GAMELAN DIGUL di balik sosok seorang pejuang (hubunga antara Australia dan revolusi Indonesia)

“ RESENSI GAMELAN DIGUL ’’

 di balik sosok seorang pejuang

 (hubunga antara Australia dan revolusi Indonesia)

 

 

      Penulis                             : Margaret J. Kartomi.

      Penerjemah                    : hersri setiawan.

      Penerbit                           : yayasan obor Indonesia.

     Edisi pertama                  : juni 2005

     YOI                                    : 488.23.8.2005

    Desain cover                     : adjie Soeroso.

    Tebal halaman                 : 221 halaman.

Buku ini mengisahkan sejarah tentang nasib empu pengrawit ( pontjopangrawit ) dengan seperangkat gamelan Jawa yang merupakan satu-satunya jenis dari perangkat ini karena dibuat di kamp tahanan, dahulu Niugini barat, atau yang sekarang dikenal sebagai irian atau papua barat. Perangkat gamelan ini juga merupakan perangkat  gamelan pertama yang diketahui di bawa ke Australia, dan sekarang dirawat dengan baik di Archive of the scool of music konservatorium di monash university. Gamelan  ini dibuat tahun 1927 oleh seorang pengerawit atau pemusik jawa “ahli” dari Surakarta, empu pontjopangrawit, juga seorang tokoh aktivis poltik yang menjadi tawanan di kamp para tapol pemerintah belanda di tanah merah digul atas, di wilayah hindia belanda dahulu. Gamelan-gamelan ini sama sekali dibuat dari bahan-bahan seketemunya saja.

Berkaitan dengan kisah gamelan ini dikaitkan juga dengan dua kisah yang bersifat sebagai pelengkap, dan sementara itu juga merupakan kisah-kisah yang berpadanan. Yang pertama tentang riwayat hidup sang pengrawit, bapak pontjopangrawit, yang kedua mengisahkan tentang peranan gamelan itu sebagai lambang persahabatan Australia-indonesia semasa dasawarsa pergolakan tahun 1940-an.

Gambelan Digul dengan instrumen-instrumennya yang besi , dan kotak – kotaknya yang terbuat dari potongan kayu kasar, jauh kurang mengesankan ketimbang ansambel desa yang paling sederhana mana pun. Namun demikian, kisah tentangnya, sebagaimana dituturkan dalam buku ini, menggugah hati dan menantang kita untuk mencari jawab. Bagaimana orang, laki-laki dan perempuan, bisa bertahan hidup dan terkadang malah berkembang di bawah kondisi yang biadab, tertindas dan terhina.

Buku kartomi tentang gambelan buatan di kamp tawanan dan pembuatnya ini berbicara tentang masalah-masalah, yang tidak hanya sekedar tentang gambelan berkotak kayu kasar, yang dibuat di kamp tawanan para tapol Indonesia di papua tahun 1930-an. Gambelan Digul telah menjadi metonim untuk perlawanan Indonesia terhadap kekuasaan kolonial Belanda, dan akhirnya juga dukungan Australia pada kemerdekaan Indonesia. Pontjopangrawit, pembuat gambelan ini, tidak hanya mewakili barisan kaum nasionalis antikolonial yang nama-namanya hilang dari sejarah, tetapi juga seorang ahli musik kraton jawa yang besar dari masa lalu, yang riwayatnya tidak tercatat karena kehidupannya sebagai hamba kraton tidak pernah memerlukan inskripsi.

 

Pontjopangrawit adalah orang yang mengawali hidupnya dengan sederhana, tidak berpendidikan, dan yang sejak muda hidup di kota surakarta, di daerah kerajaan jawa tengah itu, memperlihatkan bakatnya yang istimewa dalam memainkan instrumen-instrumen gambelan. Cerita kartomi yang merekonstruksi kejadian-kejadian sekitar riwayat hidupnya, begitu rinci, jarang terjadi pada seorang ahli musik seperti halnya tokoh ini. Sebagaimana kartomi tunjukkan,bahwa masih dalam umur 12 tahun pontjopangrawit sudah menjadi musisi kraton. Kedekatannya dengan kraton, yang di ikuti dengan pengangkatannya sebagai punggawa kraton, membuka jalan baginya untuk berada di tengah-tengah para ahli karawitan

Terbaik di zamannya. Seolah-olah kehidupanya memang telah di takdirkan untuk terbiasa dalam kesunyian. Kelihatanya ia akan menempuh kehidupannya dengan tenang dan jabatan yang terjamin sebagai musisi kraton, mengajar, tampil pada perhelatan-perhelatan kraton yang tak terbilang banyaknya, dalam suatu irama hidup yang bisa bermanfaat, menyenangkan dan aman tenteram.

Tapi pontjopangrawit berpandangan keras anti-kolonial dan menjalin hubungan dengan kaum komunis yang juga nasionalis kental.ia hadir pada peristiwa-peristiwa dan ambilmbagian dalam kegiatan-kegiatan yang di anggap anti-benlanda, sehingga pada tahun 1926 ia di tangkap dan di tahan. Pada tahun 1927, bersama 2.100 tapol lainnya, ia diangkut dengan kapal menuju Digul Atas di Papua Barat tengah, suatu koloni pengasingan yang baru dibuka. Di sana ia tinggal selama lima tahun, membuat gambelan dari periuk-periuk makanan, besi tua, potongan-potongan kayu dan kulit binatang, serta memimpin berbagai pagelaran genre yang menakjubkan, termasuk wayang kulit, wayang orang, ketoprak, dan acara-acara untuk menyambut tapol-tapol pendatang baru! Akhirnya pada tahun 1932 pontjopangrawit dibebaskan, dan dikirim kembali ke kampung halamannya di jawa.

Gambelan buatannya tetap ada Digul, sampai saat diangkut dengan kapal pada 1943, ketika balatentara Jepang melanggar wilayah kekuasaan Belanda di papua Barat. Rupa-rupanya Pontjopangrawit tidak pernah mengetahui, apa yang terjadi dengan gamelannya itu. Gambelan itu ada di Australia, sekarang dilestarikan dan ‘dimuseumkan’, menjadi suatu monumen bagi pembuatnya, para tapol digul Atas dan perjuangan kemerdekaan kaum nasionalis Indonesia di abad ke-20.

 

Sosok ini diselubungi kebisuan. Tidak seperti halnya tapol Indonesia lainya yang penulis, misalnya Pramoedya Ananta Toer, Sutan Sjahrir, Pontjopangrawit tidak menulis sepatah kata pun­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­-baik sebelum, selama dan sesudah masa pengasingannya. Dengan begitu kita hanya bisa mereka-reka tentang kehidupan kejiwaannya selama iya di Digul Atas : Mengapa iya mengambil langkah untuk menbuat gambelan sebagai pilihan utama? Apa yang terpikir olehnya? Sebagai langkah perlawanan, atau langkah akomodatif dengan belanda yang menahanya, yang ingin membedaki wajah kemanusiaan pada kamp pengasingan di depan mata dunia? Bagaimanakah sifat hiburan yang terkandung? Pelarian? Nostalgia? Atau biasa-biasa saja, sekadar untuk melerai waktu? Bagaimana kita, sesudah berjarak dengan waktu, etos dan ruang dari kejadian-kejadian  yang di ungkap kembali dalam buku ini, akan memahami seorang musisi kraton dari salah satu kraton yang paling adiluhung di Jawa Tengah itu hidup di pengasingan, di kelilingi oleh belantarapapua yang tak ramah, memimpin pagelaran-pagelaran wayang bagi sesama orang jawa yang sakit-sakitan dan patah – semangat?

