Archive for Mei, 2018

SEJARAH PURA PEGULINGAN, BANJAR BASANGAMBU, TAMPAKSIRING

Senin, Mei 14th, 2018

Berdasarkan Lontar Usaha Bali

Pura Pegulingan di bangun pada masa pemerintahan Raja Masula Masuli di Bali pada tahun Caka 1100 (1178 M). Dalam Lontar Usana Bali di uraikan sebagai berikut: “Sampun Puput prasama stanan Bhatara Kabeh, Lwirnya Pura Tirta Empul, Mangening, Ukir Gumang Jempana Manik ngaran Gulingan, Alas Arum Ngaran Blahan, Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngereng, sami karancana oleh Dalem Mesula-mesuli pareng sira Mpu Raja Kertha, Miwah Hana Pasapan Bhatara Nguni, siapa angencak aci kene sipat jah tasmat, apan pewarah Sang Hyang Bhatara Purusa maha Witnya Bhatara Wisnu, Iswarah, Matemahan dori Sanghyang Tri Cakti…………………………………………….” dan seterusnya.

Sudah selesai acara tuntas parhyangan Bhatara sami, seperti Tirta Empul, Mangening, Ukir Gumang, Jempana Manik atau Gulingan, Alas Arum atau Bhatara Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngereng, semua di rencanakan oleh Baginda Raja Masula Masuli bersama dengaqn Mpu Raja Kertha dan ada Sabda dari Bhatara dahulu, siapa yang menghentikan Aci, kena marabahaya karena ada Sabda Sang Hyang Dharma Tri Purusa sebagai awalnya Bhatara Brahma, Wisnu, Iswara yang berprabawa atau berwujud Sang Hyang Tri Sakti……………… dan seterusnya. Selanjutnya dalam lontar usaha Bali juga disebutkan:

“Mangke ucapan Ida Dalem Masula Masuli di Pawesmannya ring pejeng, Duk Ika Ida Dalem menewulin peputih pramanca para mantri, miwah sira Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, muwang i Prabekel Bali pareng tatanin Bendesa Wayah. Matumahan Abeking Iwan petanu Duk Ika Hana Wacanan Ҫri Bhupalaka mangda ngaryanin parhayangan Tirta Empul stana Bhatara Hyang Indra wenang tepasan, mwang parhayangan mangening stana bhatara Hyang Suci Nirmala wenang Maha Prasada Agung kasukat oleh Mpu Rajakertha, apapalihan mahadya metning asta kasali. Duk Ika suka prasaring wang Bali angawa pura. Pura penembahan jagat kabeh kerajangin untuk Ҫri Masula-masuli, mwah panjake sami liang, sami kawulanan pada mase medal paras, mwang reramon salwira batuh, pejeng, tampaksiring……”

Artinya kurang lebih sebagai berikut:

“Sekarang diceritakan Baginda Rada Masula-Masuli di Istananya di Pejeng. Tatkala itu beliau memerintahkan pepatih prapanca, Para Mantri, serta para Mpu seperti Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan dan I Prabekel Bali. Ada permintaan Baginda Raja kepada Mpu semua serta I Prabekel Bali, beserta bendesa wayah sehingga ramai di pejeng, di sebelah barat sungai pakerisan dan disebelah timur sungai petanu. Saat itu ada sabda Baginda Baginda Raja supaya membangun perhyangan (pura) Tirta Empul sebagai perhyangan Bhatara Hyang Indra wenang terpesana, dan parhyangan Mangening stana Bhatara Hyang Suci Nirmala wenang maka prasada Agung, diukur oleh Mpu Rajakarta, dengan pepalihan berdasar Asta Kosali. Tatkala itu senang hatinya orang bali semua, membangun pura-pura sebagai junjungan jagat seluruhnya du pimpin oleh Baginda Raja Masula Masuli, serta rakyat merasa senang, semua rakyat sama – sama memgeluarkan (Ngemedalan) paras (Batu Paras) serta bahan-bahanlainnya, seperti Blahbatuh, pejeng dan tampaksiring….”

