Oleh: I Ketut Murdana
Ashram Vrata Wijaya, Jalan Siulan G. Nusa Indah IV/4 Denpasar Timur
Ketika kita mulai bertanya dan ingin mengetahui apa yang tidak atau belum kita ketahui tentang kehidupan ini dan apa yang patut dilakukan, untuk menemukan jawabannya adalah jalan menuju kewajiban. Untuk menemukan jawaban itu kita harus berusaha melakukan perjalanan ke dalam diri inilah yang disebut sadana (Ranvir Singh, 2005: 106). Sadana dalam hal ini dapat diartikan “prilaku” yang melibatkan segenap unsur; pikiran, panca indra, jiwa, perasaan, imajinasi, tenaga, badan, sarana dan prasarana dan lain sebagainya. Hal itu bisa berjalan bila disinari oleh cahaya Illahi yang menyebabkan prilaku bisa bergerak menelusuri ruang yang tanpa batas (viratvidya). Memperoleh cahaya Illahi adalah suatu kemujuran, karena bisa diperoleh bila “diberkati” akibat sadana suci yang telah dilakukan dengan penuh tulus ikhlas atau juga terjadi dengan sendirinya. Bila itu terjadi dengan sendirinya, itulah kebesaran-Nya yang barangkali diakibatkan karma baik masa lalu yang berbuah dalam kehidupan ini. Banyak orang mengalami kehadiran sinar itu, namun tidak disadari oleh alam pikirnya yang mengakibatkan keragu-raguan dan selalu bertanya-tanya tengtang “apa itu” dan kenapa itu terjadi dalam dirinya. Pertanyaan-pertanyaan ini mengakibatkan terjadi getar rasa dan gerak hati, jiwa dan pikiran mendorong langkah kaki untuk menelusuri kebenaran “apa itu”.
Menelusuri kebenaran “apa itu” adalah jalan yang membuka pintu kesadaran sebagai awal melakukan kewajiban dalam bentuk sadana yang paling bermakna dalam kehidupan. Agar mencapai sadana yang bermakna patut dilatih secara terus menerus agar segenap unsur jiwa bersatu padu dengan pelaksanaan yang tulus ikhlas. Latihan ketulusan merupakan pergulatan antara segenap unsur jiwa, prilaku, ruang dan suasana yang sering mengungkung manusia, disertai perputaran Sang Waktu yang mengakibatkan berbagai situasi dan demensi, yang terkadang amat jelas, samar-samar bahkan kabur sama sekali. Setiap orang sadar atau tidak sadar pasti mengalami kondisi seperti itu, namun wujudnya berbeda-beda bagi setiap orang tergantung kualitas karma yang melatarinya. Ketika orang ingin melewati kondisi seperti itu tiada lain jawabannya adalah tindakan yang penuh keberanian atas dasar kewajiban (Satyam).
Rasa takut yang mengekang pikiran patut ditemukan cara untuk menembusnya, disitulah pertarungan antara “rasa takut” dengan “keyakinan” bergulat-gulat dalam diri. Dalam kondisi seperti itu pengetahuan teori lenyap tanpa wujud, yang ada hanyalah gejolak dan upaya untuk memenangkan kebenaran dan keyakinan terhadap kebesaran-Nya. Kebenaran yang dilatari atas keyakinan atas kebesaran dan kemahakuasaan-Nya adalah jawaban kunci yang melindungi, menuntun agar kita bisa melihat arah dan wujud sadana yang patut dilakukan. Ketika kita mampu menundukkan rasa takut atas kebenaran dan keyakinan kepada kebesaran-Nya, maka akan tumbuh keberanian yang disebut “keberanian yang berpengetahuan”. Kebenaran yang berpengetahuan inilah yang mampu mengantarkan dan menyelamatkan manusia untuk mencapai sesuatu yang lebih berakna dan bermartabat. Dengan demikian bila orang telah mencapai kondisi jiwa seperti itu berarti orang itu telah mampu melewati “lapisan maya” yang mesti dilewati oleh perjalanan kewajiban itu sendiri. Demikian pula sebaliknya bila kondisi itu belum terlewati, orang harus berjuang lebih giat, dengan keyakinan yang lebih tinggi atas tuntunan-Nya. Realitas yang terjadi pada gelombang ini wujudnya pada setiap orang adalah perjalanan hidupnya tertimpa masalah yang datang bertubi-tubi, yang tidak mampu dikenali ujung dan pangkalnya serta cara untuk menyelesaikan, sehingga sering berujung pada kebingungan dan kegelisahan. Realitas ini menandakan bahwa jiwa dan pikiran belum mampu meraih sinar cemerlang dari Yang Maha Kuasa, untuk itu lakukanlah kewajiban, agar bebas dari semua itu.