Kehidupan pontjopangrawit yang diam itu dengan sangat mengejutkan ditegaskan oleh kegelapan sekitar kematianya. Kartomi dengan meyakinkan telah menunjukkan, bahwa pontjopangrawit diduga telah ditahan pada tahun 1965 berkaitan dengan persekutuanya dengan organisasi komunis dalam pergolakan hebat tahun itu, ketika pemerintah Soekarno ditumbangkan dan digantikan dengan pemerintah militer di bawah pimpinan Jendral Suharto. Ia tempatkan Pontjopangrawit dalam kemungkinan telah di bunuh di penjara,tidak lama sesudah ia di tangkap. Dan bahwa makamnya telah “ dipugar ” dan tanggal saat kematiannya diterakan berbeda, untuk menutupi kenyataan yang memalukan: bahwa seorang pahawan revolusi telah dibunuh oleh kup militer tahun 1965.

Musisi kraton Pontjopangrawit itu tentang merasa, dirinya ibarat bidak tak berdaya di tengah permainan catur semesta yang keji itu. Karena kehidupannya yang selalu tercemari oleh keterlibatan politik di masa mudanya, yang menghantui sepanjang hidupnya dan bahkan mungkin akan membunuhnya. Semuanya ini di ketahui terutama oleh kalangan ahli gambelan dan para pengagumnya sebagai guru dari Martopangrawit, seorang pangrawit besar lainnya lagi. Buku ini mengemukakan satu pandangan lain-dari seorang patriot yang mengagumkan.

Inilah salah satu dari kisah-kisah tentang Gambelan Digul, yaitu kisah tentang pembuatnya. Kisah lain yang juga dikemukakan dalam buku ini menjalin sejarah Gambelan Digul di Australia, para penabuhnya, dan pagelaran –pagelaran serta kaitannya dengan perkembangan sejarah hubungan antara Australia dan Indonesia. Agitasi politik dari sementara bekas tapol Digul Atas dan para pemain Gambelan Digul yang di angkut Australia, yaitu dari mendukung rekolonisasi belanda atas Indonesia pasca-perang Dunia II, menjadi memuncak pada dukungan Australia terhadap kemerdekaan Indonesia yang jauh mendahului pendirian negara-negara sekutu lainya. Pada saat –saat meningkatnya rasa permusuhan dan kesalahpahaman antaraa Australia dan Indonesia dewasa ini, penerbitan buku ini memberikan gambaran tentang penggalan sejarah yangh akrab, yang menuju ke arah saling percaya dan rekonsiliasi antara dua pihak.

Di dalam buku ini tidak hanya memberitahukan tentang sejarah pada pembaca. Namun ini  juga bermanfaat untuk memberitahukan tentang bagaimana pahitnya perjuangan tokoh pengrawit di dalam berproses atau membuat gambelan Digul ini. Buku ini patut diacungi jempol karena berkat buku ini, banyak pendapat dari masyarakat atau si pembaca yang mengakui bahwa buku ini, bisa memeberikan penegetahuan pada masyarakat awam mengenai keberadaan gambelan Digul mulai dari latar belakang dan sejarahnya.

Meski penulis tidak membuat semua tentang gambelan ini, sedikit tidaknya kita bisa memahami bagai mana sejarah dari proses pembuatan gambelan tersebut dan lebih mudah bagi si pembaca untuk memahami isi dari buku tersebut, serta sangat mudah di cerna oleh masyarakat.  Kelebihan lain dari buku ini yaitu dilengkapi juga dengan gambar-gambar  Seperti: tokoh empu gambelan saat menyetel rebab ( Pontjopangrawit ),dan barungan gambelan Digul,dan lain-lain, yang bisa membuat pembaca menjadi tertarik untuk membacanya dan si pembaca mengetahui tokoh-tokoh dan sejarah tentang gambelan ini, jadi pembaca tidak merasa bosan kala membaca buku ini.

Buku ini sangat cocok dibaca oleh semua orang yang senang akan sejarah tentang kuatnya kebudayaan Indonesia untuk masyarakat Indonesia sendiri, dari sejarah dan  kisahnya yang menakjubkan dan menyentuh hati tentang keberanian seseorang dan kemampuan musik, yang keduanya dapat menggairahkan semangat dan menjadi alat melawan penindasan.

Dari sekian banyak dijelaskan, menurut pendapat saya, sajian yang dijelaskan dalam buku ini sangatlah menarik, di mana dijelaskan tentang latar belakang sejarah gambelan Digul dan sejarah tentang sedikit perjalanan empu gambelan pontjopangrawit yang sangat luar biasa dan sangat menyentuh hati sekali. Kebanyakan masyarakat Indonesia tidak begitu tau tentang adanya gambelan Digul ini, karena di Indonesia sendiri belum ada.

SEJARAH GAMBELAN GAMBUH DI DESA BATUAN

 

KEKHASAN GAMBELAN GAMBUH

Gamelan Gambuh adalah sebuah Gamelan Bali yang dipergunakan untuk mengiringi dramatari Gambuh. Oleh karena tradisi Gamelan Gambuh pernah mengalami kejayaanya pada zaman raja-raja Bali Hindu , maka Gambuh di golongkan sebagai gamelan madya.

Sebagai iringan tari (gending-gending Gambuh lebih bersifat gending-gending yang dtarikan daripada bersifat unstrumental), Gambelan Gambuh bisa mengungkapkan bermacam-macam jenis gending sesuai dengan karakter atau perwatakan tari yang diiringi. Sebagaian besar penyesuaian ini tercapai lewat sistem tetekep ( disebut juga patutan, saih , atau peatet), di mana lima jenis deretan nada , yakni selisir , sunaren , tembung ,Baro dan leben dapat dibentuk melalui perubahan tutup lubang suling ( bahasa Bali : tekep). Sistem Tetekep memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan karawitan dan pelarasan gamelan Bali.

Selain sistem tetekep tersebut, faktor lain seperti melodi, struktur, dan dinamika (keras-lirih; cepat lambat-lambat, aksen-aksen, dan sebagainya) juga disesuaikan dengan perwatakan masing-masing tari yang diiringi, sehingga kaitan di antara gending dan tari sangat erat.

Gamelan Gambuh menduduki posisi yang unik  hal instrument. Yang paling menonjol adalah pengunaan suling yang berukuran besar , dengan panjang 75 – 100 cm. untuk memainkan suling ini diperlukan kemampuan ngunjal angkian (tiupan yang tidak putus) yang sebaik-baiknya dan tehnik khusus untuk memegangnya. karena suling jenis ini tidak ditemukan pada gamelan lain,maka di namakan suling Gambuh ,dan merupakan instrument yang paling khas dalam gamelan Gambuh. Di samping suling Gambuh , instrument lain seperti gumanak,kangsi,rincik,gentorag,klenang,dan kenyir juga menentukan ke khasan dari gamelan Gambuh. Tiga diantaranya (kenyir,gumanak,dan,kangsi) tidak ditemukan pada gamelan lain di Bali Zaman kini satu lagi (gentorag) sangat jarang. Instrument terpenting adalah Rebab. Walaupun gamelan lain mempergunakan suling dan rebab , namun pada gamelan lain tidak merupakan suatu hal yang mutlak harus ada.

