Jalur Perkembangan Gamelan Pegambuhan
Dalam sejarah menyebutkan istilah Gambuh ditemukan dalam lontar Wangbang Wideya yang menurut Robson, karya sastra ini digubah di Bali abad ke-16. Sedangkan nama-nama instrument gamelan pegambuhan ini sudah banyak disebutkan sebelumnya dalam prasati-prasati Bali maupun dalam beberapa kitab kekawin, namun barungan atau orchestra gamelan pegambuhan ini belum ada disebutkan dalam prasasti-prasasti maupun dalam kitab kekawin. Sejarah yang memuat tentang gamelan pegambuhan sebagai orchestra baru ditemukan dalam Lontar Prakempa dan Aji Gurnata yang tidak mempunyai angka tahun. Kedua lontar tersebut memuat bab yang disebut Tutur Catur Muni-muni yaitu empat bunyi-bunyian sekawan yang konon semuanya berasal dari gamelan pegambuhan. Fungsi dan instrumentasi gamelan pegambuhan juga disebutkan dalam Tutur Catur Muni-muni yaitu :
“ Kunang gagambelan simladprana ika gendingnya pagambuhan..Kunang bebarungannya kempul sanunggal pelog sinarengan dening pesawur selendro, rebab sawiji, sawurnya angumbang.. Lwiring hahambelan iki pinalu ring ajeng ingangge ritatkala sang kala asasuguh ri wadwanira, mwang ring para wiku, ritanda mantri sumantri adipati, mwang tanda rakryan.. Kunang ikang wwang angigel pinilih rupanya kanga nom apekik, anom ayu, pada wustameng tataning papajaran…”
Dari ulasan diatas gamelan pegambuhan sangat erat hubungannya dengan dramatari Gambuh, sehingga tidaklah lepas dari awal mulanya perkembangan dramatari Gambuh di Bali. Awal mula dramatari Gambuh belum diketahui awal mulanya. Dalam Lontar Candra Sengkala dan Lontar Babad Dalem ( keduanya koleksi I Ketut Rinda, blahbatuh Gianyar) memberikan ulasan yang belum memuaskan karena masih banyak terdapatnya perbedaan pendapat dari sumber-sumber lain.
Lontar Candra Sengkala menyebutkan bahwa dramatari Gambuh terbentuk di bali pada tahun 929 caka oleh raja Sri Udayana yang belum dijadikan informasi yang akurat. Data pembanding yang digunakan untuk mencirikan dramatari Gambuh yaitu cerita Panji, menurut penelitian Poerbatjaraka bahwa cerita Panji baru terbentuk pada masa kerajaan Majapahit dan tersebar ke Bali dan Asia Tenggara lainnya pada abad ke-14. Dalam Lontar Candra sengkala dikesimpulkan bahwa kesenian Gambuh itu sudah tua umurnya.
Lontar Babad Dalem menyebutkan bahwa Gambuh di bangun oleh para arya (bangsawan) Majapahit setelah selesainya dibangn kraton raja di Samprangan pada tahun 1428 Masehi. Namun terdapat perbedaan pendapat dari sumber sajarah lainnya yang menyebutkan bahwa raja pertama yang memeritah di Bali adalah Sri Kresna Kepakisan tahun 1352-1380 masehi yang berkraton di Samprangan. Sedangkan pada tahun 1380, keratin dalem dipindahkan ke Gelgel dengan raja Dalem Ketut Ngulesir(1380-1400 masehi). Dengan demikian tahun 1428 keratoon Dalem bukan di Samprangan melainkan di Gelgel.
Ekspedisi Gajah Mada ke Bali tahun 1343 dapat dipandang sebagai salah satu usaha kerajaan Majapahit untuk memperoleh hubungan pusat dan serangkaian dengan mempersatukan nusantara. Setelah kerajaan Bali ditaklukan, Gajah Mada mengangkat Sri Kresna Kepakisan yang merupakan seorang kesatria yang berasal dari seorang Brahmana Kediri (Empu Kepakisan). Beliau merupakan pendiri Dinasti Kepakisan di Bali. Para bangsawan Bali asli semuanya kena petita (penurunan derajat dan pemerintahan), sehingga pada masa pemerintahan beliau banyak tejadinya pemberontakan dari orang Bali.
