Archive for the ‘Tak Berkategori’ Category

SEJARAH PURA PEGULINGAN, BANJAR BASANGAMBU, TAMPAKSIRING

Senin, Mei 14th, 2018

Berdasarkan Lontar Usaha Bali

Pura Pegulingan di bangun pada masa pemerintahan Raja Masula Masuli di Bali pada tahun Caka 1100 (1178 M). Dalam Lontar Usana Bali di uraikan sebagai berikut: “Sampun Puput prasama stanan Bhatara Kabeh, Lwirnya Pura Tirta Empul, Mangening, Ukir Gumang Jempana Manik ngaran Gulingan, Alas Arum Ngaran Blahan, Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngereng, sami karancana oleh Dalem Mesula-mesuli pareng sira Mpu Raja Kertha, Miwah Hana Pasapan Bhatara Nguni, siapa angencak aci kene sipat jah tasmat, apan pewarah Sang Hyang Bhatara Purusa maha Witnya Bhatara Wisnu, Iswarah, Matemahan dori Sanghyang Tri Cakti…………………………………………….” dan seterusnya.

Sudah selesai acara tuntas parhyangan Bhatara sami, seperti Tirta Empul, Mangening, Ukir Gumang, Jempana Manik atau Gulingan, Alas Arum atau Bhatara Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngereng, semua di rencanakan oleh Baginda Raja Masula Masuli bersama dengaqn Mpu Raja Kertha dan ada Sabda dari Bhatara dahulu, siapa yang menghentikan Aci, kena marabahaya karena ada Sabda Sang Hyang Dharma Tri Purusa sebagai awalnya Bhatara Brahma, Wisnu, Iswara yang berprabawa atau berwujud Sang Hyang Tri Sakti……………… dan seterusnya. Selanjutnya dalam lontar usaha Bali juga disebutkan:

“Mangke ucapan Ida Dalem Masula Masuli di Pawesmannya ring pejeng, Duk Ika Ida Dalem menewulin peputih pramanca para mantri, miwah sira Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, muwang i Prabekel Bali pareng tatanin Bendesa Wayah. Matumahan Abeking Iwan petanu Duk Ika Hana Wacanan Ҫri Bhupalaka mangda ngaryanin parhayangan Tirta Empul stana Bhatara Hyang Indra wenang tepasan, mwang parhayangan mangening stana bhatara Hyang Suci Nirmala wenang Maha Prasada Agung kasukat oleh Mpu Rajakertha, apapalihan mahadya metning asta kasali. Duk Ika suka prasaring wang Bali angawa pura. Pura penembahan jagat kabeh kerajangin untuk Ҫri Masula-masuli, mwah panjake sami liang, sami kawulanan pada mase medal paras, mwang reramon salwira batuh, pejeng, tampaksiring……”

Artinya kurang lebih sebagai berikut:

“Sekarang diceritakan Baginda Rada Masula-Masuli di Istananya di Pejeng. Tatkala itu beliau memerintahkan pepatih prapanca, Para Mantri, serta para Mpu seperti Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan dan I Prabekel Bali. Ada permintaan Baginda Raja kepada Mpu semua serta I Prabekel Bali, beserta bendesa wayah sehingga ramai di pejeng, di sebelah barat sungai pakerisan dan disebelah timur sungai petanu. Saat itu ada sabda Baginda Baginda Raja supaya membangun perhyangan (pura) Tirta Empul sebagai perhyangan Bhatara Hyang Indra wenang terpesana, dan parhyangan Mangening stana Bhatara Hyang Suci Nirmala wenang maka prasada Agung, diukur oleh Mpu Rajakarta, dengan pepalihan berdasar Asta Kosali. Tatkala itu senang hatinya orang bali semua, membangun pura-pura sebagai junjungan jagat seluruhnya du pimpin oleh Baginda Raja Masula Masuli, serta rakyat merasa senang, semua rakyat sama – sama memgeluarkan (Ngemedalan) paras (Batu Paras) serta bahan-bahanlainnya, seperti Blahbatuh, pejeng dan tampaksiring….”

Ada lagi sebagai berikut:

Duk Ida Gupuk Panjaka mengasyanin purana ring Tirta Empul mwang ke Mangening, sampun karancana oleh I Bendesa Wayah, ya ta ngawa pakraman Hyang Indra, hana pancaran sami pada matunggul surat aksara sumedang pekaryan Mpu Angganjali, wenang ketama oleh wang bali kabeh, tan kacarita puput kakaryaning sami tatani Ratu, mangkana wetnia nguni, wus mangkana hana swena 3 warsa sampun puput prasama stana Bhatara kabeh Iwirnya Pura Tirta Empul, Pura Mangening, Ukir Gumang, Jempana Manik ngaran Gulingan, Alas Arum, Ngaran Belahan Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngereng, sami karancana oleh Dalem Masuka Masuli sareng sira Mpu Rajakertha…..

Artinya:

Waktu itu sibuk rakyatnya mengerjakan pembangunan pura Tirta Empul sampai ke Mangening sesuai dengan yang direncanakan oleh I Bendesa Wayah yaitu membuatperhyangan Bhatara Indra, terdapat pancoran semua diberi tanda huruf sumedang dengan tujuannya yang mempergunakan huruf yang dapat di baca tanda huruf tersebut yang mempergunakan huruf sumedang sebagai hasil karya Mpu Angganjali yang patut diwarisi oleh orang bali semua. Tidak di kisahkan selesai dikerjakan sesuai dengan ketentuan baginda Raja. Demikian asal mulanya dahulu dan setelah itu ada lamanya tiga tahun selesai seluruhnya perhyangan Bethara semua, seperti Pura Tirta Empul, Mangening, Ukir Gumang, Jempana Manik atau Gulingan, Alas Arum Ngaran Belahan Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngerang, semua direncanakan oleh Baginda Raja Masula Masuli bersama dengan Mpu Rajakertha .

  1. Berdasarkan Mitologi, penuturan tua-tua Desa dan Kitab Babad pasek Karya I Gusti Bagus Sugriwa yang menguraikan tentang carita Mayadenawa diceritakan, dikisahkan bahwa Mayadenawa sebagai Raja di Bali yang sangat sakti, tetapi angkara murka sehingga dia menganggap dirinya sebagai Dewa yang harus disembah dan diaturi persembahan. Dia tidak mengijinkan masyarakat/orang-orang Bali untuk memohon Tirta Serining tahun di besakih agar tanaman-tanaman menjadi subur dan orang-orang mendapat umur panjang. Dengan demikian seorang pun tidak berani meneruskan perjalanan ke Besakih. Raja Mayadenawa sangat angkara murka durhaka terhadap para Bhatara, sehingga keadaan di Bali menjadi kacau karena Mayadenawa menghentikan Aci.

Pada suatu ketika Bhatara Hyang Mahadewa mengadakan pertemuan, di hadap oleh kelima dewa-dewa di balai pertemuan di Besakih. Yang dibicarakan tiada lain ialah tentang halnya Sang Mayadenawa yang sangat angkara murka, melarang orang-orang yang hendak mengadakan aci-aci.

Setelah mendapatkan kesepakatan, maka sekalian dewa-dewa pergi ke Gunung Semeru menghadap Hyang Pasupati, disertai pula oleh Mpu Semeru. Setelah tiba di Gunung Semeru, semuanya diam menenangkan pikiran mencipta Hyang Pasupati , tiba-tiba datanglah Hyang Pasupati lalu Bersabha “Anakku Mahadewa, Genijaya, apakah kehendakmu maka dengan mendadak engkau menghadapku sebagai mengandung dukacita, ceritakanlah kepadaku.”

Seraya menyembah Hyang Mahadewa “Ya, Bhatara, hamba minta ijin Bhatara, untuk membunuh Pun  Mayadenawa karena sangat angkuh momo murka, memutuskan aci. Sepi kini negara Bali demikian juga sepi di kahyangan – kahyangan.” Jika benar demikian, sabda Bhatara Hyang Pasupati “Aku memberi ijin, semoga kesampaian maksudmu. Bhatara Pasupati menggaib (menghilang) dari pandangan.

Diceritakan setelah berkumpul sekalian dewa-dewa di Besakih dan para resigana terutama Hyang Indra, demikian pula sekalian dewa-dewa di Bali semua turut, terutama pendeta lima yang menjadi pengajar perang senjatanya semua sakti-sakti yang keluar dari Sira Mpu Geninjaya bersenjata Ki Baru Tinggi, Mpu Semeru bersenjata Ki Baru Angin,  Mpu Gana bersenjata Ki Mpu Galuh. Mpe Kuturan bersenjata Ki Lebur Jagat Mpu Bradah bersenjata Ki Hutan Ritis, Gemurus Suara Sungu.

