GAMBELAN SEMARA PAGULINGAN DI BANJAR TENGAH BATUAN

2.1 Asal Mulanya

Sulit mengatakan secara pasti kapan sesungguhnya di Banjar Tengah Batuan mulai ada Gambelan Semara Pagulingan. Kesulitan ini terletak pada sedikitnya data-data yang ada untuk dijadikan bahan dalam menelusuri asal mulanya.

Berdasarkan prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Caka (1022 Masehi), pada lembar II.b baris 3 dan lembar IV.b baris 5-6 disebutkan sebagai berikut:

II.b.3 “kunang yan hanagending, abonjing, amukul.masuling, dan lain sebagainya” (Goris, 1954-57).

IV.b.5 “kunang yan hana agending, amukul, i thaninya”.

6 “tan duduken tkapning ngagending, dan sebagainya” (Goris, 1954-99).

Terjemahannya:

II.b.3 Jika ada penyanyi, pemain angklung bamboo, pemukul gambelan, peniup seruling, dan sabagainya.

IV.b.5 Jika ada penyanyi, pemukul gambelan, di wilayah desanya

6 Tidak dikenai iuran oleh ngagending (pejabat seksi kesenian.

Adanya prasasti seperti diatas, dengan menyebutkan kata-kata abonjing, amukul, masuling dan agending, berarti pada abad ke 11 tepatnya tahun 1022 Masehi sudah ada sejenis alat musik yang dipakai untuk mengiringi upacara Desa Batuan. Kemungkinan dari alat musik inilah yang menjadi cikal bakal dan berkembang menjadi berbagai jenis gambelan termasuk gambelan Semara Pagulingan.

Tjokorde Gde Oka Karang pewaris Puri Negara berpendapat, bahwa kesenian sudah ada di Desa Batuan pada abad XVII tepatnya pada tahun 1658 yang didasarkan pada adanya babad Timbul di Sukawati.

Pada mulanya fungsi Semara Pagulingan di Br. Tengah Batuan hanya untuk mengiringi Pasutri yang bertempat di Jaba Tengah Pura Desa Batuan. Pesutri adalah suatu tarian sebagai cetusan hati, dalam mewujudkan serta menyatakan rasa bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk memohon perlindungan dan keselamatan. Pesutri dipersembahkan karena rasa cemas masyarakat setempat, akan adanya I Gede Macaling (dari Nusa penida) yang sewaktu-waktu akan datang mengganggu ketentraman masyarakat Batuan dengan menjangkitkan bermacam-macam penyakit (wabah).

Dapat disimpulkan bahwa Semara Pagulingan Br. Tengah Batuan sudah ada pada saat pemerintahan I Dewa agung Anom pada abad XVII.

Adanya Gambelan Semara Pagulingan di Br. Tengah Batuan berasal dari Br. Jelaka. Menurut I Nyoman Sadeg penuturan ayahnya I Made Rata (almarhum) diceritakan sebagai berikut:

Kira-kira pertengahan abad XVII di Br. Jelaka sudah ada sebuah barungan gong, satu-satunya gong yang pertama ada di Desa Batuan. Lama kelamaan karena penduduk semakin bertambah padat, maka Br. Jelaka dibagi menjadi dua, yaitu Br. Jelaka dan Br. Tengah. Dibaginya banjar Jelaka ini bukan karena masalah sesuatu yang kurang baik melainkan dibagi secara terhormat. Sebagai bukti dibagi secara terhormat, oleh anggota Br. Jelaka disumbangkan beberapa instrumen yang mereka miliki, seperti jublag, jegogan, kajar, sepasang gangsa dan gong. Instrumen-instrumen lain untuk melengkapi Semara Pagulingan dilengkapi sendiri oleh warga Br. Tengah seperti : gender rambat, kendang, cengceng, kelenang dan suling.

Pada tahun 1936 gambelan Semara Pagulingan ini ditambah instrumennya, yaitu sepasang gangsa yang pada mulanya berbilah lima dibuat menjadi berbilah sepuluh ke nada yang lebih kecil, dan sepasang gangsa lagi (berbilah sepuluh) yang nada-nadanya dibuat berstandar pada nada terompong.

Pada tahun 1965, waktu memuncaknya G 30 S/PKI yang melanda Negara RI, berpengaruh juga terhadap kondisi politik di Desa Batuan. Situasi dan kondisi Desa Batuan menjadi retak akibat adanya dua organisasi politik yang sama-sama ingin berkuasa yaitu PNI dan PSI. Keadaan memburuk itu merupakan kesempatan yang baik bagi Br. Tengah untuk memiiki gambelan Semara Pagulingan tersebut. Berkat jerih payah dan prakarsa I Ketut Gersyuh pada tahun 1966 gambelan tersebut berhasil di kumpulkan dan ditarik menjadi milik Br. Tengah secara resmi.

