyata terketuk juga hatinya dan ingin pula bisa memiliki satu barungan gamelan tersebut.

Setelah lama-kelamaan cerita itu menyambung dari mulut-kemulut maka pada tahun 1948 seke demen itu merencanakan secara pasti membuat satu barung Gamelan Gong Kebyar. Lalu pada tahun 1949 awal bulan januari Bapak I Nyoman Pugra yang menjadi pelopor pada saat itu, bersama teman-temannya mulai mencari bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat gamelan tersebut. Pada waktu itu I Nyoman Pugra merupakan penari arja dan topeng yang sangat terkenal di Badung. Beliau pun bergabung dengan tokoh topeng yang ada di Denpasar seperti : Guru Nyarikan Sariada dan Ida Bagus Boda. Suatu saat seke topeng tersebut diminta agar menari di daerah Badung selatan tepatnya di daerah Tanjung Benoa. Setelah menari I Nyoman Pugra bertemu dengan tokoh masyarakat disana, dimana keinginan untuk mendapatkan bahan gamelan dari besi terbesit dibenaknya. Oleh masyarakat disana lalu diberikan jalan untuk mendapatkan sarana yang dimaksud. Beberapa tahun kemudian I Nyoman Pugra ke Desa Tanjung Benoa, lalu ditemukan sarana besi yang dimaksud. Kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan dengan orang yang berkompeten tentang keberadaan besi itu. Setelah melakukan pembicaraan, Bapak I Nyoman Pugra pun diijinkan mengambil besi dari dalam kapal pada perang tahun 1942-1945 yang terdampar dipinggiran Desa Tanjung Benoa. Akan tetapi orang Benoa tersebut hanya meginginkan satu hal kepada Bapak  I Nyoman Pugra, yaitu menginginkan agar anaknya diajarkan menari Baris oleh Bapak Pugra. Bapak I Nyoman Pugra pun dengan senang hati menyanggupi keinginan orang itu, dan kedua orang ini pun sepakat. Maka dari itu seke demen yang dipelopori oleh Bapak Nyoman Pugra pun mendapatkan besi tersebut.

Suatu saat yang baik, 18 orang dari seke tersebut berangkat menuju Tanjung Benoa dengan berjalan kaki mencari besi-besi tersebut hanya bermodalkan sebuah gerobak untuk mengangkut besi. Saking semangatnya ingin memiliki gamelan, 18 orang itu pun tidak mengenal lelah berjalan kaki yang menghabiskan waktu berhari-hari menuju Tanjung Benoa. Karena pekerjaan ini membutuhkan waktu yang lama, agar tidak pulang pergi 18 orang itu menginap disana di rumah Bapak Tikul. Entah berapa lama pengambilan besi, akhirnya 18 orang tersebut sampai di Denpasar. Besi-besi pun di simpan di Bale Banjar untuk sementara waktu. Setelah besi terkumpul maka diperlukan pelawah kayu untuk pelawah gamelan. Kembali lagi pada saat itu Bapak Pugra menjadi orang yang berjasa dengan memberikan kayu miliknya untuk dijadikan pelawah gamelan. Kayu tersebut merupakan kayu sandat bali.