Dalem Waturenggong merupakan anak tertua dari Dalem Ketut Ngulesir yang dijadikan sebagai raja Gelgel. Pada masa pemerintahan Beliau disebut-sebut sebagai puncak kejayaan kerajaan Bali karena wilayah kekuasaan melewati batas pulau seperti Sasak ( Lombok ), Sumbawa, Blambangan ( Jatim ) dan Puger. Runtuhnya Majapahit tahun 1478, menyebabkan banyak rakyat dan bangsawan Majapahit lari ke Bali dengan membawa unsure-unsur kebudayaan termasuk beberapa keris seperti Si Lobar Bangawan Canggu, Pancajaya, Tanda Langlang, dan Titinggi.
Tahun 1510 Raja Waturenggong di datangi pendeta, sastrawan, ahli arsitektur dan seorang yang ahli agama Hindu dari Majapahit yaitu Dang Hyang Nirartha. Beliau diangkat menjadi penasehat kerajaan dan bersama melakukan perubahan di Bali seperti pembangunan pura, memperdalam ajaran Hindu di Bali, serta membuat sastra. Pada saat inilah dramatari Gambuh berkembang di Bali karena usaha legimilitasi raja Waturenggong yang merasa bertanggung jawab atas kesinambungan kebesaran Majapahit. Dramatari Gambuh ini mempunyai kesamaan dengan Raket ( dramatari istana Majapahit ). Dramatari Raket diselenggarakan di istana Majapahit yang merupakan pertunjukan ritual untuk kemakmuran negara. Dramatari Gambuh semasih zaman fcodal merupakan seni istana yang dianggap dapat menanbah wibawa dan semaraknya istana. Dibentuknya kesenian Gambuh dianggap nama lain dari dramatari Raket yang merupakan salah satu jenis usaha yang dilakukan Waturenggong untuk menghidupkan kembali seni istana Majapahit dan mempunyai tempat khusus pertunjukannya yang disebut bale rangki dan bale pegambuhan.
Lontar Prakempa dan Aji Gurnita menyebutkan bahwa gamelan pegambuhan dimainkan pada saat sang prabhu mengadakan pesta bertemu dengan pemuka masyarakat, para wiku, mentri negara, dan tanda rakryan (patih/hulubalang). Gamelan Pegambuhan ini merupakan iringan tari-tarian yang konon penarinya dipilih yang cantik dan tampan. Ini memberkan indikasi bahwa gamelan Pegambuhan sudah berfungsi sebagai iringan dramatari Gambuh yang muncul sebelum abad ke-15 yang diperkuat dengan adanya instrument seperti suling besar, rebab, kangsi, kendang. Abad ke-9 dikatakan bahwa alat-alat music pennunjang gamelan pegambuhan ini sudah disebut-sebutkan. Indikasi ini berfungsi untuk mengetahui terbentuknya gamelan Pegambuhan di Bali tidak sebagai difusi semata, melainkan telah mengalami campur tangan dan disesuaikan dengan keberadaan dan kejayaan kerajaan Bali.
Dramatari Gambuh telah menjadi seni istana sejak zaman Waturenggong yang juga dikembangkang oleh kerajaan kecil di Bali setelah runtuhnya kerajaan Gelgel dibawah pimpinan Dalem Dimade seperti kerajaan Klungkung, Karangasem, Den Bukit ( Buleleng ), Badung, Tabanan, Mengwi, Payangan, Gianyar dan Bangli yang dibuktikan dengan adanya sekaa gambuh di kerajaan tersebut seperti Jungsri, Budakeling, dan Padang Aji ( kerajaan Karangasem ); Pedungan, Sesetan, Tumbak Bayuh, Buduk ( Kerajaan Badung ); Anturan, Depehe ( Kerajaan Buleleng ); Apit Yeh, Baturiti, Puri Tabanan ( Kerajaan Tabanan ); Karang Gede Nusa Penida ( Kerajaan Klungkung ).