2.2 Organisasinya

          Di tengah-tengah masyarakat Desa Batuan dengan berbagai kesenian yang dimiliki terdapat organisasi atau perkumpulan yang lazim disebut “Sekaa”. Penamaan itu sesuai dengan bidang-bidang yang ditekuni, seperti sekaa Genggong, sekaa Gambuh dan lain-lain. Demikian juga dengan gambelan Semara Pagulingan yang dimiliki Br. Tengah, pengelolaannya diserahkan kepada sekaa yang menamakan dirinya sekaa “ Manisija Budaya”.

Adapun tangung jawab dari sekaa yaitu :

  1. Memelihara gambelan yang dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
  2. Menjaga nama baik desa, selama sekaa masih aktif dalam kegiatannya.
  3. Melakukan kewajiban sebagai penabuh Semara Pagulingan, apabila dalam upacaraa yadnya memerlukan pengiring berupa Semara Pagulingan.

Di samping itu, sekaa juga memiliki keistimewaan dan keringanan sebagai berikut:

  1. Tidak dilibatkan dalam kegiatan lain kecuali sebagai penabuh, selama gambelan Semara Pagulingan itu mengiringi upacara Yadnya yang ada di Desa Batuan.
  2. Instrumen yang rusak dan hilang bukan merupakan tanggung jawab sekaa .
  3. Hasil pementasan di luar keperluan alat (kaupah), sepenuhnya merupakan milik sekaa.

Adapun jumlah anggota staf beserta pengurus sebanyak 30 orang. Susunan kepengurusannya yaitu :

Ketua                                         : Dewa Putu Gambar

Sekretaris/bendahara            : I Nyoman Artika

Pembina                                    : I Made Djimat

Penasehat (penua)                  : I Nyoman Sadeg dan I Ketut Gersyuh

Juru arah                                  : Dewa Ketut Sandi

Pembantu umum                    : Semua anggota

Peraturan yang berlaku di organisasi ini tidak begitu ketat, tidak ada suatu penekanan atau sanksi berat yang dikenakan terhadap anggota, karena organisasi ini bersifat sosial.

2.3 Perkembangannya

Apabila kita meninjau tentang perkembangan gambelan Semara Pagulingan di Br. Tengah Batuan, maka tidak lepas dengan masyarakatnya sendiri, sebab masyarakat merupakan pendukung utama dan tempat hidup kesenian itu.

Adapun perkembangan gambelan Semara Pagulingan Br. Tengah Batuan dari tahun 1966 hingga sekarang menurut keterangan Made Djimat, sebagai berikut:

Selama 16 tahun (1966-1982) gambelan ini terpendam dan tidak berfungsi. Tidak berfungsinya gambelan ini disebabkan oleh :

  1. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap fungsi gambelan yang sebenarnya.
  2. Kurangnya kesadaran dari setiap sekaa, sehingga sulit berkembang.
  3. Tidak adanya perhatian dan pembinaan dari pemuka-pemuka setempat khususnya yang berkompeten dalam bidang tersebut.

Melihat keadaan tersebut Made Djimat berkemauan keras untuk membangkitkan gambelan ini agar dapat berfungsi. Pada bulan Agustus 1982 gambelan ini berhasil dikumpulkan melalui organisasi pemuda, sehingga  tanggal 20 Oktober 1982 berdiri sekaa “Manasija Budaya. Pada tahun 2002 gambelan ini sudah tidak aktif lagi Karena sekaa atau penabuhnya itu sudah tidak aktif atau sudah kebanyakan menjadi tua dan tidak ada generasi penerusnya.Karena dari itu gambelan ini tidak ada yang merawatnya, di banjar saya sendiri tempatnya di Br. Tengah ini gambelan ini sangat tidak di hormati oleh anak-anak muda di lingkungan saya sendiri. Padahal gambelan ini sangat sakral dan ada unsur-unsur religiusnya tetapi masyarakat di sekitar saya ini tidak berpikir sampai kesana.

