BIOGRAFI I NYOMAN WINDHA
Posted Under: Tulisan
I Nyoman Windha S.skar.MA
Seni, ritual, adat, agama dan alam sekitar adalah ciri khas kekerabatan masyarakat Bali. Semua berada dalam satu nafas kehidupan bersama. Dalam upacara apa pun – musik, tari, seni rupa, teater, sastra – dan elemen-elemen seni ritual lainnya tak terlepas dari komunitas masyarakat Bali sehari-hari. Manusia Bali terlatih dalam komunitas pro arte seperti itu. Berbeda dengan daerah lain di mana pun – seni adalah kegiatan sehari-hari yang lekat dan tak pernah tanggal dari kehidupan orang Bali. Tak berlebihan
bila dikatakan, bahwa orang Bali itu pada dasarnya seniman semua. Dalam kondisi lingkungan seperi inilah I Nyoman Windha dilahirkan di Banjar Kutri desa Singapadu, Gianyar-Bali, 4 Juli 1956. Seperti manusia Bali lainnya, Nyoman Windha telah akrab dengan suara-suara gambelan dan tembang yang energik, penuh gerak dan keanekaragaman bunyi. Nyoman kecil juga sudah pandai menabuh gambelan sejak anak-anak. Bakat musiknya mulai nampak lebih jelas ketika Nyoman melanjutkan pendidikan di Konservatori Karawitan Denpasar pada umur 17 tahun. Di sekolah seni gambelan itu ia selalu dilibatkan ikut menabuh gambelan untuk pementasan musik maupun tari di muka umum. Tahun 1976 Nyoman melanjutkan studinya di jurusan karawitan Akademi Seni Tari, ASTI Denpasar. Tahun 2005 Nyoman Windha menyelesaikan program studi Master of Music di Mills College California.
Seperti ASKI Surakarta, ASTI Denpasar adalah salah satu ikon sejarah perkembangan seni tradisional berwajah baru di Indonesia. Di sana berkumpul sejumlah empu karawitan Jawa dan Bali yang menjadi mentor para mahasiswa berbakat yang kemudian menjadi pelopor pembaharu semi karawitan, tari dan pedalangan di Indonesia. I Nyoman Windha salah satu diantaranya. Di kampus seni itu Windha bertemu dengan para senior dan rekan seangkatannya yang sedang bergairah, seperti I Made Bandem, I Wayan Dibia, Komang Astita, Wayan Rai, Made Berata, Wayan Suweca, Ketut Suryantini, Made Arnawa, Gede Asnawa – yang ternyata kemudian menjadi seniman pelopor seni tari dan karawitan Bali. Debutnya sebagai komponis diawali pada Pekan Komponis-Dewan Kesenian Jakarta 1983.Tahun 1998 Nyoman Windha diundang untuk kedua kali ke forum bergengsi itu . Pada masanya, forum Pekan Komponis-Dewan Keseniam Jakarta dipandang sebagai gerbang karir para komponis muda masakini Indonesia. Rahayu Supanggah, Al. Suwardi, B. Subono, I Wayan Sadra, Pande Made Sukerta, Nyoman Windha, Komang Astita, Made Arnawa, Gede Asnawa, Wayan Rai, Toni Prabowo, Harry Rusli, Djadug Ferianto, Hadjizar, Elizar Koto, Ben Pasaribu, Nano Suratno, Marusya Nainggolan, – adalah sedikit dari para alumnus Pekan Komponis-Dewan Kesenian Jakarta. Mereka semua menjadi penyebar visi baru musik masakini Indonesia. Dalam khasanah musik Bali saat ini, Windha menempati posisinya yang paling utama.
Sebagai pemain, komponis dan guru musik Bali, Nyoman Windha telah berkali-kali bermain, mengajar dan berkolaborasi dengan para seniman di berbagai pelosok dunia, antara lain di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia, Hong Kong dan Singapore. Puluhan karyanya telah direkam dalam berbagai label studio musik. Diantaranya adalah, Sangkep, Palapa I dan Palapa II, Bali Age, Gita Nusantara, Gerehing Kawulu, Gora Merdawa, Cendra Wasih, Gadung Kasturi, Jagad Anyar, Gita Winangun, Sinom Lawe, Kala Edan, Lekesan, Kaget Atangi, Prawireng Stri dan masih banya lainnya. Saat ini Nyoman Windha adalah dosen untuk karawitan dan komposisi di Institut Seni Indonesia, ISI Denpasar.