Awal abad ke-20 Bali dikuasai oleh Belanda, namun masih sering mementaskan dramatari Gambuh sebagai penghibur tamu Belanda. Dalam bukunya Julius Jacob yang berjudul “ Eenigen Tijd Onder de Balier (1993), menyebutkan bahwa dalam kunjungan istimewa untuk urusan bisnis, para tamu eropa dihibur dengan Gambuh. Kedatangan Belanda menyebabkan runtuhnya kekuasaan puri dan menyebabkan jenis-jenis kesenian seperti Gambuh memisahkan diri dari keraton. Kalangan seniman mulai berusaha untuk memelihara dan mengembangkan dengan membentuk sekaaa, banjar ataupun perkumpulan seniman.
Keluarnya Gambuh dari tembok keraton yang merupakan tradisi besar, Gambuh digunakan sebagai seni pura atau seni yang digunakan untuk kontekstual keagamaan di pura.
buku : Tambang Emas Karawitan Bali karya I Gede Arya Sugiarta
Kekawin Jagatnatha ( wirat kalengengan ).
Yan wehen angucapa marang huwus pejah, aninghali rati bhawana.
Sangsara ngumulati matanta, tibra laraning kaparek angucapa,
Rakryan, sipi kari huyanging kumolaken unengnya, manangisi wulan,
Mambo kari gelunging akung, rinangkepan awak ri kita, yat angure.
Nahan pangucap ira, teher yatha suka masandhing anadhahi yawa,
Sassing parama rasa bhinukti, saraning anindya rasa padha hana,
Byatita gatinira, dhateng ta nalikanikang samaya pina pitu,
Pantuk ta sira wara tilottama dinuluring kakacata wanita.
Rare rasiki sang gumanti, winuruk, ring atanu, winarah ring inggita,
Duwengnya mani maya, pahyasama, sang mangareki karika sinanggraha,
Ikang laku, kadingering limah, aringnya sawana lawah ambeting tengah,
Miguh miguh alon, hanan kadi kinangsyani patakis ikang kale susun.
Wangun wangunaning smara, muhara kingking, umahing agawe raras hana,
Pawehnya lara raga, watwanika, wahu mapatiga susunya komala,
Lawang-lawang ikang manah, kadi tan eweh a suhunana kapriyambadan,
Welahni pangawaknya, soka maya, panghreti manisi matanya yan liha.
Ya teka tinamakenepu ta karing, tinarima pangkwanang tengah,
Mijil pwa wara menaka, gigu mehah tiki kini sapu, mingsering tilam,
Katon pwa haringetnya, mogha kadi hira rinemeki selanikang susu,
Wawang marahakenhuyangni hredayanya, duga duga ki sang nrepatmaja.
Masabda ta sang aryya, rasku, paka punya manisi pama tanta toh lihan,
Pi denya kinenah sipat, ri pagawenya turida, titir anglare hati,
Pipinta pinatiknikang bhramara, kotuka, lumewihi gandhaning pudhak,
Bapihta tinenget dahat, kadi tapih telas inapi pangandhutan wulan.
Wuwus nrepati pura mangkana, ka sengkwan angenangeni rardha sahasa,
Tanora kusuha lume harasening bhramara, sacaniran parigraha,
Ikang kadi rare pinohan, anulak jaja, kangelihan anggetel tangan,
Karesnya sedhengan hanyar yinipasan padani sirit ikang samangkana.
Mijil ta ya sinung sunging kaka, padha welas asemu paceh padha wuwu,
Aringku kadi panghrengihning anapak watu ridang, amatenwaken halis,
Ikang lara hita wasana, palalun pwa bibi, ta rahupa rahup kabeh,
Kadi wwang anggem welad dinututan, mata laranika, maksu kolaken.
Nahan wuwusikang kaka, ngateraken masuka muah, aresta sang kinon,
Katon nara manis-manishi waja sang priya, kadi masirat-sirat madhu,
Kumol ta juga yan pininta kasihan, wruh angiringi patangkisingkale,
Mene padha mene, padha huwus, ringa-ringani wuwusnya humun.
artinya :
Kekawin Jagatnatha ( wirat kalengengan ).
Yan kawehin mebawos punika sang sampun manggihin jagat sang hyang Ratih
Kasengsaran ipun ngantenang cacingak beline, banget sedih sang kedesek mangda mebawos,
Beli..akedikke osah manah sang ngengkebang ulangunnyane sinami mangelingin bulan,
Meambuke pusungan sang kasemaran, keangkepang deweknyane ring beli rikala megambahan.
