Gender wayang adalah sebuah instrument yang terdapat di bali, instrument ini termasuk dalam golongan instrument tua. Gender wayang biasanya digunakan pada saat upacara keagamaan dan sebagai pengiring sebuat tarian atau pertunjukan. Gender wayang mememiliki susunan nada yang berbeda dari susunan nada gong kebyar dan di daerah tertentu gender wayang merupakan suatu intrumen yang disakralkan.
Terkait dengan laras, gender wayang pada umumnya memiliki laras slendro lima nada , yang jumlah bilahnya sebanyak sepuluh buah dan memiliki dua oktaf. Jika disejajarkan dengan deret nada musik nasional laras slendro dapat digambarkan seperti ini :
Nada nasional : do re mi fa sol la si do
Nada slendro : ding dong deng – dung dang – dinng tinggi
Cara memainkan gender wayang pada umumnya menggunakan panggul yang berjumlah dua buah panggul yang di pegang di sebelah kanan berfungsi sebagai pelilit, sedangkan panggul yang dipegang di sebelah kiri berfungsi sebagai pembawa melodi atau pokok gending.
Dalam permainan gender wayang biasanya memiliki suara yang khas, suara yang dihasilkan oleh gender wayang ialah berasal dari dirinya sendiri yang juga disebut dengan istilah Idiophone. Yang dimagsud dengan suara yang dihasilkan oleh dirinya sendiri itu ialah , sumber suara yang berasal dari bilah yang di tegaskan atau di besarkan oleh bamboo yang biasa disebut dengan sebutan bumbung.
Sistem pengolahan bilah pada gender wayang yaitu suber suara yang dihasilkan dari getaran pada saat dipukul dengan panggul. Pada sebuah bilah ada susunan nada, dari nada rendah ke nada yang lebih tinggi. Tinggi rendahnya nada tersebut dipengaruhi oleh panjang pendeknya bilah dan tebal tipis nya bilah. Semakin panjang dan semakin tipisnya bilah akan mengakibatkan suara yang dihasilkan menjadi nada yang rendah , jika bilah ukurannya pendek dan tebal maka suara yang dihasilkan cendrung akan tinggi.
Tempo permainan gender wayang adalah bersifat Monometra Skematika yang berarti tempo yang terikat pada ketukan. Pada permainan gender wayang tidak mengenal istilah utang duduk seperti permainan suling dan terompong. Permainan gender wayang harus memiliki tempo yang jelas, jika temponya kacau maka permainannya akan terdengar tidak enak.
Jika dilihat dari 5 fungsi instrument,yang terdiri dari Balunganing gending yang berfungsi sebagai rangka lagu atau melodi lagu, Amandama lagu yang berfungsi sebagai pelilit lagu, Adumanis lagu yang berarti penghias lagu atau pemanis lagu, Anceran wiletan yang berarti pembawa tempo, dan Angeran wiletan yang berarti penjaga tempo. Pada instrumen gender wayang termasuk dalam Amandama lagu yang artinya sebagai pelilit dalam suatu gending barungan.
Peranan gender wayang biasanya digunakan sebagai pelengkap upacara keagamaan contoh nya seperti orang metatah atau mesangih, mengiringi upacara pelebon atau ngaben, dan bisa juga sebagai alat pengiring tari wayang wong dan pementasan wayang kulit.
Unsur- unsur pembentuk gender wayang adalah ada empat komponen, yaitu : pelawah, tali atau jangat, gantungan, panggul dan bilah. Unsur- unsur tersebut akan saya jelaskan dibawah ini.
a. Pelawah
Pelawah ialah badan dari sebuah gender wayang yang terbuat dari kayu yang di ukir. Fungsi dari pelawah tersebut ialah sebagai tempat menyangga sebuah bilah yang akan dipasang di atas bambu atau yang sering disebut dengan bumbung yang berfungsi sebagai pengeras suara dari bilah tersebut, selain itu di bagian bawah ada sebuah kayu sebagai kaki digunakan sebagai penyangga agar pelawah tidak jatuh, yang terakhir di bagian atas ada sebuah kayu berbentuk bulat lonjong yang meruncing, tempat nya di bagian samping kanan dan kiri pelawah, fungsinya sebagai tempat mengikatkan tali jangat yang akan terpasang untuk menggantung bilah bilah di atas bumbung.
b. Tali/ jangat
Jangat ialah sebuah tali yang terbuat dari bahan plastic yang sangat kuat, yang berfungsi sebagai penggantung bilah di atas bumbung supaya suara bilah mau bergetar atau “ma ereng”.
c. Gantungan
Gantungan ini ialah sebuah penyangga tali yang diapit oleh empat buah bilah “kanan dan kiri”, yang terbuat dari bahan logam ataupun kayu, gantungan ini berfungsi sebagai penyangga tali atau jangat yang akan digantungkan dengan sebuah bilah kerrawang. Dahulu gantungan ini terbuat dari kayu yang disangga oleh kulit sapi yang telah di potong, namun karena perkembangan jaman sekarang telah banyak gantungan yang terbuat dari logam yang langsung tertancap di pelawah, bukan seperti dulu yang di gangtung dengan sebuah kulit yang terbuat dari kulit sapi.
