“ RESENSI GAMELAN DIGUL ’’
di balik sosok seorang pejuang
(hubunga antara Australia dan revolusi Indonesia)
Penulis : Margaret J. Kartomi.
Penerjemah : hersri setiawan.
Penerbit : yayasan obor Indonesia.
Edisi pertama : juni 2005
YOI : 488.23.8.2005
Desain cover : adjie Soeroso.
Tebal halaman : 221 halaman.
Buku ini mengisahkan sejarah tentang nasib empu pengrawit ( pontjopangrawit ) dengan seperangkat gamelan Jawa yang merupakan satu-satunya jenis dari perangkat ini karena dibuat di kamp tahanan, dahulu Niugini barat, atau yang sekarang dikenal sebagai irian atau papua barat. Perangkat gamelan ini juga merupakan perangkat gamelan pertama yang diketahui di bawa ke Australia, dan sekarang dirawat dengan baik di Archive of the scool of music konservatorium di monash university. Gamelan ini dibuat tahun 1927 oleh seorang pengerawit atau pemusik jawa “ahli” dari Surakarta, empu pontjopangrawit, juga seorang tokoh aktivis poltik yang menjadi tawanan di kamp para tapol pemerintah belanda di tanah merah digul atas, di wilayah hindia belanda dahulu. Gamelan-gamelan ini sama sekali dibuat dari bahan-bahan seketemunya saja.
Berkaitan dengan kisah gamelan ini dikaitkan juga dengan dua kisah yang bersifat sebagai pelengkap, dan sementara itu juga merupakan kisah-kisah yang berpadanan. Yang pertama tentang riwayat hidup sang pengrawit, bapak pontjopangrawit, yang kedua mengisahkan tentang peranan gamelan itu sebagai lambang persahabatan Australia-indonesia semasa dasawarsa pergolakan tahun 1940-an.
Gambelan Digul dengan instrumen-instrumennya yang besi , dan kotak – kotaknya yang terbuat dari potongan kayu kasar, jauh kurang mengesankan ketimbang ansambel desa yang paling sederhana mana pun. Namun demikian, kisah tentangnya, sebagaimana dituturkan dalam buku ini, menggugah hati dan menantang kita untuk mencari jawab. Bagaimana orang, laki-laki dan perempuan, bisa bertahan hidup dan terkadang malah berkembang di bawah kondisi yang biadab, tertindas dan terhina.
Buku kartomi tentang gambelan buatan di kamp tawanan dan pembuatnya ini berbicara tentang masalah-masalah, yang tidak hanya sekedar tentang gambelan berkotak kayu kasar, yang dibuat di kamp tawanan para tapol Indonesia di papua tahun 1930-an. Gambelan Digul telah menjadi metonim untuk perlawanan Indonesia terhadap kekuasaan kolonial Belanda, dan akhirnya juga dukungan Australia pada kemerdekaan Indonesia. Pontjopangrawit, pembuat gambelan ini, tidak hanya mewakili barisan kaum nasionalis antikolonial yang nama-namanya hilang dari sejarah, tetapi juga seorang ahli musik kraton jawa yang besar dari masa lalu, yang riwayatnya tidak tercatat karena kehidupannya sebagai hamba kraton tidak pernah memerlukan inskripsi.
Pontjopangrawit adalah orang yang mengawali hidupnya dengan sederhana, tidak berpendidikan, dan yang sejak muda hidup di kota surakarta, di daerah kerajaan jawa tengah itu, memperlihatkan bakatnya yang istimewa dalam memainkan instrumen-instrumen gambelan. Cerita kartomi yang merekonstruksi kejadian-kejadian sekitar riwayat hidupnya, begitu rinci, jarang terjadi pada seorang ahli musik seperti halnya tokoh ini. Sebagaimana kartomi tunjukkan,bahwa masih dalam umur 12 tahun pontjopangrawit sudah menjadi musisi kraton. Kedekatannya dengan kraton, yang di ikuti dengan pengangkatannya sebagai punggawa kraton, membuka jalan baginya untuk berada di tengah-tengah para ahli karawitan
Terbaik di zamannya. Seolah-olah kehidupanya memang telah di takdirkan untuk terbiasa dalam kesunyian. Kelihatanya ia akan menempuh kehidupannya dengan tenang dan jabatan yang terjamin sebagai musisi kraton, mengajar, tampil pada perhelatan-perhelatan kraton yang tak terbilang banyaknya, dalam suatu irama hidup yang bisa bermanfaat, menyenangkan dan aman tenteram.