Seperti disebut di atas, intrumentasi gambelan gambuh menduduki posisi yang unik di dunia karawitan Bali. Misalnya, walaupun batang (pokok) gending pada gambelan lainnya biasanya dibawa oleh intrumen tertentu (seperti jegogan,jublag dan panyacah pada gamelan Gong), gamelan Gambuh tidak menggunakan alat serupa. Melodi dibawa sepenuhnya oleh beberapa suling yang sangat panjang, diiringi satu atau buah rebab; tidak ada lapisan melodi lain.itu berarti, semua unsur melodi – pokok, hiasan, dan segala variasi – terkandung dalam melodi suling dan rebab.

 

Intrumentasi Gambuh dalam Aji Ghurnita

Di dalam lontal Aji Ghurnita juga didaftarkan intrumentasi gamelan Gambuh, yang disebut Gamelan Meladprana (Rembang 1973 :2-3) Kutipannya adalah sebagai berikut :

Kunang purwakaning gegambelan, denya meladprana

tiniladan sakeng Smaralaya denya rum amanis karungu,

 yogya huni hunyanira sang natha ratu amangun restha ing

Karaton ira. Kalanya pinalusthananya radagading para basyanira

sang prabbu ring Yawa…

 

Asal mula gambelan ditiru menurut meladprana dari Smaralaya

yang enak didengar dan menyebabkan perasaan sang penguasa

senang di hati di keratonnya; tatkala menghibur para raja di jawa…

Kunang bebarungan :

  1. 1.      Kempul asiki pasawur paketutan ding pelok sinarungandenining

Pasawur salendro salendro.

  1. 2.      Rebab sawiji.
  2. 3.      Suling pagabab, wangunya lwih ageng dening suling pengageng sawiji,

Pasawurnya angumbang.

  1. 4.      Suling paangageng sepasang, pasawurnya ngumbang ngisep.
  2. 5.      Suling babarangan sepasang, pasawurnya ngumbang ngisep
  3. 6.      Mwah suling panitir wangunya lwih alit dening suling babarangan

Sawiji,pasawurnya ngisep alit.

  1. 7.      Kenyior satungguh, pawaangunya sekadi gangsa, dawunya katrini,

Sama pateb swara ndeng, pasawur pelok kaselendroan.

  1. 8.      Kenang sawiji sawurnya ndong pelok kasalendroan.
  2. 9.      Kajir sawiji sawurnya ndung pelok kasalendroan.
  3. 10.  Gupek apasang lanang wadon.
  4. 11.  Gumanak tigang wiji alit.
  5. 12.  Kangsi kalih tungguh alit-alit.
  6. 13.  Ricik petang tungguh alit-alit.

 

Kelompoknya terdiri dari :

  1. Satu kempul berbunyi ding slendro
  2. 2.      Satu rebab
  3. 3.      Satu suling pangabah dengan bentuk lebih besar dari suling pangageng,

Berbunyi ngumbang

  1. Satu pasang suling pengageng, berbunyi ngumbang isep
  2. Satu pasang suling babarangan, ngumbang isep
  3. 6.      Satu suling panitir, bentuknya lebih kecil dari suling babarangan, berbunyi ngisep alit
  4. 7.      Satu kenyior, bentuk seperti gangsa, daunnya teratur, semua bersuara ndeng, berbunyi pelog-slendro
  5. 8.      Satu kenong, berbunyi ndong, pelog-slendro
  6. 9.      Satu kajar, berbunyi ndung, pelog-slendro
  7. 10.  Satu pasang gupek, lanang wadon
  8. 11.  Tiga gumanak kecil
  9. 12.  Dua kangsi kecil
  10. 13.  Empat ricik kecil

 

Masih banyak lagi yang tercantum di dalam lontar Aji Ghurnita. Jadi gamelan Gambuh yang di lukiskan dalam tulisan Aji Ghurnita menggunakan suara suling yang warnanya berbeda dengan suling zaman kini.pertama, bahwa bukan hanya satu jenis tetapi empat jenis suling di sebutkan, dari yang paling besar (“suling pagabah”) sampai yang paling kecil (“suling panitir”). Sedangkan di dalam gamelan gambuh yang sekarang terdapat hanya satu jenis saja. Lebih lanjut,masing-masing jenis terdiri dari satu pasang suling, yaitu pangumbang dan pangisep. Sedangkan semua suling Gambuh yang masa kini di dalam satu barungan gamelan di harapkan sama (tidak dibedakan pangumbang pangisep).

 

Sejarah Gamelan Gambuh

Menurut seniman alam Imade Djimat selaku seniman tari di desa batuan, berdirinya gambuh di desa batuan pada tahun 993 menurut buku yang berjudul Usana jawa dan sejarah bali  yang waktu itu beliau dapat membaca di rumah bapak I Nyoman Rinda (alm) di Desa Blahbatuh. Sejarahnya pada zaman dulu ada kisah kebo taruna atau bisa di sebut dengan kebo iwo yang menyabit pepohona di Batuan atau dulunya di sebut Desa Bebaturan sampaik bersih dari Pura Yhang Tibah yang ada di Desa Cangi sampai di Desa Bebaturan.sampai sekarang pura yang ada di Desa Cangi dan di Desa Batuan itu menjadi Sejarah Purba Kala yang terlihat di dalam buku tersebut. Dan tentang perbedaannya dengan Gambuh Desa Pedungan  adalah dari segi tarian sudah berbeda antara gerak, pakem-pakem dan  dari segi ucap-ucap (dialog) yang ada di Desa Pedungan sangat berbeda dengan yang ada di Desa Batuan.

Bapak Iwayan Naka pemain sebagi pemain suling di Desa Batuan, Beliau mempelajari gambelan gambuh pada Tahun 1971 Di Batuan. Menurut beliau sejarah Gambelan Gambuh di Batuan dulunya sudah ada sejak tahun 30an. Nama dari grup atau seke Gambuh itu yaitu Gambuh Tri Wangsa dan Sila Mukti saat masih bersatu pada saat dulu masyarakat yang ada di Desa Batuan belum pecah belah, magzudnya adalah dulu di batuan msyarakatnya ada yang biasa(soroh jaba atau braya) dan berdrajat (soroh dewa, idabagus). Pada saat itu tabuh Pegambuhan di pegang oleh msyarakat yang berdrajat(soroh dewa, dan idabagus) dan dari segi tarian di pegang oleh msyarakat biasa( soroh jaba atau braya) yang kebanyakan para senimannya dari Banjar Pekandelan, yang ada di Desa Batuan seperti I Made Djimat, Kak Kakul(alm), I Nyoman Sadeg(alm) DLL. Pada tahun 1966 masyarakat di batuan pecah menjadi dua soroh. Mereka yang soroh berdrajat tidak mao satu pura dengan yang soroh biasa di pura pusah batuan, sejak itu mereka membangun  pura baru di sebelah perempatan di desa batuan. Sejak itu di Desa Batuan tidak pernah ada pementasan gambuh karena intrumentnya sudah di ambil oleh semeto atau masyarakat yang berdrajat yang pada masa itu Sekaanya yang bernama Gambuh Tri Wangsa, mereka tidak mao meminjamkan apa pun terhadaap msyarakat biasa (soroh jaba atau braya). Pada tahun 1971 ada karya agung di Pura Dalem Sukaluwih yang ada di batuan itu harus mementaskan Gambuh karya, dan pada saat itu msyarakat yang mengayomi pura itu kebanyakan dari Banjar Pekandelan, pada saat itu masyarakat Banjar Pekandelan mengundang Seka Gambuh dari para semeton itu, tetapi terlalu banyak perhitungan dan masalah biaya, Tujuanya tidak mau , makanya mereka terlalu berlika liku. Sejak itulah banjar pekandelan membuat gambuh bernama Gambuh Maya Sari yang masih menjadi toko pada saat itu adalah pak Mangku Budi yang sampai sekarang gambuh maya sari masih berjalan dan di kramatkan. Dan di Batuan Gambuh ini berdiri sejak tahun 1993, itu di latar belakangi oleh seorang seniman dari delmark yang bernaman Nyonya Kristina(alm) beliau meninggal di italia pada tahun 2008 dan beliau yang membuat Yayasan Gambuh Desa Batuan pada saat itu. Sebenarnya yayasan ini mau di serahkan ke Seka Gambuh, tetapi seka gambuh menolak karena kalau di seka di serahkan yayasannya maka yayasan itu akan hancur, karean di desa lebih kuat pertanggung jawabannya makanya di sekarang yayasan itu di kelola oleh Desa Batuan yang bernama Yayasan Gambuh Desa Pakraman Batuan.