Profil
Musik Nyoman Windha bergerak dalam wilayah permainan bunyi dan ritme dengan kecepatan tempo, dinamik dan tehnik tinggi yang melodius. Seorang etnomusikolog Amerika mencatat, bahwa karya-karya Nyoman Windha dibuat untuk berbagai jenis gamelan dan alat musik Bali, utamanya gong kebyar. Benar. Awal abad ke 20, seni kebyar tumbuh dengan pesat dan mendominasi jenis-jenis kesenian Bali lainnya. Seniman dan masyrakat Bali terobsesi dengan tren seni kebyar yang cenderung meminggirkan jenis-jenis seni yang lain. Tapi budaya Bali bukan hanya gong kebyar. Di sana masih ada banyak bentuk seni gambelan, seperti gambelan selunding, gambuh, semarapagulingan, semaradhana, palegongan, saihpitu, bebarongan, gambelan jegog, joged pingitan, joged bumbung, gambang dan sebagainya. Karena perbedaan dasar materi dan bentuknya, berbagai jenis gamelan Bali itu mempunyai karekteristik bunyi, peran dan pendekatan permainan tehnik yang tidak sama.
Selama 30 tahun lebih, Windha menjelajahi wilayah-wilayah musik Bali dengan pendekatan dan cara yang berbeda. Karya-karya Windha yang berjudul Sangkep, Palapa, Bali Age, Simponi Bambu – misalnya – sangat jauh berbeda dengan karya-karyanya dalam Swagatika, Prawirens Stri, atau Gora Merdawa, Gadung Kasturi, Kuda Mandara dan Gerincing Wesi. Materi bunyi, model gambelan, genre budaya dan tingkat ketrampilan memungkinkan terbentuknya berbagai keragaman – tetapi karya-karya Windha tetap mencitrakan keBaliannya yang kokoh hingga hari ini. Hampir 30 tahun lalu ia menulis : “ ……kriteria yang disodorkan kepada kami adalah garapan yang bernafas baru, baik yang masih bertitik tolak dari tradisi atau lepas sama sekali….. Namun titik tolak berangkat kami dari karawitan (Bali) sehingga kami belum mampu untuk lepas sama sekali dari sumber tradisi“. Dengan keberbagaian karyanya, Nyoman Windha tetap berada di sekitar sumber asli budanya. Pembaruan-pembaruannya dilakukan dari dan di dalam Bali itu sendiri. Walaupun begitu, ide dan alam pikirannya tidak hanya berkutat di selingkar wilayah Bali yang sempit. Perjalanan jauhnya ke pelosok-pelosok wilayah budaya yang lain – baik di dalam maupun ke berbagai negara – menyadarkan adanya sesuatu di luar keBalian dirinya. Bali tidak aman, katanya pada forum Art Summit Indonesia 2001. Ia menulis karya The Balinese Bamboo Backlash, sebagai gugatan terhadap keadaan meresahkan musik tradisi Bali yang dianggapnya telah membatu.
Dalam karya Simponi Bambu itu – sama seperti pada karya Bali Age yang menggunakan gambelan selonding – ia sama sekali tidak menggunakan gambelan gong kebyar. Pada karya Jaya Baya (California 2005) Nyoman membaurkan gamelan dengan instrumen biolin, klarinet, tabla dan sebagainya. Karya Rumpun Bambu adalah hasil kolaborasinya dengan pemain jazz Indra Lesmana. Dalam karya itu ia menggunakan gamelan Jegog dan Selonding yang berbaur dengan alat-alat standar musik jazz, seperti piano, gitar, perkusi dan sebagainya. Dalam kolaborasinya dengan pemain jazz etnik Dwiki Dharmawan, Nyoman bahkan menggagas gamelan baru yang diberi nama Gamelan JES. Gabungan gamelan Jegog, Semarapagulingan dan berbagai alat musik jazz etnik tahun 2007 itu ia tandai dengan nama Gunungan. Perluasan wilayah pembauran instrumentarium musik Windha cukup beragam. Namun dalam kenyataan yang sesungguhnya – melalui seni gambelan gong kebyarlah Windha telah menorehkan barbagai masukan yang cerdas ke dalam budaya musik Bali masakini. Keluasan dan keberbagaian modus musiknya menunjukkan, bahwa I Nyoman Windha adalah komponis Bali terpenting saat ini.
Reader Comments