Hal itu semua didengar oleh Sri Mayadenawa karena telah mengadakan utusan untuk menyelidiki oleh sebab itu segera menyuruh orangnya untuk memukul kentongan besar. Tiada lama antaranya berdentum-dentum bunyi kentongan. Maka berdatanglah para menterinya semua siap dengan senjata masing-masing diikuti oleh laskar yang juga sudah siap dengan senjatanya. Gemuruh suara bunyi-bunyian dipadu dengan sorak-sorak yang tidak berkeputusan ditingkah pula oleh ringkikan kuda bersama di angkasa, menjadi suatu tanda perang akan dimulai. Yang menjadi kepala perang adalah Ki Patih Kala Wang, lalu bertemu dengan laskar dewa di tengah jalan maka terjadilah peperangan yang sangat dahsyat, setelah beberapa hari lama pertempuran itu, dengan sama-sama gagah perkasa, maka bertumpuklah mayat orang-orang mati dalam perang itu seakan-akan gunung tampaknya berlautan darah. Mayadenawa yang sakti dan dapat berubah wujud dikejar dia di arah barat laut, dia berubah menjadi labu dan tempat itu sekarang disebut Siluk Tabu. Laskar Hyang Indra dengan kepala perangnya, Patih Kala Mang tahu bahwa labu itu adalah Mayadenawa lalu dikejar ke arah barat daya, mejadi seorang bidadari kendran (surga), juga laskar memburu ke arah itu, tetapi bidadari itu lenyap dan Mayadenawa lari ke timur laut, menjadi seekor Manuk Raya (Ayam Besar) Tempat itu sekarang menjadi Manukaya.

Kemudian Kala Wong menciptakan Tirta Tirta Cetik (Tirta Mala) dengan pastu (Kutukan) : “Wastu asing, adius mala ika rawah asing angium pada mati” Artinya siapa yang mandi dan minum air cetik itu akan mati. Karna kelelahan, kehausan maka para laskar Dewa Indra ada yang mandi dan ada juga minum air cetik itu, akibatnya banyak diantaranya yang mati.

Sementara itu Hyang Indra Guling (Istirahat) diatas Jempana Manik di Hutan sebelah timur Tirta Mala itu, datanglah utusan dari laskar yang masih hidup, menyampaikan kepada Hyang Indra, bahwa banyak laskar/Prajurit Dewa Indra mati akibat minum tirta mala. Kemudian Bhatara Indra memanggil para Bagawantanya untuk dapat menciptakan tirta untuk menghidupkan para laskar yang mati. Lalu para Bagawanta beryoga untuk menciptakan tirta dari kekuatan batinnya, namun sayang tidak berhasil. Lau Bhatara Indra mengutus laskarnya untuk mohon Tirta Kamandalu di Sorgaloka.

Diceritakan utusan itu telah kembali dari mohon Tirta Kamandalu, sampai pada suatu tempat disebelah timur laut dari Dewa Indra aguling, Tirta Kamandalu itu pecah payuk parenya (tempat tirta) dan tirtanya tumpah, hutannya menjadi harum semerbak, sekarang di hutan itu berdiri pura Belahan Alas Arum (Puta Dangkahyangan). Utusan tadi menceritakan kejadian tumpahnya tirta kamandalu kepada bhatara Indra serta memperlihatkan bukti ambu, tali dari payuk pere. Bhatara Indra mengambil ambu itu dan langsung melempar ke arah tenggara dengan ucapan : “Watsu, kawekas menadi desa yang ambu” (sekarang desa Basangambu). Kemudian, Bhatara Indra mengambil tedung dan umbul-umbul lalu turun ke arah barat serta di pacangkan, muncul muncrat air/tirta yang dipercikan serta diminum oleh para Prajurit (sekarang Pura Tirta Empul), maka semua laskar/prajurit Bhatara Indra hidup kembali serta siap untuk melanjutkkan peperangan mengejar Mayadenawa. Tibalah saatnya Sri Mayadenawa dibinasahkan dalam pertempuran, serta maha Patihnya yang bernama Kala Wong. Hal itu terjadi di pangkung patas, mereka berdua berubah menjadi tawulan batu padas/paras. Tawulan batu padas itu dipanah oleh Patih Kala Wong, dari selurub sendi tulangnya mengaliri darah tidak henti-hentinya sehingga merupakan anak sungai. Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara dinamai Wwai Mala, kini dinamai Tukad Petanu. Dari kata aguling maka Pura itu disebut Pura Pegulingan Tukad Petanu : Tukad : sungai, petanu suaranya masih, air sungai itu suara Mayadenawa masih kedengaran.

  1. Atas Dasar Kepurbakalaan/ Arceologis

Pada awal Januari 1983 pada saat Krama Desa Adat Basangambu bekerja menurunkan batu padas pada bangunan tepas guna dapat didirikan sebuah padmasana Agung, ditemukan beberapa benda kekunaan seperti Arca dan pragmen lainnya. Semakin kedalam lalu ditemukan pondasi bersegi delapan, maka oleh bendesa adat (Jro Mangku Wayan Periksa) pekerjaan dihentikan, kemudian langsung dilaporkan ke Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali di Bedulu Gianyar. Atas laporan itu maka petugas purbakala langsung mengadakan peninjauan ke pura pegulingan. Mengingat sangat pentingnya temuan-temuan itu, dipandang perlu untuk diadakan penelitian lanjutan, untuk hal tersebut pihak kantor suaka mengadakan pertemuan dengan Krama Desa Pengemong beserta semua penjuru, untuk minta persetujuan rencana kerja yang akan dilaksanakan di Pura Pegulingan.

Setelah mendapat persetujuan krama pengemong, maka penelitian dan penggalian dilakukan oleh Kantor Suaka dari Juli sampai Desember 1983.

Selama penggalian ditemukan antara lain pondasi bangunan segi delapan, arca Budha, kotak batu padas berisi material tanah liat yang bertuliskan Formula Ye-Te dengan huruf Pranagari berbahasa Sansekerta yang menguraikan mantra agama Budha Mahayana mengenai ajaran Dharma.

Berdasarkan Prasasti diatas dan dengan perbandingan bentuk huruf dengan prasasti Airtiga maka dapat di duga bahwa candi pegulingan dibangun pada akhir abad ke IX atau awal abad ke X masehi. Prof. Dr. Soekmono (Arkeologi) mengemukakan dalam Harian Bali Post tanggal 15 September 1983 sebagai berikut:

“Penemuan kepurbakalaan di Pura Pegulingan Tampaksiring berupa fondasi bersegi delapan dan beberapa area Budhi Satwa memberi petunjuk peninggalan itu bersifat ‘Budhistik –  Siwaistik’ dan tidak mustahil penemuan monumental pertama di Indonesia. Selain peninggalan berupa arca Budha dan Fragmen lainnya juga ditemukan panca datu serta arca yoni yang bersifat Siwaistik. Dengan demikian maka pada saat berdirinya candi /  stupa pegulingan sudah terjadi pencampuran / sinkritisme paham Siwa Budha itu berarti pemujaan terhadap Siwa (Hindu) dan Budha saat itu sudah berjalan dengan baik dan damai.”

Temuan-temuan Kekunaan:

Dari hasil penelitian oleh Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala, dapat ditemukan seperti yang di tulis (oleh: I Made Sutaba, I Made Sepur Separsa, I Ketut Darta, I Made Suanta, Gusti Made Rena) dalam buku, ‘Pura Pegulingan Temuan Baru Persebaran Agama Budha di Bali’, antara lain:

  1. Arca Budha

Bersama dengan sisa – sisa bangunan ini terdapat fragmen – fragmen arca Budha setelah fragmen itu disususn ternyata mungkin dahulu ada lima buah arca Budha. Seperti Arca Dhyani Budha – Aksobhya dengan sikap Bhumisparca Mudra dan yang lain Arca Dhyani Budha Amaghasio. Arca Budha dari emas yang berdiri. Arca ini Dhyani Budha Ratnasambhawa, berdiri di atas lapik padmasana terbuat dari perunggu. Arca Budha tersebut hampir sama dengan Gaya Arca Budha Goa Gajah.

  1. Prasasti

Temuan prasasti di Pura Pegulingan berupa materai tanah liat, lempengan emas bertulis telah dan dibaca oleh Almarhum Drs. M. Boechari, sebuah diantara materi tanah liat itu berisi Mantra Formula Ye-Te dengan huruf Pranagari berbahasa sansekerta yang merupakan mantra agama Budha Mahayana mengenai tiga ajaran Dharma. Pada pusat (ditengah-tengah) pondasi yang bersegi delapan ditemukan relief, yang menggambarkan dua gajah saling membelakangi, berdiri di kiri kanan sebuah gapura di duga bersangkala memet, gajah atau hasti angka 8 gapura 9, gajah 8 atau tahun Caka 898 (976 M). Dalam bilik stupa ini didapatkan arca Budha dari emas, lempengan emas, perak dan perunggu, serta pedagingan. Ini mungkin menggambarkan tahun pendirian Candi Pegulingan.

Dari uraian-uraian diatas dapat diasumsikan bahwa pada tahun 976 M, adalah pendirian candi pegulingan dan tahun 1178 M adalah selesainya Parhyangan Pura Pegulingan pada masa pemerintahan raja Masula – Masuli.