 

Pada awalnya, teater total Gambuh adalah kesenian istana kaum bangsawan Bali tempo dulu. Pada masa kejayaan Dalem Waturenggong di abad ke 16, seni pertunjukan Gambuh adalah tontonan kesayangan seisi kraton dan masyarakat umum. Begitu tingginya gengsi kesenian ini hingga hampir setiap puri di Bali saat itu memiliki tempat khusus untuk menggelarnya yang disebut dengan bale pagambuhan.

 

Para seniman Gambuh yang menonjol direkrut menjadi seniman istana dan diberi status sosial yang terhormat. Akan tetapi seiring dengan terkikisnya era feodalisme ikut pula menggerus keberadaan seni pentas yang diduga sudah muncul di Bali pada abad ke- 10 ini,yang lakonnya bersumber pada cerita Panji.Gambuh berbentuk total theater karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama & tari, seni rupa,

 

seni sastra, dan lainnya. Kini hampir tak ada bekas pusat kerajaan yang masih memiliki bale pagambuhan. Para seniman yang terwadahi dalam sebuah sekaa yang khusus menggeluti teater Gambuh pun belakangan makin susut. Seni pertunjukan ini bahkan sudah masuk dalam katagori kesenian langka. Pementasannya hanya mungkin bisa dipergoki dalam upacara berskala besar,Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain sebagainya.

Memasuki zaman kemerdekaan seni pertunjukan Gambuh memang beralih fungsi dari kesenian istana menjadi seni pentas ritual keagamaan. Penampilan Gambuh selain dimaknai sebagai presentasi estetik namun juga menjadi kelengkapan upacara keagamaan penting tersebut. Dalam suasana yang komunal dan atmosfir yang religius, generasi tua dan muda para partisipan upacara keagamaan itu menyaksikan teater tradisi yang amat jarang dipentaskan itu.( http://hindhuartalles.blogspot.com/2012/01/tari-gambuh.html)

Pertimbangan Ethno-historis

Sejak lahirnya Gambuh pada zaman kerajaan Bali, pengaruhnya Nampak terutama pada dua bidang karawitan Bali , yaitu Wayang dan Gamelan kerrawang Semar pagulingan. Untuk wayang Gambuh , yang menarik perhatian adalah pergunaan laras pelog tujuh nada ( dengan bermacam-macam patutan atau suasana). Mengenai gamelan semar pagulingan , pengaruh dari Gambuh.

Data yang lebih nyata baru muncul pada abad ke-19. Seperti disinggung pada bab-bab lain di atas, fakta-fakta dari berbagai sumber tertulis( termasuk penyaksian beberapa orang asing) menyebut keberadaan Gambuh di sekitar dua puluh tempat di Bali. Selain itu juga ada ikonografi mengenai pemakaian instrumen Gambuh (Vickers 1985). Foto yang pertama adalah sebuah grup Gambuh adalah pada bukunya Jacops (1883) , seorang Dokter yang ditugaskan ke Bali oleh pemerintah Belanda. Foto ini memperlihatkan grup yang terdiri dari dua suling panjang , sebuah kajar , sepasang kendang , dan sebuah kempur , yaitu instrumentasi yang kurang lngkap menurut kebiasaan zaman sekarang    ( Vickers 1985: 152) setelah itu ada foto sebuah Gamelan di Klungkung , yang dibuat pada tahun 1922 oleh Jaap Kunst. Tetapi instrument grup ini pun kurang , khususnya Suling dan Rebab ( yang sekarang ada di Moseum Nasional Jakarta) tidak keliatan pada foto itu. Hal ini mungkin disebabkan puputan Klungkung yang terjadi pada tahun 1908, di mana grup yang sebelumnya dilindungi puri Klungkung mengalami kemerosotan yang cepat.

Pada tahun 1930an , beberapa budayawan masih sempat menyaksikan pertunjukan Gambuh dengan rombongan besar ( seperti tindakan pada sebuah upacara untuk Raja Karangasem). Tetapi secara umum pertunjukan Gambuh semakin jarang karena Kerajaan Bali sebagai pengayomnya yang hamper punah , seperti dibahas secara mendetail di bab “ Tinjauan Seni Gambuh”

Jadi sistem laras saih pitu di duga sudah ada di bali sebelum munculnya Gambuh (dan masih terdapat utuh pada gamelan kuno seperti gambang, luang,dll); bahwa perbatasan historis pada kerajaan majapahit telah di akui sebagai perbatasan penting di dalam perkembangan-perkembangan gambelan yang ada di bali; bahwa musik Gambuh adalah contoh kebudayaan Majapahit yang paling penting dalam bidang karawitan bali. (baca: mencerminkan kebudayaan kerajaan, dan mempengaruhi gambelan-gambelan lain)

Menurut Sinti (1996:1) Pemilihan istilah tergantung gamelan yang mana di bicarakan. Biasanya istilah saih di pakai dalam gambelan gambang ,luang,slunding, dan vokal kidung; patutan dipakai dalam gambelan Semara Pagulingan,Palegongan,Gong,angklung dan Gender Wayang; dan istilah tetekep di pakai dalam gamelan Gambuh. Sedangkan istilah patet atau pathet di pakai dalam jawa. Walaupun masing-masing istilah mempunyai arti yang sedikit berbeda, dalaam naskah ini dianggap sama.

 

‘’Intrument Gambuh yang ada di Desa Pakraman Batuan’’

 

Suling

Suling Gambuh adalah yang ukuranya paling panjang dan besar disbandingkan dengan jenis suling lainya. Suling di Gambuh di Pedungan 75-80 cm garis tengahnya 4-5 cm. ujung bagian atasnya tertutup sedangkan ujung bawahnya terbuka. Suling dilengkapi dengan dua jenis lubang , yaitu lubang pengatur nada dan lubang pengatur udara. Lubang pengatur nada sebanyak enam buah terletak pada bagian depan , dan lubang tiup biasa disebut lubang pemanis terletak pada ujung atas bagian belakang. Lubang nada dalam suling mempunyai dua jenis jarak , yaitu jarak yang sama dan tidak sama. Jarak yang tidak sama adalah diantara lubang ketiga dengan keempat. Suling Gambuh ditiup pada ujungnya , pada bagian suling , menggunakan siver yang dibuat dari irisan bamboo atau daun lountar.

Rebab

Rebab terbuat dari kayu yang terdiri dari beberapa bagian , yaitu menur,kupingan, irung-irung ,bantang, batok,batis dan pengaradan.

