Tugas Literatur Musik Nusantara I ” resensi tentang jalur perkembangan gamelan pegambuhan”
Posted Under: Tulisan
Jalur Perkembangan Gamelan Pegambuhan
Dalam sejarah menyebutkan istilah Gambuh ditemukan dalam lontar Wangbang Wideya yang menurut Robson, karya sastra ini digubah di Bali abad ke-16. Sedangkan nama-nama instrument gamelan pegambuhan ini sudah banyak disebutkan sebelumnya dalam prasati-prasati Bali maupun dalam beberapa kitab kekawin, namun barungan atau orchestra gamelan pegambuhan ini belum ada disebutkan dalam prasasti-prasasti maupun dalam kitab kekawin. Sejarah yang memuat tentang gamelan pegambuhan sebagai orchestra baru ditemukan dalam Lontar Prakempa dan Aji Gurnata yang tidak mempunyai angka tahun. Kedua lontar tersebut memuat bab yang disebut Tutur Catur Muni-muni yaitu empat bunyi-bunyian sekawan yang konon semuanya berasal dari gamelan pegambuhan. Fungsi dan instrumentasi gamelan pegambuhan juga disebutkan dalam Tutur Catur Muni-muni yaitu :
“ Kunang gagambelan simladprana ika gendingnya pagambuhan..Kunang bebarungannya kempul sanunggal pelog sinarengan dening pesawur selendro, rebab sawiji, sawurnya angumbang.. Lwiring hahambelan iki pinalu ring ajeng ingangge ritatkala sang kala asasuguh ri wadwanira, mwang ring para wiku, ritanda mantri sumantri adipati, mwang tanda rakryan.. Kunang ikang wwang angigel pinilih rupanya kanga nom apekik, anom ayu, pada wustameng tataning papajaran…”
Dari ulasan diatas gamelan pegambuhan sangat erat hubungannya dengan dramatari Gambuh, sehingga tidaklah lepas dari awal mulanya perkembangan dramatari Gambuh di Bali. Awal mula dramatari Gambuh belum diketahui awal mulanya. Dalam Lontar Candra Sengkala dan Lontar Babad Dalem ( keduanya koleksi I Ketut Rinda, blahbatuh Gianyar) memberikan ulasan yang belum memuaskan karena masih banyak terdapatnya perbedaan pendapat dari sumber-sumber lain.
Lontar Candra Sengkala menyebutkan bahwa dramatari Gambuh terbentuk di bali pada tahun 929 caka oleh raja Sri Udayana yang belum dijadikan informasi yang akurat. Data pembanding yang digunakan untuk mencirikan dramatari Gambuh yaitu cerita Panji, menurut penelitian Poerbatjaraka bahwa cerita Panji baru terbentuk pada masa kerajaan Majapahit dan tersebar ke Bali dan Asia Tenggara lainnya pada abad ke-14. Dalam Lontar Candra sengkala dikesimpulkan bahwa kesenian Gambuh itu sudah tua umurnya.
Lontar Babad Dalem menyebutkan bahwa Gambuh di bangun oleh para arya (bangsawan) Majapahit setelah selesainya dibangn kraton raja di Samprangan pada tahun 1428 Masehi. Namun terdapat perbedaan pendapat dari sumber sajarah lainnya yang menyebutkan bahwa raja pertama yang memeritah di Bali adalah Sri Kresna Kepakisan tahun 1352-1380 masehi yang berkraton di Samprangan. Sedangkan pada tahun 1380, keratin dalem dipindahkan ke Gelgel dengan raja Dalem Ketut Ngulesir(1380-1400 masehi). Dengan demikian tahun 1428 keratoon Dalem bukan di Samprangan melainkan di Gelgel.
Ekspedisi Gajah Mada ke Bali tahun 1343 dapat dipandang sebagai salah satu usaha kerajaan Majapahit untuk memperoleh hubungan pusat dan serangkaian dengan mempersatukan nusantara. Setelah kerajaan Bali ditaklukan, Gajah Mada mengangkat Sri Kresna Kepakisan yang merupakan seorang kesatria yang berasal dari seorang Brahmana Kediri (Empu Kepakisan). Beliau merupakan pendiri Dinasti Kepakisan di Bali. Para bangsawan Bali asli semuanya kena petita (penurunan derajat dan pemerintahan), sehingga pada masa pemerintahan beliau banyak tejadinya pemberontakan dari orang Bali.