d. Bilah
Bilah adalah sumber suara dari gender wayang tersebut, bilah biasanya terbuat dari kerrawang yang bahan dasarnya adalah campuran dari tembaga dan timah atau bisa juga ditambah dengan emas dengan kandungan yang sedikit. Bilah ini memiliki susunan nada yang telah diatur. Biasanya pengaturan suara/ nada bilah diatur dengan memanjangkan atau memendekkan ukuran bilah itu sendiri, atau bisa juga dengan cara menebalkan atau menipiskan bilah. Biasanya jika kita menginginkan suara bilah agar menjadi suara yang rendah atau besar kita bisa membuat bilah dengan ukuran yang panjang dan tipis, jika kita menginginkan bilah yang suaranya rendah atau kecil, kita bisa membuat bilah yang ukurannya pendek dan ukurannya agak kecil. Untuk kualitas bilah yang baik , pada awalnya dibuat dengan cara di tempa atau di pukul pukul hingga bahan bilah menjadi padat, namun setelah perkembangan jaman cara membuat bilah sudah berubah, kini cara membuat bilah sudah menggunakan mesin cetak yang hanya di tempa dengan satu kali pukulan saja. Namun kualitas bilah yang dibuat dari pabrik yang di cetak biasanya lebih cepat patah karena bahan bilah tersebut tidak padat sampai ke dalam, jika pembuatannya dilakukan dengan cara di tempa berkali- kali pasti akan menghasilkan kualitas bilah yang sangat baik.
Gending – gending pada gender wayang kurang lebih yaitu : gending katak ngongkek, merak angelo, crucuk punyah, sesapi ngindang, sekar sungsang, lasan megat yeh, dan masih banyak yang lainnya. Gending – gending tersebut masih ada banyak fersi – fersinya contohnya gending katak ngongkek di badung, gianyar, klungkung, denpasar, dan buleleng tidak sama, dalam artian payas dan otekannya yang tidak sama namun pokok gending atau melodinya mayoritas sama dan menyerupai. Konon menurut tuturan teman, perbedaan gending tersebut terjadi karena pada zaman dahulu para tetua kita tidak ada yang terlalu belajar secara formal mereka kebanyakan sebagai seniman alam, maka dari itu untuk mencari ilmu atau menambah wawasan mereke, mereka hanya mendengar dan mendengar gending gending yang dimainkan oleh senior mereka dengan tidak menanyakan atau berguru kepada senior mereka. Karena dengan mendengarkan mereka tidak tahu jelas, bagaimana otekan yang benar, maka dari sanalah perbedaan otekan atau motif gending di suatu wilayah bisa berbeda, namun sebenarnya pokok gendingnya sama hanya payasnya saja yang berbeda.
nara sumber : I Ketut Agus Angrama, SSn.
Sanggar Dharma Prawerti ini berdiri sejak tahun 2007, tepatnya pada tanggal 1 Oktober. Sanggar ini dibentuk oleh beberapa orang diantaranya adalah I Gusti Lanang Purwa, I Wayan Kariasa, I Ketut Agus Angrama, SSn, dan beberapa pendukung lainnya. Ketiga orang itu berusaha mencari orang-orang yang bisa diajak menjadi anggota sanggar. Setelah mendapat beberapa orang yang bisa untuk dijadikan anggota sanggar yaitu kira-kira 15 orang, kemudian mereka membentuk sebuah sanggar mini yang terdiri dari 18 orang. Menurut pengakuan I Wayan Kariasa, pada waktu itu kira-kira tahun 2007 itu sanggar mini itu belum bertempat di desa Lokasari, tetapi masih bertempat di klungkung, tepatnya di desa Pegending di salah satu rumah seorang seniman. Di sana mereka berkreatifitas dan berkarya. Sering mereka ngayah-ngayah menabuh di pura- pura tertentu pada saat ada upacara atau piodalan. Alat gamelan yang ada di sana itu tidak lengkap yakni terdiri dari 3 buah gangsa pemade, 1 tungguh reong, 1 buah gong, 1 buah kempur, kajar, dan lain sebagainya. Seiring dengan berjalannya waktu maka anggota sanggar mini itu bertambah, karena ada yang ingin masuk menjadi anggota sanggar. Karena anggota sanggar mini itu sekitart 25 orang maka I Ketut Agus Angrama, SSn berinisiatif untuk mencari gamelan yang lebih lengkap. Setelah sambil jalan kira-kira satu bulan akhirnya beliau menemukan gamelan yang lengkap dan kebetulan itu milik pribadi yang bertempat di Banjar Kebon, desa Lokasari, kecamatan Sidemen, kabupaten Karangasem. Pemilik gamelan itu bernama I Gusti Nyoman Okayana. Beliau adalah orang termasuk sangat mampu yang ada di banjar Kebon. Karena kebaikan dan ketulusan hatinya maka beliau member kesempatan untuk mendirikan Sanggar yang rumahnya. Beliau menyambut dengan baik inisiatif dari seke yang sudah ada. Dan akhirnya sanggar mini yang ada di desa Pegending itu pindah menjadi di Banjar kebon, Desa Lokasari, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem. Setelah beberapa tahun berjalan sanggar Dharma Prawerti ini menjadi sangat dikenal di masyarakat. Bahkan sudah sering pentas-pentas diajang-ajang yang bergengsi, seperti Pesta Kesenian Bali, dan lain sebagainya. Itulah sejarah singkat dari pada sanggar Dharma Prawerti. Di dalam sanggar Dharma Prawerti ini ada struktur atau