Kendang

Kendang Gambuh di Pedungan menggunakan kendang krumpungan. Karena ,suara krumpung (yaitu suara nyaring yang dihasilkan dari pinggir muka kecil) merupakan cirri khas kendang ini, dan mengambil peran yang penting dalam mengatur dinamika sebuah gending”. jenis kndang krumpungan ada dua buah , yaitu satu kendang lanang dan kendang wadon. Kedua jenis suara kendang tersebut dibedakan dalam hal tinggi redahnya suara kendang , yakni suara kendang lanang relative lebih kecil daripada kendang wadon.

Kajar 

Kajar pada pegambuhan moncolnya pesek yang terbuat dari perunggu yang dipukul dengan panggul kayu.

Rincik (ricik)

Ricik dalam Gamelan Gambuh berfungsi juga untuk memperkaya ritme. Dalam hal ini tidak jauh beda dengan salah satu fungsi kajar , yaitu mengikuti pukulan kajar , yaitu mengikuti pukulan kendang.

Klenang

Klenang adalah instrument yang bermoncol (bagian yang menonjol) bahanya dari l perunggu, klenang pegambuhan di Pedungan ditempatkan pada tatakan kayu , dan dipukul dengan sebuah panggul kayu.

Kenyir

Kenyir adalah instrument yang punya hubungan erat dengan klenang karena pukulannya terus bergantian. Tetapi dari segi fisiknya sangat berbeda klenang tergolong sebagai instrument bermoncol ,sedangkan kenyir termasuk instrument bentuk bilah seperti pemade , kantilan ,dll.

Gumanak

Gumanak adalah instrument yang hanya terdapat pada gamelan Gambuh saja. Bentuknya adalah selinder kecil yang terbelah dan bahannya perunggu. Di pedungan hanya dua buah Gumanak dipakai.

 

Kangsi

Kangsi adalah sepasang ceng-ceng kecil yang bahannya dari perunggu dan diisi tangkai bambu. Tangkai itu bercabang dua sehingga kedua piringan ceng-ceng saling berhadapan.

Gentorag

Gentorag adalah sebuah instrument yang terdiri dari kumpulan genta-genta kecil bahannya terbuat dari perunggu. Gentora di Pura Puseh Pedungan berjumlah 25 buah , digantung dirangkai pada tiga lingkaran , yang lebih besar dibagian bawah dan yang lebih kecil di bagian atas , sehingga bentuk keseluruhannya seperti kerucut.

Kempur

Kempur pada Gambelan Gambuh adalh instrumen yang fungsinya menandai peredaran struktur dan khususnya menunjukan akhir siklus (finalis) .

keterangan

Gamelan yang lengkap memerlukan tenaga kurang lebih 17 orang.Instrumentasi Gamelan Gambuh menduduki posisi yang unik di dunia karawitan Bali. Selain kelompok pembawa melodi, gamelan Gambuh terdiri dari berbagai instrumen perkusi , yaitu alat-alat yang dipukul dengan tangan atau panggul. Jika di analisa satu per satu jelas bahwa masing-masing alat perkusi ini mempunyai fungsi musikal yang berbeda.

 

 

Gending-gending yang ada di Gambuh Desa Batuan

 

 

Tetekep Selisir                                                       Tetekep Sunaren                 

Gending Gineman                                                        Gending Gineman                                                                                                                                                     

Gending Tabuh Gari                                                   Gending Gadung Melati                                            

Gending Subandar                                                      Gending Tembang Uyung

Gending Lasem                                                           Gending Gabor

Gending Sekar Eled                                                    Gending  Brahmana

Gending Batel Selisir                                                 

Gending Ginanti

Gending Geguntangan

Gending Pelayon

 

 

 

Tetekep Baro                                                           Tetekep Lebeng

Gending sekar gadung                                                  Gending Gineman Sumeradas

Gending Kunjur                                                              Gending Sumeradas                                      

Gending Batel Baro                                                       Gending Kumambang                                                           

Gending Bapang Gede                                                  Gending Lengker                              

Gending Jaran sirig                                                      Gending Biakalang                                       

 

 

 

 

 

 

 

Daftar pustaka

1  .Gambuh Drama Tari bali, Tinjauan seni, Makna Emosional dan Mistik, Kata-kata Teks,       Musik Gambuh Desa Batuan Dan Desa Pedungan.

2 .( http://hindhuartalles.blogspot.com/2012/01/tari-gambuh.html)

 

 

I MADE DJIMAT

I Made Djimat terlahir di Desa Batuan, Sukawati, gianyar pada  tahun 1948, dalam keluarga seniman. Sang ayah I Nyoman Reneh telah tiada tahun 1967  memberikan aliran darah seni. Made Djimat adalah juga putra dari maestro tari dari batuan (alm) Ni Ketut Cenik. Sosok Made Djimat memang memiliki bakad seorang seniman yang sangat luar biasa. Sejak kecil Made Djimat sudah menunjukan kemampuannya di bidang seni tari. Pada usianya yang 5 tahun dia sudah mampu menguasai tarian yang di ajarkan oleh ibunya (alm) Ni Ketut Cenik yang di kenal sebagai seniman besar joged pingitan. Tidak sampai di sana, Djimat kecil juga menimbal ilmu seni tari dari Anak Agung Raka dan tari kebyar duduk dari seniman terkenal (alm) Mario. Hanya dengan melihat-lihat saja ketika ibunya memberikan bimbingan tari di beberapa tempat di Bali seperti Bangli, Jembrana, dan Karangasem , Made Djimat mampu menguasai berbagai seni tari saat itu. Made Djimat di kenal sebagai anak yang tekun di saat memperhatikan seni, Sehingga dia betah berjam-jam menunggu dan menyaksikan ibunya Ni Ketut Cenik mengajar tari. Dengan bakadnya itu Djimat mampu encari bentuk chiri khas tari yang di kuasainya. Djimat mampu menarikan tarian klasik, Penggambuhan, Calonarang, Topeng, dan sejumlah tarian tradisi lainnya.

Dari umur bocah lima tahun, Suami dari (alm) Ni Ketut panti terus menekuni seni kususnya seni tari tanpa henti. Bahkan kiprahnya di dunia seni tari pernah meraih berbagai juara yang menjadi modal untuk terus meningkatkhan kemampuannya di dalam berkarya. Sosok seniman ini sangat mahir menarikan tarian baris setelah itu dirinya kemudian melangkah dengan tarian jauk manis. Dan dengan tarian ini Made Djimat juga mampu mendapat berbagai juara. Di tahun 1961 dan tahun 1964  beliau berhasil mendapatkan gelar juara 1 di dalam lomba tari baris di Kota Denpasar. Di usianya yang 12 tahun, Made Djimat terjun di dunia penggambuhan dengan mengambil peran sebagai tari patek di dalam cerita penggambuhan yang artinya sebagai antek-antek dari prabu prabangsa.

Kepiawaian dan kharisma di atas pentas yang dimiliki I Made Djimat, pria berpenampilan sederhana itu, mengantarkan dirinya “terbang” ke berbagai negara di belahan dunia.Negara yang pernah dikunjunginya antara lain Brasil, Malaysia, Singapura,  Jepang, India, Belanda, Kolombia,  Australia, Denmark, Austria, Korea, Argantina, Jerman, dan Prancis.Selain itu juga pentas dalam berbagai kegiatan di tingkat lokal Bali, nasional, bahkan pernah menjadi  penari istana pada zaman pemerintahan Presiden Ir Soekarno, yang setiap saat pergi ke Jakarta untuk menghibur tamu-tamu negara.