Ada lagi sebagai berikut:

Duk Ida Gupuk Panjaka mengasyanin purana ring Tirta Empul mwang ke Mangening, sampun karancana oleh I Bendesa Wayah, ya ta ngawa pakraman Hyang Indra, hana pancaran sami pada matunggul surat aksara sumedang pekaryan Mpu Angganjali, wenang ketama oleh wang bali kabeh, tan kacarita puput kakaryaning sami tatani Ratu, mangkana wetnia nguni, wus mangkana hana swena 3 warsa sampun puput prasama stana Bhatara kabeh Iwirnya Pura Tirta Empul, Pura Mangening, Ukir Gumang, Jempana Manik ngaran Gulingan, Alas Arum, Ngaran Belahan Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngereng, sami karancana oleh Dalem Masuka Masuli sareng sira Mpu Rajakertha…..

Artinya:

Waktu itu sibuk rakyatnya mengerjakan pembangunan pura Tirta Empul sampai ke Mangening sesuai dengan yang direncanakan oleh I Bendesa Wayah yaitu membuatperhyangan Bhatara Indra, terdapat pancoran semua diberi tanda huruf sumedang dengan tujuannya yang mempergunakan huruf yang dapat di baca tanda huruf tersebut yang mempergunakan huruf sumedang sebagai hasil karya Mpu Angganjali yang patut diwarisi oleh orang bali semua. Tidak di kisahkan selesai dikerjakan sesuai dengan ketentuan baginda Raja. Demikian asal mulanya dahulu dan setelah itu ada lamanya tiga tahun selesai seluruhnya perhyangan Bethara semua, seperti Pura Tirta Empul, Mangening, Ukir Gumang, Jempana Manik atau Gulingan, Alas Arum Ngaran Belahan Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngerang, semua direncanakan oleh Baginda Raja Masula Masuli bersama dengan Mpu Rajakertha .

  1. Berdasarkan Mitologi, penuturan tua-tua Desa dan Kitab Babad pasek Karya I Gusti Bagus Sugriwa yang menguraikan tentang carita Mayadenawa diceritakan, dikisahkan bahwa Mayadenawa sebagai Raja di Bali yang sangat sakti, tetapi angkara murka sehingga dia menganggap dirinya sebagai Dewa yang harus disembah dan diaturi persembahan. Dia tidak mengijinkan masyarakat/orang-orang Bali untuk memohon Tirta Serining tahun di besakih agar tanaman-tanaman menjadi subur dan orang-orang mendapat umur panjang. Dengan demikian seorang pun tidak berani meneruskan perjalanan ke Besakih. Raja Mayadenawa sangat angkara murka durhaka terhadap para Bhatara, sehingga keadaan di Bali menjadi kacau karena Mayadenawa menghentikan Aci.

Pada suatu ketika Bhatara Hyang Mahadewa mengadakan pertemuan, di hadap oleh kelima dewa-dewa di balai pertemuan di Besakih. Yang dibicarakan tiada lain ialah tentang halnya Sang Mayadenawa yang sangat angkara murka, melarang orang-orang yang hendak mengadakan aci-aci.

Setelah mendapatkan kesepakatan, maka sekalian dewa-dewa pergi ke Gunung Semeru menghadap Hyang Pasupati, disertai pula oleh Mpu Semeru. Setelah tiba di Gunung Semeru, semuanya diam menenangkan pikiran mencipta Hyang Pasupati , tiba-tiba datanglah Hyang Pasupati lalu Bersabha “Anakku Mahadewa, Genijaya, apakah kehendakmu maka dengan mendadak engkau menghadapku sebagai mengandung dukacita, ceritakanlah kepadaku.”

Seraya menyembah Hyang Mahadewa “Ya, Bhatara, hamba minta ijin Bhatara, untuk membunuh Pun  Mayadenawa karena sangat angkuh momo murka, memutuskan aci. Sepi kini negara Bali demikian juga sepi di kahyangan – kahyangan.” Jika benar demikian, sabda Bhatara Hyang Pasupati “Aku memberi ijin, semoga kesampaian maksudmu. Bhatara Pasupati menggaib (menghilang) dari pandangan.

Diceritakan setelah berkumpul sekalian dewa-dewa di Besakih dan para resigana terutama Hyang Indra, demikian pula sekalian dewa-dewa di Bali semua turut, terutama pendeta lima yang menjadi pengajar perang senjatanya semua sakti-sakti yang keluar dari Sira Mpu Geninjaya bersenjata Ki Baru Tinggi, Mpu Semeru bersenjata Ki Baru Angin,  Mpu Gana bersenjata Ki Mpu Galuh. Mpe Kuturan bersenjata Ki Lebur Jagat Mpu Bradah bersenjata Ki Hutan Ritis, Gemurus Suara Sungu.

