Tari legong. Bila ditinjau dari akar katanya, Legong berasal dari kata “ leg “ yang berarti luwes atau elastis dan kata “gong” yang berarti gamelan. Kedua akar kata tersebut bila digabungkan akan berarti gerakan yang sangat diikat ( terutama aksentuasinya ) oleh gamelan yang mengiringinya (Dibia, 1999:37). Tari-tari legong yang ada di Bali pada awalnya diiringi oleh gamelan yang disebut Gamelan Palegongan atau Gamelan Semara Petangian atau Gamelan Semara Pegulingan saih lima. Perangkat gamelan ini terdiri dari dua pasang gender rambat, gangsa jongkok, gangsa gantung, sebuah gong, kemong, kajar trenteng, klenang, sepasang kendang kerumpungan, suling, rebab, jublag, jegog, gentorang. Sebagai tambahan, terdapat seorang juru tandak untuk mempertegas karakter maupun sebagai narrator cerita melalui tembang. Namun, seiring populernya gamelan gong kebyar di Bali, akhirnya tari-tari palegongan ini pun bisa diiringi oleh gamelan Gong Kebyar, karena tingkat fleksibilitasnya.
Namun selain gong kebyar, tari – tari legong ini pun bisa juga diiringi oleh gamelan semara pegulingan saih pitu. Tetapi versi atau style setiap penggarap bisa berbeda – beda. Berbeda – beda tersebut terletak pada penuangan pola melodi nya. Bisa dituangkan ke instrument gender rambat, bisa juga dituangkan ke instrument terompong nya. Sesuai kebutuhan sang komposer tersebut.
Sesuai dengan laras yang dimiliki oleh gamelan samara pegulingan, pastinya ditentukan oleh yang namanya patet. Patet yaitu pembagian tugas pada nada – nada dalam suatu lagu. Walaupun tari legong lebih dominan menggunakan iringan gamelan palegongan dan gong kebyar, tetapi tari legong akan lebih terlihat lembut jika diiringi oleh gamelan samara pegulingan. Dikarenakan berbagai patet yang digunakan dalam barungan gamelan tersebut, membuat setiap cerita atau setiap karakter bisa lebih dihayati.
Melihat dari struktur komposisi nya, tari legong mempunyai struktur dasar sebagai berikut : pepeson, pengawak, pengecet, pekaad. Tetapi pada jaman sekarang, struktur tari legong tersebut tidak harus seperti yang dijelaskan tadi. Bisa juga ditambahkan dengan gineman, kawitan, batel, dan lain – lain sesuai dengan kebutuhan sang koreografer tari legong tersebut.
Istilah tabuh pisan, tabuh dua, atau tabuh telu lebih lumrah / lebih sering digunakan pada gending lelambatan. Tidak hanya pada gending tabuh lelambatan saja ada istilah tersebut. Istilah tabuh pisan, tabuh dua dan tabuh telu juga ada pada tari legong. Menurut kami, istilah tersebut tidak banyak diketahui pada tari – tari legong, karena uger – uger pada istilah tersebut hanya terletak pada struktur pengawak saja.
Berbeda dengan tabuh lelambatan yang jajar pageh nya terletak pada bagian kawitan, pengawak, pengecet. Pada tabuh lelambatan, dikatakan tabuh telu karena pada bagian kawitan, pengawak, pengecet terdapat 3x pukulan kempul dalam 1 pukulan gong, begitu juga pada tabuh pat dan seterusnya. Dan pada tari – tari legong, istilah tersebut terletak pada bagian pengawak saja. Jika pada tabuh lelambatan dikatakan tabuh telu karena terdapat 3x pukulan kempul dalam 1 gong, pada pengawak tari legong dikatakan tabuh telu karena terdapat 3x pukulan kemong dalam 1 gong, begitu juga dengan tabuh pisan dan tabuh dua, terdapat 1x pukulan kemong dalam 1 gong dan terdapat 2x pukulan kemong dalam 1 gong.