Pada tahun 1951 seke demen tersebut mencari pande untuk merubah besi-besi tersebut menjadi bilahan gamelan. Mereka pun mencari Bapak Pande Lengker ( krepek ) dan Bapak Pande Bapan Pait dari Tega, Tonja untuk membuat bilahan gamelan tersebut. Para Pande itu pun bersedia dan memande di Bale Banjar Tegal Kuwalon dengan mengajak 3 anak buahnya. Seke tersebut hanya menyediakan nasi untuk pande tersebut. Tak lama kemudian tahun 1951 bilahan gamelan itu pun sudah jadi. Oleh karena persahabatan yang begitu erat  antara pande dengan seke tersebut, pande itu pun tidak meminta imbalan dan uang sepeser pun pada seke tersebut terhadap jerih payah yang mereka telah lakukan berhari-hari membuat bilahan tersebut. Seke demen itu pun hanya bisa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang telah diberikan pande tersebut. Tahun 1952 gamelan itu pun sudah jadi dan disambut dengan suka cita seke demen Bapak Pugra. Adapun instrumen yang ada pada gamelan gong kebyar besi tersebut yaitu : 4 tungguh gangsa, 4 tungguh kantil, 1 buah kajar, 2 buah jublag, 2 buah jegog, 1 tungguh reong, 1 pasang kendang, dan 1 buah gong. Akan tetapi gong dari barungan gamelan tersebut tidak seperti gong yang biasa kita lihat ( berpencon ), melainkan berupa gong pulu yang menggunakan guci sebagai resonatornya. Setiap malam diadakan latihan menabuh. Sampai-sampai seke demen tersebut pernah menabuh di Kantor RRI dengan gong kebyar besinya. Pada tahun 1952, karena gamelan ini milik seke demen Bapak Pugra, maka oleh mereka gamelan tersebut di serahkan ke banjar untuk keperluan upacara maupun hal-hal yang lainnya. Kemudian dibuatkan banten serta dibuatkan paceket(aturan-aturan). Paceket tersebut mengatakan bahwa, setiap anggota masyarakat yang sudah masuk dalam banjar wajib ikut serta dalam seke gong. Paceket itu dicetuskan karena semua anggota Banjar Tegal Kuwalon suatu saat pasti akan memerlukan gamelan tersebut untuk kebutuhan upacara.

Dalam perjalanan selanjutnya memasuki dekade tahun 50-an tepatnya pada tahun 1952 kembali ada keinginan untuk mempunyai Gong Kebyar dari kerawang. Untuk mewujudkan cita-cita yang luhur ini masyarakat pendukung berusaha mengumpulkan dana dari usaha bercocok tanam disawah yaitu, bergotong-royong memanen padi ( bahasa bali = manyi ). Dimana pada saat itu setiap KK diharapkan mengumpulkan 10 ikat padi untuk dijual. Masyarakat pun semangat bekerja demi keinginan tersebut. Mendengar hal tersebut masyarakat Banjar Peken, Sumerta juga ikut serta membantu Banjar Tegal Kuwalon dengan memberikan beberapa hasil panennya secara cuma-cuma. Dari hasil itu, atas anugrah Ida Sang Hyang Widhi Wasa terkumpulah uang/dana untuk membeli gamelan. Kemudian membeli bilahan kerawang di Pande Klungkung tepatnya di Desa Tiyingan. Nama pande yang membuat gamelan tersebut adalah Alm. Jro Pande Amyeg. Harga 1 bilahan gamelan pada waktu itu yaitu 100 rupiah. Sedangkan untuk yang berpencon harganya 1500 rupiah. Untuk kayu pelawah gamelan, Alm. Odah Tamped dan Ida dari Griya Tegeh yang memberikan secara cuma-cuma kayu ketewel(nangka). Lalu membeli kendang di Belaluan seharga 1500 rupiah dan membeli Gong di Banjar Lebah yaitu pada Bapak Pan Matram ( Gong seharga 1500 rupiah, kempur seharga 1000 rupiah ). Pada tahun 1956 barulah terwujud satu barung Gamelan Gong Kebyar dari kerawang, dengan pelawah yang tidak diukir. Singkat kata, akhirnya masyarakat Banjar Tegal Kuwalon memiliki satu barung Gamelan Gong Kebyar kerawang dan kemudian dipelaspas dibanjar. Ada pun instrumen yang ada pada waktu itu : 1 tungguh terompong, 4 tungguh gangsa, 4 tungguh kantil, 1 tungguh ugal, 1 buah kajar, 1 buah kempli, 1 tungguh reong, 2 tungguh jublag, 2 tungguh jegog, 1 buah kecek, 1 buah kempur, dan 2 buah gong. Sedangkan Gamelan Gong Kebyar dari besi itu kemudian disimpan dengan baik sampai sekarang. Dengan Gong Kerawang itu Seke Gong sampai pernah menabuh ke Desa Yang Batu, dan sering juga megambel ke luar  desa. Seiring dengan perkembangan jaman karena barungan Gamelan Gong Kebyar ini belum lengkap, maka ditambahkan lah instrumen-instrumen lain, sepeti : 2 tungguh penyacah, 2 tungguh gender rambat, 1 tungguh ugal, dan 1 buah bende. Sehingga sekarang barungan Gamelan Gong Kebyar di Banjar Tegal Kuwalon pun lengkap dan sampai sekarang dirawat dengan baik oleh masyarakatnya.

