“DALEM BALINGKANG” sebagai bukti akulturasi budaya Bali dan Cina.

This post was written by rakaadnyana on April 12, 2019
Posted Under: Tak Berkategori

Sejarah Pura Dalem Balingkang
Pura Dalem Balingkang berdiri megah pada lahan seluas 15 hektar di wilayah desa pakraman Pinggan, kecamatan Kintamani, kabupaten Bangli. Untuk menuju Pura Dalem Balingkang, harus turun dari Pura Pucak Penulisan menuju banjar Paketan di desa pakraman Sukawana. Dari banjar Paketan menuruni jalan berliku dengan panorama indah deretan gunung Batur, gunung Abang dan gunung Agung menuju Pura Dalem Balingkang. Pura Pucak Penulisan merupakan hulunya Pura Dalem Balingkang, karena Pura Dalem Balingkang tepat menghadap ke Pura pucak penulisan.
Pura Dalem Balingkang seolah – olah dikelilingi tembok yang terdiri dari bubungan berupa perbukitan yang melingkari kawah gunung Batur terletak di timur, barat, utara dan selatan. Disamping itu juga dikelilingi oleh sungai melilit yang merupakan sumber mata air bagi masyarakat sekitarnya. Pura Dalem Balingkang terletak di sebelah barat kurang lebih 2,5 kilometer dari pemukiman atau perumahan masyaraka desa pekraman Pinggan. Sejarah Pura Dalem Balingkang akan dibahas melalui berbagai sudut pandang, diantaranya:

  1. Purana Pura Dalem Balingkang (2009).
    Purana Pura Dalem Balingkang menyebutkan bahwa maharaja Sri Haji Jayapangus Beristana di Gunung Panarajon. Pada masa pemerintahannya maharaja Sri Haji Jayapangus yang didampingi oleh Permaisuri beliau yang bergelar Sri Prameswari Induja Ketana. Beliau disebut sebagai putri utama yang sangat baik dan Bijak.Beliau berasal dari danau Batur yang merupakan keturunan Bali mula atau Bali asli. Pada masa pemerintahan waktu itu yang menjabat sebagai senapati kuturan adalah Mpu nirjamna. beliau mempunyai dua penasehat yang bergelar Mpu Siwa Gandhu dan Mpu Lim. Mpu Lim mempunyai dayang berwajah cantik bernama Kang Cing We, putri dari I Subandar yang memperistri jangir yaitu wanita Bali. Setelah sekian lama Kang Cing We menjadi dayang dari Mpu Lim, ada keinginan dari Sri Haji Jayapangus untuk memperistri Kang Cing We sekaligus diupacarai. Oleh karena demikian keinginan beliau, segeralah Mpu Siwa Gandhu menghadap dan memberikan saran kepada baginda raja. Bawha kehendak baginda rajauntuk memperistri putri dari I Subandar yaitu Kang Cing We tidak tepat, karena baginda raja beragama Hindu, sedangkan Kang Cing We beragama Buddha. Namun, nasehat sang Dwija tidak diindahkan oleh baginda raja. Marahlah baginda raja kepada bhagawantanya. Oleh karena itu, Mpu Siwa Gandhu tidak lagi menjadi penasehat di kerajaan panarajon. Segeralah baginda raja melakukan pernikahan, yang disaksikan oleh para rohaniawan dari agama Hindu maupun agama Buddha, para pejabat seperti sang Pamegat, para pejabat desa dan para karaman. Setelah beberapa lama upacara pernikahan berlalu, I Subandar mempersembahkan dua keping uang kepeng atau pis bolong untuk bekal putrinya mengabdi kepada baginda raja. Selanjutnya dikemudian hari agar baginda raja menganugerahkan dua keping uang kepeng tersebut kepada rakyat beliau yang ada diseluruh Bali. yang digunakan sebagai persembahan atau sarana upacara yadnya.
    Bedasarkan kesepakatan antara Sri Haji Jayapangus dengan Kang Cing We tersebut, marahlah Mpu Siwa Gandhu terhadap sikap baginda raja. Beliau melaksanakan tapa brata memohon anugerah kepada dewa agar terjadi angin rebut dan hujan lebat selama satu bulan tujuh hari. Karena memang benar – benar khusuk melakukan tapa brata, maka angin rebut disertai hujan lebatpun benar – benar terjadi. Alhasil, keraton kerajaan panarajon musnah seketika. Sri Haji Jayapangus dengan diiringi sisa – sisa abdi dari kerajaannya, mengungsi ketengah hutan, yakni ke wilayah desa Jong Les. Disana beliau dengan cepat merebas semak belukar dan hutan lebat, juga dilengkapi dengan upacara dan upakara yadnya. Bangunan suci kerajaan baginda raja sekarang bernama Pura Dalem Balingkang. Kata “Dalem” diambil dari kata tempat tersebut yang disebut Kuta Dalem Jong Les. Adapun kata “Balingkang” yang diambil dari kata “Bali”, yaitu baginda raja sebagai penguasa jagat Bali Dwipa, sedangkan kata “Kang” sebenarnya diambil dari nama istri dari Sri Haji Jayapangus yaitu Kang Cing We. Ada lagi disebutkan, pada saat baginda raja mengungsi dari panarajon ke tengah hutan yang disebut Kuta Dalem, disana beliau berhasil memusatkan pikirannya sampai pikiran yang paling dalam atau daleming cita memuja ida sang hyang widhi wasa. Beliau berhsil membangun keraton dan tempat suci di Kuta Dalem. Setelah beliau memerintah di Balingkang kembali sejahteralah seluruh kerajaan Bali Dwipa. Lebih lagi saat didampingi oleh kedua permaisuri beliau yang selalu duduk di kiri dan kanan dari singgasana baginda raja. Adapun yang mendampingi atau mengabih dari kanan yakni yang bergelar Sri Prameswari Induja Ketana, sedangkan disebelah kiri didampingi oleh permaisuri bergelar Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna atau Kang Cing We. Serta pejabat –pejabat keraton dan para abdi atau Rakyat beliau seluruhnya.

Comments are closed.

Previose Post: