Menggambarkan suatu proses kehidupan dari lahir, hidup, hingga akhirnya mati. Dari hal itu penggarap mengaplikasi ke dalam bentuk garapan tabuh inovatif berjudul “siklus” Yang artinya segala hal yang tumbuh pasti akan gugur namun akan tetap tumbuh lagi di waktu berikutnya.
Dari struktur yang dapat dilihat melalui pola” Yang berulang-ulang, dan mati seketika pada akhir lagu,
Karya: I Kadek Yadnya.
Posted Under: Tulisan
This post was written by rakaadnyana on April 30, 2019 Comments (0)
Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud Rakshasa. Selain wujud Rakshasa, Ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Syurga dan Naraka, seperti: naga, gajah,, Widyadari, bahkan Dalam perkembangannya, ada yang dibuat menyerupai orang-orang terkenal, seperti para pemimpin dunia, artis atau tokoh agama bahkan penjahat.
Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai dengan diiringi irama gamelan khas Bali yang diberi nama bleganjur patung yang dibuat dengan bahan dasar bambu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyarakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngerupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan hari raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara.
Posted Under: Tulisan
This post was written by rakaadnyana on April 30, 2019 Comments (0)
Ide : Terinspirasi dari petani jeruk di daerah Kintamani yang senantiasa bersemangat dalam bekerja
Tema : Kehidupan Sosial
Judul : “Luh Bayung”
Bentuk : Tari Kreasi
Hal yang melandasi penggarap untuk mengangkat cerita diatas kedalam karya tari adalah berdasarkan pengalaman penggarap melihat langsung aktifitas para petani jeruk yang pada saat itu terdiri dari gadis-gadis remaja sedang melakukan aktifitasnya memanen jeruk di daerah Bayung ( Kintamani ). Dengan menggunakan teori Imajinasi penggarap bermaksud untuk menuangkan pengalaman tersebut yang kemudian penggarap kaitkan dengan karakter penggarap yang kecil dan usil. Pemilihan judul “Luh” sendiri memiliki arti yaitu Nama Gadis Bali ( anak sulung ) dan Bayung yang berarti desa Bayung, Kintamani. Pesan yang ingin penggarap sampaikan melalui karya ini adalah apapun pekerjaan atau profesi kita harus dijalani dengan semangat.
Penata iringan:
I Made Raka Adnyana.
Posted Under: Tulisan
This post was written by rakaadnyana on April 29, 2019 Comments (0)
Sidembunut adalah desa tua. Ada sedari tahun 833 Saka (911 M). Demikian tertera pada prasasti Kehen A yang dikeluarkan oleh Kerajaan Singamandawa. Isi prasasti itu, pemberian izin pada para bhiksu dan orang-orang di Simpat bunut (sebelum bernama Sidembunut) dibawah pemerintahan Hulukayu dengan Kuil Hyang Api dan Kuil Hyang Tanda. Pada prasasti tersebut juga disebutkan batas kuil tersebut. I Nyoman Singgin Wikarman dalam Bangli Tempo Doeloe (Dalam Kajian Sejarah) (2013, 21-22) menuliskan, ketiga kuil itu mungkin saja ada hubungannya dengan Pura Penataran Sidembunut yang disebut dalam prasasti Hyang Karimana. Sedangkan Hyang Api adalah Pura Kehen dan Hyang Tanda Pura Pucak Bukit Bangli yang disebut sebagai Pura Pucak Bangli. Kerajaan Singamandawa sendiri adalah Kerajaan Bali Kuno tertua, tercatat sejak 804 Saka. Para ahli sejarah memperkirakan Singa Mandawa kelanjutan Kerajaan Sanjayawasma di Jawa Tengah dan Kerajaan Dinoyo di Jawa Timur.Kerajaan in nampaknya hanya bertahan hingga 888 (966 M) Saka karena didesak dan dikalahkan oleh Kerajaan Warmadewa. Menurut cerita orang-orang tua di Sidembunut,di Masa Kerajaan Singamandawa para penduduk Sidembunut bertugas sebagai Penyedia Seni,seperti seni pertunjukan, patung, rupa, undagi (desain Bangunan) dan ukir-ukiran dari kayu hingga cangkang telur dan gading gajah. Sampai sekarang, jejak kesenian masih kuat di Sidembunut. Masih Banyak warga desa yang termasuk wilayah adminstratif Kelurahan Cempaga ini menggeluti kerajinan seni ukir (cangkang telur, gading, logam, kayu, emas, perak, tembaga,kuningan,dan lainnya), anyam-anyaman , paying tradisional dan lainnya. Dalam senyap publikasi, warga Sidembunut bekerja sebagai pekerja seni. Dalam sejarah itulah terdapat juga peninggalan berupa prasasti dan arca yag ada kaitannya dengan terbentuknya desa Sidembunut yang kini dikenal sebagai desa Penyedia seni khususnya di daerah Bangli.