Kali ini, kami akan menjelaskan masing – masing 1 gending tabuh pisan, tabuh dua, dan tabuh telu pada tari legong kreasi .
1. Tabuh Pisan Legong Kreasi “Antaka Pandu Madri”
Menurut kami, tabuh pisan legong yaitu suatu bentuk gending legong yang memiliki jajar pageh pada pengawak sebagai berikut : a) 8 peniti jegog, b) 61 peniti jublag, c) 121 peniti penyacah, d) 1 kali pukulan kemong, e) 1 motif pupuh kendang yang kemudian diteruskan dengan pukulan neruktuk sebagai tanda bahwa lagu itu akan mencapai finalis / akhir, f) 1 kali pukulan gong. Disini kami akan menjelaskan tentang tabuh pisan legong kreasi “Antaka Pandu Madri”. Tari legong kreasi ini diciptakan pada saat Ujian Kompetensi Keahlian Jurusan Seni Tari SMK Negeri 5 Denpasar pada tahun 2016. Tari ini diciptakan berkelompok yang berjumlah 5 orang yang dikoordinator oleh Pande Kadek Mitha Prabawati atau biasa dipanggil Mbok Mitha ( Saat ini masih kuliah di ISI Denpasar Jurusan Sendratasik Semester 3 ).
Iringan tari nya diciptakan oleh seniman asal Banjar Paang Kelod, Penatih, I Wayan Gede Arsana, S. Sn atau sering dipanggil Pak De Arsana, menggunakan barungan samara pegulingan yang menggunakan instrument terompong sebagai pembawa lagu nya. Beliau mengatakan, digunakannya instrument terompong sebagai pembawa lagu karena ingin berbeda dari yang lain. Tari ini menceritakan seorang putri Raja dari kerajaan Mandra yang terpikat dengan Pandu yaitu Mandri. Saat Pandu membantu kerajaannya dalam perang melawan musuh, Raja Madra kemudian menghadiahkan putrinya Madri kepada Pandu untuk dijadikan istri sebagai balas budi dan terima kasih kepada Pandu dari kerajaan Hastinapura. Akhirnya Pandu dan Madri pun menikah. Suatu ketika Madri meminta Pandu untuk berburu dan berhasil memanah sepasang kijang yang sedang bercengkerama di hutan, dan ternyata kijang itu jelmaan Rsi Kindama dan istrinya. Sebelum meninggal, Kijang itu menampakkan wujud aslinya dan mengucapkan sumpah atau kutukan kepada Pandu, bahwa Pandu akan meninggal apabila berhubungan dengan istrinya. Suatu ketika Pandu dan Madri bertemu di lapangan yang luas yang dipenuhi bunga bermekaran, terbawa oleh alam yang indah dan bergairah musim semi, asmara mereka pun bergelora. Pandu dan Madri seolah lupa akan kutukan dan ingin meluapkan cinta yang terpendam begitu lama.
Akhirnya mereka pun tenggelam dalam kenikmatan asmara, seketika Pandu roboh dan menghembuskan nafas terakhirnya saat itu juga. Mengetahui Pandu meninggal, Madri merasa dirinya lah penyebab kematian suaminya. Akhirnya dia pun mengucapkan mantra dan Madri terkulai meninggal dunia.
Sang koreografer, Mbok Mitha, mengatakan terciptanya karya tari ini karena 2 alasan. Alasan pertama yaitu dia terinspirasi dari kisah Mahabharata disaat Pandu tidak boleh berhubungan dengan Madri. Alasan kedua yaitu dia memang suka dengan tarian legong dan karakter tari legong tersebut. Diberikan judul ANTAKA PANDU MADRI yaitu terdiri dari kata ANTAKA dan PANDU MADRI. ANTAKA dalam bahasa kawi berarti mati, PANDU MADRI yaitu nama raja Pandu dan Madri. Digabungkan menjadi Kematian Pandu Madri, karena dia mengambil konsep kematian dari Raja Pandu dan Madri.