Sekian sekilas gambaran dari sejarah keberadaan Gamelan Gong Kebyar di Banjar Tegal Kuwalon desa adat Sumerta.

 

Narasumber :

1)    I Nyoman Lotra

2)    Drs. I Wayan Butuantara, M.Si

 

Tabuh Pepanggulan “ Grya Anyar ” Duta Kabupaten Gianyar

YouTube Preview Image

Tabuh Pepanggulan “ Grya Anyar ”

Duta Kabupaten Gianyar

 

Tabuh ini dipentaskan pada saat PKB tahun 2004 yang menjadi duta Kabupaten Gianyar dan pada saat itu Desa Tegal Linggah yang menjadi wakil dari Kabupaten Gianyar. Tabuh ini diciptakan oleh Bapak I Wayan Darya S.Sn.

 

KOMENTAR :

Dari segi Video :

Tampilan dari video ini kurang bersih dan jernih sehingga ketika menonton video ini  gambarnya terlihat samar-samar. Selain itu cara pengambilan gambarnya terlalu cepat pindah sehingga tidak semua penabuh bisa terlihat terutama pada penabuh yang berada pada bagian belakang.

Dari segi Penataan Gambelan :

Susunan dan penataan Gambelannya sudah bagus tetapi kalau bisa susunannya lebih diinovatif lagi supaya terkesan baru  .

Dari segi Sound System :

Pada saat menonton video ini suara dari beberapa instrumentnya tidak kedengaran seperti : Instrumen trompong, jegog, gong, kempur, bebende , dan rebab . Sehingga beberapa sound perlu ditambahkan.

Dari segi Light thing :

Tata light thing/pencahayaan pada video ini kurang maksimal. Sehinga terlihat Seperti tidak ada cahaya pada pada video tersebut. Maka dari itu pencahayaan pada pementasan sangat diperlukan demi menyajikan suatu pementasan yang sempurna.

 

 

 

Gamelan Gender Wayang

Gender Wayang secara khusus adalah barungan alit yang merupakan gamelan Pewayangan (Wayang Kulit dan Wayang Wong) dengan instrumen pokoknya yang terdiri dari 4 tungguh gender berlaras slendro (lima nada). Keempat gender ini terdiri dari sepasang gender pemade (nada agak besar) dan sepasang kantilan (nada agak kecil). Keempat gender, masing-masing berbilah sepuluh (dua oktaf) yang dimainkan dengan mempergunakan 2 panggul.

Gender wayang secara umum merupakan sebuah tungguhan berbilah dengan terampa yang terbuat dari kayu, sebagai alas dari resonator berbentuk silinder dari bahan bambu atau yang lebih dikenal dengan sebutan bumbung sebagai tempat menggantung bilah. Bentuk tungguhan dari segi bilah gamelan Gender Wayang dalam buku “Ensiklopedi Karawitan Bali” karya Pande Made Sukerta disebutkan berbentuk bulig yaitu bilah yang terbuat dari perunggu atau bilah kalor adalah bilah yang permukaannya menggunakan garis linggir (kalor) dan dalam buku ini juga disebutkan bilah ini biasa digunakan pada jenis-jenis tungguhan gangsa seperti halnya gamelan Gender Wayang. Bilah bulig adalah bentuk bilah yang digunakan di gamelan Gender Wayang secara umum di Bali.

Kemudian terampa ataupun pelawah dari gamelan Gender Wayang di Bali memiliki model dan bentuk yang sama, yaitu 2 (dua) buah adeg-adeg yang terbuat dari kayu berfungsi sebagai penyangga gantungan bilah dan tempat resonator atau bumbung. Meskipun secara umum model dan bentuknya sama, faktanya dari setiap daerah memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing sesuai dengan budaya seni dan kreativitas seniman di daerah setempat. Hal ini terletak pada ornamentasi yang berarti hiasan atau pepayasan. Di sini sesuai dengan pendapat dari  Mantle Hood yang menyebutkan bahwa dalam kontes etnomusikologi musik itu dipelajari melalui peraturan-peraturan tertentu yang dihubungkan dengan bentuk kesenian lainnya; seperti tari, drama, arsitektur, dan ungkapan kebudayaan lain termasuk bahasa, agama, dan filsafat. Unsur arsitektur yang merupakan induk dari ornamentasi dan pepayasan juga hadir sebagai bagian dari alat musik, yang berkaitan dengan bidang tertentu. Khususnya dalam gamelan Gender Wayang terlatak pada bidang terampa atau tungguhan. Setiap daerah di Bali memiliki sebuah persepsi yang tidak sama, walaupun berakar dari satu konsep style atau gaya di Bali, hal ini juga berkaitan dengan kearifan lokal atau disebut local genius dari masyarakat Bali yang majemuk.

