Sejarah Gamelan Jawa

Sejarah Gamelan Jawa

Seawal-awalnya, relief gamelan nampak pada dinding Candi Borobudur yang dibangun pada abad kesembilan. Relief tersebut menampilkan sejumlah alat musik, termasuk kendang, suling bambu, kecapi, dawai dan lonceng. Pada masa Hindu-Buddha, gamelan diperkenalkan kepada masyarakat Jawa dan berkembang di Kerajaan Majapahit.

Secara tradisional sendiri masyarakat Jawa meyakini bahwa gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru Era Saka. Dewa penguasa seluruh Tanah Jawa dengan istananya yang berada di Gunung Mahendra (sekarang Gunung Lawu), daerah Medang Kamulan. Olehnya alat musik yang pertama diciptakan adalah gong, yang ketika itu digunakan untuk memanggil para dewa.

Kemudian alat-alat musik pengiring ikut diciptakan juga, untuk menyampaikan pesan yang sifatnya khusus. Hingga kemudian terbentuklah gamelan dalam wujud seperangkat komplit.

Gamelan Jawa berkembang pesat pada jaman Majapahit. Bahkan menyebar ke berbagai daerah seperti Bali dan Sunda.

Namun gamelan Jawa Tengah berbeda dengan gamelan Bali, berbeda juga dengan gamelan Sunda. Gamelan Jawa terbilang memiliki nada yang lebih lembut. Gamelan Bali cenderung rancak dan gamelan Sunda terdengar mendayu dengan dominasi seruling.

Perkembangan Gamelan Jawa

Gamelan Jawa umumnya dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang dan pertunjukan tari. Sampai kemudian berkembang sedemikian rupa, hingga mampu berdiri sebagai pertunjukan musik tersendiri. Lengkap dengan iringan suara para sinden.

Manakala berlangsung acara resmi di keraton, misalnya, gamelan diperdengarkan sebagai alunan musik pengiring. Utamanya bila salah satu anggota keraton melangsungkan upacara perkawinan khas Jawa. Sampai hari ini pun masyarakat Jawa masih menggunakan gamelan sebagai pengiring acara resepsi pernikahan.

Sejarah Desa Brangbang

Sejarah Singkat Desa Berangbang

Pada tahun 1885 Desa Berangbang masih berupa Hutan Belukar yang terkenal dengan nama Rimba Raya Berangbang, suatu Rimba Raya tutupan yang terkenal juga dengan sebutan “GOUVERNEMENT HINDIA BELANDA” atau lebih dikenal dengan nama/sebutan hutan GG yang dilindungi dengan undang-undang.

Hutan GG ini disebut juga dengan Cagar Alam di zaman pemerintahan kolonial Belanda, tentang Rimba Raya Berangbang mempunyai latar belakang sejarah kerajaan yang pertama yakni Kerajaan Berangbang yang didirikan oleh ” DALAM SUECA PURA ” (GELGEL) kurang lebih pada tahun 1580.

Kerajaan Berangbang menurut historisnya didirikan/dibangun setelah Kerajaan Belambangan menjadi daerah taklukan Gelgel “SRI RESI WATURENGGONG KEPAKISAN” yang pada waktu Kerajaaan Berangbang dibawah kekuasaan seorang raja yang bernama: “I GUSTI NGURAH BASANG TAMIYANG” seorang putra dari perdana Menteri Dalem Gelgel. Kerajaan Berangbang dulunya dibangun oleh ratusan prajurit Dalem Gelgel dan ribuan tawanan yang berasal dari daerah Belambangan.

Perjalan kerajaan Berangbang Bahari adalah pertama dari arah laut Selat Bali meneui pura jati di desa Pengambengan yang dilanjutkan ke daerah utara tibalah di Pura Majapahit di Desa Banyubiru, kemudian lurus ke utara kurang lebih 9 KM tibalah di Pos Menara buatan alam yaitu sebuah bukit Pura Munduk Tumpeng ke arah barat hingga sampai di sebuah bukit lagi yang bernama Bukit Munduk Kendung.

Disini kemudian melanjutkan perjalanan ke arah barat laut ditemuilah sebuah Pura yang disebut pura Pegubungan yang diperkirakan berketinggian kurang lebih 700 meter dari permukaan laut. daerah ini sangat subur karena diapit oleh dua buah sungai yaitu Sungai tukadaya dan Sungai. Berangbang yang dikenal dengan nama “SINGSING TUKAD BERANGBANG”. Nama ini didapat karena daerah hutan ini banyak ditumbuhi bambu liar yag disebut dengan “GESING”.