Hal itu semua didengar oleh Sri Mayadenawa karena telah mengadakan utusan untuk menyelidiki oleh sebab itu segera menyuruh orangnya untuk memukul kentongan besar. Tiada lama antaranya berdentum-dentum bunyi kentongan. Maka berdatanglah para menterinya semua siap dengan senjata masing-masing diikuti oleh laskar yang juga sudah siap dengan senjatanya. Gemuruh suara bunyi-bunyian dipadu dengan sorak-sorak yang tidak berkeputusan ditingkah pula oleh ringkikan kuda bersama di angkasa, menjadi suatu tanda perang akan dimulai. Yang menjadi kepala perang adalah Ki Patih Kala Wang, lalu bertemu dengan laskar dewa di tengah jalan maka terjadilah peperangan yang sangat dahsyat, setelah beberapa hari lama pertempuran itu, dengan sama-sama gagah perkasa, maka bertumpuklah mayat orang-orang mati dalam perang itu seakan-akan gunung tampaknya berlautan darah. Mayadenawa yang sakti dan dapat berubah wujud dikejar dia di arah barat laut, dia berubah menjadi labu dan tempat itu sekarang disebut Siluk Tabu. Laskar Hyang Indra dengan kepala perangnya, Patih Kala Mang tahu bahwa labu itu adalah Mayadenawa lalu dikejar ke arah barat daya, mejadi seorang bidadari kendran (surga), juga laskar memburu ke arah itu, tetapi bidadari itu lenyap dan Mayadenawa lari ke timur laut, menjadi seekor Manuk Raya (Ayam Besar) Tempat itu sekarang menjadi Manukaya.

Kemudian Kala Wong menciptakan Tirta Tirta Cetik (Tirta Mala) dengan pastu (Kutukan) : “Wastu asing, adius mala ika rawah asing angium pada mati” Artinya siapa yang mandi dan minum air cetik itu akan mati. Karna kelelahan, kehausan maka para laskar Dewa Indra ada yang mandi dan ada juga minum air cetik itu, akibatnya banyak diantaranya yang mati.

Sementara itu Hyang Indra Guling (Istirahat) diatas Jempana Manik di Hutan sebelah timur Tirta Mala itu, datanglah utusan dari laskar yang masih hidup, menyampaikan kepada Hyang Indra, bahwa banyak laskar/Prajurit Dewa Indra mati akibat minum tirta mala. Kemudian Bhatara Indra memanggil para Bagawantanya untuk dapat menciptakan tirta untuk menghidupkan para laskar yang mati. Lalu para Bagawanta beryoga untuk menciptakan tirta dari kekuatan batinnya, namun sayang tidak berhasil. Lau Bhatara Indra mengutus laskarnya untuk mohon Tirta Kamandalu di Sorgaloka.

Diceritakan utusan itu telah kembali dari mohon Tirta Kamandalu, sampai pada suatu tempat disebelah timur laut dari Dewa Indra aguling, Tirta Kamandalu itu pecah payuk parenya (tempat tirta) dan tirtanya tumpah, hutannya menjadi harum semerbak, sekarang di hutan itu berdiri pura Belahan Alas Arum (Puta Dangkahyangan). Utusan tadi menceritakan kejadian tumpahnya tirta kamandalu kepada bhatara Indra serta memperlihatkan bukti ambu, tali dari payuk pere. Bhatara Indra mengambil ambu itu dan langsung melempar ke arah tenggara dengan ucapan : “Watsu, kawekas menadi desa yang ambu” (sekarang desa Basangambu). Kemudian, Bhatara Indra mengambil tedung dan umbul-umbul lalu turun ke arah barat serta di pacangkan, muncul muncrat air/tirta yang dipercikan serta diminum oleh para Prajurit (sekarang Pura Tirta Empul), maka semua laskar/prajurit Bhatara Indra hidup kembali serta siap untuk melanjutkkan peperangan mengejar Mayadenawa. Tibalah saatnya Sri Mayadenawa dibinasahkan dalam pertempuran, serta maha Patihnya yang bernama Kala Wong. Hal itu terjadi di pangkung patas, mereka berdua berubah menjadi tawulan batu padas/paras. Tawulan batu padas itu dipanah oleh Patih Kala Wong, dari selurub sendi tulangnya mengaliri darah tidak henti-hentinya sehingga merupakan anak sungai. Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara dinamai Wwai Mala, kini dinamai Tukad Petanu. Dari kata aguling maka Pura itu disebut Pura Pegulingan Tukad Petanu : Tukad : sungai, petanu suaranya masih, air sungai itu suara Mayadenawa masih kedengaran.