Tapi pontjopangrawit berpandangan keras anti-kolonial dan menjalin hubungan dengan kaum komunis yang juga nasionalis kental.ia hadir pada peristiwa-peristiwa dan ambilmbagian dalam kegiatan-kegiatan yang di anggap anti-benlanda, sehingga pada tahun 1926 ia di tangkap dan di tahan. Pada tahun 1927, bersama 2.100 tapol lainnya, ia diangkut dengan kapal menuju Digul Atas di Papua Barat tengah, suatu koloni pengasingan yang baru dibuka. Di sana ia tinggal selama lima tahun, membuat gambelan dari periuk-periuk makanan, besi tua, potongan-potongan kayu dan kulit binatang, serta memimpin berbagai pagelaran genre yang menakjubkan, termasuk wayang kulit, wayang orang, ketoprak, dan acara-acara untuk menyambut tapol-tapol pendatang baru! Akhirnya pada tahun 1932 pontjopangrawit dibebaskan, dan dikirim kembali ke kampung halamannya di jawa.
Gambelan buatannya tetap ada Digul, sampai saat diangkut dengan kapal pada 1943, ketika balatentara Jepang melanggar wilayah kekuasaan Belanda di papua Barat. Rupa-rupanya Pontjopangrawit tidak pernah mengetahui, apa yang terjadi dengan gamelannya itu. Gambelan itu ada di Australia, sekarang dilestarikan dan ‘dimuseumkan’, menjadi suatu monumen bagi pembuatnya, para tapol digul Atas dan perjuangan kemerdekaan kaum nasionalis Indonesia di abad ke-20.
Sosok ini diselubungi kebisuan. Tidak seperti halnya tapol Indonesia lainya yang penulis, misalnya Pramoedya Ananta Toer, Sutan Sjahrir, Pontjopangrawit tidak menulis sepatah kata pun-baik sebelum, selama dan sesudah masa pengasingannya. Dengan begitu kita hanya bisa mereka-reka tentang kehidupan kejiwaannya selama iya di Digul Atas : Mengapa iya mengambil langkah untuk menbuat gambelan sebagai pilihan utama? Apa yang terpikir olehnya? Sebagai langkah perlawanan, atau langkah akomodatif dengan belanda yang menahanya, yang ingin membedaki wajah kemanusiaan pada kamp pengasingan di depan mata dunia? Bagaimanakah sifat hiburan yang terkandung? Pelarian? Nostalgia? Atau biasa-biasa saja, sekadar untuk melerai waktu? Bagaimana kita, sesudah berjarak dengan waktu, etos dan ruang dari kejadian-kejadian yang di ungkap kembali dalam buku ini, akan memahami seorang musisi kraton dari salah satu kraton yang paling adiluhung di Jawa Tengah itu hidup di pengasingan, di kelilingi oleh belantarapapua yang tak ramah, memimpin pagelaran-pagelaran wayang bagi sesama orang jawa yang sakit-sakitan dan patah – semangat?
Kehidupan pontjopangrawit yang diam itu dengan sangat mengejutkan ditegaskan oleh kegelapan sekitar kematianya. Kartomi dengan meyakinkan telah menunjukkan, bahwa pontjopangrawit diduga telah ditahan pada tahun 1965 berkaitan dengan persekutuanya dengan organisasi komunis dalam pergolakan hebat tahun itu, ketika pemerintah Soekarno ditumbangkan dan digantikan dengan pemerintah militer di bawah pimpinan Jendral Suharto. Ia tempatkan Pontjopangrawit dalam kemungkinan telah di bunuh di penjara,tidak lama sesudah ia di tangkap. Dan bahwa makamnya telah “ dipugar ” dan tanggal saat kematiannya diterakan berbeda, untuk menutupi kenyataan yang memalukan: bahwa seorang pahawan revolusi telah dibunuh oleh kup militer tahun 1965.