Dataran tersebut adalah merupakan bekas lokasi Pura Kerajaan Berangbang Bahari dengan bukti-bukti yang  didapati berupa benda-benda peninggalan yang bersejarah berupa Kuping Kuali Besar yang tertanam di Singsing Tukad Berangbang tersebut, menurut keterangan dari para orang tua kadang-kadang benda-benda tersebut dapat dilihat pada hari-hari tertentu yaitu pada Purnama dan Tilem hingga hingga sampai saat ini daerah ini tergolong sangat angker, selain benda-benda tersebut masih banyak benda-benda lain yang didapat berupa benda kuno berbahan keramik. Ditempat itu pula kita dapat melihat ke selatan terbentang laut selat Bali membujur panjang dari Barat ke Timur sebuah gunung yang bernama “GUNUNG SLOKA BELAMBANGAN”.

Kemudian masa peralihan kerajaan Berangbang Bahari pada thaun 1713 yang didalam hubungannya dengan Berangbang yang sekarang jelas merupakan desa perkembangan dilihat dari nama Desa. selanjutnya Desa ini berkembang mengikuti zamannya hingga sampai pada tahun sampai tahun 1887 yang pada saat itu mulanya terjadi pembukaan hutan Berangbang oleh orang karena pada waktu itulah Pemerintah LANDSCHAF JEMBRANA/TUANKU RAJA JEMBRANA IDA ANAK AGUNG MAD RAI memberikan kesempatan untuk penduduk desa baler Bale Agung bergabung dengan Beranbang dibawah perbekel/Kelihan Desa/  Kelihan Gede PAN MUKARENA sebagai Kelihan Desa Pertama.

Setelah  Berangbang menjadi suatu Desa maka barulah diadakan pemisahan dari Baler Bale Agung  dengan Kepala desanya adalah PAN SUDASNING. Dalam pemerintahan kelihan desa ini, Berangbang mengembangkan potensi Desa seacara sederhana dengan penanaman tanaman perkebunan berupa Kelapa, buah-buahan dan di bidang pertanian dikembangkan Tanaman Padi Gaga dan Palawija sebagai dasar untuk pengembangan yang memugkinkan memberikan jaminan kehidupan bagi para petani pada waktu itu.

Setelah masa jabatan Pan sudasning sebagai kelihan Desa maka sebagai penggantinya adalah GAGUS DRESNA yang melanjutkan segala kegiatan dan pengembangan desa sesuai dengan alam desa saat itu. Mengenai jabatan Kelihan Desa pada saat itu tidak mempuyai batas waktu tertentu seperti sekarang ini.

Kemudian sebagai Kelihan Desa yang ketiga PAN REWA yang kemudian diganti oleh PAN KENCAN Kelihan Desa yang ke empat selanjutnya diganti oleh I WAYAN REWA yang saat itu Kelihan Desa sudah berubah menjadi Perbekel. Pengganti I WAYAN REWA adalah I WAYAN SUMA kemudian tahun 1965 -1956 diganti oleh I KETUT SANEM SEBAGAI Perbekel yang kedelapan.

Kemudian dari tahun 1966-1978 Perbekel Desa Berangbang adalah  I KETUT WELLEM  sebgai pengganti I KETUT SANEM dan pada tanggal 7 juli 1978  I KETUT WELLEM mengakhiri masa jabatannya dengan diganti oleh I KETUT SATRA sampai dengan 1988 , dan diganti oleh I KETUT WALLEM dari tahun 1988 sampai dengan 1998.

Kemudian dari tanggal 4 agustus 1998 desa Berangbang dipimpin oleh seorang Perbekel, yang bernama I MADE SAHA ARIMBAWA periode 1988-2006, 2007-2013.

demikianlah sejarah singkat lahirnya desa Berangbang, selain itu masih dapat dikembangkan lagi sejarah desa ini karena penelitian arkeologi tentang keberadaan kerajaan berangbang masih belum ditemukan secara pasti. Penemuan yang terbaru ditemukan hanya beberapa sarkofagus(kuburan terbuat dari batu) dan Kekawin(lagu-lagu bali kuno)