kepengurusan sanggar yaitu sebagai berikut : Ketua : I Wayan Kariasa, Sekretaris : I Kadek Budiana, Bendahara : I Ketut Agus Angrama, SSn, dan ada anggota. Sampai sekarang jumlah anggota sanggar Dharma Prawerti berjumlah 33 orang. Didalam suatu sanggar atau perkumpulan tentu saja ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sanggar yang bersangkutan. Seperti yang ada di dalam sanggar Dharma Prawerti, yaitu latihan rutin setiap dua kali seminggu yaitu setiap hari selasa dan hari sabtu, kegiatan rutin yang lainnya dilakukan adalah rapat yang dilaksanakan setiap satu bulan sekali, melakukan persembahyangan bersama pada hari-hari tertentu, odalan-odalan di pura-pura tertentu, dan kegiatan lain misalnya ngayah megambel, dan lain sebagainya. Disana semua anggota sanggar menjadi senang gembira bisa berkumpul dengan teman-teman anggota sanggar. Selain itu juga ada suka duka yang diberlakukan didalam sanggar, seperti misalnya ada anggota sanggar yang sakit atau opname maka diberikan santunan, yang diperoleh dari iuran masing-masing anggota. Kemudian juga kalau ada salah satu dari anggota sanggar yang menikah maka diberikan juga sumbangan yang juga diperoleh dari masing-masing anggota sanggar. Selain itu Sanggar Dharma Prawerti ini mengadakan acara ulang tahun setiap tanggal 1 oktober. Itu dilakukan secara rutin dan berkesinambungan. Dari awal terbentuknya sanggar ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Itu terbukti dari semakin banyaknya anggota sanggar tesebut. Dan masih banyak yang ingin masuk dan ikut serta menjadi anggota sanggar. Akan tetapi pengurus masih melihat gelagat dari orang-orang yang akan masuk untuk ikut menjadi anggota sanggar. Yang paling penting keseriusan dan minat yang tinggi untuk bergabung menjadi anggota sanggar, pasti akan diterima untuk menjadi anggota atau bagian dari pada sanggar Dharma Prawerti. Perkembangan yang lain bisa dilihat dari sudah semakin banyak memiliki tabuh-tabuh yang tentu saja sudah mengalami perkembangan. Selain itu juga bisa dilihat dari segi kostum yang dimiliki sanggar Dharma Prawerti. Sampai saat ini sanggar Dharma Prawerti memiliki 4 seragam yang digunakan baik untuk ngayah-ngayah atau pun dipakai untuk pentas-pentas diajang yang bergengsi. Dari perkembangan-perkembangan itu maka sanggar Dharma Pawerti ini sudah dikenal oleh orang banyak, baik di desa maupun di luar desa. Sanggar Dharma Prawerti mempunyai manajemen yang mengatur keuangan, keagamaan, dan lain sebagainya. Kalau dilihat dari keuangan, misalnya mendapat uang dai hasil pentas, maka setengah dari uang itu akan masuk ke dalam kas sanggar, dan setengahnya lagi akan dibagi rata dan diberikan kepada anggota sanggar. Karena kita sebagai seniman juga perlu materi yang akan dipergunakan untuk keperluan hidup kita. Didalam pembagian honor itu semua mendapat bagian yang sama, supaya tidak ada kesalah pahaman antara anggota sanggar. Manajemen yang seperti itulah yang dijunjung tinggi oleh sanggar Dharma Prawerti sehingga tidak ada yang merasa dirugikan di dalam suatu organisasi tersebut. Sehingga sampai sekarang sanggar Dharma Prawerti bisa semakin berkembang dan bisa digunakan untuk melestarikan kesenian-kesenian yang ada khususnya di wilayah sanggar.
Sumber : Hasil wawancara dari I Ketut Agus Angrama, Ssn
Perjalanan umat hindu di Bali pada khususnya, sudah sejak zaman dahulu memperingati hari raya nyepi. Adapun upacara ini sangant berkesan baik melalui kehidupan duniawi maupun rohani. Hari raya nyepi seperti ini tidak akan dilewatkan begitu saja,melainkan selealu akan dilaksanakan sebaik mungkin.Salah satu upacara keagamaan yang datangnya setiap satu tahun sekali adalah hari raya nyepi,yakni sebagai peringatan atau penyambutan tahun baru caka oleh umat hindu di Indonesia dirayakan secara khas dengan melakukan tapa brata atau juga dengan cara beyoga dalam wujud lahiryah,adalah pati agni (mematikan api) serta tidak melakukan aktivitas apapun juga.Akan tetapi masih banyak umat hindu yang masih belum melaksanakan tapa brata penyepin dengan sebaik-baiknya.Tujuan daripada hari raya nyepi adalah untuk menyebarluaskan keputusan “Mahasabha”(Pesamuan Agung Parisadha Hindhu Dharma).Adapun tujuan,harapan atau keputusan Parisadha Hindhu Dharma khusunya di Bali yakni bertujuan untuk memahami apa sebenarnya hari raya nyepi,kita sebagai umat hindu agar selalu ingat dengan upacara kita sendiri.Kita sebagai umat hindu sebelum dan sesudah hari raya nyepi sudah ditentukan oleh Parisadha Hindu Dharma.Rangkaian pelaksanaan hari raya nyepi dimulai dengan upacara melasti atau mekiis ke segara atau ke tempat yang dianggap suci,yang mempunyai makna untuk menyucikan Arca,Pratima,Pralingga,sebagai dimaklumi bahwa Arca,Pratima,Pralingga itu adalah media