POTENSI WISATA DI DAS (DAERAH ALIRAN SUNGAI) PAKERISAN TAMPAKSIRING

Senin, Mei 14th, 2018

BAB I

PENDAHULUAN

 

I.1 Latar Belakang

            Potensi wisata adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh daerah tujuan wisata, dan merupajan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut (Mariotti dalam Yoeti 1996:160-162). Sedangkan pengertian potensi wisata menurut Sukardi (1998:67), potensi wisata adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh suatu daerah untuk daya tarik wisata dan berguna untuk mengembangkan industri pariwisata di daerah tersebut. Sementara itu, Sujali (dalam Amdani, 2008) menyebutkan bahwa potensi wisata sebagai kemampuan dalam suatu wilayah yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk pembangunan, seperti alam, manusia serta hasil karya manusia itu sendiri.

Tampaksiring adalah daerah dengan segudang potensi. Potensi ini didukung oleh alamnya yang asri, memiliki cagar budaya dengan segudang nilai sejarah yang sudah di akui dunia, kuliner khas, kesenian ukir tulang dan tradisi unik yang dimilikinya. Namun pada kesempatan ini saya  mencoba memaparkan tentang cagar budaya yang berada di sekitaran DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan, Tampaksiring yang sangat berpotensi untuk membangkitkan potensi wisata yang nantinya bisa lebih mensejahterakan masyarakat disekitarnya.

Dari pernyataan diatas akan timbul beberapa pertanyaan seperti; Kriteria seperti apa sajakah yang bisa digolongkan dalam Potensi Wisata? Dan Cagar Budaya atau keunikan apa saja yang terdapat pada DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan, Tampaksiring?

 

I.2 Rumusan Masalah

  1. Apa itu Potensi Wisata dan kriteria seperti apa sajakah yang bisa digolongkan dalam Potensi Wisata?
  2. Cagar Budaya atau keunikan apa saja yang terdapat pada DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan, Tampaksiring?

 

I.3 Tujuan

  1. Memahami pengertian dan kriteria yang bisa diigolongkan sebagai Potensi Wisata.
  2. Mengetahui kekayaan akan nilai sejarah yang berada di sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan, Tampaksiring dan upaya pengenalan kepada masyarakat luas.

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

II.1 Pengertian Potensi Wisata dan kriterianya.

Setiap daerah memiliki potensi wisatanya masing-masing, bahkan ada yang memiliki potensi besar namun belum di sentuh agar menjadi daya tarik wisata yang mengagumkan. Potensi wisata adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh daerah tujuan wisata, dan merupajan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut (Mariotti dalam Yoeti 1996:160-162). Sedangkan pengertian potensi wisata menurut Sukardi (1998:67), potensi wisata adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh suatu daerah untuk daya tarik wisata dan berguna untuk mengembangkan industri pariwisata di daerah tersebut. Sementara itu, Sujali (dalam Amdani, 2008) menyebutkan bahwa potensi wisata sebagai kemampuan dalam suatu wilayah yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk pembangunan, seperti alam, manusia serta hasil karya manusia itu sendiri.

Macam-macam Potensi Wisata

Potensi wisata dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:

 

  1. Potensi Wisata Alam

 

Yang dimaksud dengan potensi wisata alam adalah keadaan, jenis flora dan fauna suatu daerah, bentang alam seperti pantai, hutan, pegunungan dan lain-lain (keadaan fisik suatu daerah).

 

  1. Potensi Wisata Kebudayaan

 

Yang dimaksud dengan potensi wisata kebudayaan adalah semua hasil cipta, rasa dan karsa manusia baik berupa adat istiadat, kerajinan tangan, kesenia, peninggalan sejarah berupa bangunan (Contoh monumen).

 

  1. Potensi Wisata Buatan Manusia

 

Potensi wisata manusia juga sebagai daya tarik wisata berupa, pementasan tarian, pementasan atau pertunjukan seni budaya suatu daerah.

 

 

II.2  Cagar Budaya atau keunikan yang terdapat pada DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan, Tampaksiring.

Lansekap Budaya Propinsi Bali (LBPB) telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia (WD) UNESCO, pada tgl. 29 Juni 2012, dalam sidang UNESCO di Pittsburg, Rusia. Secara resmi bendel usulan yang diajukan oleh pemerintah untuk mendapatkan pengakuan UNESCO adalah Cultural Landscape of Bali Province, Subak as Manifestation of Tri Hita Karana Philosophy. Judul usulan itu ditetapkan, karena kawasan yang diajukan sebagai WD adalah kawasan yang terkait erat dengan sistem irigasi subak di Bali. Adapun kawasan yang mendapatkan pengakuan untuk ditetapkan dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO adalah : (i) Lansekap Subak Catur Angga Batukaru, berlokasi di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan dan di Kecamatan Sukasada,  Kabupaten Buleleng; (ii) Pura Taman Ayun, di Kabupaten Badung; (iii) Lansekap Subak Daerah Aliran Sungai Pakerisan, di Kabupaten Gianyar; dan (iv) Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.  Semua lanskep yang disebutkan di atas berkait erat dengan eksistensi sistem subak.

Kabupaten Gianyar sebagai salah satu  wilayah kabupaten di Bali dengan karakteristik wilayahnya adalah  berwujud dataran. Di mata dunia internasional kabupaten Gianyar memiliki predikat  sebagai “daerah seni”.  Dengan predikat tersebut, Kabupaten Gianyar merupakan daerah tujuan wisata utama bagi wisatawan baik domestik maupun manca negara. Sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia, Kabupaten Gianyar  memiliki ciri khas dan  keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh kabupaten lainnya di Bali.  Ciri khas dan keunikan yang menjadi daya tarik wisatawan tersebut adalah kekayaan alam dan budaya berupa keindahan alam atau lanskap, tradisi, budaya, warisan budaya, seni, dan keunikan lainnya.  Salah satu warisan budaya yang dimanfaatkan sebagai  obyek wisata adalah Dareah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan. Menurut catatan Stutterheim (1923-1930) dan Bernet Kempers daerah aliran sungai Pakerisan paling banyak ditemukan peninggalan purbakala.

  • Pura Tirta Empul

Pura Tirta Empul terletak di  hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan. Desa   Manukaya, Kecamatan  Tampaksiring, Kabupaten/Kota Gianyar, Propinsi Bali. Struktur halaman pura  terbagi menjadi empat  halaman,  utama mandala (jeroan),  madya mandala (jaba tengah) dan nista mandala (jaba). Halaman utama mandala sesungguhnya terbagi menjadi tiga ruang  yakni  ruang pertama adalah  paling utara, ruang kedua dipisahkan oleh sebuah tembok pembatas. Ruang pertama ditandai dengan adanya sebuah bangunan Tepasana dan bangunan-bangunan lainnya. Ruang kedua ditandai dengan adanya sumber mata air suci berada pada sisi timur dan pada sisi barat di depan candi bentar adalah komplek arca. Ruang ketiga adalah komplek pemandian. Ruang ini terbagi menjadi tiga, yakni bagian barat, bagian tengah  dan bagian timur (Banyun Cokor). Halaman  nista mandala ditandai dengan adanya  sebuah wantilan dan bekas  kolam renang.  Berdasarkan sumber prasasti Manukaya,  pura ini didirikan oleh raja Candrasingha Warmadewa pada tahun 884 Caka (962 M), data sejarah ini disebutkan pada prasasti batu (Jaya Stambha) yang disimpan di Pura Sakenan, Desa Manukaya Let. Benda cagar budaya yang terdapat pada pura Tirta Empul antara lain: Lingga Yoni, Arca Nandi, dan Arca Singa. Dan sebuah struktur: Tepasana. Secara mithologi hindu, berdasarkan lontar Usana Bali Pura Tirta Empul lebih dikenal dalam ceritera Maya Denawa. Mithologi tersebut mengisahkan  pertempuran antara pasukan Dewa Indra melawan Raksasa Maya Denawa. Dalam ceritera itu disebutkan bahwa Raksasa Maya Denawa berhasil membuat mata air beracun (tirta cetik) untuk mengalahkan pasukan Dewa Indra. Sedangkan Dewa Indra berhasil mebuat air suci untuk menghidupkan kembali pasukannya.

 

 

 

  • Pura Pegulingan

Pura Pegulingan terletak di Dusun/Br. Basangambu, Desa/Kelurahan Manukaya, Kecamatan  Tampaksiring  Kabupaten/Kota Gianyar, Propinsi  Bali.  Ditemukan kembali tahun 1982 saat masyarakat merencanakan membangun paduraksa. Situs Pura Pegulingan ditemukan pada tahun 1982, pada saat itu masyarakat hendak mendirikan sebuah padmasana agung. Berdasarkan data kepurbakalaan, pura ini diperkirakan berdiri pada abad VIII Masehi pada halaman dalam terdapat pelinggih dan Candi. Cagar budaya di pura ini anara lain : sebuah stupa dan temuan lain berupa materai tanah liat, relief Gana, arca budha dari emas dan fragmen-fragmen bangunan.