Kisah unik tradisi omed-omedan

Omed-omedan adalah upacara yang diadakan oleh pemuda-pemudi Banjar KajaSesetanDenpasar yang diadakan setiap tahun.[1]Omed-omedan diadakan setelah Hari Raya Nyepi, yakni pada hari ngembak geni untuk menyambut tahun baru saka.[1] Omed-omedan berasal dari bahasa Bali yang artinya tarik-tarikan.[2] Asal mula upacara ini tidak diketahui secara pasti, namun telah berlangsung lama sejak nenek moyang dan dilestarikan secara turun temurun.[2] Omed-omedan melibatkan sekaa teruna teruni atau pemuda-pemudi yang berumur 17 hingga 30 tahun dan belum menikah.[3] Prosesi omed-omedan dimulai dengan persembahyangan bersama untuk memohon keselamatan.[3]Usai sembahyang, peserta dibagi dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan.[3] Kedua kelompok tersebut mengambil posisi saling berhadapan di jalan utama desa.[3] Dua kelompok Setelah seorang sesepuh memberikan aba-aba, kedua kelompok saling berhadapan.[3] Peserta upacara ini terdiri dari 40 pria dan 60 wanita.[2] Sisa peserta akan dicadangkan untuk tahap berikutnya.[2] Cara omed-omedan ini adalah tarik-menarik menggunakan tangan kosong antara pria dan wanita dan disirami air.[2] Upacara ini dilakukan hingga jam 17.00 waktu setempat.[2]

Sejarah Desa Ekasari

Sejarah Desa Ekasari

LATAR BELAKANG DESA EKASARI

Desa Ekasari adalah salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Melaya. Sebelumnya Desa Ekasari memiliki latar belakang sejarah sebagai berikut :

Pada tahun 1934 daerah ini telah dihuni oleh sekelompok kecil masyarakat yang terdiri atas 14 kepala keluarga. Mereka merupakan transmigran lokal pertama yang memasuki kawasan daerah ini yang berasal dari Desa Baluk dibawah pimpinan Pan Gambar (alm). Akhirnya mereka berhasil membangun sebuah Desa yang diberi nama Desa Palalinggah. Nama Palalinggah diambil dari nama pohon pala yang tumbuh luas meliputi sebagian besar kawasan ini, dimana pada masa tersebut daerah ini masih merupakan hutan belantara yang lebat dan belum didiami oleh penduduk. Dibawah pimpinan Pan Gambar desa ini tumbuh berkembang menjadi daerah perladangan dan sekaligus permukiman yang subur.

Berselang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 24 September 1940 datanglah sejumlah 24 kepala keluarga dibawah pimpinan almarhum G.I Gusti Kompiang Djiwa bersama seorang Misioner yaitu Pastor Simon Buis SVD (alm). Mereka adalah transmigran lokal yang berasal dari Kabupaten Badung yang diberikan ijin untuk membuka tanah garapan dan sekaligus pemukiman di hutan pangkung Sente yang sekarang dinamakan Palasari Lama.

Kelompok ini pernah mengalami perpecahan akibat hasutan pihak luar yang memperkecil harapan mereka untuk bisa hidup dan berkembang didaerah ini. Akibat perpecahan tersebut 6 KK meninggalkan daerah garapan dan 18 KK tetap bertekad membangun tempat ini.

Dalam suatu kesempatan dibawah naungan pohon Pala, Pastor Simon Buis SVD menanyakan kepada warganya nama apa yang tepat untuk diberikan bagi daerah yang dibangun ini. I Gusti Kompiang Djiwa mengusulkan nama Palasari yang berasal dari kata Palas dan Sari karena kelompok ini mengalami perpecahan ( palas ) dan mereka adalah intinya pembangunan daerah ini. Oleh P. Simon Buis SVD, nama Palasari kurang disetujui karena mengandung makna negatif yang bisa disalah artikan oleh generasi penerus. I Gusti Kompiang Djiwa kembali mengusulkan nama Palasari yang berasal dari kata Pahala dan Sari. Nama ini diterima dan kemudian dikonsultasikan bersama sahabatnya P. Simon Buis SVD, yaitu A.A Panji Tisna (Raja Buleleng). Beliau sangat terkesan dengan nama ini karena mengandung makna Filosofi yang mendalam. Maka sejak itu daerah ini dikukuhkan dengan nama Palesari (Sejarah Palesari, Dewan Paroki, Palasari, Agustus 1983).

Pada tahun 1947 Palesari kemudian dieja menjadi Palasari yang telah memiliki 88 KK. Mengingat lokasi semula yaitu Palasari lama kurang memenuhi syarat maka diputuskan untuk pindah ke lokasi Palasari yang sekarang. Palasari kemudian dikukuhkan menjadi desa yang memiliki pemerintah sendiri dengan G.I Gusti Kompiang Djiwa sebagai Kepala Desa dan Pan Cateri sebagai Kelian Banjar.