  1. Atas Dasar Kepurbakalaan/ Arceologis

Pada awal Januari 1983 pada saat Krama Desa Adat Basangambu bekerja menurunkan batu padas pada bangunan tepas guna dapat didirikan sebuah padmasana Agung, ditemukan beberapa benda kekunaan seperti Arca dan pragmen lainnya. Semakin kedalam lalu ditemukan pondasi bersegi delapan, maka oleh bendesa adat (Jro Mangku Wayan Periksa) pekerjaan dihentikan, kemudian langsung dilaporkan ke Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali di Bedulu Gianyar. Atas laporan itu maka petugas purbakala langsung mengadakan peninjauan ke pura pegulingan. Mengingat sangat pentingnya temuan-temuan itu, dipandang perlu untuk diadakan penelitian lanjutan, untuk hal tersebut pihak kantor suaka mengadakan pertemuan dengan Krama Desa Pengemong beserta semua penjuru, untuk minta persetujuan rencana kerja yang akan dilaksanakan di Pura Pegulingan.

Setelah mendapat persetujuan krama pengemong, maka penelitian dan penggalian dilakukan oleh Kantor Suaka dari Juli sampai Desember 1983.

Selama penggalian ditemukan antara lain pondasi bangunan segi delapan, arca Budha, kotak batu padas berisi material tanah liat yang bertuliskan Formula Ye-Te dengan huruf Pranagari berbahasa Sansekerta yang menguraikan mantra agama Budha Mahayana mengenai ajaran Dharma.

Berdasarkan Prasasti diatas dan dengan perbandingan bentuk huruf dengan prasasti Airtiga maka dapat di duga bahwa candi pegulingan dibangun pada akhir abad ke IX atau awal abad ke X masehi. Prof. Dr. Soekmono (Arkeologi) mengemukakan dalam Harian Bali Post tanggal 15 September 1983 sebagai berikut:

“Penemuan kepurbakalaan di Pura Pegulingan Tampaksiring berupa fondasi bersegi delapan dan beberapa area Budhi Satwa memberi petunjuk peninggalan itu bersifat ‘Budhistik –  Siwaistik’ dan tidak mustahil penemuan monumental pertama di Indonesia. Selain peninggalan berupa arca Budha dan Fragmen lainnya juga ditemukan panca datu serta arca yoni yang bersifat Siwaistik. Dengan demikian maka pada saat berdirinya candi /  stupa pegulingan sudah terjadi pencampuran / sinkritisme paham Siwa Budha itu berarti pemujaan terhadap Siwa (Hindu) dan Budha saat itu sudah berjalan dengan baik dan damai.”

Temuan-temuan Kekunaan:

Dari hasil penelitian oleh Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala, dapat ditemukan seperti yang di tulis (oleh: I Made Sutaba, I Made Sepur Separsa, I Ketut Darta, I Made Suanta, Gusti Made Rena) dalam buku, ‘Pura Pegulingan Temuan Baru Persebaran Agama Budha di Bali’, antara lain:

  1. Arca Budha

Bersama dengan sisa – sisa bangunan ini terdapat fragmen – fragmen arca Budha setelah fragmen itu disususn ternyata mungkin dahulu ada lima buah arca Budha. Seperti Arca Dhyani Budha – Aksobhya dengan sikap Bhumisparca Mudra dan yang lain Arca Dhyani Budha Amaghasio. Arca Budha dari emas yang berdiri. Arca ini Dhyani Budha Ratnasambhawa, berdiri di atas lapik padmasana terbuat dari perunggu. Arca Budha tersebut hampir sama dengan Gaya Arca Budha Goa Gajah.