Sejarah Pura Dalem Balingkang Pura Dalem Balingkang berdiri megah pada lahan seluas 15 hektar di wilayah desa pakraman Pinggan, kecamatan Kintamani, kabupaten Bangli. Untuk menuju Pura Dalem Balingkang, harus turun dari Pura Pucak Penulisan menuju banjar Paketan di desa pakraman Sukawana. Dari banjar Paketan menuruni jalan berliku dengan panorama indah deretan gunung Batur, gunung Abang dan gunung Agung menuju Pura Dalem Balingkang. Pura Pucak Penulisan merupakan hulunya Pura Dalem Balingkang, karena Pura Dalem Balingkang tepat menghadap ke Pura pucak penulisan. Pura Dalem Balingkang seolah – olah dikelilingi tembok yang terdiri dari bubungan berupa perbukitan yang melingkari kawah gunung Batur terletak di timur, barat, utara dan selatan. Disamping itu juga dikelilingi oleh sungai melilit yang merupakan sumber mata air bagi masyarakat sekitarnya. Pura Dalem Balingkang terletak di sebelah barat kurang lebih 2,5 kilometer dari pemukiman atau perumahan masyaraka desa pekraman Pinggan. Sejarah Pura Dalem Balingkang akan dibahas melalui berbagai sudut pandang, diantaranya:
Purana Pura Dalem Balingkang (2009). Purana Pura Dalem Balingkang menyebutkan bahwa maharaja Sri Haji Jayapangus Beristana di Gunung Panarajon. Pada masa pemerintahannya maharaja Sri Haji Jayapangus yang didampingi oleh Permaisuri beliau yang bergelar Sri Prameswari Induja Ketana. Beliau disebut sebagai putri utama yang sangat baik dan Bijak.Beliau berasal dari danau Batur yang merupakan keturunan Bali mula atau Bali asli. Pada masa pemerintahan waktu itu yang menjabat sebagai senapati kuturan adalah Mpu nirjamna. beliau mempunyai dua penasehat yang bergelar Mpu Siwa Gandhu dan Mpu Lim. Mpu Lim mempunyai dayang berwajah cantik bernama Kang Cing We, putri dari I Subandar yang memperistri jangir yaitu wanita Bali. Setelah sekian lama Kang Cing We menjadi dayang dari Mpu Lim, ada keinginan dari Sri Haji Jayapangus untuk memperistri Kang Cing We sekaligus diupacarai. Oleh karena demikian keinginan beliau, segeralah Mpu Siwa Gandhu menghadap dan memberikan saran kepada baginda raja. Bawha kehendak baginda rajauntuk memperistri putri dari I Subandar yaitu Kang Cing We tidak tepat, karena baginda raja beragama Hindu, sedangkan Kang Cing We beragama Buddha. Namun, nasehat sang Dwija tidak diindahkan oleh baginda raja. Marahlah baginda raja kepada bhagawantanya. Oleh karena itu, Mpu Siwa Gandhu tidak lagi menjadi penasehat di kerajaan panarajon. Segeralah baginda raja melakukan pernikahan, yang disaksikan oleh para rohaniawan dari agama Hindu maupun agama Buddha, para pejabat seperti sang Pamegat, para pejabat desa dan para karaman. Setelah beberapa lama upacara pernikahan berlalu, I Subandar mempersembahkan dua keping uang kepeng atau pis bolong untuk bekal putrinya mengabdi kepada baginda raja. Selanjutnya dikemudian hari agar baginda raja menganugerahkan dua keping uang kepeng tersebut kepada rakyat beliau yang ada diseluruh Bali. yang digunakan sebagai persembahan atau sarana upacara yadnya. Bedasarkan kesepakatan antara Sri Haji Jayapangus dengan Kang Cing We tersebut, marahlah Mpu Siwa Gandhu terhadap sikap baginda raja. Beliau melaksanakan tapa brata memohon anugerah kepada dewa agar terjadi angin rebut dan hujan lebat selama satu bulan tujuh hari. Karena memang benar – benar khusuk melakukan tapa brata, maka angin rebut disertai hujan lebatpun benar – benar terjadi. Alhasil, keraton kerajaan panarajon musnah seketika. Sri Haji Jayapangus dengan diiringi sisa – sisa abdi dari kerajaannya, mengungsi ketengah hutan, yakni ke wilayah desa Jong Les. Disana beliau dengan cepat merebas semak belukar dan hutan lebat, juga dilengkapi dengan upacara dan upakara yadnya. Bangunan suci kerajaan baginda raja sekarang bernama Pura Dalem Balingkang. Kata “Dalem” diambil dari kata tempat tersebut yang disebut Kuta Dalem Jong Les. Adapun kata “Balingkang” yang diambil dari kata “Bali”, yaitu baginda raja sebagai penguasa jagat Bali Dwipa, sedangkan kata “Kang” sebenarnya diambil dari nama istri dari Sri Haji Jayapangus yaitu Kang Cing We. Ada lagi disebutkan, pada saat baginda raja mengungsi dari panarajon ke tengah hutan yang disebut Kuta Dalem, disana beliau berhasil memusatkan pikirannya sampai pikiran yang paling dalam atau daleming cita memuja ida sang hyang widhi wasa. Beliau berhsil membangun keraton dan tempat suci di Kuta Dalem. Setelah beliau memerintah di Balingkang kembali sejahteralah seluruh kerajaan Bali Dwipa. Lebih lagi saat didampingi oleh kedua permaisuri beliau yang selalu duduk di kiri dan kanan dari singgasana baginda raja. Adapun yang mendampingi atau mengabih dari kanan yakni yang bergelar Sri Prameswari Induja Ketana, sedangkan disebelah kiri didampingi oleh permaisuri bergelar Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna atau Kang Cing We. Serta pejabat –pejabat keraton dan para abdi atau Rakyat beliau seluruhnya.