Pada tahun 1941 datang menyusul kelompok baru yang berasal dari daerah Kabupaten Karangasem sebanyak 20 KK dibawah pimpinan I Made Hapian. Mereka mendirikan sebuah banjar / pemukiman di penghujung barat daerah ini. Banjar tersebut diberi nama Karangsari, nama tersebut diambil dari daerah asal mereka yaitu Karangasem yang disertai ciri khas adat istiadat mereka yang kuat dank has. Sebagai kelian banjar dipilih Bapak Gusun Pager.

Sebagai akibat berkecambuk Asia Timur Raya pada tahun 1942, maka rakyat di Desa Abiansemal dan Blahkiuh yang termasuk dalam amongan Mengwi sangat menderita dan sangat sulit keadaan ekonomi masyarakat. Akibat tekanan ekonomi masyarakat yang berat tersebut maka dengan perkasa A.A Ngurah Kediri di dukung oleh beberapa penduduk mengajukan permohonan kepada Paruman Agung Dewan Raja – Raja Bali agar bisa mendapat tanah garapan didaerah Jembrana, dan Dewan menyetujui permohonan tersebut.

Dengan adanya ijin tersebut maka tahun 1942 berangkatlah menuju daerah harapan sebanyak 82 KK yang dipimpin langsung oleh A.A Ngurah Kediri. Sampai di tempat ini langsung membuka hutan untuk dijadikan daerah pertanian dan permukiman. Beberapa saat kemudian menyusul rombongan dari Abiansemal sebanyaak 25 KK di bawah pimpinan A.A Made Kaler, mereka menggabungkan diri dengan kelompok terdahulu. Daerah permukimannya diberi nama Adnyasari. Nama ini diambil dari kata Adnyana dan Sari yang berarti Sariring Adnyana atau intisari pemikiran. Kemudian mereka membentuk susunan pemerintahan sebagai berikut :

Kepala Desa       : A.A Ngurah Kediri (alm).

Kepala Desa       : I Gusti Ngurah Pecig (alm).

Kepala Desa       : Dewa Ketut Kelinyar (alm).

SEJARAH LAHIRNYA DESA EKASARI

Sampai dengan tahun 1942 di daerah ini telah terdapt 3 buah Desa dengan latar belakang budaya yang  beraneka ragam namun satu yaitu :

  1. Desa Palalinggah dengan Kepala Desa Pan Naderi
  1. Desa Palasari dengan Kepala Desa G. I Gusti Kompiang Djiwa
  1. Desa Adnyasari dengan Kepala Desa A.A Ngurah Kediri

Memasuki revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan warga ketiga Desa tersebut bahu – membahu mempertahankan Desa dan tanah airnya dari cengkraman penjajah. Dibalik pengalaman dalam perang mempertahankan kemerdekaan ini mereka yang memiliki identitas dan latar belakang aneka budaya yang berbeda ini mulai menemukan identitas diri dalam wujud persatuan dan kesatuan ini tepatnya pada tahun 1950. Pada tahun tersebut ketiga Kepala Desa dan Banjar – Banjar yang baru menyusul mengadakan pertemuan secara musyawarah mufakat dengan disertai semangat kekeluargaan yang tinggi.

Akhirnya setelah mulai kesepakatan lewat musyawarah mufakat pada tahun 1950, dalam rembug para tokoh ketiga Desa tersebut berhasil diwujudkan persatuan dan kesatuan dengan mempersatukan ketiga Desa yang ada dengan nama Ekasari sebagai fungsi atau persekutuan dari Desa Palalinggah, Palasari, dan Adnyasari. Nama Ekasari lahir dari kata Eka artinya satu dan Sari yang artinya Inti. Selanjutnya sebagai prebekel atau Kepala Desa Ekasari yang pertama dipilih dan diangkat adalah G. I Gusti Kompiang Djiwa dengan lima wilayah banjar yaitu :

  1. Banjar Palarejo dengan kelian Banjar      : Pak Katijah
  2. Banjar Palasari   dengan kelian Banjar     : Pan Cateri
  3. Banjar Adnyasari dengan kelian Banjar   : I Gusti Ngurah Pegig
  4. Banjar Karangsari dengan kelian Banjar  : Gurun Pager
  5. Banjar Palalinggah denga kelian Banjar   : –