Musisi kraton Pontjopangrawit itu tentang merasa, dirinya ibarat bidak tak berdaya di tengah permainan catur semesta yang keji itu. Karena kehidupannya yang selalu tercemari oleh keterlibatan politik di masa mudanya, yang menghantui sepanjang hidupnya dan bahkan mungkin akan membunuhnya. Semuanya ini di ketahui terutama oleh kalangan ahli gambelan dan para pengagumnya sebagai guru dari Martopangrawit, seorang pangrawit besar lainnya lagi. Buku ini mengemukakan satu pandangan lain-dari seorang patriot yang mengagumkan.
Inilah salah satu dari kisah-kisah tentang Gambelan Digul, yaitu kisah tentang pembuatnya. Kisah lain yang juga dikemukakan dalam buku ini menjalin sejarah Gambelan Digul di Australia, para penabuhnya, dan pagelaran –pagelaran serta kaitannya dengan perkembangan sejarah hubungan antara Australia dan Indonesia. Agitasi politik dari sementara bekas tapol Digul Atas dan para pemain Gambelan Digul yang di angkut Australia, yaitu dari mendukung rekolonisasi belanda atas Indonesia pasca-perang Dunia II, menjadi memuncak pada dukungan Australia terhadap kemerdekaan Indonesia yang jauh mendahului pendirian negara-negara sekutu lainya. Pada saat –saat meningkatnya rasa permusuhan dan kesalahpahaman antaraa Australia dan Indonesia dewasa ini, penerbitan buku ini memberikan gambaran tentang penggalan sejarah yangh akrab, yang menuju ke arah saling percaya dan rekonsiliasi antara dua pihak.
Di dalam buku ini tidak hanya memberitahukan tentang sejarah pada pembaca. Namun ini juga bermanfaat untuk memberitahukan tentang bagaimana pahitnya perjuangan tokoh pengrawit di dalam berproses atau membuat gambelan Digul ini. Buku ini patut diacungi jempol karena berkat buku ini, banyak pendapat dari masyarakat atau si pembaca yang mengakui bahwa buku ini, bisa memeberikan penegetahuan pada masyarakat awam mengenai keberadaan gambelan Digul mulai dari latar belakang dan sejarahnya.
Meski penulis tidak membuat semua tentang gambelan ini, sedikit tidaknya kita bisa memahami bagai mana sejarah dari proses pembuatan gambelan tersebut dan lebih mudah bagi si pembaca untuk memahami isi dari buku tersebut, serta sangat mudah di cerna oleh masyarakat. Kelebihan lain dari buku ini yaitu dilengkapi juga dengan gambar-gambar Seperti: tokoh empu gambelan saat menyetel rebab ( Pontjopangrawit ),dan barungan gambelan Digul,dan lain-lain, yang bisa membuat pembaca menjadi tertarik untuk membacanya dan si pembaca mengetahui tokoh-tokoh dan sejarah tentang gambelan ini, jadi pembaca tidak merasa bosan kala membaca buku ini.
Buku ini sangat cocok dibaca oleh semua orang yang senang akan sejarah tentang kuatnya kebudayaan Indonesia untuk masyarakat Indonesia sendiri, dari sejarah dan kisahnya yang menakjubkan dan menyentuh hati tentang keberanian seseorang dan kemampuan musik, yang keduanya dapat menggairahkan semangat dan menjadi alat melawan penindasan.
Dari sekian banyak dijelaskan, menurut pendapat saya, sajian yang dijelaskan dalam buku ini sangatlah menarik, di mana dijelaskan tentang latar belakang sejarah gambelan Digul dan sejarah tentang sedikit perjalanan empu gambelan pontjopangrawit yang sangat luar biasa dan sangat menyentuh hati sekali. Kebanyakan masyarakat Indonesia tidak begitu tau tentang adanya gambelan Digul ini, karena di Indonesia sendiri belum ada.