Dulu gambelan ini sangat sakral dan di hormati oleh orang-orang/masyarakat yang ikut menabuh di pura desa untuk mengiringi tarian pesutri yaitu tarian sakral yang sampai sekarang masih di lestarikan. Tapi sekarang di pura desa sudah memiliki gambelan dan tidak lagi menggunakan gambelan yang ada di banjar saya. Sejak itu gambelan ini tidak lagi berfungsi. Saya sangat perihatin dengan hal ini, saya akan mencoba membangkitkan gambelan ini menurut petunjuk kakek saya I Made Djimat dan kakek almahum I Nyoman Sadeg dengan proses yang sangat detail dan pelan-pelan dari membuat sekaa anak-anak dan remaja, saya juga harus mempelajari gending-gending klasiknya. Saya tidak tahu tentang gendingnya karena penabuh aslinya sudah ada yang meninggal dan sudah tua. Dan yang lebih parah mereka tidak mao memberikan catatan atau satu pun gending yang mereka tahu, saya jadi heran dengan semua ini, tetapi saya tidak akan menyerah begitu saja. Menurut bapak Nyoman Artika S.pd memang sulit membentuk sekaa gong, apa lagi anak-anak beliau bilang kalau membuat sekaa gong anak-anak sangat lama prosesnya perlu kesabaran dan konsentrasi yang bagus. Mudah-mudahan saya bisa dan berhasil mewujudkhan cita-cita dari leluhur saya untuk membangkitkan gambelan yang sudah hampir punah dan banyak yang sudah rusak ini saya akan berusaha membicarakan soal ini kepada kelian adat saya sendiri semoga saja bisa di bantu dan bisa bangkit seperti dulu lagi.

2.4 Fungsinya dalam Masyarakat

Gambelan jika ditinjau dari segi fungsi dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:

  1. Gambelan sebagai unsure pendidikan

Suatu bukti bahwa gambelan itu berfungsi sebagai unsur pendidikan bagi masyarakat luas adalah jelas bahwa dengan meresapi keindahan lagu dari gambelan itu sendiri akan menggugah emosi jiwa kearah peningkatan yang lebih halus, sopan, mesra, agung dan wibawa. Sistem menabuh bersama (puluhan) orang dengan harmonisasi bersama menciptakan suara yang banyak menjadi satu kedengarannya.

  1. Gambelan sebagai iringan tari

Gambelan sangat erat hubungannya dengan tari-tari bali. Demikin banyaknya jenis tari-tarian di bali sehingga sulit di buktikan adanya tari tanpa iringan musik.

  1. Gambelan dalam Pelaksanaan Agama dan Adat

Dalam hubungannya dengan pelaksanaan agama jelas kita lihat dari jumlah tempat suci atau pura yang terdapat di bali, yang masing-masing tempat suci tiap 6 bulan sekali atau 210 hari mengalami upacara piodalan (persembahyangan).Sedangkan dalam hubungannya dengan adat di Bali alat gambelan ini banyak dipakai tatkala mengiringi mayat ke kuburan, upacara potong gigi, perkawinan, dan sebagainya.

Kemudian apabila kita mengungkap fungsi gambelan Semara Pagulingan di Br. Tengah Batuan dalam kaitannya dengan fungsi gambelan seperti diatas, maka dapat diungkapkan sebagai berikut:

  1. Sebagai Karawitan Instrumental
  2. Sebagai Karawitan Pengiring Tari
  3. 1.     Sebagai Karawitan Instrumental

Sebagai karawitan instrumental, gambelan Semara Pagulingan ini berfungsi menyajikan tabuh-tabuh petegak, untuk mengiringi semua jenis upacara Yadnya seperti: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan Butha Yadnya.

Fungsi gambelan Semara Pagulingan ini dalam upacara Dewa Yadnya disuguhkan serangkaian dengan upacara persembahyangan di Pura Adat Batuan, Pura Puseh, Pura Pasek, Pura Silamukti dan lain-lain. Adapun salah satu fungsinya yang sangat penting adalah pada waktu piodalan di Pura Desa Adat Batuan, upacara belum dianggap selesai tanpa disertai gambelan.

  1. 2.     Sebagai Karawitan Pengiring  Tari

Gambelan Semara Pagulingan ini dalam fungsinya sebagai pengiring tari, kiranya cukup jelas sebagaimana telah disinggung terdahulu dimana gambelan ini telah biasa  mengiringi berbagai jenis tatian Legong seperti: Lasem, Kuntul, dan demikian juga dengan jenis tarian lain. Disamping itu, gambelan ini sering dipakai untuk mengiringi dramatari calonarang yang pentas di luar daerah Batuan yang bersifat hiburan semata-mata.

Satu lagi fungsinya yang terpenting adalah untuk mengiringi “Pesutri” dalam setahun sekali selama tiga bulan atau 105 hari, dari sasih kanem sampai sasih kasanga, yang bertempat di Jaba Tengan Pura Desa Adat Batuan.

sumber :

  1. Aryasa,  B.A. I Wayan Madra, Perkembangan Seni Karawitan Bali,  proyek      sasana Budaya Bali Denpasar 1976/1977.
  1. Karang, Tjokorda Putu, Babad timbul ( Sukawati ), ( Koleksi pribadi )
  1. Proyek Pengembangan Sarana Wisata Budaya Bali, Perkembangan Legong Kraton Sebagai Seni pertunjukan, 1974/1975.
  1. Suarta, I Wayan, Gambelan Semara Pagulingan Di Banjar Tengah Batuan,

Perpustakan Isi Denpasar Tahun 1986.