Keunikan yang terdapat yang terdapat di Pura ini yaitu Candi Pegulingan atau krama pangemong Pura ini menyebutnya dengan Padma Asta Dala (karena pada dasar bangunan candi ini menyerupaisegi delapan). Namun di Pura ini juga terdapat kompleks Pura disebelah timurnya yang mana Pura tersebut bernama Pura Jempana Manik, karena terdapatnya dua komplek tempat suci dalam 1 wilayah ini maka Pura Jempana Manik Pegulingan menjadi sebutan umum masyarakat pengemong Pura tersebut.  Menurut penuturan penglingsir pengemong Pura Pagulingan, bhatara yang bersthana di Pura ini adalah Ida Sang Buddha Gottama. Pura Pegulingan ini menunjukan bahwa sekte Buddha dan Siwa sudah hidup berdampingan di daerah Br.Basangambu dari abad VIII.

 

 

 

  • Pura Mangening

Pura Mangening berada pada sebuah lembah diapit oleh aliran sungai Pakerisan di sebelah timur dan anak sungai pakerisan di sebelah baratnya. Pura Mengening terletak di Dusun/Br. Sarasidi, Desa/Kelurahan Tampaksiring, Kecamatan   Tampaksiring, Kabupaten/Kota  Gianyar, Provinsi Bali. Struktur mandala pura Mangening dibagi menjadi tiga bagian, yakni utama mandala, madya mandala dan nista mandala.  Cagar budaya yang bernilai penting yang terdapat di pura Mangening adalah sebuah bangunan Prasada, sebuah lingga, dan dua buah arca perwujudan yang diperkirakan berasal dari abad ke XI – XII Masehi

  • Pura Gunung Kawi

Pura Gunung Kawi terletak di Dusun/Br.  Penaka, Desa/Kelurahan Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten/Kota  Gianyar, Propinsi  Bali. Dengan ukuran luas lahan 14.87 ha. Kepurbakalaan yang terdapat di dalam pura Gunung Kawi antara lain: Jero Gede merupakan sebuah ruang suci di dalam sebuah dengan ruangan berbentuk segi empat. Di dalam ruang ini sebuah altar berbentuk persegi empat panjang berada di tengah-tengah ruangan ini. Komplek candi tebing Gunung Kawi meliputi: Candi Lima, Candi Empat, Pasar Agung dan kompleks Candi Sepuluh. Menurut perkiraan para ahli, komplek percandian Gunung Kawi didirikan pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu sekitar abad XI Masehi. Percandian ini didirikan untuk memuliakan Raja Udayana beserta keluarga dan kerabatnya. Terbukti dengan adanya inskripsi dalam bentuk huruf Kadiri  Kwadrat  pada ambang pintu candi yang berbunyi “rwanakira” artinya: dua putra beliau, dan “haji lumah ing jalu”  artinya sang raja didharmakan di pakerisan.  Komplek percandian Candi Gunung Kawi beserta ceruk-ceruk pertapaannya seolah-olah dibelah oleh aliran  sungai Pakerisan, di situs ini ditemukan beberapa kelompok percandian yakni: Candi Lima dan Komplek Pasar Agung berada  di sebelah timur sungai, Candi Empat dan  Candi Sepuluh serta  ceruk pertapaan berada di sebelah barat sungai dan  di sebelah tenggara.

  • Lansekap Budaya

Sebagai gambaran umum, pengakuan dunia terhadap Subak sebagai Warisan Dunia membuktikan bahwa keberadan Subak bisa disejajarkan dengan situs-situs lain di dunia yang harus dilestarikan keberadaannya. Penetapan tersebut berimplikasi positif bagi promosi wisata budaya yang berpotensi memberikan manfaat ekonomi serta mendorong upaya pelestarian dan pengembangan subak ke depan.

Warisan Dunia Lansekap Budaya Propinsi Bali mencakup sejumlah komponen yaitu subak (petani dan lembaga), kawasan hutan, kawasan mata air dan danau, lansekap sawah terasering, wilayah sungai dan prasarana sumber daya air (irigasi, saluran, dan bendung irigasi), kawasan permukiman perdesaan, dan kawasan suci, seperti pura.

Sistem subak secara menyeluruh mencerminkan prinsip filosofis Bali Tri Hita Karana (“tiga unsur sumber kebaikan”), hubungan selaras antara parhyangan (Tuhan), pawongan (umat manusia) dan palemahan (alam sekitar). Ritual pura subak mempromosilan hubungan selaras antara manusia dan lingkungannya melalui keterkaitan aktif manusia dengan konsep ritual yang menekankan kebergantungan pada kekuatan pemberi kehidupan alam semesta. Sistem subak memiliki nilai universal yang luar biasa, dengan kriteria: konsep filosofis masa lampau yakni Tri Hita Karana, sebagai sebuah sistem yang demokratis dan egaliter, dan sebagai suatu lembaga yang unik.

Dari pemaparan diatas, cagar budaya disekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan memiliki  potensi wisata. Dilihat dari cagar budaya yang memiliki historis tinggi yang terdapat disekiitaran DAS dan terdapat subak Pulagan yang merupakan warisan dunia tak benda yang telah diakui dunia internasional (UNESCO). Cagar budaya yang terdapat disekkitaran DAS memiliki nilai historis, teologis dan arsitektur yang megah sehingga cagar budaya disekitar DAS ini sangat cocok dikembangkan menjadi wisata spiritual dan wisata sejarah. Di sekitaran cagar budaya di DAS juga dikelilingi oleh pemandangan alam yang masih asri, sehingga disamping cagar budaya cocok dikembangkan menjadi wisata sejarah dan wisata spiritual juga bisa dijadikan wisata pemandangan alam.

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

 

Potensi wisata adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh daerah tujuan wisata, dan merupajan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut (Mariotti dalam Yoeti 1996:160-162). Potensi wisata dibagi menjadi tiga macam:1. Potensi Wisata Alam, 2. Potensi Wisata Kebudayaan, 3. Potensi Wisata Buatan Manusia.

Ada 5 (lima) (namun hanya 3 (tiga) yang belum popular) tempat cagar budaya di sekitaran DAS (Daerah Sungai Pakerisan) yang sangat baik untuk dikembangkan potensi untuk kedepannya, antara lain: Pura Tirta Empul (sudah populer), Pura Pegulingan, Pura Gunung Kawi (populer), Pura Mengening dan Subak Pulagan.

Cagar budaya disekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan memiliki  potensi wisata. Dilihat dari cagar budaya yang memiliki historis tinggi yang terdapat disekiitaran DAS dan terdapat subak Pulagan yang merupakan warisan dunia tak benda yang telah diakui dunia internasional (UNESCO). Cagar budaya yang terdapat disekkitaran DAS memiliki nilai historis, teologis dan arsitektur yang megah sehingga cagar budaya disekitar DAS ini sangat cocok dikembangkan menjadi wisata spiritual dan wisata sejarah. Di sekitaran cagar budaya di DAS juga dikelilingi oleh pemandangan alam yang masih asri, sehingga disamping cagar budaya cocok dikembangkan menjadi wisata sejarah dan wisata spiritual juga bisa dijadikan wisata pemandangan alam.

 

 

Konteks Seni

Senin, April 9th, 2018
  1. Seni Dan Masyarakat

Ada yang menyatakan bahwa kebudayaan padadasarnya adalah suatu system nilai. Dalam suatu system nilai selalu ada apa yang disebut dengan nilai dasar. Nilai dasar inilah yang mendominasi nilai-nilai dalin dalam kebudayaan tersebut. Dalam masyarakat dagang, misalnya, nilai daasarntya adalah bahan untuk bergadang, baik berupa modal, ketrampilan maupun sarana perdagangan. Dalam hiddup masyarakat yang demikian itu, materi sangat penting dalam kehidupan. Maka nilai seni masyarakat dagangpun mengacu kepada nilai dasar ini, yakni karya seni yang bisa memberikan kenikmatan yang kurang lebih bersifat materi, seperti tarian striptease serta nyanyian atau tarian sensual.

Secara teori memang nampaknya mudah memahami hubungan antara masyarakat dan keseniannya. Hal ini benar apabila suatu masyarakat masih merupakan suatu kesatuan monolit, keutuhan berdasarkan tempat terbatas.  Misalnya pada masyarakat suku yang terasing. Dalam masyarakat demikian itu akan segera terlihat prilaku seseorang dengan wilayah kebudayaannya. Seorang dari Kanekes (Baduy dalam) misalnya, segera akan dikenal sebagai warga kebudayaan Kenekes. Dengan demikian akan segera pula diketahui nilai-nilai dasar kebudayaan mereka dan semua sub-nilainya.