Sapunika pengawis ida, raris maledang-ledang mesanding sinami majengin ring jaba,
Saluwir ring rasane lewih sami kapupononin, sarin-sarin rasane tan petandingan sami cumawis,
Tan kacerita parisolah ida rawuh penalikan semayane sane awah pitu,
Mantuk ida Dewi Tilottama, kairingan antuk penyeroan istri satus diri
Anak istri, bajang, alit mangentosin, keajah jeroning smara, kaurukang antk wangsit,
Subengnyane melakar antuk manic, kecawisang ring jaga mangaras mangda keanggen cermi,
Tangkepe sekadi solah gajah, kadegdegane sawawa ring kaluwesan madhyane,
Lengah lengoh alon, kadi kegambelan antuk pegatik gelang kokore masusun.
Wewangunan sanghyang smara ngawe sedih, purin sang mekardi manah ualngun,
Pawewehnyane sungkan kasmaran, tepin ipune wahu medasar, punike susune sane alus montok,
Manahnyane sane tan meweh, pinaka kori pangrum-rume punika pinaka ulap-ulap,
Kamerosan padewekannyane ngardi sedih ulangun, kayu pengandangnyane punika kemanisan palihatnyane rikala nyeledet.
Punika kaantehang ngeranjing, ibuk punika sang katampi, madyane kaplekon ring pangkonan,
Sesampunne medal Dewi Menaka, ibuk maang segan, nemangkin keabin kasha-keseh ring kasure,
Kanten aringetnyane sekadi intene dekdekan ring selagan nurojannyane,
Digelis majarang uyang manahnyane, tatuwiyan ring Ida Sang Arjuna.
Ngandika Ida Sang Arjuna : “mas beline idewa, durus pasuweceyang kalindiyan cacingak adine, rarisang macingakan,
Riantukan kedagingin cilak, munggwing kagunanyane ngawe kasemaran, tan mari nyakitin manah,
Pipin adine kaharas alon-alon olih itambulilingan sane buduh paling kasemaran dawning ngelangkuhin ambun pudhak,
Sinjang adine kapingitang pisan, sekadi sinjange sampun kabresihin mange ngaput bulan”.
Sapunika pangandikan Ida Sang Arjuna, pakuwub pekayunan idane dahat parikosa,
Tan wenten sekar layu kaisep antuk tambulilingan, sane kasumawisang ring pawiwahan,
Punika sang kadi anak alit kabrekas, nongsok dhaya, kaleson mamintel tangan,
Ajerih pisan sang wahu pacing katambenin, kalih-ilihan ambunyane mrik-sumirik rikala punika.
Medal dane kapendakan antuk penyerone, sami kapiwelasan masebeng kenyem, sami mebawos,
“ adi..adin embok, adi pangrengih anake ngenjekin batu magan, tur mecuk alis,
Punika saki. Sane mawasana becik lintangan punika adi..durusang mabresih-bresih maka sami,
Sekadi anake ngamel ngad nuli kakedeng pekantenan sakitnyane, tahanang adi mas emboke idewa”.
Sapunika pajar panyeroane mangiringan mangda ngeranjing malih, jejeh sang keaturin,
Kacingak punika kemanisan untun sang lanang, waluya masreret madhu,
Keskes wyakti rikala katunas iacain, nyarengin gatik gelang cokore,
Mangkin ngiring…mangkin, puut ngiring…puput, tetakehan bawosnyane kisi-kisi.
Buku : Tetabuhan Bali I, Pande Made Sukerta
Musik atau karawitan Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara (Batak), Kalimantan, Papua, Sulawesi, Bali, vocal menjadi bagian dari karawitan. Di Bali, vocal selalu dihadirkan dalam konteks upacara agama ( upacara panca yadnya ). Kehadiran vocal dalam kontek upacara agama membuat kehidupan vocal (tembang) di Bali sangat subur, hamper setiap banjar memiliki satu kelompok pesantian.