Daerah Bali Utara yaitu Buleleng dan sekitarnya Gender Wayang memiliki ciri khas terampa dengan penuh kesederhanaannya yaitu adeg-adeg di buat hanya sesuai bentuk wadag (kasar) saja dan dengan bambu resonator yang dibiarkan alami yang difinishing (diselesaikan) dengan sentuhan perpaduan warna merah dan biru dari cat. Perpaduan warna merah dan biru inilah yang menjadikan sebuah ciri khas tersendiri dari daerah Buleleng dengan julukannya Bumi Panji Sakti dengan warna merah sebagai warna kebesaran. Dari warna inilah orang langsung mengetahui bahwa Gender Wayang itu milik dan ciri khas daerah Buleleng.

Di daerah Badung dan Denpasar, dari segi bentuk dan model hampir persis dengan yang ada di daerah Bali Utara khususnya Buleleng, pelawah di daerah Badung dan Denpasar memiliki sebuah keunikan tersendiri yaitu tungguhan pelawahnya bisa dilipat apabila sudah selesai dimainkan, hal ini menurut seniman gender dari Banjar Kayu Mas, I Wayan Suweca, Sskar. pada kelas Filsafat Seni Karawitan dikatakan hal ini berkaitan dengan mitologi Ciwa Tattwa dan mengandung konsep Purusa dan Predana. Purusa dan Predana yaitu sebuah filsafat yang menguraikan dua hal yang berbeda apabila bersatu akan menghasilkan sebuah energi yang besar yang biasa disebut dengan lanang wadon atau laki perempuan (Wawancara dengan I Wayan Suweca, SS.Kar, di kampus ISI Denpasar, tanggal 9 Desember 2009). Walaupun bentuk dan model sama persis, pelawahnya di kedua daerah ini sudah dibubuhi dengan sedikti ornamentasi atau pepayasan pada adeg-adeg berupa beberapa jenis motif ukiran sebagai pemanis dan diberi aksen warna emas dari warna prada.

Tabuh dalam pertunjukan Wayang :

Pertunjukan wayang kulit yang lengkap biasanya memakai sejumlah tabuh yang berdasarkan fungsinya. Tabuh-tabuh yang dimaksud antara lain:

 

Pategak (pembukaan) yang merupakan tabuh instrumentalia
Tabuh Pamungkah gending-gending untuk mengiringi dalang melakukan puja mantra persembahan, membuka kotak wayang (kropak)
Tabuh Patangkilan gending untuk mengiringi adegan pertemuan/persidangan
Tabuh angkat-angkatan gending untuk mengiringi adegan sibuk seperti keberangkatan laskar perang dan perjalanan
Tabuh rebong gending untuk mengiringi adegan roman
Tabuh tangis gending untuk mengiringi suasana sedih
Tabuh batel gending untuk mengiringi adegan perang
Tabuh panyudamalan gending khusus untuk mengiringi upacara pangruwatan (dalam Wayang Sapuh Leger)

 

Gamelan Gender Wayang mempunyai  2 fungsi , yaitu :

  • Fungsi Gamelan Gender Wayang  sebagai karawitan berdiri sendiri

 

  • Fungsi Gamelan Gender Wayang  dalam mengiringi pertunjukkan wayang
 

Fungsi Gamelan Gender Wayang  sebagai karawitan berdiri sendiri

 