 

  1. Latar Sosial Seni

Setiap karya seni sedikit-banyak mencerminkan setting masyarakat tempat itu diciptakan. Dan seniman itu selalu berasal dan hidup dari masyarakat tertentu. Kehidupan dalam masyarakat itu merupakan kenyataan yang langsung dihadapi sebagai rangsangan atau pemicu kreativitas kesenimanannya. Dalam menghadapi rangsangan penciptaannya, seniman mungkin sekedar saksi masyarakat, atau bisa juga bisa sebagai kritikus masyarakat, atau memberikan alternatif dari kehidupan masyarakatnya, atau memberikan pandangan baru yang sama sekali asing dalam masyarakatnya. Dalam hal ini, seniman memainkan peran keberdayaan dirinya yang bebas dari nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Jadi, meskipun seniman hidup dalam suatu masyarakat dengan tata nilainya sendiri, dan dia belajar hidup dengan tata  nilai tersebut, ia juga mempunyai kebebasan untuk menyetujui atau tidak menyetujui tata nilai masyarakatnya itu.

Sejauh mana sebuah karya seni mencerminkankan masyarakatnya harus dicermati dari asal usul sosial senimannya, pendidikan seni yang diperolehnya, dan untuk kelompol mana ia menciptakan karyanya. Dengan meneliti itu semua akan segera terlihat anasir mana dalam karyanya yang membawa dasar ideology sosial tertentu yang pernah dikenal dan dialaminya. Selain itu, masih juga harus diingat juga sikap seniman terhadap rangsangan yang menjadi objek seninya.

  1. Seni Sebagai Produk Masyarakat

Kita memang menyadari betul bahwa setiap karya seni adalah ciptaan seorang individu yang kita sebut seniman. Setiap individu memainkan peran individualitasnya dalam masyarakat. Dia seorang yang bebas mengembangkan nilai-nilainya sendiri. Seorang seniman, seperti halnya kaum intelektual pada umumnya, dapat belajar nilai-nilai diluar konteks masyarakat dan bangsanya. Sebaliknya, masyarakat umumnya belum tentu mau belajar nilai-nilai dari luar konteksnya sendiri. Seniman bebas mengembangkan nilai hidupnya sendiri.

Nilai seni, nilai estetik, seperti halnya nilai agama, etika, sosial dan lain-lain, diperoleh seorang anggota masyarakat dari lingkungan hidupnya, dari masyarakatnya. Seorang anggota masyarakat yang ingin menjadi pelukis atau sastrawan mula-mula belajar apa yang disebut lukisan dan kesusastraan dari masyarakatnya. Dia menyaksikan pameran lukisan, melihat tetangganya pelukis sedang melukis, melihat reproduksi lukisanm di buku-buku, membaca ulasan seni lukis, menyaksikan teman-teman sekolahnya mulai belajar melukis. Semua nilai estetik tentang apa yang seharusnya disebut lukisan, dipelajarinya dari masyarakat sekitarnya. Begitu pula dia belajar nilai agama, nilai moral, nilai adat, dan nilai sosial dari masyarakatnya pula.

  1. Masyarakat Sebagai Produk Seni

Pandangan disinterestedness dalam seni pada dasarnya hanya merupakan gagasan, sedangkan dalam praktik atau sejarah seni, jarang muncul seni yang hanya mementingkan aspek bentuk keindahan demi keindahan itu sendiri. Hampir setiap karya seni merupakan ekspresi isi, baik berupa pemikiran,perasaan atau nilai-nilai kehidupan. Justru hadirnya seni memperkuat makna bentuknya. Jadi pada dasarnya, sejak asal mula munculnya karya seni dalam sejarah manusia, benda seni itu selalu mempunyai isi, bukan sekedar bentuk tanpa isi. Makna bentuk itu ditentukan oleh kandungan bobot isinya. Setiap karya seni besar selalu mengandung aspek isi dalam bentuk yang memang estetis.

Seni selalu mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia, bukan semata-matagungsi kenikmatan, keindahan bentuknya, melainkan juga keindahan isinya. Keindahan murni bentuk hanya terdapat dalam alam. Pemandangan laut atau pegunungan, dalam alam nyata, menampilkan kemurnian bentuk alam itu sendiri. Ini berbeda dengan lukisan. Dalam karya seni lukis pemandangan alam, selalu terselip pesan yang hendakdisampaikan si pelukis dalam lukisannya. Bahkan dalam seni music yang sama sekali tidak mengambil objek nyata kehidupan pun masih dapat dikenali isi pesannya, entah itu emosi kesedihan, kemuliaan, atau kemarahan.

  1. Seni Dalam Konteks Moral

Pembicaraan seni dan moral biasanya mengacu kepada dua kutub pandangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa seni itu harus bersendi kepada moral, sementara pandangan yang lain berpendapat bahwa seni dan moral itu dua tugas yang berbeda sehingga seni iut tidak harus berlandaskan moral. Golongan terakhir terknal dengan semboyan ‘seni untuk seni’. Seni itu mengabdi kepada keindahan, sedangkan moral itu kebaikan. Seni yang sejati sudah barang tentu bermoral, moralnya adalah keindahan itu sendiri, sebab keindahan adalah sebuah kebaikan dan kebenaran.

Satu satunya moralitas yang dapat dituntuk dari seniman adalah kejujurannya. Seorang yang melakukan penipuan dalam karyaseninya jelas akan runtuh namanya sebagai seorang seniman. Kalau seorang seniman mencuri ide orang lain, atau menjiplak ide seniman lain, dalam karya yang diakuinya sebagai miliknya yang otentik, maka seniman yang demikian dicoret dari dunia seni. Seniman demikian itulah yang tidak mempunyai etika seni. Bisa jadi moralitasnya seorang seniman benar-benar amburadul, tetapi selama berkarya dia jujur pada dirinya, dia otentik, asli, maka itulah moralitasnya.

  1. Seni dan Ilmu Pengetahuan

Perbedaan antara seni dan ilmu dapat bermacam ragam. Seni menyangkut penghayatan dalam sebuah struktur pengalaman estetis, sedangkan ilmu menyangkut pemahaman rasional-empiris terhadap suatu objek ilmu. Seni menyangkut masalah penciptaan, sedangkan ilmu menyangkut masalah penemuan. Seni menghasilkan sesuatu yang belum ada menjadi ada. Ilmu selalu berdasarkan atas apa yang sudah ada. Pendekatan ilmu menggunakan perangkat intelegensia, analisis, dan pengamatan terhadap dunia material. Pendekatan seni mengarahkan pandangannya ke lubuk batin manusia, di sudut-sudutnya yang tersembunyi dan rahasia. Seni menghadirkan kualitas pengalaman yang unik dan spesifik, seperti soal kesepian, penderitaan, keagungan dan kemuliaan, keperkasaan, kesedihan, yang tak jelas dapat dirumuskan dalam bidang keilmuan. Dalam ilmu segalanya kuantitatif, terukur dalam parameter tertentu.

  1. Seni dan Politik

Seni adalah suatu kualitas transdental, dalam arti seni yang sejati. Sebuah karya seni merupakan ungkapan nilai seorang seniman setelah dia merenungkan suatu objek. Nilai itu amat subjektif sifatnya. Tetapi, karena renungan seniman yang sungguh-sungguh jujur dan mendalam terhadap suatu objek itu dilakukan untuk menemukan kebenaran universal, hasilnya akan diterima secara objektif oleh penangggap karya seninya.

Setiap seniman adalah seorang pencari dan pencipta. Yang dicari adalah nilai kualitas, nilai esensi, nilai emosi yang baru dan segar atas objek yang sama yang mungkin telah berkali-kali direnungkan oleh seniman lainnya. Yang diciptakan adalah hasil temuan tadi dalam wujud intrinsic benda itu sendiri. Ilayah pencarian dan penemuan seniman adalah wilayah diluar objeknya itu, namun sebenarnya muncul dari objek tersebut. Inilah wilayah diluar objek-tampak, suatu wilayah transenden.  Suatu wilayah diluar kenyataan material duniawi, wilayah luas yang tak terbatas bagi pengembaraan rohani manusia.

 

  1. Pernak Pernik Sejarah Seni

Adanya masa kini disebabkan oleh adanya masa lampau. Semua nilai yang hidup dalam masyarakat sekarang, baik yang terealisasi dalam kenyataan  maupun yang hanya merupakan idaman tertinggi, adalah kumpulan warisan nilai-nilai masyarakat tersebut dimasa lampau. Memang tidak semua nilai masa lampau (moral, religi, sosial, seni, politik, ekonomi, dan lain-lain) diterima, disetujui, dan dilaksanakan pada masa kini, tetapi sudah melalui seleksi yang memang cocok utnuk masyarakatnya yang sekarang. Mengapa demikian? Ini karena apa yang dinamakan masyarakat, kelompok manusia yang tertentu itu juga berubah oleh berbagai sebab. Masyarakat bisa berubah karena faktor pendidikanekonomi, teknologi, geografi, politik, agama dan lain-lain.