Tahun 1979 oleh I Gusti Agung Windia Kepala Desa Periode 1977-1986 usul tersebut dipertegas kembali dan sejalan dengan UU No. 5 tahun 1979, maka pada tahun 1980 berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Pusat telah diseakati untuk memamerkan Desa demi efektifitas dan efisiensi dibidang pemerintahan dan pembangunan maka desa Ekasari yang semula terdiri dari lima Banjar dimekarkan menjadi Sepuluh Banjar yaitu : Banjar palasari menjadi tiga Banjar dan Adnyasari menjadi empat Banjar sehingga lengkapnya adalah sebagai berikut :

  1. Banjar Palarejo
  2. Banjar Palasari
  3. Banjar Wargasari
  4. Banjar Parwatasari
  5. Banjar Wanasari
  6. Banjar Sadnyasari
  7. Banjar Anggasari
  8. Banjar Adnyasari
  9. Banjar Palalinggah
  10. Banjar karangsari

Sejarah jegog jembrana

 

Asal Usul Sejarah GAmelan Jegog

Sejarah seni musik dan tradisi yang terdapat di suatu daerah akan memiliki hubungan dengan adat istiadat, selera masyarakat, kepercayaan dan letak wilayah geografinya. Hubungan tersebut mempengaruhi bentuk kesenian, seni musik, dan alat musik yang dimainkan. Salah satu contohnya adalah gamelan Jegog.

Tempat Asal Gamelan Jegog
Gamelan Jegog berasal dari daerah Jembrana, yang memiliki keadaan tanah yang tidak rata. Keadaan alamnya kering, berbeda dengan daerah lainnya diBali yang berupa pegunungan landai yang ditunjang oleh pertanian. Di Jembrana banyak tumbuh pohon bambu dengan ukuran yang besar-besar. Kondisi alam seperti itulah yang mendorong seniman di sana untuk menciptakan alat musik dari bambu.
Kabupaten Jembrana terletak di Bali bagian barat. Di utara berbatasan dengan kabupaten Bulelang, di timur berbatasan dengan kabupaten Tabanan, di selatan berbatasan dengan samudra Hindia dan di barat dengan Selat Bali. Di Bali terdapat kurang lebih 28 jenis alat musik atau perangkat gamelan yang memiliki bentuk dan gending dengan warna suara, fungsi instrumentasi, karakter danrepertaire gending yang berbeda-beda.
Jembrana terkenal dengan masyarakatnya yang menyukai perlombaan/pertandingan, khususnya kesenian jegog, seperti mabarung (adu kendang), jegog mabarung (adu jegog), makepung (balapan kerbau), mabente (adu kaki),majengka (adu panco), dan mapentilan (adu nyentil jari).
Sifat masyarakat yang gemar melakukan pertandingan tersebut terlihat pada bentuk kesenian/alat musiknya, seperti gamelan Jegog yang dibuat dengan ukuran yang besar agar tidak kalah tersaingi dengan alat musik lainnya.

Gamelan Jegog
Gamelan jegog adalah seperangkat gamelan yang dibuat dari bahan bambudengan bentuk dan ukuran yang besar. Gamelan Jegog adalah gamelan yang masih terbilang baru, muncul pada awal abad XX Masehi. I Nyoman Rembang menyatakan bahwa perkembangan gamelan Bali dibedakan mejadi tiga kelompok, yaitu:
  1. Kelompok gamelan tua, yaitu gamelan yang diperkirakan sudah berkembang dari sebelum abad X Masehi.
  2. Kelompok gamelan madya, yaitu gamelan yang diperkirakan berkembang sesudah abad X Masehi.
  3. Kelompok gamelan muda, yaitu gamelan yang diperkirakan berkembang sejak awal abad XX Masehi.
Kesenian Jegog
Kesenian Jegog mendapat pengaruh dari luar/asing. Hal ini dapat terlihat dari kostum yang digunakan oleh para pemainnya, perempuanmenggunakan celana pendek dan stoking, laki-laki menggunakan celana, jaket, dasi, kacamata hitam, dan sepatu bot. Gamelan Jegog dipengaruhi pula oleh Hadrah yaitu jenis kesenian musik dari komunitas Loloan. Lama-kelamaan kesenian Jegog dilengkapi dengan tari-tarian, dan sempat menjadi drama Jegog, yaitu drama tradisional yang diiringi oleh gamelan Jegog.
Setiap instrumen dalam gamelan Jegog memiliki fungsinya sendiri dalam menyajikan suatu materi gending. Gabungan dari fungsi setiap instrumen tersebut menghasilkan gending yang menjadi ciri khas gamelan Jegog.ç