untuk memusatkan pikiran dalam rangka untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi.Arca,Pratima,Pralingga itu bermacam macam wujudnya,seperti Arca Brahma,Arca Wisnu,Ganapati dan lain-lain.Akan tetapi ada juga Pratima atau Pralingga yang berwujud permata,batu dan juga kepingan emas.Upacara melasti biasanya dilangsungkan setiap tiga hari atau dua hari sebelum hari raya nyepi.Pada upacara melasti itu semua Arca,Pratima atau Pralingga itu di usung ke segara atau mata air yang dianggap suci,masyarakat Bali biasa menyebutnya sebagai mesucian.Di dalam lontar Sang Aji Swamandala disebutkan “angayutaken laraning jagat,paklesa letuhing buana”yang artinya untuk melenyapkan penderitaan masayarakat dan kotoran dunia.Sedangkan di dalam lontar Sundarigama dinyatakan”amet sarining amerta kamandalu ritelenging samudera”yang artinya untuk memperoleh air suci kehidupan di tengah-tengah lautan.Jadi berdasarkan kutipan di atas,maka proses berupa melasti itu adalah mensucikan media atau alat-alat atau simbolnya,serta saat itu pula umat hindu mulai memantapkan diri untuk hari raya nyepi.Setelah upacara melasti,sang Hyang Widhi dimohon untuk berstana di Pura Bale Agung,dan itu disebut dengan nyejer dan berlangsung selama selesai upacara bhuta yadnya sehari sebelum hari raya nyepi pada sore harinya.selama Arca nyejer umat hindu wajib mempersembahkan puja bakti,sesajen atau persembahan yang di sebut prani.Pada saat itu pula umat hindu memohon tirta amerta atau air suci kehidupan untuk kesejahteraan dirinya.Sehari sebelum hari raya nyepi ada upacara buta yadnya dalam Agastya Parwa dinyatakan “buta yadnya yadja ngaranya tawur kepujang intuwuh” yang artinya buta yadnya adalah tawur untuk kesejahteraan makhluk hidup.Wujud upacara buta yadnya ini lebih dikenal dengan upacara tawur kesanga yang rutin dilaksanakan setiap satu tahun sekali,yakni sehari sebelum hari raya nyepi.Umat hindu melaksanakan hari raya nyepi dengan tidak melaksanakan aktivitas apapun.Hidup tanpa aktivitas fisik untuk memadamkan kobaran api indrya,hawa nafsu,karena suasana yang khas yaitu nyepi atau sunyi,maka hari raya ini disebut dengan hari raya nyepi.Tentang betapa besar makna sepi dan sunyi itu di dalam kekawin Nirarta Prakarta VII.2 disebutkan bahwa ketika pikiran itu telah hening dan menjadi amat hening dan sunyi,tercapailah pikiran yang bebas.Pikiran yang semacam itu melingkupi seluruh alam yang bagi orang itu bagaikan tidak di dunia.Orang yang seperti itu sebenarnya telah dapat mewujudkan hakekat kebenaran serta mencapai tingkat ketinggian rohani.Demikian juga dengan kekawin Dharma Sunya,dinyatakan bahwa pikiran orang yang berhasil yoganya adalah tidak terbatas lagi,beliau telah menjangkau alam tertinggi,batasnya tidak terpancar lagi telah halus dan bersih.Hal itu disebutkan hakekat Nirasraya langgeng berbadan sunyi yang sempurna,indah dan sangat sukar untuk dipikirkan dan digambarkan.Berdasarkan kutipan di atas betapa besar makna sunyi atau sepi itu,sebab dengan kesunyian itu seseorang akan mencapai kesatuan atman dengan paramatman,jiwa pribadi bersatu dengan jiwa alam semesta.Dengan demikian hari raya nyepi adalah hari untuk melatih diri untuk menyepikan diri,melakukan pengendalian diri,tapa brata,yoga dan semadi yang lebih dikenal dengan catur brata,yang terdiri dari beberapa bagian yaitu,Amati Geni yang artinya tidak boleh menyalakan api atau lampu,kemuadian yang kedua ada Amati Karya, yang artinya tidak boleh bekerja,dan yang ketiga yaitu Amati Lelanguan yang artinya tidak boleh menyuarakan benda yang mengeluarkan bunyi atau dengan kata lain tidak boleh bersenang-senang,dan yang terakhir Amati Lelungan yang artinya tidak boleh bepergian.Makna dari pada amati Geni itu secara lahiryah tidak menyalakan api baik siang ataupun malam,tidak memasak dan tidak menyalakan lampu penerangan.Tidak memasak karena mereka yang berpuasa.Mereka tidak akan menikmati makanan dan minuman,sedangkan bagi mereka yang tidak berpuasa (anak-anak atau orang sakit) makanannya disiapkan sehari sebelumnya sekala,diri (jasmani dan rohani) dan bakti kepda Sang Hyang Widhi dapat dan lampunya dapat dinyalakan (diberi semacam dispensasi) bagi keluarga yang mempunyai bayi,keluarga yang sakit,atau ada kematian.Kemudian yang kedua ada Amati Karya yaitu tidak melaksanakan kerja fisik sebagai upaya untuk melaksanakan tapa,brata,yoga dan smadi.Tapa berarti pengekangan diri,brata berarti taat dan tangguh terhadap janji atau tekad untu melaksanakan yoga.Yoga berarti menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi,sedangkan smadi berarti pemutusan pikiran untuk menuju kebahagiaan yang sejati.amati Karya secara fisik bagi umat yang awam dapat dialihkan dengan cara membaca kitab-kitab suci,Bhagawadgita,Upanisad