 

  1. Seni dan Jarak Ideologi

Pada akhirnya seni adalah sebuah pemikiran. Meskipun yang telah diekspresikan seniman adalah perasaannya, intuisinya, alam bawah sadarnya, semua itu dikendalikan oleh nalar atau rasionya, yakni ungkapan perasaan yang terstruktur. Struktur adalah cara menyusun unsur-unsur wujud dan non-wujudnya dalam bentuk keutuhan tertentu, dengan tujuan (pemikiran) tertentu pula. Inilah sebabnya setiap karya seni selalu punya tujuan afektif, yaitu tujuan untuk mempengaruhi sikap penanggapnya, baik secara inderawi, emosi, maupun rasional. Seni adalah suatu kosmos,suatu keteraturan dalam sistem dirinya, bukan suau chaos atau ketidakberaturan. Kesulitan utama parapenanggap seni modern adalah kebingungan dalam membentuk struktur keutuhan seninya. Akibatnya, bukan keteraturan yang diterima, melainkan suatu chaos. Dan sebagai chaos tentu saja tak punya makna, tak punya arah, tak punya tujuan. Dengan kata lain, seni modern tidak berbicara pada penanggap yang kurang terlatih.

Seni sebagai karya pemikiran adalah juga karya penilaian. Menilai adalah kerja berpikir berdasarkan konsep tertentu. Objek yang dinilai dalam seni tak terbatas. Seni dapat berbicara tentang apa saja, tapi semua itu bertolak dari konteks sosio-budaya seniman penciptanya. Kontes yang berupa kenyataan konkret empiric itu merupakan rangsangan, tantangan, stimulus  bagi seniman untuk ditanggapi, dijawab dan direnspon. Dan konteks sosio-budaya seniman menawarkan berbagai stimulus yang sesuai dengan minatnya msing-masing.

SEKILAS TENTANG ESTETIKA TIMUR

Senin, April 9th, 2018
  1. Estetika Cina

Hubungan ilmu, filsafat dan seni sangat akrab mewarnai perkembangan seni abad ke 19 di barat, dan kemudian merupakan landasan penciptaan seni modern akhir abad 19 dan20. Ekspresi, intuisi dan konsep individualitas merupakan sumber penciptaan yang didewakan seniman modern. Apabila di Yunani abad ke 5 SM sudah didapatkan karya-karya yang berpangdangan filsafat, maka di Timur khususnya Cina diketahui pada dinasti Han (206 SM – 220 AD)

Berbeda dengan perkembangan estetika barat, estetik di Negara-negara timur nampaknya sudah mulai berkembang mulai dari zaman primitive hingga munculnya berbagai agama besar sampai era modern sekarang ini. Estetika pada dasarnya dinamis dengan filsafat dan pemikiran baru, tetapi ditimur justru statis dan dogmatis, sehingga sangat lamban dan dapat dikatakan tidak berkembang. Meskipun demikian sulit mengatakan keunggulan masing-masing pihak. Hal tersebut karena pijakan atau latar belakang budaya yang masing-masing memang berbeda. Di Cina, Tao lah yang dianggap sumber dari nilai-nilai kehidupan. Tao berarti sinar tenang dan sumber dari segala sumber yang ada. Manusia dianggap sempurna apabila hidupnya diterangi oleh Tao. Bagi bangsa Cina Tao adalah kemutlakan; sesuatu yang member keberadaan, kehidupan dan kedamaian. Kong Hu Cu seorang filsuf Cina yang dianggap Nabi, mengutarakan sebuah pertanyaan; padahal barang-barang yang indah adalah penjelmaan dari Tao. Oleh karena itu tugas seoarang seniman adalah “menangkap” Tao tersebut dan mengungkapkannya dalam bentuk karya seni atau berupa barang yang indah. Sehingga seorang seniman wajib menyucikan diri agar mempunyai kesadaran Tao. Dan lewat kesadaran kontemplasi ia akan mampu menciptakan keindahan (Agus Sachari 1989:23). Filsuf Cina pada akhir abad V, Hsieh Ho menyusun enam prinsip dasar bagi para seniman yang kemudian terkenal dengan istilah canon estetika Cina, antara lain:

  1. Prinsip Pertama

Prinsip yang menggambarkan bersatunya roh semesta dengan dirinya, sehingga dengan demikian ia mampu menangkap keindahan (dari Tao) dan kemudian ditampilkan atau terwujud dalam karyanya. Prinsip ini merupakan konsep yang erat kaitannya dengan Buddhisme atau Taoisme. Konsep energy spiritual yang mewujudkan kesatuan yang harmonis atas segala sesuatu. Energi kosmis barangkali merupakan sesuatu ungkapan yang sesuai, tetapi terbatas dalam artian bahwa sesuatu dapat diperoleh dari suatu sumber yang menjiwai sesuatu, an-organik dan organik. Istilah Cina prinsip ini disebut “Ch’I yun sheng tun”.

  1. Prinsip Kedua

Prinsip ini menggambarkan kemapuan menyergap Roh Ch’I atau roh kehidupan dengan cara mengenyampingkan bentuk dan warna yang semarak, sehingga makna spiritual akan Nampak dalam karya-karyanya. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa lukisan Cina saat itu, yang penuh dengan ruang kosong dan kesunyian. Digambarkan sebagaimana pelukis Cina Tsung Ting (375-443), sebelum melukis pemandangan alam, ia melakukan meditasi terlebih dahulu, agar rohnya secara bebas menjelajahi alam semesta.

Prinsip kedua ini jika diterjemahkan secara literer berarti metode tulang dalam penggunaan kuas. Tak ada komentator barat yang menjelaskan mengapa kata “tulang” digunakan untuk member metode seni lukis, nampaknya ini untuk menyatakan secara tidak langsung pemberian kekuatan structural terhadap sapuan kuas itu sendiri. Sapuan kuas harus cukup kuat untuk membawakan energy kosmis yang dihubungkan dengan prinsip pertama. Prinsip kedua ini dalam istilah Cina disebut Ku Fa Yung Pi.

  1. Prinsip Ketiga

Prinsip yang menggambarkan merefleksikan objek dengan menggambarkan bentuknya; yaitu konsekuen terhadap objek yang dilukis atau yang disusunnya. Seperti yang dikatakan oleh Ch’eng Heng-Lo: “seni lukis barat adalah seni lukis mata, sedangkan seni lukis Cina adalahseni lukis idea.” Disini jelas bahwa seni lukis Cina mementingkan esensinya bukan eksistensinya.

Prinsip ketiga memberikan saran bahwa setiap objek mempunyai bentuk yang tepat. Seniman harus menyesuaikan antara tema pokok dan ekspresi yang memperlihatkan visi pengamat identitas objek yang dilukis didalam semua keterpisahan dan kekongkritan. Dalam prinsip ketiga ini dalam istilah Cina disebut Ying Wi Hsiang Hsing.

4.Prinsip Keempat

Prinsip yang menggambarkan keselarasan dalam menggunakan warna. Seni lukis cina dalam penggunaan warna tidak bersifat fungsional tetapi lebis bersifat simbolis. Estetika warna para pelukis Cina ditetntukan oleh tekhnik akuarel tinta monokromatis untuk membabarkan suasana hati.

Prinsip keempat menetapkan setiap objek memiliki warna yang sesuai. Warna yang digunakan dalam lukisan harus mempunyai sugesti alam  dan sifat penggambarannya. Prinsip ini dalam istilah Cina disbut Sui Lei Fu Ts’ai yang berarti suatu tipe hubungannya dengan penggunaaan warna dalam seni lukis Cina tidak bersifat fungsional tapi lebih bersifat sibolisme (Mulyadi, 1986)

  1. Prinsip Kelima

Prinsip yang menggambarkan tentang pengorganisasian, penyusunan atau perancanaan dengan pertimangan penempatan dan susunan. Seni Cina menganjurkan agar mengadakan semacam perencanaan terlebih dahulu sebelum berkarya. Dalam hal iani nampaknya rancang komposisi berbeda dengan prinsip desain seni barat. Dikatakan oleh Chang Yen-Yuan; aspek kemusiman meilbatkan pengertian irama dan pergeseran alam, membutuhkan observasi, pengetahuan, meditasi, pengertian intuit tentang Ch’I. dalam hati seseorang, ia harus sepenuhnya mengenal Ch’I empat musim—tidak hanya dalam hati, karena pengetahuan itu harus mengalir ke ujung jari kemudian menggetarkan pena/kuas dalam berkarya.

Prinsip kelima ini merupakan perencanaan atas unsur-unsur dalam komposisi. Komposisi harus dapat menunjukkan mana yang lebh penting dan kurang penting, apa yang memerlukan jarak dan yang tertutup, dan mempertimbangkan juga ruang dan kosong.  Seni Cina sama sekali tidak menghubungkan system  yang matematis antara figure individuil, misalnya dalam lukisan portret atau komposisi secara keseluruhan. Seni lukis Cina mempunyai dasar pemikirannya selalu bersumber pada Ch’I (Mulyadi, 1986).

  1. Prinsip Keenam

Prinsip ini memberikan ajaran untuk membuat reproduksi-reproduksi agar dapat diteruskan dan disebarluaskan. Semangat Tao dalam estetik di Cina rupaya begitu mendalam dan menyebar ke pelbagai Negara di sekitarnya sampai sekarang.