Berdasarkan analisa kami, struktur komposisi pada tabuh pisan legong kreasi Antaka Pandu Madri ini yaitu Kawitan – Gineman – Batel – Pepeson – Pengawak – Ngetog – Pengecet – Pekaad . Kami tidak sempat bertanya lebih lanjut tentang struktur komposisi nya yang benar, dikarenakan beliau ( Pak De Arsana ) selalu sibuk dan juga keterbatasan waktu yang kami dapat untuk menganalisa dan wawancara .
Pada bagian kawitan, terdapat sedikit ngebyar yang dilanjuti dengan saling saut menyaut antara pemade dan kantil. Terdapat beberapa pola dan kotekan yang dimainkan oleh pemade dan kantil untuk menuju bagian gineman dengan menggunakan patet selisir. Pada bagian ini, patet yang digunakan yaitu patet tembung, dan gegineman ini dimainkan oleh instrument trompong sesuai dengan penjelasan tadi, peran dari gender rambat diganti oleh terompong. Selanjutnya, untuk mencari bagian batel, diisi sedikit penyalit. Di bagian batel ini, terdapat selipan berupa beberapa nada yang dimainkan oleh instrument gangsa ( pemade dan kantil ). Lanjut ke bagian pepeson. Pada bagian pepeson ini, terdapat kira – kira 2 bait melodi bertempo lambat dan yang bertempo berjalan ( sedikit cepat ) yang masing – masing diulang 2 kali. Setelah itu, terdapat 1 bait melodi yang diulang – ulang, dengan berisi pola yang saling saut antara pemade dan kantil. Setelah 1 bait tersebut, terdapat sedikit motif gegaboran dengan sedikit angsel yang sudah ditentukan untuk menuju ke penyalit. Penyalit ini tempo nya sedikit lebih cepat dan semakin lambat untuk menuju ke bagian pengawak.
Di bagian pengawak ini sesuai dengan pembahasan tabuh pisan, terdapat 1 kali pukulan kemong dalam 1 kali gong dan 1 kali pola kendang lalu dilanjutkan dengan pola nruktuk sebagai tanda sudah mencapai akhir dari pengawak tersebut. Disini, pukulan kemong dan gong sudah benar, tetapi pada pola kendang nya yang berbeda. Pola kendang untuk mencari pukulan gong, sama dengan pola kendang disaat mencari pukulan kemong. Setelah bagian pengawak, dilanjutkan pada bagian ngetog. Pada bagian ngetog, diulang hanya 2 kali . Dilanjutkan pada bagian pengecet. Disini terdapat 1 bait melodi dan beberapa macam kotekan salah satunya motif gegejer. Terdapat 2 pola yang berbeda, pola dengan kotekan yang dimainkan oleh pemade dan kantil, dan pola variasi yang dimainkan oleh instrument kantil yang mengikuti melodi ( sejenis kekenyongan ).
Setelah itu, pada bagian penyalit, tempo berubah agak cepat pertanda akan mencari bagian pekaad. Diawal – awal bagian pekaad, terdapat keunikan antara instrument kendang dan kajar. Pola nstrument kendang berjalan dengan tempo cepat, tetapi dibarengi dengan tempo yang lambat, juga sedikit angsel dan melodi yang berjalan seirama dengan tempo nya yang diulang 2 kali. Setelah itu, diisi sedikit penyalit dan sedikit kekenyongan pada kantil, dan diakhiri dengan pukulan nada nding pada patet tembung secara bersama.
Disini, pada tabuh pisan legong kreasi Antaka Pandu Madri, terdiri dari 8 peniti jegog, 61 peniti jublag, 121 peniti penyacah, 1 kali pukulan kemong, 1 motif pupuh kendang yang kemudian diteruskan dengan pukulan neruktuk sebagai tanda bahwa lagu itu akan mencapai finalis, dan 1 kali pukulan gong.