dan lain-lain.Kemudian yang ketiga Amati Lelanguan yang berarti tidak menikmati hiburan,musik,lagu-lagudan lain sebagainya.Pikiran dipusatkan untuk merenungkan keagungan Tuhan Yang Maha Esa dan untuk introfeksi diri dan mendengarkan suara alam tanpa aktivitas manusia.Kemudian yang terakhir Amati Lelungan yang berarti tidak bepergian kemanapun.Jadi harus tinggal di halam rumah kita sendiri.Tidak bepergian kemanapun dalam artian tidak keluar rumah adalah upaya untun mendukung kegiatan tapa,brata,yoga,dan smadi.Bila brata penyepian dilaksanakan di luar rumah,misalnya di sebuah Pura,pengunungan,di pantai atau di hutan,maka yang paling penting adalah tidak pergi lagi dari tempat kita melakukan atau melaksanakan tapa brata tersebut,sudah barang tentu kita akan dikenakan denda oleh petugas atau pecalang yang berjaga.Itu sebabnya orang Hindu di Bali tidak berani melanggar aturan atau awig-awig yang berlaku di Desa itu sendiri.Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa hari raya Nyepi adalah upacara sebagai pergantian tahun baru caka.Adapun tujuan daripada hari raya Nyepi itu adalah agar umat Hindu di seluruh Indonesia dapat melaksanakan hari raya Nyepi dengan sebaik-baiknya.Sebelum kita melaksanakan Hari raya Nyepi tersebut sehari sebelum Nyepi umat Hindu melakukan berbagai upacara “Mecaru” yang bertujuan untuk memberikan labaan kepada Buta kala agar tidak mengganggu kita di dunia.
Barunan gong kebyar adalah adalah salah satu barungan yang memiliki banyak instrument dan memiliki fungsi masing-masing pada setiap instrumennya.Salah satu instrumen pendukung daripada gong kebyar adalah suling.Instrumen suling berfungsi sebagai pemanis gending atau tetabuhan.Tanpa instrumen suling tabuh-tabuh kurang manis dan berwibawa,apalagi dalam tabuh lembut atau melo,sebagai contoh tabuh untuk mengiringi tari-tarian,misalnya tari topeng tua.Tabuh tari topeng tua kalau tidak isi instrumen suling sebagai pemanis,maka tabuh itu kurang cocok untuk mengiringi tari tersebut,karena tabuh tari topeng tua itu temponya sangan lambat atau pelan,sehingga sangt diperlukan instrumen suling sebagai pemanis.Dalam Seni karawitan kekebyaran,hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan instrument suling masuk sebagai bagian dari pada barungan gamelan tersebut.Suling yang terbuat dari bambu biasanya memiliki 6 sampai 7 lubang nada pada bagian batangnya dan lubang pemanis (song manis) pada bagian ujungnya.Sebagai salah satu instrumen di dalam gamelan bali,terdapat berbagai bentuk ukuran dari yang panjang,menengah dan pendek.Dilihat dari ukurannya tersebut suling dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok yaitu Sulung Pegambuhan,Suling Pegongan,Suling Pearjan,Suling Pejangeran dan Suling Pejogedan.Masing-masing mempunyai fungsi,baik sebagai instrumen pokok maupun sebagai instrumen pelengkap.Teknik permainan suling bisa simetris dengan lagu atau memberikan ilustrasi gending baik mendahului meupun membelakangi melodi geding pokok.Tetekep dan cara meniup akan berubah tergantung kebutuhan dari pada nada lagu yang dimainkan sebagai melodi atau ilustrasi lagu atau ketika ada suling yang dipakai memiliki saih gamelan lain,sehingga harus menyesuaikan dengan nada gamelan dengan mengubah tetekep,seperti menggunakan tetekep ding,dong dan tetekep yang lain.Sebagai salah satu dari alat musik tradisional,suling tergolong alat musik tiup (arophone) dimana dalam permainan Karawitan Bali dimainkan dengan teknik “Ngunjal Angkihan ” yaitu suatu teknik permainan tiupan suling yang dilakukan secara terus-menerus dan memainkan motif “wewiletan” yang merupakan pengembangan dari nada-nada pokok atau melodi dari sebuah kalimat lagu.Mengamati perkembangan dari pada Seni Karawitan Bali khususnya Seni karawitan kekebyaran dewasa ini,telah terjadi pergeseran atau perubahan fungsi dari beberapa instrumen yang terdapat dari barungan Gamelan Gong Kebyar.Salah satu perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya fungsi instrumen suling dalam barungan gamelan tersebut.Sebagai salah satu tonggak penting dalam perkembangan fungsi suling dalam komposisi kekebyaran,dapat disimak dari salah satu komposisi yaitu Tabuh Kreasi baru Kosalia Arini yang diciptakan oleh I Wayan Berata dalam Mredangga Utsawa pada tahun 1969,dimana dalam komposisi tersebut mulai diperkenalkan adanya penonjolan permainansuling tunggal.Terjadinya perkembangan fungsi suling tersebut merupakan salah satu fenomena yang sangat menarik dimana suling yang pada awalnya memiliki fungsi sekunder yaitu sebagai instrumen pendukung,kemudian berkembang menjadi instrumen primer yaitu instrumen utama.Suling memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan komposisi kekebyaran dimana melodi yang dimainkan