Prinsip ke enam ini dihubungkan dotrin Cina tentang meniru sesuatu gagasan, yang jelas ini berbeda dengan gagasan kita tentang tradisi, yang merupakan suatu inti, atau kekuatan vital yang diturunkan dari generasi ke generasi. Gagasan barat tentang tradisi lebiuh bersifat teknis dan gaya para master.  Gagasan Cina berbeda yaitu secara tidak langsung menyatakan bahwa suatu jiwa yang diinformasikan dan yang diteruskan kearah yang lebih penting (mullia) dari bentuk itu sendiri. Prinsip dalam istilah Cina disebut “Chuan Mo I Hsieh”.

  1. Estetika Timur Tengah

Estetika yang berkembang di Negara-negara Timur Tengah perlu dipertimbangkan. Didalam konteks agama Islam estetika didasari sebagai sesuatu yang berbeda dengan perkembangan estetika di belahan lain. Hal ini disebabkan karena masyarakat timur tengah sebelum masuk islam menyembah patung berhala yang berwujud makhluk hidup dan bentuk-bentuk keindahan lain. Sehingga mereka yang menyembah berhala tersebut dianggap bertentangan dengan agama. Demikian juga semua yang berkaitan dengan hal tersebut seperti patung dan gambar yang menggambarkan tentang makhluk hidup. Akibatnya suatu bentuk yang mirip dengan berhala, atau suatu bentuk yang bernyata hamper tidak terdapat di Negara-negara ini. Karena ada kekhawatiran untuk dipuja atau dikultuskan. Tetapi karena larangan tersebut, justru muncul dimensi estetik simbolik yang non-naturalis.karya-karya estetik semacam kaligrafi, ornamen geometric, arsitektur masjid, permadani bermotif tumbuh-tumbuhan yang distilasi dan sejenisnya tumbuh subur dan member ciri-ciri khas kesenian timur tengah.

Estetika islam terus hidup, karena pada dasarnya  estetika adalah fitrah, hanya cara pengungkapannya yang harus disesuaikan dengan ajaran agama islam. Walau pada awalnya perkembangan estetika berkisar pada sekitar masjid dalam bentuk kaligrafi. Estetika justru kemudian berkembang dan mempengaruhi ngara sekitarnya., demikian seterusnya islam berkembang menyebar sampai india, dan asia tenggara termasuk Indonesia. Pada akhir perkembangannya estetik islam tidak lagi berdiri sendiri, tetapi mengadakan metamorfosa dengan kebudayaan asli daerah setempat.

  1. Estetika India

India mempunyai pandangan sendiri mengenai estetika yang konon ditulis oleh Bharata dalam buku Natyasastra (sekidar abad ke 5). Dalam buku tersebut ia berpandangan bahwa ‘rasa’ lahir dari manunggalnya situasi yang ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang senantiasa berubah. Pandangan Bharata seperti halnya pandangan Plato di Barat, kemudian ditanggapi dan dikembangkan secara terus-menerus, baik oleh pengikutnya, maupun oleh penentangnya. Seorang ahli piker Khasmir ; Sangkula (abad ke 10) berpendapat bahwa pengalaman estetik sebenarnya berada diluar bidang kebenaran dan ketidakbenaran.

Pendapat Sangkuta tersebut dikritik oleh Abhinavagupta, yang menyatakan bahwa bila hidup hanya ditiru, efeknya bukanlah kenikmatan estetik melainkan suatu kelucuan belaka. Artinya estetik bukanlah imitasi, melainkan cara untuk menikmati hidup nyata. Pemikir Khasmir lainnya, Bhatta Nayaka berpendapat bahwa pengalaman estetika adalah semacam jatuhnya wahyu, artinya kebekuan rohani kita trsingkirkan sehingga kita dapat melihat kenyataan dengan cakrawala yang luas. Menurutnya; hakekat rasa bukanlah meniru, melainkan melepaskan kenyataan dari keterikatan ego seseorang dan menjadikan pengalaman ( Agus Sachari, 1989)

  1. Estetika Buddhisme

Buddhisme (hubungan manusia dengan yang mutlak). Kaum Buddhisme mengatakan bahwa pada dasarnya semua yang ada, dan kita sekarang ini adalah hasil dari sesuatu yang kita pikirkan. Pandangan Buddha terhadap benda-benda pada prinsiipnya adalah segala sesuatu yang bersifat fana; segala sesuatu itu mengandung penderitaan dan segala sesuatu itu tanpa ego. Bagi Buddha benda-benda itu tidaklah kekal, selalu berubah. Indera kita selalu saja salah dalam mengamati benda di sekitarnya. Hal ini membuat manusia hanya selalu menatap ilusi belaka, demikian segala sesuatu selalu menganadung penderitaan. Oleh karena itu pergunakan konsep kesederhanaan; mintalah segala sesuatu itu secukupnya. Konsep inilah yang kemudian mempengaruhi estetika Buddhisme yang lebih menekankan pada estetika estetika kesederhanaan. Segala sesuatu itu buatlah seminimal mungkin dan bersahaja. Maka jarang dijumpai estetika ‘kerumitan’ didalam konsep estetika Buddha.Buddha selalu menekankan bahwa manusia itu tidak memiliki kepribadian atau ego, kita tidak memiliki diri kita sendiri; kita adalah penderitaan (Agus Sachari, 1989).

Buddhisme kemudian berkembang subur di Jepang. Hal ini kemudian ternyata cukup besar pengaruhnya terhadap perkembangan esrtetika.  Terbukti bahwa di Jepang; hal-hal yang bersifat cemerlang, meriah, kengerian hamper tak pernah dijumpai. Estetika Jepang mengabdi pada kelembutan dan bersahaja.

I-Ching filsuf Cina Tiongkok, bahwa sumber segala eksistensi dan transformasi dalam semesta adalah Yin dan Yang. Yin adalah sesuatu yang tertutup dan tak diketahui, dan Yang adalah sesuatu yang terbuka. Yin mewakili bumi, malam, bulan, betina, air, pasir, lemah, susah, dan seterusnya…, sedangkan Yang mewakili langit, matahari, siang, gembira, jantan, api, aksi, kuat, dan seterusnya… Simbol Yin dan Yang mengandung filsafat hidup manusia, bagian putih mengandung Yang, bagian hitam mengandung Yin, keduanya lebih bersifat saling mengisi dan saling membantu daripada saling bertentangan. Didalam Yang ada titik Yin, dan didalam Yin ada titik Yang. Titik ini memiliki daya yang luar biasa yaitu adanya kontradiksi; artinya tiada yang seluruhnya baik atau jahat. Tiada seluruhnya indah dan buruk.

 

Pengaruh Gong Kebyar Pada Barungan Gamelan Lain Yang Sudah Ada Sebelumnya

Senin, April 9th, 2018

BAB I

PENDAHULUAN

 

Gong Kebyar adalah barungan gamelan Bali sebagai perkembangan terakhir dari Gong Gede, memakai laras pelog lima nada, yaitu : nding, ndong, ndeng, ndung, ndang. Yang awal mulanya tidak mempergunakan instrumen terompong.Selanjutnya Gong Kebyar dapat diartikan suatu barungan gamelan gong yang didalam permainannya sangat mengutamakan kekompakan suara, dinamika, melodi dan tempo. Ketrampilan mengolah melodi dengan berbagai variasi permainan dinamika yang dinamis dan permainan tempo yang diatur sedemikian rupa serta didukung oleh teknik permainan yang cukup tinggi sehingga dapat membedakan style  Gong Kebyar yang satu dengan yang lainnya.

Dalam tulisan-tulisan mengenai gamelan bali terdahulu secara umum telah dikemukakan oleh masing-masing penulisnya bahwa gamelan gong kebyar ini baru muncul pada permulaan abad XX, yang pertama kali diperkirakan muncul di daerah Bali Utara tepatnya sekitar tahun 1915 di desa Jagaraga.

Setelah ditelusuri lebih mendalam, didapatkanlah beberapa data yang dapat dijadikan suatu pegangan guna mengetahui asal mula dari pada gamelan gong kebyar ini. Informasi pertama datangnya dari Bapak I Nyoman Rembang seorang guru karawitan pada Sekolah Menengah Karawitan Indonesia ( SMKI ) Denpasar yang dulunya bernama KOKAR Bali, mengatakan bahwa berdasarkan hasil wawancaranya dengan Bapak I Gusti Bagus Sugriwa yang berasal dari desa Bungkulan Buleleng mengatakan bahwa lagu-lagu gong kebyar diciptakan pertama kali oleh I Gusti Nyoman Panji di desa Bungkulan pada tahun 1914 dan ketika itu dicoba untuk ditarikan oleh Ngakan Kuta yang berdomisili di desa Bungkulan. Informasi ini menunjukan bahwa pada tahun 1914 di desa Bungkulan telah diciptakan lagu-lagu kekebyaran.Hanya saja belum diketahui bagaimana bentuk lagu kebyar yang diciptakan ketika di Bungkulan itu dan bagaimana pula bentuk gamelan gong kebyar yang telah menampilkan motif-motif kekebyaran itu.