Menurut analisa kami, patet yang digunakan pada bagian pengawak tersebut yaitu patet tembung ( 3 4 5 6 7 1 2 / 7 1 – 3 4 5 – ) . Pada pola kendang, tidak terdapat pola nruktuk . Menurut sang komposer ( Pak De Arsana ), tidak terdapat pola nruktuk karena keterbatasan durasi tari yang ditentukan dan keterbatasan gerak tari yang diberikan oleh koreografer . Jadinya, pola kendang untuk mencari pukulan gong, sama dengan pola kendang pada saat mencari pukulan kemong.
2. Tabuh Dua Legong Kreasi “Geseng Waringin”
Menurut kami, tabuh dua legong yaitu suatu bentuk gending legong yang memiliki jajar pageh pada pengawak sebagai berikut : a) 12 peniti jegog. b) 93 peniti jublag, c) 185 peniti penyacah, d) 2 kali pukulan kemong, e) 2 motif pupuh kendang yang kemudian diteruskan dengan pukulan neruktuk sebagai tanda bahwa lagu itu akan mencapai finalis / akhir, f) 1 kali pukulan gong. Disini kami akan menjelaskan tentang tabuh dua legong kreasi “Geseng Waringin”. Tari legong kreasi ini diciptakan juga pada saat Ujian Kompetensi Keahlian Jurusan Seni Tari SMK Negeri 5 Denpasar tahun 2015. Tari ini diciptakan berkelompok yang dikoordinator oleh Ni Putu Sri Dewi Ardiani atau biasa dipanggil Mbok Sri Dewi.
Iringan tari nya juga sama diciptakan oleh seniman asal Banjar Paang Kelod, Penatih, I Wayan Gede Arsana, S. Sn atau sering dipanggil Pak De Arsana, menggunakan barungan samara pegulingan yang menggunakan instrument terompong sebagai pembawa lagu nya. Tari ini terinspirasi dari konsep Rwa Bhineda yakni bagian dari kisah kehidupan manusia yang mengambil contoh kisah kehidupan seorang janda dari Desa Dirah bernama calonarang atau yang dikenal dengan Walu Nateng Dirah. Ia adalah seorang penganut ilmu hitam. Dan memiliki putri bernama Diah Ratna Manggali. Ia memiliki murid – murid / sisya yang ditugaskan menjaga wilayah tempat penyimpanan sebuah lontar yang memuat tentang kesaktian dan kelemahan Walu Nateng Dirah yakni Niscaya dan Nircaya Lingga. Karena situasinya seperti ini, Mpu Baradah memiliki inisiatif untuk menikahkan putranya Mpu Bahula dengan putri Walu Nateng Dirah yakni Ratna Manggali dengan tujuan agar Mpu Baradah bisa mendapatkan lontar kesaktian Walu Nateng Dirah. Setelah menikah, Mpu Bahula menanyakan pada istrinya apa yang menyebabkan mertuanya begitu sakti. Dan akhirnya Diah Ratna Manggali memberi tahu suaminya bahwa kelemahan ibunya terletak pada sebuah lontar yang memuat kesaktian dan kelemahan Walu Nateng Dirah yaitu Niscaya dan Nircaya Lingga. Karena saking cintanya Diah Ratna Manggali berani memberikan lontar ibunya kepada Mpu Bahula suaminya.
Walu Nateng Dirah murka kepada Diah Ratna Manggali dan segera mencari Mpu Bahula untuk berperang. Disitulah muncul Mpu Baradah yang menerima tantangan Walu Nateng Dirah. Dalam pertempurannya melawan Baradah, ia beradu kekuatan dengan cara siapapun diantara mereka yang berhasil menghidupkan kembali pohon beringin yang telah terbakar maka ialah pemenangnya. Walu Nateng Dirah pun tidak berhasil menyelesaikan tantangan itu karena kesaktiannya telah dipegang oleh Mpu Baradah dan akhirnya Walu Nateng Dirah dapat dikalahkan. Sampai saat ini cerita itu dikenal dengan Geseng Waringin.
