Penerbit: Paramita Surabaya 2005
Kata Pengantar: Prof. dr. IGN Nala, MPH
Esensi Bunyi Gamelan dalam Prosesi Ritual Hindu
Bunyi gamelan diyakini disusun berdasarkan pada suara gemuruh yang berada didasar bumi yang disebut prakempa. Bunyi tersebut menyebar ke seluruh penjuru dunia yang kemudian disebut bumi pangider bhuana yang dalam teori penciptaan alam disebut sebagai “dentuman besar” (big bang). Dalam kitab suci Veda bumi penciptaan alam itu disebut sebagai nada brahman atau suara Om yang vibrasi dan resonansinya masih terabadikan hingga saat ini di dalam ether atau akasa. Bunyi tersebut kemudian disusun (direkontruksi) oleh Bhagawan Wiswakarma ke dalam dua kelompok bunyi yang disebut kelompok laras pelog dan kelompok laras selendro. Kelompok laras pelog merupakan simbul Dewa Kama Jaya atau simbul maskulin, sedangkan kelompok laras selendro merupakan simbul Dewi Kama Ratih atau simbul feminim. Gambelan laras pelog jika dipukul akan mengeluarkan nada-nada; dang, dung, deng, dong, ding, sedangkan gamelan laras selendro jika dipukul akan mengeluarkan nada-nada; ndong, ndeng, ndung, ndang, nding. Bunyi yang dikeluarkan oleh setiap bilah gamelan sesungguhnya melambangkan nyasa atau simbol dari salah satu ista dewata. Setiap lembar bilah gamelan hakikatnya bagaikan nomor telepon pada salah satu ista dewata. Jadi gamelan sesungguhnya adalah teknologi tingkat tinggi yang merupakan implementasi dari teologi Hindu.
Bentuk gamelan yang ada di bumi diyakini meniru bentuk dari gamelan-gamelan yang ada di alam para dewa. Menurut (mitos) dalam tradisi Bali yang tercatat dalam lontar Prakempa bahwa musik gamelan adalah musik sorgawi yang bernama gamelan Simladprana. Selanjutnya musik gamelan ini menjadi inspiraasi penciptaan gamelan di beberapa alam para dewa dan alam para Rsi pertapa. Maka terciptalah beberapa macam gamelan, yaitu (a) gamelan selonding di Wan srama, (b) gamelan Smar Pagulingan di Indraloka, (c) gamelan Smar Patangyan di Kuweraloka, (d) gamelan Smar Palinggyan di Yamaloka, (e) gamelan Smar Pandirian di Brahmaloka, (f) gamelan Gong di Akasa. Gamelan-gamelan inilah kemudian karena belas kasihan Tuhan dianugrahkan kepada manusia.
Bunyi gamelan selain memiliki makna filosofis-teologis juga memiliki manfaat psikologis dan sosiologis. Secara psikologis bunyi gamelan dapat menurunkan frekwensi gelombang otak betha () yang besarnya 14-30Hz hingga kelevel frekwensi alpha() yang besarnya 8-13 Hz yang memungkinkan pikiran menemui ketenangan.
BHAGAVAD GITA
Sloka 12
Sanjaya :
Tasya sanjanayam harsham
Kuruvriddhah pitamahah
Simhanadam vinadyo chchaih
Sankham dadhmau pratavapan
Artinya :
Sanjaya :
Demi untuk membngkitkan semangatnya,
pahlawan kuru, kakek Bisma,
meniup kuat-kuat terompet kerangnya
menderu bagaikan raung singa
Ulasan :
Setelah duryodana kepada semua perwira-perwira tinggi dalam kalangan balatentara kaurawa untuk menjaga dan membela Bisma dalam pertempuran-pertempuran yang akan mendatang. Seperti tercantum dalam sloka 3 sampai dengan 11, maka sanjaya meneruskan ceritanya kepada maharaja dritarastra, sankham adalah terompet yang terbuat dari kulit kerang, ia ditiup oleh Bisma dengan maksud untuk membangkitkan semangat Duryodana, dan sebagai suatu tanda bahwa pasukan telah siap untuk menghadapi pertempuran.