Keberadaan vocal dalam upacara panca yadnya didasari oleh konsep panca gita yaitu lima unsur suara dalam pelengkap jalannya suatu upacara. Bagian-bagiannya adalah Swara atau dentingan bajra, Puja merupakan bacaan pujaan mantra Weda, Gong yaitu suara gamelan, Kidung yaitu lagu-lagu keagamaan, Kentongan yaitu bunyi-bunyian yang dapat menimbulkan suara magis. Maka dari itu vocal dalam pelaksanaan upacara agama bukan hanya sebagai pelengkap tapi merupakan bagian dari upacara tersebut.
Jenis-jenis vocal ( tembang ) yang ada di Bali
- Gegendingan atau tembang rare atau sekar rare
Sekar Rare merupakan vocal atau tembang dimana menyangkut suatu permainan anak-anak.
- Pupuh atau tembang alit atau sekar alit atau macapat
Dalam buku Wrttasancaya Gutasancaya Kumpulan Wirame dan Pupuh disusun oleh IGB Agastia disebutkan bahwa jenis tembang macepat ada 42 macam yang akan dipaparkan sebagian saja, yaitu :
– Dandanggula ( 10a, 10i, 8e, 7u, 91, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a )
– Mijil ( 10i, 6o, 10o, 10i, 6i, 6u )
– Semarandana ( 8i, 8a, 8o, 8a, 8a, 8u, 8a )
– Ginanti ( 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i )
– Pucung ( 12u, 6a, 8a, 12a ), dll.
- 3. Kidung atau tembang madya atau sekar madya
Di Bali ada beberapa jenis kidung diantaranya : Mayura, Jayendra, Manjangan Slawang, Palu Gangsa, Silih Asih, Sih tan pegat, Gebang Lontas, Bremara sang utpati, Singa Indra, Slopag, Basung dan Jagul Anom.
- Kekawin atau tembang ageng atau sekar ageng
Sekar Ageng meliputi lagu-lagu berbahasa Kawi yang diikat oleh hukum guru lagu, pada umumnya dinyanyikan dalam upacara agama. Kekawin merupakan puisi Bali klasik berdasarkan puisi dari bahasa Jawa Kuno. Penggunaan bahasanya banyak mengambil dasar dari puisi Sansekerta yang kemudian diterjemahkan sehingga mempunyai kekhasan sendiri. Diperkirakan Kekawin diciptakan di Jawa pada abad IX sampai XVI. Dalam Kekawin ada empat bagian yaitu : Pengawit (penyemak), Penampi (pengisep), Pangumbang, Pemalet Kekawin. Contoh beberapa kekawin yang ada di Bali yaitu : Aswalalita, Wasantatilaka, Tanukerti, dll.
Vokal dalam Upacara
Penggunaan vocal atau tembang dalam upacara, selain terkait dengan lagu atau melodinya juga terkait dengan cakepan atau syairnya. Dalam pelaksanaan upacara, ada tiga bentuk sajian vocal, yaitu :
- Bentuk sajian tunggal
Vocal dalam bentuk sajian tunggal adalah vocal yang disajikan pada saat pelaksanaan upacara oleh seorang diri. Bentuk sajian ini dapat diiringi berupa tetabuhan atau gending. Dalam kesempatan ini penyaji mendapt ruang yang sangat bebas untuk memberikan tafsir garap, karena tidak terkait dengan gending atau tabuhan, dimana penyajiannya akan mewujudkan suasana religius.
- Bentuk sajian bersama
Vocal dalm bentuk sajian bersama adalah vocal yang disajikan oleh lebih dari seorang penyaji, dengan sajian yang sama. Sajiannya tidak terkait dengan tabuhan atau gending. Sajian vocal ataupun tabuhannya akan membentuk suasana religius.
- Bentuk sajian Mabebasan
Dalam buku Seni Mabebasan Sebagai Sumber Inspirasi Seni Budaya Bali dan Pemakaian Bahasanya (2002) menyebutkan bahwa, Mabebasan sering disebut dengan Makekawin atau Mapepaosan, Mabebasn yang mempunyai pengertian yang hamper sama. Dalam kontekstualnya Makekawin mempunyai dua pengertian yaitu : melagukan puisi atau sloka Bahasa Kawi beserta terjemahannya, pengertian yang kedua adalah melagukan sloka Bahasa Kawi disertai dengan terjemahannya dan kadang-kadang disertai dengan ulasan tergantung situasi konstektualnya. Sumber-sumber materi mebebasan antaralain dari Ramayana, Bratayudha, Arjunawiwaha, Nitisastra, Sarascamuscaya, Lawe, Tantri, Adiparwa, Bomakawya, Phartayadnya, Sutasoma, dan Gatotkacasraya.