Sang koreografer, Mbok Sri Dewi, mengatakan terciptanya karya tari ini karena ingin mengangkat cerita calonarang dalam bentuk Tari Kreasi Palegongan yang dipadukan dengan vocal salah seorang penari sehingga tari ini menjadi semakin magis. Diberikan judul GESENG WARINGIN, terdiri dari kata GESENG yang artinya terbakar, dan WARINGIN artinya pohon beringin. Jadi GESENG WARINGIN berarti pohon beringin yang terbakar, karena berkaitan dengan cerita yang diangkat, peristiwa terbakarnya pohon beringin dalam cerita pertempuran antara Walu Nateng Dirah dengan Mpu Baradah.
Berdasarkan analisa kami, struktur komposisi pada tabuh dua legong kreasi Geseng Waringin ini yaitu Kawitan – Gineman – Pepeson – Pengawak – Pengecet – Ngetog – Pesiat – Batel – Pekaad . Sama seperti tadi, kami tidak sempat bertanya lebih lanjut tentang struktur komposisi yang benar, dikarenakan beliau ( Pak De Arsana ) selalu sibuk dan juga keterbatasan waktu yang kami dapat untuk menganalisa dan wawancara .
Pada awal mulai gending, diisi dengan motif ngoret pada instrument gangsa ( pemade dan kantil ) dilanjutkan dengan bagian gegineman. Gegineman disini, sama dengan yang tadi, yaitu menggunakan terompong, menggantikan peran dari gender rambat. Setelah gegineman, dilanjutkan dengan 1 baris melodi secara berulang – ulang, dibalik itu salah seorang penari menyanyikan vokal sehingga bagian tersebut membuat suasana magis. Setelah 1 baris tersebut dilanjutkan dengan sedikit penyalit yang berisi motif gegaboran, dan setelah itu menuju ke bagian pepeson. Bagian pepeson tersebut berisi pola saling saut antara instrument pemade dan kantil, serta berisi sedikit motif gegaboran yang bertempo lambat. Setelah itu terdapat beberapa bait melodi yang berisi motif gegaboran dan menuju penyalit yang dari tempo cepat ke tempo lambat. Dan berikutnya menuju pada bagian pengawak. Bagian pengawak ini, untuk mencari pukulan gong, disini terdapat lebih dari 1 baris melodi.
Setelah itu menuju bagian pengecet, yang diisi motif kotekan pada instrument pemade dan motif megending pada instrument kantil. Selanjutnya terdapat penyalit yang diisi dengan motif gegaboran untuk mencari bagian ngetog. Bagian ngetog tersebut diulang hanya 1 kali saja. Selanjutnya pada bagian batel, diisi motif gegaboran dengan melodi, setelah itu nyalit ke bagian batel tanpa adanya melodi sekitar 2 kali pengulangan, setelah itu kembali ke batel yang berisi motif gegaboran dan berisi melodi dengan angsel yang sudah ditentukan. Yang terakhir, bagian pekaad berisi motif gegaboran pada instrument pemade dengan bertempo lambat dan motif yang mengikuti irama melodi pada jublag, dan setelah itu terdapat pola saling saut antara pemade, kantil dan jublag, dan berakhir bersama di nada nding pada patet slendro alit.
Disini, tabuh dua legong kreasi Geseng Waringin, terdiri dari 13 peniti jegog, 101 peniti jublag, 201 peniti penyacah, 2 kali pukulan kemong, 2 motif pupuh kendang yang kemudian diteruskan dengan pukulan neruktuk sebagai tanda bahwa lagu itu akan mencapai finalis / akhir, 1 kali pukulan gong.