tidak hanya terpaku pada permainan laras pelog lima nada,tetapi sudah dikembangkan oleh para composer sebagai penghubung hingga mampu menjangkau nada-nada atau melodi menjadi lebih luas melingkupi berbagai patet seperti tembung,sunaren, bahkan mampu memainkan nada-dan selendro.Dari pengembangan fungsi tersebut komposisi tabuh kekebyaran yang diciptakan pada dua decade balakangan ini menjadi lebih inovatif dan kaya dengan nada atau melodi.Adanya pengembangan fungsi suling dalam komposisi kekebyaran terkadang menimbulkan fenomena yang lebih ekstrim dimana dalam sebuah karya komposisi instrumen ini muncul sebagai alat primer dan vital,tanpa kehadiran instrument instrument tersebut,maka sebuah komposisi tidak akan dapat dimainkan dengan baik sebagai mana mestinya.Bunyi suling dihasilkan melalui sebuah teknik pernafasan dari proses pemompaan dari rongga perut kemudian udara disalurkan melalui rongga mulut yang diatur pengeluarannya oleh perubahan bentuk bibir yang seterusnya udara masuk melalui sebuah lubang suling yang telah dibingkai oleh seutas tali rotan kemudian masuk ke dalam rongga bambu (resonator),yang akhirnya suara atau bunyi dapat didengar melalui lubang-lubang nada,serta lubang pembuangan.Untuk menghsilkan warna-warna suara baik yang rendah,sedang maupun tinggi,itu sangat tergantung pada tekanan udara yang disalurkan melalui lubang sumber pada suling.Selain itu posisi mulut dan bibir memiliki peran untuk memiliki peran untuk menghasilkan perbedaan dinamika atau warna suara.Dengan demikian teknik tiup yang dilakukan dengan baik dan benar akan sangat berpengaruh terhadap kalitas bunyi yang dihasilkan dengan baik pula.Kalau dilihat secara umun suling tradisional bali memiliki 3 bentuk yakni suling keci atau disebut dengan suling cenik,suling menengah atau juga disebut suling sedang,dan suling besar atau disebut suling gede.Di dalam permainan gong kebyar tutupan atau yang sering disebut tetekep suling yang digunakan adalah tetekep Deng : deng,dung,dang,ding,dong (laras pelog).Tetekep Deng yakni Nada Deng yaitu jari menutup semua lubang nada.Kalau nada Dung membuka lubang 5 dan 6 saja.Nada Dang yaitu membuka lubang 4,5,6 saja.Nada Ding menutup lubang 1 dan 3 saja yang lainnya dibuka.Dan yang terakhir nada Dong yaitu membuka lubang 1 dan 4 saja yang lainnya ditutup.Lubang satu dimulai dari lubang atas suling.Dengan instrumen suling maka gending-geding tetabuhan baik gong kebyar maupun yang lainnya akan semakin manis dan merdu.selain yang sudah dijelskan di atas maka suling juga memiliki keunikan lain yaitu suara dan aura bunyinya khas karena suaranya sangat menjolok dari pada instrumen lainnya sehingga instrumen suling memiliki suara paling menonjol pada tabuh-tabuh terutama gamelan tari.Instrumen suling mempunyai kelebihan dengan instrumen lainnya yaitu sebagai penghubung atau menjembatani dari pada tetabuhan-tetabuhan yang ada,baik gong kebyar dan lain sebagainya.Selain itu instrumen suling dapat diorkestrasi oleh banyak orang sehingga akan menambah meriah suasana tetabuhan yang dimainkan oleh para pemainnya.Suara instrumen suling bambu dapat meliuk-liuk dengan cengkok dan warna bunyi yang sangat khas dan alamiah.Liuk-liukan instriemen suling itulah yang menambah keindahan dan kemerduan daripada suatu tabuh itu.Dari pemaparan di atas maka bisa disimpulkan bahwa di dalam sebuah barungan Gong Kebyar ada berbagai instrumen seperti,kendang,gangsa,ugal,gong,reong,kempur suling,dan masih banyak lagi instrumen-instrumen lainnya yang mendukung barungan gong kebyar,karena tanpa ada instrument-instrumen tersebut maka baruangan gong kebyar tidak akan lengkap dan antara instrumen satu dengan instrumen lainnya saling mendukung atau saling berhubungan.Maka kita sebagai seniman bali kita harus bisa memainkan semua instrumen yang ada pada barungan gong kebyar,supaya kita tidak malu kepada orang-orang kita sebagai orang bali harus melestarikan budaya bali.Karena budaya bali merupakan warisan dari pada leluhur kita,dan kita bertugas dan wajib untuk melestarikannya.Itulah sedikit penjelasan tentang teknik permainan dan fungsi instrumen suling pada barungan gong kebyar.Semoga dengan ini bisa menambah wawasan atau pengetahuan para pembaca dan seluruh masyarakat yang ada di Bali pada khususnya.Semoga artikel ini bisa berguna dan bermanfaat bagi semua orang dan bisa mempelajari taeknik-teknik permainan suling terutama dalam gamelan gong kebyar,dan juga supaya bisa kita membagi ilmu tentang pengetahuan kita terutama tentang seni yang ada di daerah bali pada khususnya bahkan sampai ke manca Negara,supaya pulau bali ini bisa ajeg dan lestari terutama dalam bidang seni yang dimiliki,dan menjadi suatu pelajaran yang bisa berguna pada setiap orang yang ada di Bali.