Dengan demikian mengenal dan melaksanakan kewajiban adalah upaya mewujudkan sifat tulus ikhlas yang berlapis-lapis untuk mencapai kemurnian diri yang sejati. Ketika itu sebesar apapun masalah yang ada “pasti disinari oleh kecemerlangannya, dan selalu diberikan jawaban untuk menyelesaikan”. Masalah yang sering dianggap besar oleh manusia sesunguhnya itu adalah keterbatasan pikiran dan tenaga yang sering menjadi dan memberi pertimbangan dengan hitungan logika. Namun dibalik itu semua tidak disadari ada kekuatan dahsyat yang sering diberikan oleh Yang Maha Kuasa kepada manusia dalam “wujud Kasih-Nya”, lewat imajinasi, intuisi, inspirasi yang membuatnya “sering tersentak”, akibatnya muncul ucapan sontak pula, wah..wah…wah… kok bisa yaa dan seterusnya. Ketika itu terjadi pada setiap orang yang mengerjakan pekerjaan besar untuk kesejahtraan umat manusia, itulah wujud kehadiran-Nya.
Sebaliknya ketika pekerjaan besar yang dianggarkan oleh negara dengan dalih mensejahtrakan masyarakat, tetapi sesungguhnya hanyalah untuk kenikmatan partai, pekerjaan ini luput dari anugrah-Nya yang berakibat gagalnya pekerjaan itu dan pemimpin proyeknya terjebak masuk penjara. Wujud Kebesaran-Nya disitu hadir dalam wujud Maha Kala yang amat menakutkan, yang memberi jawaban terhadap semua perbuatan buruk manusia. Dengan demikian sekecil apapun pekerjaan yang kita kerjakan, sepatutnya mohon tuntunan kepada Sang Maha Karya agar pekerjaan itu berhasil dan memberikan kenikmatan bagi semua orang, itulah jiwa dari pekerjaan itu sendiri yang disebut “Taksu” dalam bahasa Bali. Dibalik itu semua banyak orang sering menyepelekan pekerjaan kecil dengan kesombongan pengetahuannya, akibatnya pekerjaan itu tidak pernah selesai, oleh karena itu janganlah mengabaikan kuasa besar Sang Maha Karya dan berlidunglah di kaki-Nya untuk mehon berkat-Nya.
Mencapai kewajiban dan berkat lidungan Sang Maha Karya bukanlah persoalan mudah, karena wajib melalui proses pendidikan dan pelatihan yang benar, teratur,dan tertuntun melalui garis-garis gurupadeca atau garis-garis ajaran-Nya. Pendidikan dan pelatihan dapat bermakna bila dilakukan atas dasar pengetahuan kebenaran, pengetahuan kebijaksanaan, pengetahuan suci yang dituntun oleh seorang guru suci yang telah diberkati “wawenang” untuk mengajarkannya. Melalui garis-garis gurupadesa para guru spiritual mendidik para bhaktanya dengan penuh desiplin, agar terwujud orang-orang yang bermental spiritual yang kuat dan suci. Ketika orang-orang telah terdidik dan bermental spiritual seperti itu, masyarakat dan dunia ini akan menemukan kesejahtraan dan kedamaian. Oleh karena itu pendidikan bukan semata diarahkan mengejar pengatahuan yang bersifat material dan terukur saja, namun yang lebih penting adalah pengetahuan spiritual yang mampu membangun karakter manusia seutuhnya. Ketika karekter spiritual dan suci ini terabaikan, maka manusia akan kehilangan rasa malu dan rasa takut, tinggalah jiwa-jiwa beringas yang setiap hari hanya protes, ngamuk, bertengkar, mabuk, judi, menipu, manupulasi dan seterusnya seperti sebagian besar watak manusia seperti sekarang ini.