I Made Djimat, pria kelahiran Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali 31 Desember 1948 dikenal sebagai seniman serba bisa, yang senantiasa mendapat kesempatan mengadakan lawatan ke luar negeri, guna menghibur masyarakat internasional. Suami dari Ni Ketut Panti (alm) menunjukkan prestasi yang cukup menonjol dalam bidang seni, antara lain menciptakan karya monumental dramatari dan fragmentasi “Godogan” atau genggong yang diwariskan dan dikembangkan sebagai sebuah seni tontonan untuk turis di daerah tujuan wisata Pulau Dewata.Salah seorang maestro tari yang dimiliki masyarakat Bali dewasa itu telah mengabdikan dirinya sebagai seorang seniman tari dan tabuh sejak umur tiga tahun. Ia mendapat pembinaan dari ayah kandungnya I Nyoman Reneh (alm) seorang seniman tari dan ( pelukis) dan didikan dari ibu kandungnya yang seorang penari profesional  bernama Ni Ketut Cenik (alm).

Ayah dari tiga putri dan seorang putra itu sejak umur lima  tahun bersama dengan sekaa kesenian desa setempat mulai menari tampil  di hadapan masyarakat umum di sejumlah Desa di Bali. Keempat putra-putrinya alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar terdiri atas Ni Wayan Wartini SSn, Ni Made Pasti, SSn, Nyoman Budi Artha, SSn dan Ni Ketut Maringsih, SSn. Kakek dari sepuluh cucu dari keempat putra-putrinya yang sudah membentuk rumah tangga itu sejak umur lima tahun mendalami tarian-tarian klasik Bali  antara lain tari topeng, dramatari gambuh, calonarang, dan legong dengan gaya (stail) Batuan, Gianyar. Bahkan hingga kini sosok  I Made Djimat yang tampak masih sehat bugar pada usia “senjanya” itu adalah satu-satunya seniman yang sangat mendalami dan memahami tarian-tarian klasik Bali. Pada masa kejayaannya itu ayah dari I Nyoman Budi Artha terplilih sebagai penari istana pada zaman Presiden Ir Soekarno, setiap saat harus menari untuk menyambut dan menghibur tamu-tamu negara. “Dari istana negara Jakarta itu nama Made Djimat semakin dikenal secara nasional maupun internasional, sehingga mendapat kesempatan pentas ke berbagai negara di belahan dunia. Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya dalam penggalian, pengembangan dan pelestarian seni budaya Bali, sosok I Made Djimat kini menjadi salah satu dominasi penerima seni Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali.

Satu tim dari instansi terkait menurut  Kepala Seksi  Perfilman dan Perizin pada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I  Wayan Dauh masih melakukan seleksi secara ketat terhadap mereka yang dinilai berjasa dalam pengembangan seni budaya Bali hingga sekarang eksis di tengah himpuran budaya global. Seniman yang lolos seleksi dari tim instansi terkait tersebut mendapat anugrah Dharma Kusuma yang diserahkan pada puncak Hari Ulang Tahun (HUT) ke-53 Pemerintah Provinsi Bali, 14 Agustus 2011. Tunjukkan keindahan budaya.Sosok I Made Djimat pada tahun 1963 ketika berusia 15 tahun mulai menapakan dan memperlihatkan keindahan seni budaya Bali kepada masyarakat internasional. Kesempatan pentas ke mancanegara itu setiap tahunnya antara empat sampai lima kali dan lawatan ke luar negeri itu dilakoninya sampai sekarang, hampir tidak ada satu negarapun yang dilewatkan di lima benua dii dunia. Semua itu dilakukan I Made Djimat untuk memperlihatkan keindahan dan pesona kesenian Bali kepada masyarakat internasional, disamping mengajar banyak seniman asing yang ingin mempelajari dan mendalami tabuh dan tari Bali.

Maestro I Made Djimat dengan senang hati mengajar murid-muridnya warga negara asing, disamping mendidik generasi muda Bali untuk mewarisi seni budaya leluhurnya.Selain itu juga melatih seniman maupun mahasiswa yang ingin mendalami tabuh dan tari Bali yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Upaya pencetak generasi untuk mewarisi seni budaya Bali tidak hanya dilakukan di rumah atau Balai Banjar di lingkungan Desa Batuan, Gianyar, namun dilakukan ke desa-desa di delapan kabupaten dan satu kota di Bali.Usaha mencetak seniman di tingkat lokal, nasional dan internasional itu tetap dilakoninya hingga sekarang, tidak terhitung jumlah ratusan bahkan ribuan orang terampil dalam melakoni tabuh dan tari Bali. Bahkan banyak di antara murid-murid binaannya itu kini menjadi penari-penari terkenal di Indonesia maupun  di dunia internasional. Seni menjadi salah satu tempat pengabdian bagi I Made Djimat beserta keluarganya, disamping aktif melakukan pementasan untuk kelengkapan kegiatan ritual keagamaan di berbagai tempat suci (pura) di Pulau Dewata. Cukup membanggakan dari sosok I Made Djimat yang sangat memperhatikan re-generasi seni budaya Bali terutama dalam lingkungan keluarga, karena  secara keseluruhan empat generasi masih mampu mempertahankan dan mewariskan kehidupan sebagai seniman. Keempat generasi itu mampu menguasasi tabuh dan tari Bali dengan baik  dari sang anak, hingga ke cucu-cucunya. Bahkan seluruh keluarga I Made Djimat kehidupannya tidak bisa dipisahkan dengan seni, baik tari maupun tabuh.

Sosok I Made Djimat,  selama menjalankan kehidupan dalam bidang seni cukup  berhasil menghimpun dan membina organisasi-organisasi kesenian  di Bali, terutama di daerah gudang seni Kabupaten Gianyar.Bahkan dalam lingkungan keluarga berhasil membangun tempat pertunjukan yang berkapasitas ratusan orang, berbagai jenis perangkat gamelan  dan  merintis  sebuah organisasi kesenian  Yayasan   Panti Pusaka Budaya yang khusus menampilkan kesenian-kesenian klasik, tradisi, dan kesenian-kesenian kuno Bali lainnya.Demikian pula membimbing anaknya  I Nyoman Budi Artha, untuk membangun sebuah Yayasan Seni, yakni “Tri Pusaka Cakti” yang  bertujuan untuk mempertahankan dan melestarian kesenian Bali, terutama yang klasik dan kuno.

Berkat kepiwaian dan bakat alam serta darah seni yang mengalir dari kedua orang tuanya, ia banyak mendapat pesanan pentas, baik secara nasional maupun internasional, di samping sebagai pembicara dalam berbagai kegiatan.Ia pernah tampil sebagai pembicara dalam workshop saat mengadakan lawatan ke luar negeri antara lain Odin Teatret di Denmark, Teater Memorial di Bagota Kolombia, Teater Du Sol Lei di Prancis, dan masih banyak lagi teater lainnya di belahan dunia.

Memasuki masa tuanya yang sekarang, beliau masih tetap mengajar. Banyak turis dari manca negara berdatangan untuk belajar seni tari dan tabuh. Selain turis, beliau juga sering mengajar orang lokal yang ingin mendalami ilmunya di dalam seni pertunjukan.

JOGED GANDRUNG(PINGITAN)

YouTube Preview Image

JOGED PINGIT(GANDRUNG)

 

DIFINISI

Joged Gandrung atau biasanya disebut joged pingitan mempunyaimciri khas tersendiri. Misalnya dari segi iringan tarian ini memakai gambelan gandrung. Yang menciptakan tari joged pingitan ini adalah ibu dari I made Djimat yang bernama Ni Ketut Cenik(ALM), dari desa batuan,kecamatan sukawati gianyar bali,” Tari ini biasanya di pentaskan pada waktu tarian calonarang atau sebelum calonarang, Tarian ini berbau magis. Dan cerita dari joged ini di ambil dari cerita calonarang.