  1. Prasasti

Temuan prasasti di Pura Pegulingan berupa materai tanah liat, lempengan emas bertulis telah dan dibaca oleh Almarhum Drs. M. Boechari, sebuah diantara materi tanah liat itu berisi Mantra Formula Ye-Te dengan huruf Pranagari berbahasa sansekerta yang merupakan mantra agama Budha Mahayana mengenai tiga ajaran Dharma. Pada pusat (ditengah-tengah) pondasi yang bersegi delapan ditemukan relief, yang menggambarkan dua gajah saling membelakangi, berdiri di kiri kanan sebuah gapura di duga bersangkala memet, gajah atau hasti angka 8 gapura 9, gajah 8 atau tahun Caka 898 (976 M). Dalam bilik stupa ini didapatkan arca Budha dari emas, lempengan emas, perak dan perunggu, serta pedagingan. Ini mungkin menggambarkan tahun pendirian Candi Pegulingan.

Dari uraian-uraian diatas dapat diasumsikan bahwa pada tahun 976 M, adalah pendirian candi pegulingan dan tahun 1178 M adalah selesainya Parhyangan Pura Pegulingan pada masa pemerintahan raja Masula – Masuli.

POTENSI WISATA DI DAS (DAERAH ALIRAN SUNGAI) PAKERISAN TAMPAKSIRING

Senin, Mei 14th, 2018

BAB I

PENDAHULUAN

 

I.1 Latar Belakang

            Potensi wisata adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh daerah tujuan wisata, dan merupajan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut (Mariotti dalam Yoeti 1996:160-162). Sedangkan pengertian potensi wisata menurut Sukardi (1998:67), potensi wisata adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh suatu daerah untuk daya tarik wisata dan berguna untuk mengembangkan industri pariwisata di daerah tersebut. Sementara itu, Sujali (dalam Amdani, 2008) menyebutkan bahwa potensi wisata sebagai kemampuan dalam suatu wilayah yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk pembangunan, seperti alam, manusia serta hasil karya manusia itu sendiri.

Tampaksiring adalah daerah dengan segudang potensi. Potensi ini didukung oleh alamnya yang asri, memiliki cagar budaya dengan segudang nilai sejarah yang sudah di akui dunia, kuliner khas, kesenian ukir tulang dan tradisi unik yang dimilikinya. Namun pada kesempatan ini saya  mencoba memaparkan tentang cagar budaya yang berada di sekitaran DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan, Tampaksiring yang sangat berpotensi untuk membangkitkan potensi wisata yang nantinya bisa lebih mensejahterakan masyarakat disekitarnya.

Dari pernyataan diatas akan timbul beberapa pertanyaan seperti; Kriteria seperti apa sajakah yang bisa digolongkan dalam Potensi Wisata? Dan Cagar Budaya atau keunikan apa saja yang terdapat pada DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan, Tampaksiring?

 

I.2 Rumusan Masalah

  1. Apa itu Potensi Wisata dan kriteria seperti apa sajakah yang bisa digolongkan dalam Potensi Wisata?
  2. Cagar Budaya atau keunikan apa saja yang terdapat pada DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan, Tampaksiring?

 

I.3 Tujuan

  1. Memahami pengertian dan kriteria yang bisa diigolongkan sebagai Potensi Wisata.
  2. Mengetahui kekayaan akan nilai sejarah yang berada di sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan, Tampaksiring dan upaya pengenalan kepada masyarakat luas.

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

II.1 Pengertian Potensi Wisata dan kriterianya.

Setiap daerah memiliki potensi wisatanya masing-masing, bahkan ada yang memiliki potensi besar namun belum di sentuh agar menjadi daya tarik wisata yang mengagumkan. Potensi wisata adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh daerah tujuan wisata, dan merupajan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut (Mariotti dalam Yoeti 1996:160-162). Sedangkan pengertian potensi wisata menurut Sukardi (1998:67), potensi wisata adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh suatu daerah untuk daya tarik wisata dan berguna untuk mengembangkan industri pariwisata di daerah tersebut. Sementara itu, Sujali (dalam Amdani, 2008) menyebutkan bahwa potensi wisata sebagai kemampuan dalam suatu wilayah yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk pembangunan, seperti alam, manusia serta hasil karya manusia itu sendiri.

Macam-macam Potensi Wisata

Potensi wisata dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:

 

  1. Potensi Wisata Alam

 

Yang dimaksud dengan potensi wisata alam adalah keadaan, jenis flora dan fauna suatu daerah, bentang alam seperti pantai, hutan, pegunungan dan lain-lain (keadaan fisik suatu daerah).