Berdasarkan hasil analisis peranan vokal dapat diklarifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu :
- Vokal sebagai media ungkap penari
Dalam peranannya ini terdapat pada kesenian Arja dan Pegambuhan. Dimana tidak hanya terkait dengan musical saja, melainkan dapat sebagai sarana ungkap cerita yang disajikan.
- Vokal sebagai media pokok
Vocal sebagai media ungkap diantaranya terdapat pada Pejangeran dan Gong Kebyar. Dalam peranan penyajiannya, vocal merupakan satu kesatuan dengan gending atau msik yang disajikan.
- Vokal sebagai “pelengkap”
Vokal sebagai “pelengkap” diantaranya terdapat pada sajian repertoar gending Semar Pegulingan Saih Lima (pada jenis gending Pelegongan) dan Gong Kebyar. Peranan vokal yaitu mempertegas suasana yang diungkapkan, jenis vocal yang disajikan berbentuk sendon atau tandak.
Ujian TA Seni Karawitan 2011
Institut Seni Indonesia Denpasar
Gehgehan
Penata : I Gusti Putu Adi Putra
NIM : 2007.02.027
Program Studi : Seni Karawitan
Sinopsis : Gehgehan merupakan semacam penyakit yang mempunyai respon reflektif berupa perkataan dan perbuatan yang tidak terkendali yang terjadi ketika sesorang merasa kaget. Gehgean yang diderita oleh seseorang terkadang menjadi penghias dalam bergaul, dikarenakan gehgean mampu menghibur dan menimbulkan canda gurau yang membuat persahabatan menjadi semakin erat. Suka cita serta canda gurau yang diakibatkan dari gehgean ini, kemudian dituangkan kedalam sebuah garapan tabuh kreasi dengan media ungkap gamelan Gong Kebyar yang berjudul “Gehgean”. Penataan komposisinya dikemas sesuai dengan perkembangan serta tanpa meninggalkan unsur-unsur musik seperti melodi, ritme, dinamika, tempo, harmoni dan aksentuasi-aksentuasinya dikembangkan secara subyektif untuk menunjang nilai estetisnya.
Pendukung Karawitan : Sanggar Candra Wiguna Bebalang, Bangli
Komentar terhadap video rekaman gehgehan :
- Menurut saya sendiri, hasil video gehgehan ini kurang begitu memuaskan untuk ditonton atau disebarkan ke orang banyak atau masyarakat, dimana para pengamat khususnya di bidang seni tidak akan merasa puas untuk menonton hasil video yang seperti itu. Sebelumnya dari hasil pengamatan saya sendiri, pada saat pentas langsung hasil pertunjukannya sangat bagus dan memuaskan. Dari pertunjukan tersebut didukung oleh beberapa factor seperti faktor lighting atau pencahayaan, dan faktor sound sistem.
- Faktor lighting atau pencahayaan
Dari hasil pengamatan saya terhadap hasil video rekaman tersebut, pencahayaannya sangat tidak merata. Pasa sisi kanan maupun kiri terlihat gelap dan pencahayaan pada saat di zoom jauh atau diambil keseluruhan penabuh sangat tidak begitu jelas dari hasil pertunjukan tersebut. Pengambilan gambarnya tidak merata, pemain yang berada pada sektor belakang tidak kelihatan bahkan lampu pada sector belakang seperti pemain gong dan kempur tidak kelihatan pada saat gambar diambil keseluruhan maupun perorangan. Gambar yang dihasilkan dari rekaman video tersebut sangat tidak bagus malahan hasil yang ditimbulkan adalah gambar yang buram dan pecah-pecah.
Menurut saya sendiri, hasil dari sound system yang dihasilkan dari video rekaman tersebut sangat tidak efisien untuk didengarkan. Pada rekaman tersebut hanya terdengar permainan gangsa, kantil, kajar, suling dan reong saja. Permainan kendang, jublag, penyacah, jegog dan gong nyaris tidak terdengar.