Sumber : Blog.isi-dps.ac.id
Ada sejumlah tradisi budaya khas kabupaten Karangasem yang sangat unik dan menarik yang bercirikan “Perang” yang bernafaskan heroism yang hingga kini masih dilestarikan dan dilakoni masyarakat.Tradisi-tradisi itu misalnya perang api yang sering disebut ”Teteran” yang ada di Desa Jasri kecamatan Karangasem,Ada juga perang Jempana,dan perang pelepah pisang (Tetabahan) di Desa Bugbug Kecamatan Karangasem,ada juga mesabat-sabatan biyu atau sering disebut perang buah pisang tepatnya di desa Tenganan Dauh Tukad,dan ada juga perang pandan berduri yang sering dikenal dengan Mekare-kare yang terdapat di Desa Tenganan Pegringsingan kecamatan Manggis,salah satu penduduk Bali Aga (Bali asli),Kemudian yang terkhir ada yang namanya perang rotan,yang sering dikenal dengan dengan sebutan Gebug Ende,yang terdapat di Desa Seraya Kecamatan Karangasem.Tradisi perang rotan atau yang sering dikenal dengan Gebug Ende yang terdapat di Seraya inilah yang akan kita bahas dalam artikel ini.Tradisi Gebug Ende ini biasanya dilaksanakan terkait saat mulai musim kemarau tiba seperti pada sasig kapat yang biasanya jatuh pada bulan Oktober sampai November.Desa Seraya ini telah dimekarkan tiga wilayah,yaitu Desa Seraya (induk), Seraya barat dan Seraya Timur.Jaraknya kira-kira 10 meter dari kota Amlapura setelah melewati obyek wisata Taman Sukasada Ujung.Keadaan Desa Seraya sangat tandus.Oleh karena itulah Desa Seraya khusunya memiliki tradisi budaya yang religius dan sangat unik untuk memohon turunnya hujan.Untuk terkabulnya permohonan itu mereka biasanya menggelar tradisi yang namanya Gebug Ende atau juga bisa disebut Gebug Seraya (perang rotan).Cara mereka melakukan tradisi ini bisa dikatakan menarik dan juga mengerikan,karena berduel satu lawan satu dengan memakai alat pemukul dari rotan tanpa mengenakan baju tetapi hanya memakai kain adat atau kamen saja.tak pelak cucuran darah tubuhnya atau kepalanya akan mengalir karena pukulan sebatang rotan sangatlah keras,paling tidak bekas memar akan membekas setiap pukulan rotan itu mendarat dipinggungnya apalagi Gebug Ende ini biasanya dimainkan di bawah terik matahari.Plak,plak,plak,cebet,cebet.Begitu suara pukulan sebatang rotan membentur Ende (perisai) dan sekali-kali menerpa tubuh lawan.Mereka bertanding satu lawan satu.Musik yang dipakai untuk mengiringi adalah gamelan baleganjur.Para pemain membawa sebatang rotan sebagi alat pemukul yang panjangnya sekitar satu meter.Sedangkan alat penangkisnya yaitu sebuah perisai bergais tengah 60 cm yang terbuat dari lapisan kulit sapi kering yang terikat pada bingkai kayu.Meski tubuh para pemain terkena pukulan rotan,mereka merasa sangat gembira dan sembari meraka tambah semangat menari-nari dengan kegirangan.Masyarakat Desa Seraya percaya kalau dalam permainan Gebug Ende ini salah satu pemainnya sampai mengeluarkan darah dari pukulan rotan,maka ada kemungkinan hujan akan cepat turun.Atraksi Gebug Ende ini pada umumnya dilakukan di sela-sela istirahat kerja di lading pada siang atau sore hari biasanya pada saat akan menjelang musim tanam di lading.Menurut keparcayaan masyarakat Seraya,permainan Gebug Ende digelar di wilayah desanya untuk memohon kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa agar hujan segera turun untuk keperluan pertanian atau konsumsi.Tetapi tidak selalu sehabis atraksi Gebug Ende hujan akan spontan turun,karena hujan akan turun itu tergantung dari Tuhan Yang Maha Esa,paling idak warga sudah berupaya memohon kepada yang Kuasa.Atraksi ini biasanya berlangsung atau diselenggarakan di tempat-tempat umum dengan mengundang lawan yang ada di desa sekitarnya.Pemain Gebug Ende ini dilakoni oleh baik anak kecil,dewasa,maupun orang tua tak ketinggalan dalam mengadu kepintaran mamainkan batangan rotan dan perisai.Menurut masyarakat Desa Seraya yang sudah sering ikut atraksi ini,jika para pemain sudah memegang batang rotan dan perisai,maka akan muncul gejolak hati untuk melawan musuh.Tidak memandang teman ataupun saudara yang dilawan.Bagi para pemain Gebug Ende ini bersimbah darah akibat terkena rotan itu sudah biasa,rasa sakit dan gembira membaur menjadi satu.Kemudian luka-luka yang ada di tubuh pemain Gebug Ende ini akan segera kering dan sembuh dengan memakai obat ramuan tradisional.Karena