 

  1. Potensi Wisata Kebudayaan

 

Yang dimaksud dengan potensi wisata kebudayaan adalah semua hasil cipta, rasa dan karsa manusia baik berupa adat istiadat, kerajinan tangan, kesenia, peninggalan sejarah berupa bangunan (Contoh monumen).

 

  1. Potensi Wisata Buatan Manusia

 

Potensi wisata manusia juga sebagai daya tarik wisata berupa, pementasan tarian, pementasan atau pertunjukan seni budaya suatu daerah.

 

 

II.2  Cagar Budaya atau keunikan yang terdapat pada DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan, Tampaksiring.

Lansekap Budaya Propinsi Bali (LBPB) telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia (WD) UNESCO, pada tgl. 29 Juni 2012, dalam sidang UNESCO di Pittsburg, Rusia. Secara resmi bendel usulan yang diajukan oleh pemerintah untuk mendapatkan pengakuan UNESCO adalah Cultural Landscape of Bali Province, Subak as Manifestation of Tri Hita Karana Philosophy. Judul usulan itu ditetapkan, karena kawasan yang diajukan sebagai WD adalah kawasan yang terkait erat dengan sistem irigasi subak di Bali. Adapun kawasan yang mendapatkan pengakuan untuk ditetapkan dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO adalah : (i) Lansekap Subak Catur Angga Batukaru, berlokasi di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan dan di Kecamatan Sukasada,  Kabupaten Buleleng; (ii) Pura Taman Ayun, di Kabupaten Badung; (iii) Lansekap Subak Daerah Aliran Sungai Pakerisan, di Kabupaten Gianyar; dan (iv) Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.  Semua lanskep yang disebutkan di atas berkait erat dengan eksistensi sistem subak.

Kabupaten Gianyar sebagai salah satu  wilayah kabupaten di Bali dengan karakteristik wilayahnya adalah  berwujud dataran. Di mata dunia internasional kabupaten Gianyar memiliki predikat  sebagai “daerah seni”.  Dengan predikat tersebut, Kabupaten Gianyar merupakan daerah tujuan wisata utama bagi wisatawan baik domestik maupun manca negara. Sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia, Kabupaten Gianyar  memiliki ciri khas dan  keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh kabupaten lainnya di Bali.  Ciri khas dan keunikan yang menjadi daya tarik wisatawan tersebut adalah kekayaan alam dan budaya berupa keindahan alam atau lanskap, tradisi, budaya, warisan budaya, seni, dan keunikan lainnya.  Salah satu warisan budaya yang dimanfaatkan sebagai  obyek wisata adalah Dareah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan. Menurut catatan Stutterheim (1923-1930) dan Bernet Kempers daerah aliran sungai Pakerisan paling banyak ditemukan peninggalan purbakala.

  • Pura Tirta Empul

Pura Tirta Empul terletak di  hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan. Desa   Manukaya, Kecamatan  Tampaksiring, Kabupaten/Kota Gianyar, Propinsi Bali. Struktur halaman pura  terbagi menjadi empat  halaman,  utama mandala (jeroan),  madya mandala (jaba tengah) dan nista mandala (jaba). Halaman utama mandala sesungguhnya terbagi menjadi tiga ruang  yakni  ruang pertama adalah  paling utara, ruang kedua dipisahkan oleh sebuah tembok pembatas. Ruang pertama ditandai dengan adanya sebuah bangunan Tepasana dan bangunan-bangunan lainnya. Ruang kedua ditandai dengan adanya sumber mata air suci berada pada sisi timur dan pada sisi barat di depan candi bentar adalah komplek arca. Ruang ketiga adalah komplek pemandian. Ruang ini terbagi menjadi tiga, yakni bagian barat, bagian tengah  dan bagian timur (Banyun Cokor). Halaman  nista mandala ditandai dengan adanya  sebuah wantilan dan bekas  kolam renang.  Berdasarkan sumber prasasti Manukaya,  pura ini didirikan oleh raja Candrasingha Warmadewa pada tahun 884 Caka (962 M), data sejarah ini disebutkan pada prasasti batu (Jaya Stambha) yang disimpan di Pura Sakenan, Desa Manukaya Let. Benda cagar budaya yang terdapat pada pura Tirta Empul antara lain: Lingga Yoni, Arca Nandi, dan Arca Singa. Dan sebuah struktur: Tepasana. Secara mithologi hindu, berdasarkan lontar Usana Bali Pura Tirta Empul lebih dikenal dalam ceritera Maya Denawa. Mithologi tersebut mengisahkan  pertempuran antara pasukan Dewa Indra melawan Raksasa Maya Denawa. Dalam ceritera itu disebutkan bahwa Raksasa Maya Denawa berhasil membuat mata air beracun (tirta cetik) untuk mengalahkan pasukan Dewa Indra. Sedangkan Dewa Indra berhasil mebuat air suci untuk menghidupkan kembali pasukannya.