Menurut analisa kami, patet yang digunakan pada bagian pengawak tersebut yaitu patet tembung ( 3 4 5 6 7 1 2 / 7 1 – 3 4 5 – ) . Untuk mencari pukulan gong, disini terdapat lebih dari 1 baris melodi. Kami tidak sempat bertanya tentang hal itu kepada sang composer ( Pak De Arsana ), tetapi menurut kami, lebih nya 1 melodi tersebut merupakan perintah dari sang koreografer untuk melengkapi gerak – gerak tari pada bagian tersebut. Jadinya, pola nruktuk untuk mencari pukulan gong tersebut dipanjangkan 1 melodi sehingga bisa mencapai 5 baris . Disini pada akhirnya, pukulan jegog dihitung menjadi 13 kali pukulan jegog, 101 kali pukulan jublag, dan 201 kali pukulan penyacah. Pemanjangan pola nruktuk tersebut tidak sampai menghilangkan ciri – ciri atau karakter pada bagian pengawak legong, tetapi pemanjangan pola tersebut juga merupakan salah satu bentuk kreasi yang diciptakan pada tari legong.
3. Tabuh Telu Legong Kreasi “Ari Lango”
Menurut kami, tabuh telu legong yaitu suatu bentuk gending legong yang memiliki jajar pageh pada pengawak sebagai berikut : a) 16 peniti jegog. b) 125 peniti jublag, c) 249 peniti penyacah, d) 3 kali pukulan kemong, e) 3 motif pupuh kendang yang kemudian diteruskan dengan pukulan neruktuk sebagai tanda bahwa lagu itu akan mencapai finalis / akhir, f) 1 kali pukulan gong. Disini kami akan menjelaskan tentang tabuh telu legong kreasi “Ari Lango”. Tari legong kreasi ini diciptakan pada saat Ujian Kompetensi Keahlian Jurusan Seni Tari SMK Negeri 5 Denpasar pada tahun 2016. Tari ini diciptakan berkelompok yang dikoordinator oleh Ni Luh Sindy Adi Safitri atau biasa dipanggil Mbok Sindy dan sedikit dibantu oleh guru.
Iringan tari nya ini diciptakan oleh seniman asal Pengosekan, Ubud, I Dewa Putu Rai, S. Sn, atau sering dipanggil Jik Dewa Rai selaku adik dari pemilik Sanggar Cudamani Ubud, pada saat itu diciptakan atau dituangkan di Sanggar Aswini Kembar, Panjer, menggunakan barungan samara pegulingan yang menggunakan instrument terompong sebagai pembawa lagu nya. Tari ini mengisahkan dimana pada masa kanak – kanak dan remaja, Krisna menceritakan bagaimana ia menjadi seoranng pengembala sapi yang tingkahnya sangat nakal, tapi ia sangat mahir main seruling. Adapun masa Krisna beranjak dewasa, Krisna pun mulai mengenal cinta, karena kisah permainannya dengan para Gopi (wanita pemeras susu) khususnya Rada (putri, wre sabanu, salah seorang penduduk vrindavana) perasaan cinta Rada kepada Krisna melambangkan suatu kerinduan jiwa yang kuat serta kemauan untuk penyatuan tinggi dengan Tuhan.
Adapun kegagalan Kamsha dalam membunuh Krisna dan perannya sebagai pelindung rakyat vrindavana pada masa remajanya. Krisna telah melakukan berbagai hal yang menakjubkan. Ia membunuh 3 raksasa diantaranya : Putana ( Raksasa wanita ), Kesi ( Raksasa kuda ), Agassura ( Raksasa ular ) yang diutus oleh Kamsha untuk membunuh Krisna dan akhirnya dari perang itu Krisna pun mampu menunjukkan sebagai pelindung rakyat Vrindavana.
Sang koreografer, Mbok Sindy, mengatakan terciptanya karya tari ini hanya untuk kepentingan ujian kompetensi keahlian dari sekolah yang menuntut siswa siswi seni karawitan dan seni tari untuk membuat sebuah karya dengan berkelompok. Diberikan judul ARI LANGO , sampai saat ini kami belum menerima jawaban tentang arti dari judul ARI LANGO tersebut.