tradisi ini memiliki kekhasan dan keunikan serta berkualitas baik sebagai seni pertunjukan rakyat,maka berbagai pihak masyarakat dan pemerintah memanfaatkan tradisi ini untuk dipertunjukkan dalam acara-acara tertentu termasuk konsumsi wisatawan domestic dan mancanegara yang datang ke Karangasem.Meski tampil sebagai pesanan untuk pertunjukan pemain Gebug Ende tidak boleh direkayasa atau diseting,justru kalau direkayasa atau diseting permainan ini bisa membawa petaka bagi para pemainnya,seperti kepalanya bisa bocor dan keluar darah akibat kena gebugan rotan.Saking populernya Gebug Ende ini maka salah satu seniman tari dari Kabupaten Karangasem yakni Ni Made Kinten mengemas tradisi Gebug Ende ini ke dalam bentuk tarian yang cukup atraktif yang tidak lepas dari dasar-dasar dari pakem yang ada dalam tradisi Gebug Ende itu.Tarian Gebug Ende ini sudah pernah dipentaskan di panggung terbuka Ardha Candra dalam memeriahkan Pesta Kesenian Bali pada tahun 2009 yang lalu.Pada umumnya permainan gebug Ende ini berlangsung singkat yaitu sekitar 10 menit.Tidak pernyataan resmi dari wasit pihak yang menang atau pun kalah,melainkan hanya penonton yang menilainya.Aturan dari pada permainan Gebug Ende ini sangat sederhana.Arena yang dipergunakan tidak menuntut tempat yang luas,minimal 6 meter persegi.Juru kembar atau juri permainan masing-masing menyeleksi perbandingan atau penyesuaian lawan postur tubuh maupun usia.sebelum permainan dimulai biasanya didahului dengan permainan pendahuluanyang dimainkan oleh juru kembar tetapi tidak sampai rotan membentur tubuh lawan.Hal itu hanya dilakukan sebentar sebagai rangsangan atau pemberi semangat kepada yang akan bermain atau bertanding.Biasanya kalau permainan Gebug Ende ini digelar di desanya,sebelum permainan dimulai,para pemainnya biasanya minum tuak (nira).Itu bertujuan agar badan cepat panas tetapi tidak sampai mabuk.Peraturan dari permainan ini sangat sederhana yaitu tidak diperkenankan memukul di bawah pusar dan saling berangkulan.Tidak boleh menyerang melewati garis batas wilayah posisi pemain.Jika aturan tersebut dilanggar,mereka akan dilerai dan diberi peringatan.Apabila pemainnya tidak mengindahkan peringatan tersebut,maka merekan akan dikeluarkan dari arena permainan dan dinyatakan kalah dalam permainan tersebut.Permainan Gebug Ende seperti yang sudah dipaparkan di atas ini tidak hanya ada di Desa Seraya saja,tetapi di Lombok (Nusa Tenggara Barat) juga mengenal jenis tradisi itu ada,tetapi hanya saja namanya yang berbeda.Kalau di Lombok tradisi unik ini dinamakan “Presean” dn popularitasnya sama antara di Lombok dengan di Desa Seraya.Prinsip permainan rakyat itu sama,yaitu disamping tujuan utama kepada Tuhan Hyang Maha Esa untuk memohon hujan agar cepat turun,tetapi juga sebagai hiburan yang cukup marak di kedua tempat tersebut yang letaknya sangat berjauhan.Tetapi ada juga bedanya yaitu alat penangkisnya atau perisainya.Kalau di Lombok bentuk perisai atau alat penangkisnya itu persegi empat,sedangkan di Desa Seraya Karangasem alat penangkis atau perisainya bentuknya bundar.Ada satu lagi kesamaan yang dimiliki antara Desa Seraya Karangasem dan Lombok Barat,yaitu nama Desa Seraya juga terdapat di Lombok tepatnya di Lombok Barat.Dan orang-orangnya pun berasal dari satu keturunan Desa Seraya Karangasem.Hal itu disebkan masyarakat Desa Seraya karangasem,sejak zaman Kerajaan Karangasem pada abad ke-17 pernah melebarkan kekuasaannya sampai ke Pulau Lombok dengan iringan dari warga Desa Seraya Karangasem.Oleh karena itu di Lombok atau Nusa Tenggara Barat juga ada nama desa Seraya yang sama dengan Desa yang ada di Kabupaten Karangasem bagian timur yaitu Desa Seraya.Dari Pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa di Kabupaten Karangasem ada banyak macam tradisi-tradisi yang unik yang sudah terkenal bahkan sampai ke manca Negara.Tradisi tersebut salah satunya adalah Tradisi Gebug Ende atau yang sering disebut dengan Gebug Seraya yang ada di Desa Seraya Karangasem.Tujuan dari tradisi Gebug Ende tersebut adalah untuk memohon hujan kepada Tuhan,karena Desa Seraya dilanda kekeringan.Itulah salah satu tradisi yang ada di Kabupaten Karangasem yang sangat unik dan bisa dikatakan bersejarah bagi masyarakat Desa seraya Karangasem.
Sumber : http://karangasemkab.go.id