Dalem Waturenggong merupakan anak tertua dari Dalem Ketut Ngulesir yang dijadikan sebagai raja Gelgel. Pada masa pemerintahan Beliau disebut-sebut sebagai puncak kejayaan kerajaan Bali karena wilayah kekuasaan melewati batas pulau seperti Sasak ( Lombok ), Sumbawa, Blambangan ( Jatim ) dan Puger. Runtuhnya Majapahit tahun 1478, menyebabkan banyak rakyat dan bangsawan Majapahit lari ke Bali dengan membawa unsure-unsur kebudayaan termasuk beberapa keris seperti Si Lobar Bangawan Canggu, Pancajaya, Tanda Langlang, dan Titinggi.
Tahun 1510 Raja Waturenggong di datangi pendeta, sastrawan, ahli arsitektur dan seorang yang ahli agama Hindu dari Majapahit yaitu Dang Hyang Nirartha. Beliau diangkat menjadi penasehat kerajaan dan bersama melakukan perubahan di Bali seperti pembangunan pura, memperdalam ajaran Hindu di Bali, serta membuat sastra. Pada saat inilah dramatari Gambuh berkembang di Bali karena usaha legimilitasi raja Waturenggong yang merasa bertanggung jawab atas kesinambungan kebesaran Majapahit. Dramatari Gambuh ini mempunyai kesamaan dengan Raket ( dramatari istana Majapahit ). Dramatari Raket diselenggarakan di istana Majapahit yang merupakan pertunjukan ritual untuk kemakmuran negara. Dramatari Gambuh semasih zaman fcodal merupakan seni istana yang dianggap dapat menanbah wibawa dan semaraknya istana. Dibentuknya kesenian Gambuh dianggap nama lain dari dramatari Raket yang merupakan salah satu jenis usaha yang dilakukan Waturenggong untuk menghidupkan kembali seni istana Majapahit dan mempunyai tempat khusus pertunjukannya yang disebut bale rangki dan bale pegambuhan.
Lontar Prakempa dan Aji Gurnita menyebutkan bahwa gamelan pegambuhan dimainkan pada saat sang prabhu mengadakan pesta bertemu dengan pemuka masyarakat, para wiku, mentri negara, dan tanda rakryan (patih/hulubalang). Gamelan Pegambuhan ini merupakan iringan tari-tarian yang konon penarinya dipilih yang cantik dan tampan. Ini memberkan indikasi bahwa gamelan Pegambuhan sudah berfungsi sebagai iringan dramatari Gambuh yang muncul sebelum abad ke-15 yang diperkuat dengan adanya instrument seperti suling besar, rebab, kangsi, kendang. Abad ke-9 dikatakan bahwa alat-alat music pennunjang gamelan pegambuhan ini sudah disebut-sebutkan. Indikasi ini berfungsi untuk mengetahui terbentuknya gamelan Pegambuhan di Bali tidak sebagai difusi semata, melainkan telah mengalami campur tangan dan disesuaikan dengan keberadaan dan kejayaan kerajaan Bali.
Dramatari Gambuh telah menjadi seni istana sejak zaman Waturenggong yang juga dikembangkang oleh kerajaan kecil di Bali setelah runtuhnya kerajaan Gelgel dibawah pimpinan Dalem Dimade seperti kerajaan Klungkung, Karangasem, Den Bukit ( Buleleng ), Badung, Tabanan, Mengwi, Payangan, Gianyar dan Bangli yang dibuktikan dengan adanya sekaa gambuh di kerajaan tersebut seperti Jungsri, Budakeling, dan Padang Aji ( kerajaan Karangasem ); Pedungan, Sesetan, Tumbak Bayuh, Buduk ( Kerajaan Badung ); Anturan, Depehe ( Kerajaan Buleleng ); Apit Yeh, Baturiti, Puri Tabanan ( Kerajaan Tabanan ); Karang Gede Nusa Penida ( Kerajaan Klungkung ).
Awal abad ke-20 Bali dikuasai oleh Belanda, namun masih sering mementaskan dramatari Gambuh sebagai penghibur tamu Belanda. Dalam bukunya Julius Jacob yang berjudul “ Eenigen Tijd Onder de Balier (1993), menyebutkan bahwa dalam kunjungan istimewa untuk urusan bisnis, para tamu eropa dihibur dengan Gambuh. Kedatangan Belanda menyebabkan runtuhnya kekuasaan puri dan menyebabkan jenis-jenis kesenian seperti Gambuh memisahkan diri dari keraton. Kalangan seniman mulai berusaha untuk memelihara dan mengembangkan dengan membentuk sekaaa, banjar ataupun perkumpulan seniman.
Keluarnya Gambuh dari tembok keraton yang merupakan tradisi besar, Gambuh digunakan sebagai seni pura atau seni yang digunakan untuk kontekstual keagamaan di pura.
buku : Tambang Emas Karawitan Bali karya I Gede Arya Sugiarta
Reader Comments