Instrument yang terdapat didalamnya :
Sloka 13
( 13 )tatah – sankhas cha bheryas cha
Panavanaka gomukhah
Sahasai ‘va ‘bhyahananta
Sa sabdas tumulo bhavas
Artinya :
Terompet, genderang dan tifa
Gong serta suling tanduk
Di bunyikan dengan serentak
Gemuruh, gegap gempita
Ulasan :
Berbagai alat bunyi-bunyian dipergunakan, khusus dalam lingkungan pasukan sendiri untuk membangkitkan semangat tempur para prajurit dan bagi pihak musuh bunyi gemuruh daripada terompet, genderang, gong, tambur, suling tanduk, dan sebagainya ini berarti suatu tantangan untuk segera dimulainya peperangan. Tiap pahlawan perwira tinggi mempunyai alat bunyi-bunyian ini yang spesifik baginya sendiri,mempunyai nama yang spesifik pula.
Instrument yang terdapat didalamnya :
- Terompet
- Genderang
- Tifa
- Tambur
- Gong
KENDANG BEBARONGAN DALAM KARAWITAN BALI
Penulis: Indra Sad Guna
Tahun: 2010
Penerbit: Percetakan Kanisius Yogyakarta
Halaman: XVIII., 74 Halaman
Buku yang sampul depan bergambarkan kepala barong dan sosok seseorang yang memangku sebuah kendang yang pada mulanya adalah publikasi skripsi I Gede Made Sadguna ini membahas berbagai aspek, umumnya tentang Seni Karawitan Bali dan khususnya tentang kendang bebarongan. Kendang merupakan salah satu instrumen musik yang universal, karena hampir di seluruh belahan dunia dipastikan memiliki alat musik yang tergabung dalam alat musik perkusi. Di Bali kendang tidak bisa dipisahkan dari seni karawitan dimilikinya. Dalam buku ini disebutkan bahwa instrumen kendang terdapat pada gamelan golongan madya, yang berfungsi sebagai peminpin dari sebuah barungan gamelan.
Selanjutnya terdapat pada gamelan golongan baru, yang memiliki peranan semakin menonjol dengan teknik dan improvisasi yang semakin kompleks. Di Bali instrumen kendang biasanya dimainkan secara berpasangan dan individu. Jika dimainkan secara berpasangan maka kendang itu dinamakan kendang lanang dan kendang wadon. Kendang lanang ialah kendang yang memiliki suara lebih kecil atau tinggi, sedangkan kendang wadon ialah kendang yang suaranya lebih besar ataupun lebih rendah. Contoh-contoh jenis kendang Bali diantaranya, kendang mebarung, kendang tambur, kendang bedug, kendang cedugan, kendang gupekan, kendang bebarongan, kendang kerumpungan, kendang batel dan kendang angklung.
Salah satu dari kendang tersebut yang memiliki tehnik permainan yang unik dan rumit adalah kendang bebarongan, yang dimana dalam mempermainkannya menggunakan sebuah alat yang disebut panggul kendang, dan tehnik permainannya lebih banyak mempergunakan tehnik mekendang tunggal. Disebut kendang bebarongan karena kendang ini khusus digunakan untuk menyajikan gending-gending bebarongan dan dipergunakakan untuk mengiringi tari barong. Kendang merupakan salah satu alat yang sangat penting dalam Karawitan Bali. Istilah kendang telah disinggung dalam beberapa literatur yang berasal dari tahun 821 dan 850 Masehi dengan istilah padahi dan muraba. Dalam prasasti bebetin yang berasal dari abad ke-9, kendang disebut dengan istilah papadaha.
Satu diantara sembilan jenis kendang yang terdapat dalam Karawitan Bali bernama kendang bebarongan. Kendang bebarongan adalah kendang yang secara khusus terdapat dalam barungan gamelan bebarongan. Jenis kendang ini mempunyai panjang sekitar 62-65 cm, garis tengah tebokan besar berukuran 26-28cm dan garis tengah tebokan kecil sekitar 21,5-23cm. Kendang bebarongan ini termasuk dalam ukuran kendang yang tanggung (nyalah: Bahasa Bali), karena ukurannya yang tidak terlalu besar maupun tidak terlalu kecil. Ada dua cara untuk memainkan kendang bebarongan, yakni bisa dengan mempergunakan panggul dan juga bisa dimainkan tanpa menggunakan panggul. Adanya jenis-jenis kendang seperti tersebut diatas tidaklah luput dari peranan seniman-seniman yang mempunyai daya kreatifitas tinggi dan suatu pemikiran kritis serta nilai seni tinggi yang disertai tahapan-tahapan atau proses yang meski dilewati.