Sebagai karawitan berdiri sendiri Gender Wayang lebih banyak berfungsi sebagai penunjang pelaksanaan upacara. Dalam fungsinya sebagai penunjang upacara , Gender Wayang dipergunakan untuk upacara Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya. Pada saat pelaksanaan upacara Pitra Yadnya Gender Wayang itu biasanya berfungsi untuk mengiringi mayat ke tempat pembakaran/kuburan . Hal ini terjadi apabila upacara itu dilakukan secara besar-besaran dan mempergunakan “Bade” sebagai tempat mayat , sementara dibawahnya diapit oleh dua orang bermain gender yang duduk di atas sandangan bambu (penyangga dari bade tersebut) ,maka Gender Wayang dapat disimpulkan sebagai gamelan sakral bagi umat Hindu. Selain itu Gender wayang ini juga berfungsi untuk mengiringi upacara Manusa Yadnya (potong gigi)

 

Fungsi Gamelan Gender Wayang  dalam mengiringi pertunjukkan wayang

 

Seperti yang dijelaskan tadi bahwa gender dan pertunjukan wayang yang diiringi mempunyai hubungan erat satu sama lainnya . Dalam pertunjukkan keduannya merupakan satu kesatuan yang tidak dipisahkan . Suatu pementasan wayang dapat berfungsi sebagai Wali (sacral) sebagai bebali (ritual) dan sebagai Balih-balihan (skuler) , menurut jenis dari upacara yang dilakukan .

 

Laras

 

Secara umum gamelan Gender Wayang adalah instrument yang berlaras slendro, namun secara spesifik di Bali laras slendro dalam gamelan Gender Wayang di bagi atas 3 bagian berdasarkan atas tuning atau di Bali disebut dengan saih. Adapun ketiga saih tersebut adalah saih Pudak Setegal (saih gede) , Asep menyan (saih menengah) , Sekar Kemoning (saih kecil) . Diantara ketiga saih tersebut tentu memiliki daerah populasi masing-masing , hal ini disebabkan

oleh faktor rasa dan kegemaran masyarakat pendukungnya sendiri.

 

Bentuk Tungguhan

 

Tungguhan merupakan istilah untuk menunjukkan satuan dari alat gamelan yang terdiri dari pelawah dan bagian-bagiannya berikut bilah atau pencon . Gender Wayang merupakan sebuah tungguhan berbilah dengan terampa yang terbuat dari kayu sebagai alasnya dari resonator

berbentuk silinder dari bahan bamboo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bumbung dan sebagai tempat menggantung bilah. Bentuk tungguhan dari segi bilah gamelan gender wayang dalam buku “Ensiklopedia Karawitan Bali karya Pande Made Sukerta disebutkan berbentuk bulig yaitu bilah yang terbuat dari perunggu atau bilah kalor adala bilah yang permukaannya menggunakan garis linggir (kalor) dan dalam buku ini juga disebutkan bilah ini biasa digunakan pada jenis-jenis tungguhan gangsa seperi halnya gamelan gender wayang . Bilah Bulig adalah bentuk bilah yang digunakan di gamelan gender wayang secara umum.

 

 

 

 

Bentuk Lagu

 

Banjar Kayumas di daerah kodya Denpasar dan Badung merupakan barometer dari keberadaan gamelan gender wayang yang memiliki cirri khas khusus dari bentuk lagu yang dimiliki dengan tokohnya I Wayan Suweca SSkar. Beberapa jenis lagu yang popular beredar di masyarakat lebih dominan menggunakan stle dari Kayumas Kaja seperti gending Candi rebah , Sekar Taman Burisrawa Katak Ngongkek .Gendin-gending style Kayumas memiliki kesan gending yang pelan , lembut dan halus tidak banyak dijumpai adanya kotekan , kalaupun ada biasanya menggunakan kotekan tiga atau telu.

 

Instrumentasi

 

Dalam gamelan Gender Wayang yang kami teliti ini bahwa ada beberapa instrument yang

terdapat diantaranya :

 

1. Empat buah Gender Pemade.

2. Empat buah Gender Kantil.

 

Instrumen sebagai pelengkap untuk Bebatelan diantara nya :

 

1) Satu buah Kendang Krumpung Batel

2) Satu buah kajar

3) Satu buah ceng-ceng ricik

4) Satu buah suling pengarjan

5) Satu buah klenang

6) Satu buah Kempur Batel

Halo dunia!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!