 

 

 

  • Pura Pegulingan

Pura Pegulingan terletak di Dusun/Br. Basangambu, Desa/Kelurahan Manukaya, Kecamatan  Tampaksiring  Kabupaten/Kota Gianyar, Propinsi  Bali.  Ditemukan kembali tahun 1982 saat masyarakat merencanakan membangun paduraksa. Situs Pura Pegulingan ditemukan pada tahun 1982, pada saat itu masyarakat hendak mendirikan sebuah padmasana agung. Berdasarkan data kepurbakalaan, pura ini diperkirakan berdiri pada abad VIII Masehi pada halaman dalam terdapat pelinggih dan Candi. Cagar budaya di pura ini anara lain : sebuah stupa dan temuan lain berupa materai tanah liat, relief Gana, arca budha dari emas dan fragmen-fragmen bangunan.

Keunikan yang terdapat yang terdapat di Pura ini yaitu Candi Pegulingan atau krama pangemong Pura ini menyebutnya dengan Padma Asta Dala (karena pada dasar bangunan candi ini menyerupaisegi delapan). Namun di Pura ini juga terdapat kompleks Pura disebelah timurnya yang mana Pura tersebut bernama Pura Jempana Manik, karena terdapatnya dua komplek tempat suci dalam 1 wilayah ini maka Pura Jempana Manik Pegulingan menjadi sebutan umum masyarakat pengemong Pura tersebut.  Menurut penuturan penglingsir pengemong Pura Pagulingan, bhatara yang bersthana di Pura ini adalah Ida Sang Buddha Gottama. Pura Pegulingan ini menunjukan bahwa sekte Buddha dan Siwa sudah hidup berdampingan di daerah Br.Basangambu dari abad VIII.

 

 

 

  • Pura Mangening

Pura Mangening berada pada sebuah lembah diapit oleh aliran sungai Pakerisan di sebelah timur dan anak sungai pakerisan di sebelah baratnya. Pura Mengening terletak di Dusun/Br. Sarasidi, Desa/Kelurahan Tampaksiring, Kecamatan   Tampaksiring, Kabupaten/Kota  Gianyar, Provinsi Bali. Struktur mandala pura Mangening dibagi menjadi tiga bagian, yakni utama mandala, madya mandala dan nista mandala.  Cagar budaya yang bernilai penting yang terdapat di pura Mangening adalah sebuah bangunan Prasada, sebuah lingga, dan dua buah arca perwujudan yang diperkirakan berasal dari abad ke XI – XII Masehi

  • Pura Gunung Kawi

Pura Gunung Kawi terletak di Dusun/Br.  Penaka, Desa/Kelurahan Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten/Kota  Gianyar, Propinsi  Bali. Dengan ukuran luas lahan 14.87 ha. Kepurbakalaan yang terdapat di dalam pura Gunung Kawi antara lain: Jero Gede merupakan sebuah ruang suci di dalam sebuah dengan ruangan berbentuk segi empat. Di dalam ruang ini sebuah altar berbentuk persegi empat panjang berada di tengah-tengah ruangan ini. Komplek candi tebing Gunung Kawi meliputi: Candi Lima, Candi Empat, Pasar Agung dan kompleks Candi Sepuluh. Menurut perkiraan para ahli, komplek percandian Gunung Kawi didirikan pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu sekitar abad XI Masehi. Percandian ini didirikan untuk memuliakan Raja Udayana beserta keluarga dan kerabatnya. Terbukti dengan adanya inskripsi dalam bentuk huruf Kadiri  Kwadrat  pada ambang pintu candi yang berbunyi “rwanakira” artinya: dua putra beliau, dan “haji lumah ing jalu”  artinya sang raja didharmakan di pakerisan.  Komplek percandian Candi Gunung Kawi beserta ceruk-ceruk pertapaannya seolah-olah dibelah oleh aliran  sungai Pakerisan, di situs ini ditemukan beberapa kelompok percandian yakni: Candi Lima dan Komplek Pasar Agung berada  di sebelah timur sungai, Candi Empat dan  Candi Sepuluh serta  ceruk pertapaan berada di sebelah barat sungai dan  di sebelah tenggara.