Berdasarkan analisa kami, struktur komposisi pada tabuh telu legong kreasi Ari Lango ini yaitu Kawitan – Pepeson – Pengawak – Ngetog – Pengecet – Pengipuk – Batel – Pekaad . Sama seperti sebelumnya, kami tidak sempat bertanya lebih lanjut tentang struktur komposisi yang benar, dikarenakan beliau ( Jik Dewa Rai ) masih ada kesibukan dan juga keterbatasan waktu yang kami dapat untuk menganalisa dan wawancara langsung ke Sanggar Cudamani, Ubud.
Pada bagian pertama atau bagian kawitan, diisi dengan motif ngoret pada instrument gangsa ( pemade dan kantil ), dan dilanjuti dengan sedikit melodi pada trompong, dan setelah itu terdapat melodi penyalit untuk mencari bagian pepeson dengan diisinya motif kabelit dan kabelet pada instrument gangsa ( pemade dan kantil ) dengan tempo yang lambat. Pada bagian pepeson ini terdapat 2 bait melodi dengan perbedaan tempo cepat dan tempo lambat dengan selipan melodi penyalit dari bait 1 ke bait 2 dan bait 2 ke bait 1 kembali hingga 2 kali pengulangan. Setelah 2 kali pengulangan, terdapat melodi penyalit untuk mencari bagian pengawak dengan tempo semakin lambat. Berikutnya, bagian pengawak. Disini bagian pengawak terdapat beberapa variasi yang dimainkan oleh instrument pemade, kantil, terompong dan kendang, dengan tidak menghilangkan jajar pageh pada bagian pengawak tersebut.
Bagian selanjutnya yaitu bagian ngetog yang diulang hanya 2 kali dan menuju bagian pengecet. Pada bagian pengecet tidak ada pengulangan dan dilanjutkan sedikit melodi penyalit untuk mencari melodi pada bagian pengipuk. Menurut saya itu bagian pengipuk, karena melodi tersebut tidak termasuk dalam bagian pengecet dan pola kendang nya pun berbeda. Setelah itu, berisi sedikit penyalit untuk mencari bagian batel. Di bagian batel ini, terdapat angsel yang sudah ditentukan dan terselip motif gegaboran dan menuju bagian pekaad. Bagian pekaad ini, terdapat variasi pada semua instrument dengan tempo semakin lambat dan berakhir pada nada nding patet tembung
Disini, pada tabuh telu legong kreasi Ari Lango terdiri dari 16 peniti jegog, 125 peniti jublag, 249 peniti penyacah, 3 kali pukulan kemong, 3 motif pupuh kendang yang kemudian diteruskan dengan pukulan neruktuk sebagai tanda bahwa lagu itu akan mencapai finalis / akhir, 1 kali pukulan gong.
Menurut analisa kami, patet yang digunakan pada bagian pengawak tersebut ada 4, yaitu patet slendro alit ( 1 – 3 4 5 – 7 ), patet slendro ageng ( – 3 4 5 – 7 1 ), patet selisir ( 3 4 5 – 7 1 – ), dan patet sundaren ( – 7 1 – 3 4 5 ) . Pada 4 baris pertama ( pukulan jegog 1 – 4 ), menggunakan patet slendro alit, 4 baris kedua ( pukulan jegog 5 – 8 ), menggunakan patet slendro ageng, 6 baris selanjutnya ( pukulan jegog 9 – 14 ), menggunakan patet selisir, dan 2 baris terakhir ( pukulan jegog 15 – 16 ), menggunakan patet sundaren. Disini pada akhirnya, pukulan jegog dihitung menjadi 16 kali pukulan jegog, 122 kali pukulan jublag, dan 224 kali pukulan penyacah.
Pada saat selesai pukulan kemong yang ke 2, ada pepayasan atau variasi berbagai pola pada instrument terompong, pemade dan kendang dengan tempo cepat tetapi dengan hitungan tetap, dan pukulan kemong yang ke 3 tetap berada di baris ke 12 ( pukulan jegog yang ke 12 ) . Pepayasan pola tersebut dimulai dari setelah pukulan jegog yang ke 8 dan berakhir di baris ke 14 ( pukulan jegog ke 14 ).