 

COMENT

Dari segi tampilan gambar dari vidio ini, tampilan lampunya sangat terang jadi dari segi gambar kelihatan agag cerah dan kurang jelas.Dan dari segi suara masih kurang jernih dan ada beberapa alat atau instument yang belum kedengaran jelas. Tampilan gambarnya kurang maksimal dan kurang menarik.tapi di samping itu pasti ada baiknya kalau sebelum di tayangkan vidio ini kita cekdulu dengan kejernihan suara,gambar,dan tampilan.

Sekian dari saya muda-mudahan bermanfaat dan kalau ada yang salah/tidak berkenan di hati anda saya mohon maaf  dengan sebesar-besarnya karena itu baru menurut pandangan saya, tapi kalau pandangan orang lain pasti berbeda.ok sekian trimakasi.

 

 

GAMBELAN SEMARA PAGULINGAN DI BANJAR TENGAH BATUAN

2.1 Asal Mulanya

Sulit mengatakan secara pasti kapan sesungguhnya di Banjar Tengah Batuan mulai ada Gambelan Semara Pagulingan. Kesulitan ini terletak pada sedikitnya data-data yang ada untuk dijadikan bahan dalam menelusuri asal mulanya.

Berdasarkan prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Caka (1022 Masehi), pada lembar II.b baris 3 dan lembar IV.b baris 5-6 disebutkan sebagai berikut:

II.b.3 “kunang yan hanagending, abonjing, amukul.masuling, dan lain sebagainya” (Goris, 1954-57).

IV.b.5 “kunang yan hana agending, amukul, i thaninya”.

6 “tan duduken tkapning ngagending, dan sebagainya” (Goris, 1954-99).

Terjemahannya:

II.b.3 Jika ada penyanyi, pemain angklung bamboo, pemukul gambelan, peniup seruling, dan sabagainya.

IV.b.5 Jika ada penyanyi, pemukul gambelan, di wilayah desanya

6 Tidak dikenai iuran oleh ngagending (pejabat seksi kesenian.

Adanya prasasti seperti diatas, dengan menyebutkan kata-kata abonjing, amukul, masuling dan agending, berarti pada abad ke 11 tepatnya tahun 1022 Masehi sudah ada sejenis alat musik yang dipakai untuk mengiringi upacara Desa Batuan. Kemungkinan dari alat musik inilah yang menjadi cikal bakal dan berkembang menjadi berbagai jenis gambelan termasuk gambelan Semara Pagulingan.

Tjokorde Gde Oka Karang pewaris Puri Negara berpendapat, bahwa kesenian sudah ada di Desa Batuan pada abad XVII tepatnya pada tahun 1658 yang didasarkan pada adanya babad Timbul di Sukawati.

Pada mulanya fungsi Semara Pagulingan di Br. Tengah Batuan hanya untuk mengiringi Pasutri yang bertempat di Jaba Tengah Pura Desa Batuan. Pesutri adalah suatu tarian sebagai cetusan hati, dalam mewujudkan serta menyatakan rasa bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk memohon perlindungan dan keselamatan. Pesutri dipersembahkan karena rasa cemas masyarakat setempat, akan adanya I Gede Macaling (dari Nusa penida) yang sewaktu-waktu akan datang mengganggu ketentraman masyarakat Batuan dengan menjangkitkan bermacam-macam penyakit (wabah).

Dapat disimpulkan bahwa Semara Pagulingan Br. Tengah Batuan sudah ada pada saat pemerintahan I Dewa agung Anom pada abad XVII.

Adanya Gambelan Semara Pagulingan di Br. Tengah Batuan berasal dari Br. Jelaka. Menurut I Nyoman Sadeg penuturan ayahnya I Made Rata (almarhum) diceritakan sebagai berikut:

Kira-kira pertengahan abad XVII di Br. Jelaka sudah ada sebuah barungan gong, satu-satunya gong yang pertama ada di Desa Batuan. Lama kelamaan karena penduduk semakin bertambah padat, maka Br. Jelaka dibagi menjadi dua, yaitu Br. Jelaka dan Br. Tengah. Dibaginya banjar Jelaka ini bukan karena masalah sesuatu yang kurang baik melainkan dibagi secara terhormat. Sebagai bukti dibagi secara terhormat, oleh anggota Br. Jelaka disumbangkan beberapa instrumen yang mereka miliki, seperti jublag, jegogan, kajar, sepasang gangsa dan gong. Instrumen-instrumen lain untuk melengkapi Semara Pagulingan dilengkapi sendiri oleh warga Br. Tengah seperti : gender rambat, kendang, cengceng, kelenang dan suling.

Pada tahun 1936 gambelan Semara Pagulingan ini ditambah instrumennya, yaitu sepasang gangsa yang pada mulanya berbilah lima dibuat menjadi berbilah sepuluh ke nada yang lebih kecil, dan sepasang gangsa lagi (berbilah sepuluh) yang nada-nadanya dibuat berstandar pada nada terompong.

Pada tahun 1965, waktu memuncaknya G 30 S/PKI yang melanda Negara RI, berpengaruh juga terhadap kondisi politik di Desa Batuan. Situasi dan kondisi Desa Batuan menjadi retak akibat adanya dua organisasi politik yang sama-sama ingin berkuasa yaitu PNI dan PSI. Keadaan memburuk itu merupakan kesempatan yang baik bagi Br. Tengah untuk memiiki gambelan Semara Pagulingan tersebut. Berkat jerih payah dan prakarsa I Ketut Gersyuh pada tahun 1966 gambelan tersebut berhasil di kumpulkan dan ditarik menjadi milik Br. Tengah secara resmi.

2.2 Organisasinya

          Di tengah-tengah masyarakat Desa Batuan dengan berbagai kesenian yang dimiliki terdapat organisasi atau perkumpulan yang lazim disebut “Sekaa”. Penamaan itu sesuai dengan bidang-bidang yang ditekuni, seperti sekaa Genggong, sekaa Gambuh dan lain-lain. Demikian juga dengan gambelan Semara Pagulingan yang dimiliki Br. Tengah, pengelolaannya diserahkan kepada sekaa yang menamakan dirinya sekaa “ Manisija Budaya”.

Adapun tangung jawab dari sekaa yaitu :

  1. Memelihara gambelan yang dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
  2. Menjaga nama baik desa, selama sekaa masih aktif dalam kegiatannya.
  3. Melakukan kewajiban sebagai penabuh Semara Pagulingan, apabila dalam upacaraa yadnya memerlukan pengiring berupa Semara Pagulingan.

Di samping itu, sekaa juga memiliki keistimewaan dan keringanan sebagai berikut:

  1. Tidak dilibatkan dalam kegiatan lain kecuali sebagai penabuh, selama gambelan Semara Pagulingan itu mengiringi upacara Yadnya yang ada di Desa Batuan.
  2. Instrumen yang rusak dan hilang bukan merupakan tanggung jawab sekaa .
  3. Hasil pementasan di luar keperluan alat (kaupah), sepenuhnya merupakan milik sekaa.

Adapun jumlah anggota staf beserta pengurus sebanyak 30 orang. Susunan kepengurusannya yaitu :

Ketua                                         : Dewa Putu Gambar

Sekretaris/bendahara            : I Nyoman Artika

Pembina                                    : I Made Djimat

Penasehat (penua)                  : I Nyoman Sadeg dan I Ketut Gersyuh

Juru arah                                  : Dewa Ketut Sandi

Pembantu umum                    : Semua anggota

Peraturan yang berlaku di organisasi ini tidak begitu ketat, tidak ada suatu penekanan atau sanksi berat yang dikenakan terhadap anggota, karena organisasi ini bersifat sosial.