Kenyataan ini merupakan kehancuran nilai-nilai kemanusiaan yang berakibat terhadap merosotnya peradaban umat manusia. Oleh karena itu perlu dibangun bersama-sama melalui kesadaran spiritual yang kuat dan suci. Tanpa keyakinan dan perjuangan yang tangguh dan tertuntun, sulit juga untuk menemukan arah yang jelas dan suci. Sifa-sifat kesucian itu amat halus dalam diri setiap orang, ia berwujud kasih sayang, kebersamaan, keyakinan diri yang kuat, rasa toleransi, bijaksana, peduli social, peduli lingkungan alam, dan lain-lainnya. Sifat-sifat suci ini wajib dikumandangkan agar lebih dikenal manfaat dan maknanya serta memiliki kesadaran untuk memelihara dan mengembangkan bagi setiap orang. Langkah-langkah dan cara-cara pengendalian diri dengan desiplin brata yang tertuntun wajib dilaksanakan, agar sifat suci itu tumbuh dan berkembang subur menjadi sifat-sifat yang mendamaikan dan membahagiakan.
Ketika umat manusia penyangga bumi ini sadar dan ingin mencapai kedamaian dan kebahagiaan sudah saatnya pendidikan formal diberikan muatan kurikulum yang seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dan spiritual secara seimbang. Bukan sengaja dan tercencana secara politis berupaya menghilangkan pilar-pilar pembentuk karakter yang lahir dari budaya ibunya sendiri. Ketika penjajahan ideologi itu dibiarkan berarti pengingkaran terhadap prinsi-prisip kebhinekaan yang berakibat amburadulnya sistem ideologi kenegaraan kita. Pendidikan formal sekarang sudah selayaknya kembali menegakkan prinsip-prinsip kebhinekaan, agar kepercayaan diri masing-masing suku mampu memperkokoh jati diri bangsa. Ketika kurikulum yang ada lebih menitik beratkan kurikulum pendidikan yang berbasis budaya Barat, tentu sangat dibutuhkan menyerapan nilai-nilai yang sesuai dengan budaya Indonesia yang multikultur ini. Realitas yang terjadi belum sepenuhnya menyiapkan korikulum yang mendorong ke arah itu, sehingga hasil-hasil pembangunan yang sudah demikian majunya tidak bisa dinikmati bahkan dihancurkan oleh kebringasan watak manusia sebagian besar penduduk bumi ini.
Ketika watak bringas seperti ini dibiarkan menguasai diri, masyarakat dan negara akan berakibat buruk pula terhadap alam lingkungan yang semestinya dipelihara bersama-sama. Orang-orang seperti itu patut dikasihi, karena ia tidak menganal hakekat dirinya yang sejati, demikian pula apa yang menjadi kewajibannya, itulah “penderitaan yang sesungguhnya”. Penderitaan itu diakibatkan oleh kemiskinan nilai-nilai spiritual, yang sengaja membiarkan dirinya atau memang tidak pernah mau mengenal nilai-nilai atau belum menemukan jalan untuk menemukan. Orang yang belum menemukan itu memiliki harapan untuk mencapai, namun orang yang sengaja membiarkan atau tidak mau tahu adalah orang-orang yang ditakuti oleh “pengetahuan suci”, oleh karena itu hidupnya penuh kegelapan. Ciri-ciri hidupnya tidak tentu arah, ugal-ugalan, mabuk-mabukan, nafsu dan kesenangan material sebagai pujaannya, kata-katanya sering menghina bahkan amat menghina orang-orang yang sedang memuja Tuhan, pendapatnya mau menang sendiri, ramah-ramah ketika memerlukan bantuan orang lain dan lupa setelah berhasil, dan sejenisnya betapa mengerikan gaya hidup seperti itu. Orang-orang seperti inilah orang yang “paling bermasalah” dalam rumah tangga, lingkungan masyarakat yang sering merepotkan pimpinan, dan juga anggota masyarakat sekitarnya.