BAB II

PEMBAHASAN

 

Pengaruh gong kebyar terhadap gamelan Bali yang lainnya nampaknya tidak dapat dilepaskan dengan teori akulturasi budaya.Kendatipun masih dalam satu cabang seni yakni seni pertunjukan, akulturasi budaya nampaknya menjadi sebuah fenomena distorsi budaya dengan tanpa membuang budaya aslinya.Ada beberapa segi yang bisa diamati untuk melihat pengaruh gamelan Gong Kebyar terhadap gamelan lainnya yaitu reportoar, ungkapan musikal, motif lagu, dan tata penyajian. Hal itu merupakan bentuk nyata konsep stratifikasi yang relasinya dengan sudut pandang diatas adalah stratifikasi itu tidak hanya terjadi didalam susunan sebuah masyarakat, akan tetapi juga terjadi dalam sebuah barungan gong kebyar beserta kesemua unsurnya. Baik itu unsur fisik, maupun unsur non-fisik.

Beberapa jenis gamelan yang akan dijadikan contoh nyata akulturasi Budaya adalah gamelan Agklung, Joged Bumbung, Gong Gede, dan Smar Pegulingan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode komparasi yaitu mengamati adanya kesamaan unsur, terutama ekspresi musikal, antara gamelan gong kebyar dengan gamelan Bali lainnya yang dipengaruhinya.

Barungan gamelan Gong Kebyar adalah sebuah barungan yang terdiri dari 30-40 buah instrument, dimana instrument-instrumen ini kebanyakan instrument berupa alat-alat perkusif atau alat-alat pukul. Gamelan Gong Kebyar ini memiliki sepuluh bilah gamelan yang berlaraskan pelog lima nada, susunan nada-nada yang terdapat didalam gamelan gong kebyar adalah nada ndong, ndeng, ndung, ndang, nding, ndong, ndeng, ndung, ndang, nding. Instrumen-instrumen dalam gamelan Gong Kebyar yang termasuk kelompok instrumen yang di pukul seperti :
–    Gong
–    Kempur
–    Terompong
–    Giying
–    Pemade
–    Kantil
–    Penyacah
–    Jublag
–    Jegogan
–    Reyong
–    Kajar
–    Kemong
–    Bende
–    Kempli dan sebagainya,
Instrument-instrumen tersebut diatas masing-masing memiliki jenis-jenis pukulan satu sama lain baik itu menggunakan tangan langsung ataupun menggunakan alat-alat tabuh atau yang sering disebut dengan panggul. Teknik-teknik pukulan tersebut dapat menimbulkan bunyi dan warna suara yang berbeda antara satu dan yang lainnya.
Gamelan Gong Kebyar yang baru muncul pada permulaan abad ke 20 pada dewasa ini sudah mampu mengalahkan gamelan bali lainnya yang sudah ada sebelumnya. Perkembangan yang begitu pesat dari pada gamelan gong kebyar ini ternyata membawa pengaruh yang cukup besar, tidak hanya terhadap jenis gamelan bali akan tetapi juga terhadap jenis seni pertunjukan bali lainnya. Dalam tabuh-tabuh gamelan gong kebyar itu sendiri dalam perkembangannya dari fase ke fase berikut juga telah banyak terjadi pembaharuan – pembaharuan sesuai dengan selera masyarakat pendukungnya.
Sebagaimana telah disinggung diatas, bahwa sebelum munculnya gamelan gong kebyar dibali sudah hidup dan berkembang berbagai jenis gamelan bali yang masing-masing mempunyai bentuk barungan serta fungsi tersendiri didalam kehidupan social dan agama di kalangan masyarakat. Dari barungan gamelan-gamelan itu ada yang merupakan barungan gamelan yang besar seperti : gemelan Gong Gede, gamelan Pelegongan, gamelan semar pagulingan dan lain sebagainya dan ada juga yang merupakan barungan kecil seperti : gamelan Geguntangan, gamelan Gambang, gamelan Bebonangan dan lain-lainnya. Masing-masing jenis gamelan tersebut memiliki suatu sisitim permainan yang berbeda satu sama lain, memiliki suasana yang berbeda-beda serta bahan instrumennya pun berbeda.
Dengan adanya kekhasan pada masing-masing gamelan Bali ini membuat para penikmatnya mendapat kesan yang berbeda-beda pula manakala mendengarkan lagu-lagu dari masing-masing jenis gamelan Bali ini. Munculnya gamelan gong kebyar dan kemudian berkembang dengan pesatnya hampir ke seluruh pelosok bali bahkan kini sudah sampai keluar bali/ diluar negeri, ternyata akhirnya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan gamelan bali yang sudah ada sebelum gamelan gong kebyar ini. Pengaruh-pengaruh dari pada gamelan gong kebyar ini tidak hanya tampak pada segi teknik permainan, dinamika dan tempo lagu akan tetapi juga dalam segi instrumentasi dengan segala perubahan-perubahan (peleburannya).
Gamelan Gender Wayang, Semar Pagulingan, Gong Gede yang merupakan barungan gamelan Bali yang ikut membentuk Gong Kebyar ini kemudian menjadi berbalik kemasukan pengaruh Gong Kebyar. Gender Wayang yang semula sangat menonjolkan sistim gegenderan (ubit-ubitan), semar pegulingan disana yang sudah biasa dengan bentuk lagunya yang tenang namun sekarang sudah ikut ngebyar sehingga rasa lagu yang ditimbulkan menjadi sama dengan rasa kekebyaran. Dinamika gamelan gong kebyar dengan perubahan tempo cepat-lambat dilakukan secara kompak oleh seluruh instrument dalam barungan gong kebyar kini sudah diterapkan pula pada barungan Gender Wayang, Semar Pagulingan, Pelegongan dan lain-lainnya.
Gamelan Geguntangan atau Pengarjaan yang semula sangat menonjolkan jalinan yang rapat antara dua buah guntang, dua kendang kecil yang diikat oleh instrument suling kini sudah menampilkan system kekebyaran sekalipun dengan mempergunakan alat gamelan yang memang telah ada dalam geguntangan. Gamelan Angklung, Joged Bumbung, tingklik gebyoh kini sudah biasa dengan ngebyar dang ending-gendingnya pun banyak yang mengam bil gending-gending dalam barungan gamelan gong kebyar. Dalam hal instumentasi jenis-jenis gamelan Bali itu sudah hidup sebelum munculnya gamelan Gong Kebyar ini sangat banyak yang terkena pengaruh dari Gong Kebyar. Sudah cukup banyak gamelan-gamelan yang lainnya yang dilebur menjadi barungan gamelan gong kebyar yang mengakibatkan jumlah barungan Gong Kebyar semakin bertambah dan jumlah barungan gamelan Gong Gede, Semar Pagulingan, Pelegongan dan lain sebagainya semakin berkurang. Selain itu banyak para banjar atau desa yang dengan segala upayanya membeli barungan gamelan gong kebyar sekalipun sesungguhnya banjar atau desa tersebut masih memiliki barungan gamelan Bali yang lainnya.Munculnya gamelan angklung kebyar, Gong Suling adalah juga sebagai ukuran berrpa besarnya pengaruh munculnya gamelan gong kebyar.

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Gong Kebyar adalah barungan gamelan Bali sebagai perkembangan terakhir dari Gong Gede, memakai laras pelog lima nada, yaitu : nding, ndong, ndeng, ndung, ndang. Yang awal mulanya tidak mempergunakan instrumen terompong.Selanjutnya Gong Kebyar dapat diartikan suatu barungan gamelan gong yang didalam permainannya sangat mengutamakan kekompakan suara, dinamika, melodi dan tempo.

Gong kebyar memiliki pengaruh besar terhadap barungan gamelan lainnya di Bali, mulai dari gayanya (yang menonjolkan kesan dinamis, cepat dan penuh semangat) , hingga wujud fisik gamelannya(relief ukiran, bentuk pelawah,dll). Karena besarnya pengaruh Gong Kebyar di Bali, banyak gamelan-gamelan yang lainnya yang dilebur menjadi barungan gamelan gong kebyar yang mengakibatkan jumlah barungan Gong Kebyar semakin bertambah dan jumlah barungan gamelan Gong Gede, Semar Pagulingan, Pelegongan dan lain sebagainya semakin berkurang.

Gamelan Gender Wayang, Semar Pagulingan, Gong Gede yang merupakan barungan gamelan Bali yang ikut membentuk Gong Kebyar ini kemudian menjadi berbalik kemasukan pengaruh Gong Kebyar. Gender Wayang yang semula sangat menonjolkan sistim gegenderan (ubit-ubitan), semar pegulingan disana yang sudah biasa dengan bentuk lagunya yang tenang namun sekarang sudah ikut ngebyar sehingga rasa lagu yang ditimbulkan menjadi sama dengan rasa kekebyaran.