Tambahan atau saran untuk rekaman video tersebut :
Dari segi pencahayaan, lampu yang digunakan haruslah merata, tidak hanya di depan maupun di samping saja. Lampu yang merata akan mempengaruhi hasil gambar maupun hasil videonya.
Dari segi sound sistem, sebaiknya pada setiap instrument diberikan mikropon untuk memperjelas permainan instrument tersebut.
Hasil rekaman yang bagus akan dapat mempengaruhi penonton mapun pengamat untuk menonton pertunjukan ujian TA ini.
foto dari hasil rekaman ujian TA “gehgehan”
Ujian TA Seni Tari 2011 Institut Seni Indonesia Denpasar
“ROMAN KU”
v Tema : Percintaan Remaja
v Sinopsis : Roman Ku menggambarkan lika-liku gejolak asmara dengan watak dan isi jiwa masing-masing yang berlatarkan historis dan imajiner. Terangkai dan terbingkai dalam sebuah cerita pada usia remaja. Melalui rasa yang tumbuh dari kekaguman menjadi cinta membuat kita ingin selalu bertemu, tetapi malu saat bertatap muka dan ketika jauh ingin selalu bersama. Emosi tak terkendali ketika tersakiti oleh nafsu cinta, namun rasa sayang adalah jawaban dari semuanya. Tersematkan sebuah hadiah untuk merajut kisah yang baru.
v Penata Tari : Ni Wayan Nova Jayanti
v Pendukung Tari : I Gusti Putu Agus Adi Yustika.
v Penata Iringan : Dewa Nyoman Candra
v Pendukung Iringan : I Made Desi Muliartana, dan I Made Suwidnya.
Kritik saya terhadap video rekaman Ujian TA “Roman Ku” :
Ø Menurut saya sendiri, rekaman diatas kurang begitu bagus untuk dipertontonkan atau disebarkan ke orang banyak, karena rekaman video diatas kurang begitu baik dari segi video maupun dari segi kualitas rekamannya, karena kurang jelas kelihatan wajah dari penari tersebut atau masih samar-samar. Dari segi kualitas sangat berbeda pada saat pementasan langsungnya, mungkin menurut saya sendiri alat perekamnya kurang begitu bagus atau kurang efisien, akibatnya kurang begitu jelasnya wajah dari sang penari, dan mungkin karena rekaman tersebut direkam sendiri menggunakan handdycam akibatnya masih kedengaran berisik dan pada gambarnya kelihatan samar-samar di rekaman video Ujian TA tersebut.
Menurut saya sendiri pencahayaannya aatu tata lightingnya terlalu cerah, kurang adanya kombinasi warna yang dimana berfungsi sebagai pembawa suasana pada saat sedih, senang maupun canda. Maka, suasananya kurang begitu jelas.
Menurut saya sendiri, pengaturan volume pada masing-masing instrument yang digunakan tidak seimbang, suara atau volume keyboard terlalu keras, sedangkan pada volume gitar terlalu rendah atau kecil. Jadi pada saat keyboard dan gitar dimainkan bersama, suara gitar tidak begitu jelas untuk didengar, malahan suara keyboard yang lebih dominan.
Tambahan saya terhadap Ujian TA “ Roman Ku” :
¨ Untuk penyempurnaan atau untuk mendokumentasikan ujian TA diatas, sebaiknya alat rekam yang digunakan setidaknya berkualitas tinggi, supaya hasil rekamannya menjadi bagus dan bisa disebarluaskan.
¨ Pada lighting, pada saat perpindahan penari perlu adanya seorang yang memang handal dalam bidangnya, karena pada saat rekamaan diatas kurang begitu pas perpindahan cahayanya dan kurang begitu jeli dari pengatur lighting jadinya lambatnya pencahayaan terhadap perpindahan gerak tari.
¨ Pada sound system, harus dilakukan perataan volume, baik keras maupun lirihnya instrument yang digunakan. Microphone yang harus digunakan yaitu microphone yang khusus buat instrument atau alat musik yang digunakan.
Foto pada saat pementasan berlangsung