  • Lansekap Budaya

Sebagai gambaran umum, pengakuan dunia terhadap Subak sebagai Warisan Dunia membuktikan bahwa keberadan Subak bisa disejajarkan dengan situs-situs lain di dunia yang harus dilestarikan keberadaannya. Penetapan tersebut berimplikasi positif bagi promosi wisata budaya yang berpotensi memberikan manfaat ekonomi serta mendorong upaya pelestarian dan pengembangan subak ke depan.

Warisan Dunia Lansekap Budaya Propinsi Bali mencakup sejumlah komponen yaitu subak (petani dan lembaga), kawasan hutan, kawasan mata air dan danau, lansekap sawah terasering, wilayah sungai dan prasarana sumber daya air (irigasi, saluran, dan bendung irigasi), kawasan permukiman perdesaan, dan kawasan suci, seperti pura.

Sistem subak secara menyeluruh mencerminkan prinsip filosofis Bali Tri Hita Karana (“tiga unsur sumber kebaikan”), hubungan selaras antara parhyangan (Tuhan), pawongan (umat manusia) dan palemahan (alam sekitar). Ritual pura subak mempromosilan hubungan selaras antara manusia dan lingkungannya melalui keterkaitan aktif manusia dengan konsep ritual yang menekankan kebergantungan pada kekuatan pemberi kehidupan alam semesta. Sistem subak memiliki nilai universal yang luar biasa, dengan kriteria: konsep filosofis masa lampau yakni Tri Hita Karana, sebagai sebuah sistem yang demokratis dan egaliter, dan sebagai suatu lembaga yang unik.

Dari pemaparan diatas, cagar budaya disekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan memiliki  potensi wisata. Dilihat dari cagar budaya yang memiliki historis tinggi yang terdapat disekiitaran DAS dan terdapat subak Pulagan yang merupakan warisan dunia tak benda yang telah diakui dunia internasional (UNESCO). Cagar budaya yang terdapat disekkitaran DAS memiliki nilai historis, teologis dan arsitektur yang megah sehingga cagar budaya disekitar DAS ini sangat cocok dikembangkan menjadi wisata spiritual dan wisata sejarah. Di sekitaran cagar budaya di DAS juga dikelilingi oleh pemandangan alam yang masih asri, sehingga disamping cagar budaya cocok dikembangkan menjadi wisata sejarah dan wisata spiritual juga bisa dijadikan wisata pemandangan alam.

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

 

Potensi wisata adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh daerah tujuan wisata, dan merupajan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut (Mariotti dalam Yoeti 1996:160-162). Potensi wisata dibagi menjadi tiga macam:1. Potensi Wisata Alam, 2. Potensi Wisata Kebudayaan, 3. Potensi Wisata Buatan Manusia.

Ada 5 (lima) (namun hanya 3 (tiga) yang belum popular) tempat cagar budaya di sekitaran DAS (Daerah Sungai Pakerisan) yang sangat baik untuk dikembangkan potensi untuk kedepannya, antara lain: Pura Tirta Empul (sudah populer), Pura Pegulingan, Pura Gunung Kawi (populer), Pura Mengening dan Subak Pulagan.

Cagar budaya disekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) Pakerisan memiliki  potensi wisata. Dilihat dari cagar budaya yang memiliki historis tinggi yang terdapat disekiitaran DAS dan terdapat subak Pulagan yang merupakan warisan dunia tak benda yang telah diakui dunia internasional (UNESCO). Cagar budaya yang terdapat disekkitaran DAS memiliki nilai historis, teologis dan arsitektur yang megah sehingga cagar budaya disekitar DAS ini sangat cocok dikembangkan menjadi wisata spiritual dan wisata sejarah. Di sekitaran cagar budaya di DAS juga dikelilingi oleh pemandangan alam yang masih asri, sehingga disamping cagar budaya cocok dikembangkan menjadi wisata sejarah dan wisata spiritual juga bisa dijadikan wisata pemandangan alam.