2.3 Perkembangannya

Apabila kita meninjau tentang perkembangan gambelan Semara Pagulingan di Br. Tengah Batuan, maka tidak lepas dengan masyarakatnya sendiri, sebab masyarakat merupakan pendukung utama dan tempat hidup kesenian itu.

Adapun perkembangan gambelan Semara Pagulingan Br. Tengah Batuan dari tahun 1966 hingga sekarang menurut keterangan Made Djimat, sebagai berikut:

Selama 16 tahun (1966-1982) gambelan ini terpendam dan tidak berfungsi. Tidak berfungsinya gambelan ini disebabkan oleh :

  1. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap fungsi gambelan yang sebenarnya.
  2. Kurangnya kesadaran dari setiap sekaa, sehingga sulit berkembang.
  3. Tidak adanya perhatian dan pembinaan dari pemuka-pemuka setempat khususnya yang berkompeten dalam bidang tersebut.

Melihat keadaan tersebut Made Djimat berkemauan keras untuk membangkitkan gambelan ini agar dapat berfungsi. Pada bulan Agustus 1982 gambelan ini berhasil dikumpulkan melalui organisasi pemuda, sehingga  tanggal 20 Oktober 1982 berdiri sekaa “Manasija Budaya. Pada tahun 2002 gambelan ini sudah tidak aktif lagi Karena sekaa atau penabuhnya itu sudah tidak aktif atau sudah kebanyakan menjadi tua dan tidak ada generasi penerusnya.Karena dari itu gambelan ini tidak ada yang merawatnya, di banjar saya sendiri tempatnya di Br. Tengah ini gambelan ini sangat tidak di hormati oleh anak-anak muda di lingkungan saya sendiri. Padahal gambelan ini sangat sakral dan ada unsur-unsur religiusnya tetapi masyarakat di sekitar saya ini tidak berpikir sampai kesana.

Dulu gambelan ini sangat sakral dan di hormati oleh orang-orang/masyarakat yang ikut menabuh di pura desa untuk mengiringi tarian pesutri yaitu tarian sakral yang sampai sekarang masih di lestarikan. Tapi sekarang di pura desa sudah memiliki gambelan dan tidak lagi menggunakan gambelan yang ada di banjar saya. Sejak itu gambelan ini tidak lagi berfungsi. Saya sangat perihatin dengan hal ini, saya akan mencoba membangkitkan gambelan ini menurut petunjuk kakek saya I Made Djimat dan kakek almahum I Nyoman Sadeg dengan proses yang sangat detail dan pelan-pelan dari membuat sekaa anak-anak dan remaja, saya juga harus mempelajari gending-gending klasiknya. Saya tidak tahu tentang gendingnya karena penabuh aslinya sudah ada yang meninggal dan sudah tua. Dan yang lebih parah mereka tidak mao memberikan catatan atau satu pun gending yang mereka tahu, saya jadi heran dengan semua ini, tetapi saya tidak akan menyerah begitu saja. Menurut bapak Nyoman Artika S.pd memang sulit membentuk sekaa gong, apa lagi anak-anak beliau bilang kalau membuat sekaa gong anak-anak sangat lama prosesnya perlu kesabaran dan konsentrasi yang bagus. Mudah-mudahan saya bisa dan berhasil mewujudkhan cita-cita dari leluhur saya untuk membangkitkan gambelan yang sudah hampir punah dan banyak yang sudah rusak ini saya akan berusaha membicarakan soal ini kepada kelian adat saya sendiri semoga saja bisa di bantu dan bisa bangkit seperti dulu lagi.

2.4 Fungsinya dalam Masyarakat

Gambelan jika ditinjau dari segi fungsi dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:

  1. Gambelan sebagai unsure pendidikan

Suatu bukti bahwa gambelan itu berfungsi sebagai unsur pendidikan bagi masyarakat luas adalah jelas bahwa dengan meresapi keindahan lagu dari gambelan itu sendiri akan menggugah emosi jiwa kearah peningkatan yang lebih halus, sopan, mesra, agung dan wibawa. Sistem menabuh bersama (puluhan) orang dengan harmonisasi bersama menciptakan suara yang banyak menjadi satu kedengarannya.

  1. Gambelan sebagai iringan tari

Gambelan sangat erat hubungannya dengan tari-tari bali. Demikin banyaknya jenis tari-tarian di bali sehingga sulit di buktikan adanya tari tanpa iringan musik.

  1. Gambelan dalam Pelaksanaan Agama dan Adat

Dalam hubungannya dengan pelaksanaan agama jelas kita lihat dari jumlah tempat suci atau pura yang terdapat di bali, yang masing-masing tempat suci tiap 6 bulan sekali atau 210 hari mengalami upacara piodalan (persembahyangan).Sedangkan dalam hubungannya dengan adat di Bali alat gambelan ini banyak dipakai tatkala mengiringi mayat ke kuburan, upacara potong gigi, perkawinan, dan sebagainya.

Kemudian apabila kita mengungkap fungsi gambelan Semara Pagulingan di Br. Tengah Batuan dalam kaitannya dengan fungsi gambelan seperti diatas, maka dapat diungkapkan sebagai berikut:

  1. Sebagai Karawitan Instrumental
  2. Sebagai Karawitan Pengiring Tari
  3. 1.     Sebagai Karawitan Instrumental

Sebagai karawitan instrumental, gambelan Semara Pagulingan ini berfungsi menyajikan tabuh-tabuh petegak, untuk mengiringi semua jenis upacara Yadnya seperti: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan Butha Yadnya.

Fungsi gambelan Semara Pagulingan ini dalam upacara Dewa Yadnya disuguhkan serangkaian dengan upacara persembahyangan di Pura Adat Batuan, Pura Puseh, Pura Pasek, Pura Silamukti dan lain-lain. Adapun salah satu fungsinya yang sangat penting adalah pada waktu piodalan di Pura Desa Adat Batuan, upacara belum dianggap selesai tanpa disertai gambelan.

  1. 2.     Sebagai Karawitan Pengiring  Tari

Gambelan Semara Pagulingan ini dalam fungsinya sebagai pengiring tari, kiranya cukup jelas sebagaimana telah disinggung terdahulu dimana gambelan ini telah biasa  mengiringi berbagai jenis tatian Legong seperti: Lasem, Kuntul, dan demikian juga dengan jenis tarian lain. Disamping itu, gambelan ini sering dipakai untuk mengiringi dramatari calonarang yang pentas di luar daerah Batuan yang bersifat hiburan semata-mata.

Satu lagi fungsinya yang terpenting adalah untuk mengiringi “Pesutri” dalam setahun sekali selama tiga bulan atau 105 hari, dari sasih kanem sampai sasih kasanga, yang bertempat di Jaba Tengan Pura Desa Adat Batuan.

sumber :

  1. Aryasa,  B.A. I Wayan Madra, Perkembangan Seni Karawitan Bali,  proyek      sasana Budaya Bali Denpasar 1976/1977.
  1. Karang, Tjokorda Putu, Babad timbul ( Sukawati ), ( Koleksi pribadi )
  1. Proyek Pengembangan Sarana Wisata Budaya Bali, Perkembangan Legong Kraton Sebagai Seni pertunjukan, 1974/1975.
  1. Suarta, I Wayan, Gambelan Semara Pagulingan Di Banjar Tengah Batuan,

Perpustakan Isi Denpasar Tahun 1986.