Kondisi permasalahan ini tidak mungkin dihindari dan pasti terjadi dimana-mana, karena kondisi itu adalah hakekat ciptaan-Nya yang seimbang. Namun untuk mencapai keseimbangan yang harmonis perlu upaya bijak para pemimpin dan bekerjasama dengan para suci melakukan pembinaan rutin dengan penuh kasih sayang, agar persoalannya dapat dikendalikan dan diarahkan menjadi hal-hal yang bermanfaat bagi hidup dan keluarganya. Oleh karena itu jauhkanlah sifat-sifat seperti itu agar tidak ditakuti pengetahuan suci dan guru suci penuntunnya, maka kenalilah diri yang sejati.
Mengenal diri yang sejati dapat dilakukan dengan cara membangun kesadaran terhadap kebesaran Sang Pencipta dengan segala ciptaan-Nya, Alam semesta yang memberi kehidupan, hubungan antara manusia dengan manusia beserta semua ciptaan-Nya yang menumbuhkan kesadaran perbedaan dalam kebersamaan, toleransi, peduli, dan tangguh. Kesadaran seperti ini adalah wujud tumbuhnya kewajiban yang mesti diperjuangkan oleh setiap insan penghuni bumi ini. Ketika itu terjadi dan patut dijadikan serta patut menjadi komitmen kuat, maka orang sudah mengenal kewajiban hidupnya. Dasar-dasar kewajiban ini patut selalu dibangun dan dibiasakan pelaksanaanya, maka ia akan menjadi semakin berkembang di dalam diri. Ketika itu enerji suci dan pengetahuan suci telah hidup bersama, membentuk kesucian diri.
Agar kesucian jiwa itu dapat tumbuh dan selalu berkembang di dalam diri, sudah merupakan kewajiban untuk memelihara dengan brata dan sadana yang penuh desiplin dan tertuntun. Tuntunan proses membentuk jiwa-jiwa yang widya stana, artinya mengenal tuntunan yang datang dari dalam diri (kesadaran atman). Tuntunan yang datang dari dalam diri adalah perwujudan guru sejati yang membebaskan kegelapan, yang mengakibatkan jiwa terang benerang. Hadirnya jiwa yang terang benerang seperti itu, menggerakkan seluruh panca indra, pikiran dan seluruh tenaga untuk melaksanakan kewajiban secara tulus ikhlas sesuai dengan kompetensinya. Kompetensi merupakan batasan kemampuan dan keunggulan yang dianugrahi oleh Yang Maha Kuasa, oleh karena itu kesadaran untuk memahami hal ini patut diupayakan sebaik-baiknya agar manusia tidak tolah toleh yang berakibat membingungkan dirinya. Tolah-toleh diartikan agar supaya tidak ikut-ikutan terhadap kesuksesan orang lain, misalnya ketika orang lain sukses jadi pengusaha dan kita mengikuti belum tentu sukses seperti dia. Oleh karena itu kesuksesan bisa diperoleh dalam upaya memantap potensi diri, yang selalu berbeda dengan orang lain, termasuk rejeki yang mengalirinya. Orang-orang seperti ini adalah orang yang telah mengenal dharmanya, dan selalu mengabdi demi kesejahtraan umat manusia. Orang-orang seperti inilah yang selalu didambakan umat manusia yang berada dalam kuasa jaman Kali Yoga ini. Barang siapa yang telah menempatkan dirinya sebagai pengabdi kesejahtraan dan kedamaian umat manusia sekecil apapun wujudnya, dia akan mengenal kehadiran-Nya, semogalah semakin banyak orang-orang yang belajar mengenal kewajibannya.
Oleh karena itu; “wahai umat manusia di seluruh dunia, mari bersama-sama menghapuskan kebencian yang menghasilkan malapetaka, bangun rasa toleransi karena kita berasal dari sumber yang sama, menghirup udara yang sama, makan dari sumber yang sama, dan bentuk tubuh yang sama. Perbedaan warna kulit, rambut, mata, hidung adalah keindahan yang mengagumkan, menyejukkan jiwa yang membangun rasa kasih. Rasa kasih adalah senyuman keindahan hati nurani yang damai, bahagia dan suci, merupakan martabat manusia yang tertinggi”. Semogalah tercapai…………………..
Komentar Terbaru
Arsip
Kategori
Meta
I KETUT MURDANA
About
© 2024 I KETUT MURDANA.
Powered by 72 Class by Alan Who?. WPMU Theme pack by WPMU-DEV.