Langkah pertama yang dilakukan dalam pembuatan kendang bebarongan adalah mencari dewasa ayu atau hari atau waktu yang baik agar mendapatkan keselamatan dalam bekerja dan kendang yang diciptakan nantinya memiliki kwalitas yang baik. Yang diawali dengan mencari waktu untuk menebang pohon yaitu sasih karo, kawulu dan kesanga yang biasanya disebut sasih berag (kurus) yang biasanya menggunakan sesaji berupa canang sari dan segehan. Setelah kayu dipotong maka tukang kendang akan mencari hari baik untuk bekerja atau nuasen. Menurut informasi dari I Putu Gede Sula Jelantik, hari tersebut adalah hari-hari yang jatuhnya bertepatan engan dewasa : karna sula, kala geger, aswajag turun dan bojog turun. Setelah kendang itu selesai digarap lalu di upacarai yang disebut dengan istilah ngupain atau masupati yang bertujuan untuk menghasilkan suara seperti yang diinginkan sekaligus dapat dipergunakan dalam konteks upacara. Setelah semua prosesi ini terlewati maka ada beberapa hal lagi yang harus dikerjakan seperti, membangun bantang dan nukub kendang (memasang kulit kendang).
Penata :I Wayan Sudana
Nim :2007 02 005
Program Studi :Seni Karawitam
Pendukung Karawitan :ST. Dwi Tunggal Ubung.
Sinopsis :
Damai, aman dan sejahtera, merupakan suatu hal yang sulit dicapai pada saat ini. Hal itu tak lepas dari sifat manusia yang kurang berpikir panjang dalam menyelesaikan suatu masalah, sehingga hanya pertikainlah yang selalu menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan.Dari realita itulah karya seni music Cymbran Show ini tercipta. Dengan mempergunakan media music cymbal dan membrane, penata mencoba untuk mengolah berbagai instrumen seperti kendang, bedug, drum dan cymbal sebagai ungkapan dari realita di atas. Karya ini juga sarat akan makna perdamain dan memberi pesan untuk selalu menjunjung tinggi rasa perdaamain agar semua elemen masyarakat dapat merasakan kehidupan yang damai, aman dan sejahtera.
Komentar video
Dari segi penataan lampu
Menurut saya masih agak terlihat remang-remang,trus menurut saya perlu dpergunakan lampu khusus untuk penatanya sehinga orang-orang yang menyaksikan pertunjukan tersebut akan lebih mudah mengenali siapa penata atau yang punya garapan tersebut.
Dari segi sound sistem
Suara drum lebih mendominan suara instrumen yang lain nya,apa lagi dengan jumlah nya 3,sehingga instrumen yang lain seperti kendang dan kendang besar perlu diisi micropon untuk menyeimbangkan sura drum dengan instrumen yang lainnya.
Penata : I Komang Teja Ambara
NIM : 2007.02.004
Program Studi : Seni Karawitan
Pendukung Karawitan : Mahasiswa semester II dan VI Jurusan Karawitan FSP, ISI Denpasar.
Sinopsis :
Air merupakan sumber kehidupan bagi semua mahkluk hidup yang membuat lingkungan menjadi asri. Akibat dari pergeseran jaman, membuat aliran air yang mengalir di sungai menjadi tidak tetap atau mengalami pasang surut. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor kehidupan kehidupan warga seperti : penebangan pohon liar yang mengakibatkan hutan menjadi gundul, sehingga air pun tidak mendapat resapan di daerah pegunungan. Aliran air sangat mudah membesar bahkan menyebabkan terjadinya banjir bandang. Fenomena air diatas menjadi sumber inspirasi untuk dikemas kedalam suatu bentuk penciptaan komposisi karawitan inovatif dengan judul “Nyat Mancuh”.
Komentar video:
Dari segi penataan lampu:
Terlihat masih kurang karena peletakan lampu hanya di bagian atas, menurut saya akan lebih bagus kalau ada beberapa lampu yang diletakkan dibagian depan bawah.
Dari segi panggung:
Pada bagian depan jegog terdapat 5 orang yang memainkan angklung kocok. Dapat kita lihat para pemain angklung duduk dilantai. Dengan demikian akan kelihatan tidak seimbang antara pemain angklung dengan bentuk dari instrumen jegog yang lumayan tinggi, sehingga menurut saya akan lebih bagus kalau tempat duduk para pemain angklung lebih tinggi lg sedikit misalkan dengan menggunakan papan tertentu.
Dari segi sound sistem:
Kalau dilihat dari segi suara barang tentu suara angklung kedengaran lebih kecil dari suara jegog,dengan demikian perlu di tiap angklung disi microfon agar bunyinya lebih seimbang lg.